Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

Masyarakat Dan Hukum Internasional



1.    Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum Internasional
            Landasan sosiologis hukum adalah masyarakat. Artinya, hukum itu ada dan berlaku jika ada masyarakat. Demikian pula halnya hukum internasional. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada dan berlakunya hukum internasional maka terlebih dahulu harus dibuktikan adanya masyarakat internasional. Dengan kata lain, masyarkat internasional adalah landasan sosiologis bagi berlakunya hukum internasional.
            Untuk dapat dikatakan ada masyarakat internasional, ada sejumlah syarat atau unsur tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut mencakup baik syarat materiil maupun non-materiil.

            Syarat materiil dari adanya hukum internasional adalah berupa fakta-fakta eksitensi fisik yaitu:
(a)  Adanya negara-negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada saat ini terdapat ratusan negara merdeka dan berdaulat. Dengan demikian, syarat adanya negara-negara merdeka dan berdaulat sudah menjadi fakta yang tidak mungkin dibantah.
(b)  Adanya hubungan yang tetap dan berkelanjutan antar negara-negara yang merdeka dan berdaulat tersebut.
Syarat ini pun sudah merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Dalam kehidupan dunia saat ini, tak ada satu pun negara yang mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. Sebab, suka atau tidak, negara-negara itu harus mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka saling bergantung satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
(c)  Adanya hukum yang mengatur hubungan tetap antar negara-negara merdeka dan berdaulat itu.
Hubungan yang tetap dan berkelanjutan antara negara-negara hanya mungkin berlangsung tertib apabila ada hukum yang mengaturnya. Artinya, hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian kelangsungan hubungan itu. Ini pun sudah merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Sebab tidaklah mungkin suatu negara berhubungan dengan negara lain tanpa landasan dan ikatan kaidah hukum, betapa pun sederhana dan tidak formalnya hubungan itu. Hukum itu baik yang berupa kaidah hukum tertulis yang lahir dari perjanjian maupun berupa kaidah hukum kebiasaan.
            Sementara itu, syarat non-materiil dari masyarakat internasional adalah adanya kesamaan asas-asas hukum. Bagaimanapun berbedanya corak hukum positif yang berlaku di masing-masing negara yang ada di dunia saat ini, mereka pasti mengakui dan terikat oleh adanya kesamaan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Inilah yang dinamakan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations – akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional). Adanya kesamaan asas-asas hukum ini dapat dikembalikan kepada rasio dan naluri mempertahankan diri yang ada pada manusia. Masyarakat bangsa-bangsa, yang terdiri atas sekumpulan manusia, pun tunduk kepada rasio dan naluri demikian.
2.    Hakikat Kedaulatan dan Fungsinya dalam Perkembangan Hukum Internasional
            Sebagaimana diketahui, kedaulatan (souvereignty) berarti kekuasaan tertinggi (dari istilah Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” atau “yang teratas”). Dengan kata lain, suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya. Pengertian inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam hubungannya dengan hukum internasional karena seolah-olah kedaulatan itu menghambat perkembangan hukum internasional atau bahkan bertentangan dengan hukum internasional. Bagaimana mungkin sesuatu yang menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan tunduk pada kekuasaan lain?  Dengan kata lain, tidak mungkin hukum internasional itu mengikat negara-negara jika negara-negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi (yaitu, dalam hal ini, hukum internasional).
            Pandangan demikian, meskipun sepintas tampak masuk akal, sesungguhnya tidak benar. Pandangan demikian lahir karena didasari oleh pemahaman yang keliru mengenai dua hal. Pertama, pandangan demikian keliru dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Kedua, pandangan demikian juga keliru dalam memahami hakikat kedaulatan.
            Tentang kekeliruan yang pertama: kekeliruan dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, struktur masyarakat internasional bukanlah struktur masyarakat atau negara dunia melainkan suatu masyarakat yang terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka yang tidak memiliki suatu pemerintahan dunia (world government). Sementara itu tertib hukum yang mengaturnya, yaitu hukum internasional, bukanlah tertib hukum yang bersifat subordinatif melainkan tertib hukum koordinatif. Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar apabila masyarakat internasional itu adalah masyarakat atau negara dunia dan tertib hukum yang mengaturnya adalah tertib hukum dunia yang merupakan tertib hukum yang bersifat subordinatif.
            Tentang kekeliruan yang kedua: kekeliruan dalam memahami hakikat kedaulatan. Benar bahwa kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. Benar pula bahwa suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi di luar dirinya. Namun, kekuasaan yang tertinggi bukanlah berarti kekuasaan yang tidak terbatas.
            Kedaulatan, sebagai kekuasaan tertinggi, ada batas-batasnya.  Negara berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun ada batas-batasnya sampai di mana kekuasaan itu dapat atau boleh dilaksanakan. Pembatasan pertama dari kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan yang dimiliki oleh negara lain. Di sini terkandung dua pengertian, yaitu: pertama, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan; kedua, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi suatu negara itu berakhir di mana kedaulatan negara lain dimulai. Jadi, sesungguhnya dalam sifat hakikat kedaulatan suatu negara itu sendiri telah dengan sendirinya terkandung pembatasan.
            Pembatasan yang kedua terhadap kedaulatan negara adalah hukum internasional. Artinya, jika pada tahap pertama pembatasan terhadap kedaulatan negara itu terletak pada kedaulatan negara lain maka pembatasan terhadap kedaulatan seluruh negara terletak pada hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat itu. Sebab, tidak mungkin akan tercipta hubungan antarnegara (hubungan internasional) yang tertib dan teratur tanpa adanya penerimaan akan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antarnegara atau hubungan internasional itu.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama masyarakat internasional masih tetap berupa masyarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat, bukan masyarakat yang merupakan negara dunia, maka kedaulatan negara bukanlah penghambat perkembangan hukum internasional dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan bertentangan dengan hukum internasional dan sekaligus menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar hanya jika masyarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu sudah merupakan hukum dunia.

Author: unjakreatif | Posted at: 07:22 | Filed Under: Kewarganegaraan |
A.                KONSEP DAN HAKEKAT KEDAULATAN NEGARA

Hakekat kedaulatan bagi  suatu Negara adalah berkaitan dengan persoalan kewenangan. Kedaulatan memberi kekuasaan dan kewenangan kepada Negara untuk melaksannakan dan menerapkan suatu sitem hukum nasional atas wilayah-wilayah territorial, warganegara serta asset-aset yang berada di wilayah Negara tersebut.
Konsep kedaulatan sebagai hasil pemikiran Jean Bodin pada awalnya berlaku secara mutlak, dan  apabila dilihat dari sisi hukum internasional konsep kedaulatan Negara yang dikemukakan oleh ahli diatas telah menimbulkan berbagai persoalan. Pemikiran jean Bodin telah melahirkan suatu konsep tentang kedaulatan Negara:
“a  sovereign state at the present time claims the power to judge its own controversies, to enforce its own conception of its right, to increase armaments without limit, to treat own nationals as it sees fit, and to regulate its economic life without regard to the effect of such regulations upon its neighbourse”

(suatu Negara berdaulat saat ini menurut kekuasaan terhadap pendapat yang kontroversi, untuk melaksanakan konsepsinya tentang hak-hak, untuk meningkatkan alat-alat perang tanpa pembatasan, untuk memperlakukan nasionalitasnya sebagaimana dikehendaki dan melaksanakan aturan kehidupan ekonomi tanpa memperdulikan pengaruhnya pada Negara-negara lain).

Prinsip-prinsip hukum internasional berkenaan dengan masalah yurisdiksi territorial menganut beberapa prinsip hukum yang berlaku secara universal, diantaranya:

1.                  Prinsip Teritorial.
Prinsip nasionalitas ini member kewenangan kepada setiap Negara untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum nasional terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang berlangsung di wilayah territorial negaranya, baik privat maupun public. Dalam bidang hukum public misalnya tindak pidana yang dilakukan oleh warga Negara di luar wilayah Negara sebagaimana diakui dalam kasu Island of Palmas Arbitrations:

“soverignity in the relation between state signifies independence. Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercises therein, to exclusion of any other state, the function of a state

(kedaulatan dalam hubungan antar Negara berarti kemerdekaan. Kemerdekaan terhadap sebagian hak global untuk melaksanakannya, memasukan Negara lain ke dalam fungsi-fungsi Negara).

2.                  Prinsip  Nasionalitas.
Prinsip ini member kewenangan kepada Negara-negara di dunia untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum nasional, apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh warganegaranya diluar negeri. Praktek Negara-negara sangat beragam menyangkut jenis tindak pidana yang dilakukan, sehingga prinsip nasionalitas ini dapat diterapkan. Di Inggris, Prinsip ini diterapkan terhadap kasus-kasus pengkhianatan (treason), pembunuhan (murder), dan beristri dua (bigamy).

3.                  Prinsip Protektif.
Prinsip ini memberikan wewenang kepada Negara-negara untuk melakukan ketentuan-ketentuan hukum atas tindakan-tindakan yang menggangu dan mengancam keamanan Negara, baik oleh warganegaranya sendiri maupun oleh warganegara asing. Tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan demikian antara lain tindakan mata-mata (spying), pelanggaran-pelanggaran ketentuan imigrasi, atau tindakan untuk menggulingkan pemerintahan yang syah.

4.                  Prinsip Universalitet.
Prinsip universal memberikan wewenang pada Negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional untuk melaksanakan tindakan sesuai dengan hukum nasional atas kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia sebagaimana yang diungkapkan oleh Michael Akehurst:

“the universality principle is less objectionable when it is applied to acts which are regarded as crime in all countries; indeed, even English- speaking countries to international law, accept that international law allows state to exercise a universal jurisdiction over certain acts which treaten the international community as a whole and which are criminal in all countries, such as war crimes, piracy, hijacking, and various fourms of international terrorism”.

(prinsip universal kurang objektif bilamana prinsip tersebut diberlakukan terhadap tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kejahatan-kejahatan di semua Negara; bahwa Inggris berpendapat terhadap hukum internasional,  menerima bahwa hukum internasional membolehkan Negara-negara melaksanakan yurisdiksi universal terhadap tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat internasional secara keseluruhan dan tindakan tersebut merupakan kejahatan di semua Negara seperti penjahat perang, penyelundupan, pembajakan dan terorisme).

Berbagai hambatan teknis dalam pelaksanaan prinsip-prinsip diatas dalam praktek hubungan antar Negara sering ditemui, karena terjadi masalah “ekstradisi”.  Belum adanya ketentuan internasional yang mengatur masalah ekstradisi secara eksplisit telah menimbulkan berbagai persoalan dalam pelaksanaan ketentuan hukum nasional suatu Negara terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh warganegaranya di Negara lain.

B.                 KONSEP DAN HAKEKAT IMMUNITAS NEGARA
Mengulang kembali konsep kedaulatan diatas, bahwa Negara yang memiliki kedaulatan dapat menjalankan yurisdiksi nasionalnya terhadap territorial setiap orang, benda atau pperbuatan-perbuatan yang terjadi di wilayah negaranya.

Secara hukum, yurisdiksi dimaksud tidak dapat dijalankan terhadap hal-hal seperti: kepala Negara asing, wakil-wakil diplomatic beserta asset-asetnya memiliki kekebalan atau IMMUNITAS. Hak imunitas ini diberikan oleh hukum internasional berdasarkan Genewa Convention on Diplomatic Relation 1961 (konvensi Jenewa Tentang Hubungan Diplomatik).  

Kekebalan ini diberikan karena wakil-wakil diplomatic merupakan suatu Negara yang merdeka dan berdaulat yang hak-haknya dijamin hukum internasional (united Nations Charter). Negara-negara yang dimaksud memiliki hak khusus (previlege) yang juga dijamin hukum. Hak previlege ini tidak hanya diberikan kepada wakil-wakil Negara asing di wilayah territorial Negara penerima (Receiving State), tetapi juga kepada Negara-negara lain, seperti hak lintas wilayah udara (penerbangan komersial) dan hak lintas laut territorial dan pedalaman (inncocent passage right).

Hak imunitas diberikan  sepanjang perwakilan Negara-negara melakukan tindakan-tindakan public dalam kerangka pelaksanaan hubungan dengan negaranya sebagai Negara pengirim (Sending State) dengan Negara tempat perwakilannya berada di Negara penerima (Receiving State). Dalam hal ini berlaku teori imunitas absolute  dalam praktek hubungan antar Negara, tetapi juga melaksanakan hubungan bisnis yang bersifat perdata, apabila Negara telah melakukan tindakan-tindakan perdata, maka teoti imunitas mutlak tidak dapat dilakukan lagi, sehingga berlaku teori imunitas relative akibatnya Negara dalam kapasitas sebagai Ius Gestiones dapat dituntut di forum pengadilan asing.

Pasal 3 ayat (1) Viena Convention 1961 nmenyatakan “suatu Negara memiliki kekebalan kecuali:
“a real action relating to private immobable property situated in the territory of the receing state, unless he holds it on behalf of the sending state for the purposes of the mission;
An action relating to succession in which the diplomatic agent is inolved as a private person;
An action relating to any professional or commercial activity exercised by the diplomatic agent in the receiving state outside his official functions.”
 
 Jadi, hak imunitas dari perwakilan-perwakilan Negara asing dapat hilang apabila melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan bisnis.

2 komentar: