NAMA : SENDI NUGRAHA
NPM : 110110090144
MATA
KULIAH : HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL
UNIDROIT
PRINCIPLES OF INTERNATIONAL CONTRACT
A.
Tujuan
Pembentukan UNIDROIT Principles of International Contract
Pada dasarnya prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT tidak secara tegas
mencantumkan jual beli internasional sebagai objek dasar pengaturan. Hal ini
dapat dilihat dari Purpose of the Principles yang terdapat dalam preamble UNDROIT, sebagai berikut:[1]
· Berupaya untuk menciptakan suatu
aturan yang berimbang. Dengan adanya aturan yang berimbang tersebut diharapkan
para pihak yang terlibat dalam perdagangan internasonal yang berlatar belakang
tingkat ekonomi dan sistem politik, bahkan sistem hukum yang berbeda dapat menggunakannya;
· Tujuan lainnya yang juga penting
adalah bahwa sistem UNIDROIT ini dapat digunakan oleh para pihak manakala
mereka menemukan jalan buntu dalam menentukan hukum mana yang akan dipilih
terhadap kontrak mereka. Kebuntuan ini karenanya dapat diselesaikan dengan
kesepakatan para pihak untuk memilih prinsip kontrak UNIDROIT ini;
· Bahwa prinsip UNIDROIT dapat
digunakan oleh para pihak untuk menafsirkan sesuatu hal (klausul) dalam kontrak
yang menimbulkan sengketa karena adanya perbedaan penafsiran diantara para
pihak;
· Fungsi lainnya dari prinsip
UNIDROIT ini adalah bahwa prinsip-prinsip hukum kontrak yang terdapat di
dalamnya dapat dimanfaatkan sebagai pegangan bagi para pihak perancang hukum di
negara-negara di dunia dalam merancang hukum kontraknya. Bahkan dalam
preamble juga dinyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan perjanjian
internasional lainnya yang dibuat setelah adanya prinsip UNIDROIT, untuk
mengacu kepada prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT.
Tujuan dibuatnya prinsip-prinsip UNIDROIT adalah untuk menentukan
aturan umum bagi kontrak komersial internasional. Prinsip ini berlaku apabila
para pihak telah sepakat bahwa kontrak mereka tunduk pada prinsip tersebut dan
pada prinsip hukum umum (general
principles of law), lex mecantoria,
dan sejenisnya.
Prinsip-Prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang
timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang
relevan dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu,
prinsip-prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan
dalam menafsirkan hukum kontrak yang tidak jelas. Apabila tidak ditemukan
aturannya dalam hukum yang berlaku (governing
law), maka prinsip-prinsip UNIDROIT dapat digunakan sebagai solusi,
sehingga menjadi instrumen hukum tambahan karena prinsip-prinsipnya diambil
dari kebiasaan dan praktik yang seragan dalam hukum internasional.[2]
· Tujuan
pembuatan UNIDROIT Principles, adalah
membentuk seperangkat aturan-aturan yang seimbang dan dapat digunakan di
seluruh dunia, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan dalam tradisi hukum, dan
kondisi ekonomi dan politik dari negara-negara
yang menerapkannya;
· Dikaitkan
dengan substansinya UNIDROIT Principles
umumnya bersifat fleksibel, mengikuti perkembangan-perkembangan ekonomi dan
teknologi yang dapat mempengaruhi praktek perdagangan transnasional;
· Dari
segi
bentuk formalnya, UNIDROIT Principles menghindarkan
diri dari penggunaan terminologi
yang dikenal di dalam beberapa sistem hukum tertentu saja;
· Dari
segi
penegakannya UNIDROIT Principles
sebagai suatu pranata yang tidak melibatkan persetujuan pemerintah negara-negara nasional, bukanlah
merupakan suatu pranata yang mengikat (binding
instrument), dan karena itu daya mengikatnya tergantung pada kewenangan
persuasif
yang ada di negara-negara
tersebut.
Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap
masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan
sumber hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu,
prinsip–prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan
dalam menafsirkan ketentuan hukum kontrak yang tidak jelas. Dari segi formal,
prinsip ini menghindari penggunaan terminologi khusus yang digunakan dalam sistem
hukum tertentu.
B.
Prinsip dalam
UNIDROIT dan Penjelasannya
Terdapat prinsip-prinsip utama dalam UNIDROIT, yaitu prinsip
kebebasan berkontrak, prinsip itikad baik (good
faith) dan transaksi jujur (fair
dealing), prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat,
prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer)
dan penerimaan (acceptance) atau
melalui tindakan, prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk, prinsip
kewajiban menjaga kerahasiaan, prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat
baku, prinsip syarat sahnya kontrak, prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila
mengandung perbedaan besar (gross
disparity), prinsip contra
proferentem dalam penafsiran kontrak baku, prinsip menghormati kontrak
ketika terjadi kesulitan (hardship),
prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur).[4]
1. Prinsip
kebebasan berkontrak
Prinsip kebebasan berkontrak begitu tercermin dalam
pernyataan Pasal 1.1 UNIDROIT
Principles
yang merupakan dasar dari prinsip kebebasan berkontrak, sebagai berikut:
“The
parties are free to enter into a contract and to determine its content”.
Prinsip ini ditekankan sebagai dasar
dari prinsip perdagangan internasional.
Kebebasan disini adalah bebas untuk menyatakan dengan siapa pihak
tersebut akan membuat kontrak, bebas menentukan barang yang akan
diperdagangakan, bebas untuk melakukan negosiasi, bebas untuk memilih forum (choice of forum) maupun memilih hukum (choice of law) yang akan dipergunakan
dalam kontrak.
Prinsip kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1.1 UNIDROIT
Principles ini pada dasarnya
menegaskan adanya kebebasan para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat, sedangkan pengaturan di Indonesia tentang prinsip
kebebasan berkontrak terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 BW yang
menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan
individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan
individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya
asas konsensualisme menurut hukum perjanjian di Indonesia memantapkan adanya
asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.[5]
Asas konsensualisme juga duanut oleh prinsip-prinsip UNIDROIT,
sebagai prinsip dasar kontrak internasional. Kontrak internasional memang harus
menganut asas konsensual karena dalam hubungan transaksi bisnis internasional
para pihak tidak langsung bertemu secara fisik tetapi menggunakan berbagai
sarana telekomunikasi. Dewasa ini berkembang berbagai sarana hukum kontrak yang
memperjanjikan jual beli barang, yang barangnya sendiri belum ada tetapi
harganya telah disepakati, bahkan sudah dibayar.[6]
Prinsip UNIDROIT bertujuan untuk mengharmonisasi hukum kontrak
komersial di Negara-negara yang menerapkannya, sehingga materi terfokus pada
persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian ruang lingkup yang diatur oleh Prinsip
UNIDROIT adalah kebebasan berkontrak. Dasar pemikirannya adalah bahwa apabila
kebebasan berkontrak tidak diatur maka dapat terjadi distorsi, tetapi
sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, maka akan hilanglah makna dari
kebebasan berkontrak itu sendiri.
Oleh karena itu UNIDROIT berusaha untuk mengakomodasi berbagai
kepentingan yang diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan hukum
dan kepentingan ekonomi lainnya. Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam
lima bentuk prinsip hukum, yaitu:
a. Kebebasan
menentukan isi kontrak;
Selain bebas untuk
menentukan pihak dalam membuat kontrak, kebebasan berkontrak juga
memperbolehkan pihak-pihak tersebut untuk memilih hukum yang akan mereka
gunakan. Tidak adanya suatu paksaan dalam UNIDROIT untuk menggunakan hukum
tersebut dalam setiap kontrak internasional yang dibuat, prinsip UNIDROIT pada
dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun.[7]
Dari bentuknya, pilihan
hukum dapat berupa pilihan secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu
klausul kontrak, pilihan secara diam-diam atau tersirat, kesepakatan para pihak
untuk menyerahkan pilihan hukum kepada pengadilan, dan ketetapan para pihak
untuk tidak memilih atau membuat klausul pilihan hukum.[8]
Klausul pilihan forum (choice of forum) merupakan salah satu
klausul yang cukup penting dalam pembuatan suatu kontrak, walaupun terkadang
klausul ini sering tidak dicantumkan oleh para pembuat kontrak. Seperti halnya
inti dari prinsip kebebasan berkontrak, penempatan klausul ini tergantung dari
kesepakatan para pihak apakah akan menggunakan klausul tersebut dalam kontrak
mereka.
b. Kebebasan
menentukan bentuk kontrak;
Prinsip-prinsip
UNIDROIT menentukan kesederhanaan dalam pembuatan kontrak dengan menegaskan
bahwa kontrak tidak perlu tertulis. Hal ini tercantum dalam Pasal 1.2 UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“Nothing
in these Principles requires a contract, statement or any other act to be made
in or evidenced by a particular form. It may be proved by any means, including
witnesses”.
Ketentuan
yang menyatakan bahwa pembuatan kontrak ini dapat dilakukan secara tidak
tertulis bisa terjadi karena berdasarkan sejarah adanya hukum perdagangan
internasional yang disebabkan oleh hukum para pedagang yang sifatnya hukum
kebiasaan atau lex
mercatoria.
Kalimat
pertama
dari Pasal 1.2 UNIDROIT Principles
tersebut memberi
perhatian pada adanya sistem hukum nasional yang mewajibkan persyaratan formal
untuk substansi kontrak atau
untuk pembuktian adanya kontrak. Kalimat kedua menetapkan berlakunya kebebasan
para pihak untuk menggunakan segala upaya untuk membuktikan adanya kontrak
(termasuk bukti lisan). Pembatasan
terhadap Kebebasan Mengenai Bentuk Perjanjian :
· Kebebasan
para pihak dalam menentukan bentuk perjanjian dibatasi oleh hukum yang seharusnya berlaku;
· Artinya
hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan Hukum Perdata Internasional (HPI)
dapat menetapkan persyaratan tentang bentuk, baik yang menyangkut perjanjiannya
atau pasal-pasal tertentu (kaitkan dengan Pasal 1.4.). Para pihak juga bebas untuk
menentukan bentuk tertentu untuk penutupan, perubahan atau pengakhiran
perjanjian.
Dalam
masa ini, para pedagang sendiri yang menentukan bentuk dan isi kontrak yang
mereka sepakati, karenanya lex
mercatoria sebenarnya adalah lembaga hukum
yang tumbuh karena adanya kebutuhan para pedagang guna menuangkan kesepakatan
yang telah dicapai diantara mereka.
Seiring
dengan perkembangan waktu yang menyebabkan berkembangnya pula transaksi di
bidang perdagangan internasional memberi dampak terhadap bentuk kontrak
perdagangan. Banyaknya hal-hal yang harus diatur dan pembatasan-pembatasan yang
disepakati oleh para pihak menyebabkan bentuk kontrak secara tidak tertulis
menjadi mustahil untuk digunakan.
Adanya
prinsip kebebasan para pihak untuk berkontrak (party autonomy) didukung oleh kemajuan teknologi memberikan peluang
semakin berkembangnya bentuk kontrak yang digunakan oleh para pihak. Prinsip
kebebasan berkontrak ini adalah prinsip yang dapat menembus
formalitas-formalitas dan dengan prinsip inilah hukum kontrak internasional
berkembang dengan pesat dan member peluang untuk para pihak secara kreatif
menemukan bentuk kontrak kontrak dengan berbagai variannya.
c. Kontrak
mengikat sebagai undang-undang;
Perjanjian yang sah
adalah mengikat para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau
diakhiri sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan
atau ditentukan sebaliknya dalam, hal ini tertuang dalam Pasal 1.3 UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“A contract validly entered into is binding upon the parties. It can
only be modified or terminated in accordance with its terms or by agreement or
as otherwise provided in these Principles”.
Kebanyakan
sistem hukum mengakui bahwa konsekuensi dari prinsip kebebasan berkontrak
berarti para pihak bebas untuk memasukan klausul yang mewajibkan mereka
melakukan renegosiasi kontrak apabila terjadi perubahan keadaan yang
mengakibatkan kesulitan. Keberatan sementara orang terhadap klausul itu karena
menimbulkan ketidakpastian hukum.[9]
Jika
para pihak sepakat untuk mengadakan renegosiasi maka dapat terjadi 3 (tiga)
kemungkinan. Pertama, mereka mungkin sepakat bahwa kontrak yang ada
dikesampingkan dan kemudian menegosiasi kesepakatan yang seluruhnya baru.
Kedua, mereka membatalkan persyaratan kontrak yang lama dan menggantinya dengan
yang baru, cara ini dikenal dengan istilah novasi (novation). Ketiga, mereka membiarkan kontrak yang ada tetapi
mengubah beberapa syaratnya yang disebut variation
dari kontrak asli.[10]
Hukum
perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan
tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni
terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang
bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut
yaitu:
·
Hukum
perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal
ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif
di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam
kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi
memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya;
·
Aturan-aturan hukum perdagangan
internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini
sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang
menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.
d. Aturan
memaksa sebagai pengecualian
Walaupun sesuai dengan Pasal 1.1 UNIDROIT Principles dan Pasal 1338 BW ditegaskan adanya jaminan atas kebebasan
berkontrak, tetapi untuk tetap menjamin ketertiban umum dan kepentingan
nasional, tidak boleh dilupakan pula aturan memaksa sebagai pengecualian.
Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan tempat bagi aturan yang memaksa (mandatory rules) baik yang berasal dari
hukum domestik, maupun dari hukum internasional yang dapat menghalangi
kebebasan berkontrak,[11] hal ini terdapat dalam Pasal 1.4 UNIDROIT Principles:
“Nothing in these Principles shall restrict the application of mandatory
rules, whether of national, international or supranational origin, which are
applicable in accordance with the relevant rules of private international law”.
Tidak ada satu ketentuan pun dalam UNIDROIT Principles
yang dapat menghalangi penerapan aturan-aturan memaksa, baik berasal dari
national, internasional maupun supranasional, yang dipakai sesuai dengan
kaidah-kaidah Hukum Perdata
Internasional (HPI) yang relevan. Kaidah-kaidah hukum memaksa (mandatory rules)
yang diberlakukan oleh negara dalam hukum nasionalnya, atau untuk
melaksanakan suatu konvensi internasional, atau yang digunakan oleh sebuah
organisasi internasional, tidak dapat dikesampingkan oleh asas-asas UNIDROIT Principles.
Bila para pihak
memasukkan prinsip-prinsip UNIDROIT
sebagai syarat dalam kontrak maka syarat-syarat itu tidak dapat mengesampingkan
kaidah memaksa dari lex cause
atau lex fori atau negara
ketiga yang memiliki kaitan yang erat dengan kontrak. Bila (khususnya dalam proses
pengadilan dan/atau arbitrase) asas-asas UNIDROIT Principles
diberlakukan sebagai hukum yang berlaku, maka UNIDROIT Principles
tidak dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa dari sistem hukum yang
seharusnya berlaku berdasarkan pendekatan HPI.
Ada beberapa kategori aturan yang dianggap sebagai hukum yang memaksa
oleh prinsip-prinsip UNIDROIT, yaitu:[12]
·
Aturan
hukum memaksa yang berlaku dalam prinsip-prinsip UNIDROIT sendiri;
·
Aturan
memaksa yang berlaku apabila prinsip-prinsip UNIDROIT dipilih sebagai hukum
yang mengatur kontrak;
·
Aturan
memaksa berdasarkan HPI yang relevan.
Dalam Pasal 1.5 UNIDROIT Principles menyatakan:
“The parties may exclude the application of these
Principles or derogate from or vary the effect of any of their provisions,
except as otherwise provided in the Principles”
Dari ketentuan di atas dapat
ditarik tiga unsur pokok, yaitu:
· Prinsip-prinsip
UNIDROIT sebagai pilihan hukum dan tidak bersifat memaksa;
· Penggunaan
prinsip-prinsip UNIDROIT dapat dikesampingkan atau dimodifikasi baik secara
tegas, atau diam-diam;
· Apabila
para pihak sudah menundukan diri pada prinsip-prinsip UNIDROIT, maka mereka
harus tunduk pada aturan yang memaksa dari prinsip-prinsip hukumnya.
e. Sifat
internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam
penafsiran kontrak.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran kontrak, yaitu:[13]
·
Penafsiran
prinsip-prinsip UNIDROIT berbeda dengan penafsiran terhadap kontraknya;
·
Dalam
menafsirkan prinsip-prinsip UNIDROIT harus memperhatikan sifat internasional
dan tujuannya;
·
Dimungkinkan
adanya penambahan terhadap ketentuan dari prinsip-prinsip UNIDROIT.
Karena tujuan prinsip-prinsip
UNIDROIT adalah dalam rangka upaya harmonisasi, maka ketika melakukan
penafsiran harus memperhatikan sifat internasional, sehingga dalam memahami
istilah dan konsep yang dipakai haruslah dilihat secara otonom, misalnya tidak
menggunakan terminologi yang digunakan dalam hukum domestik tertentu. Sebab
prinsip-prinsip UNIDROIT merupakan hasil studi komparatif dari para ahli hukum
yang berlatar belakang sistem hukum dan budaya yang berbeda, sehingga
substansinya merupakan hasil kompromi dari berbagai sistem hukum. Hal ini dapat
terlihat dalam Pasal 1.6 ayat (1) UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“In the interpretation of these Principles, regard is to
be had to their international character and to their purposes including the
need to promote uniformity in their application”
2. Prinsip itikad baik
(good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
Walaupun dinyatakan
bebas untuk menentukan isi kontrak, tetapi segala hal yang dicantumkan di dalam kontak tersebut harus berdasarkan dengan
prinsip bonafide. Berdasarkan prinsip
ini, apa yang telah disepakati para pihak, maka kesepakatan itu harus dihormati
dan dilaksanakan dengan itikad baik.[14] Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT
Principles
mengenai Good Faith and Fair Dealing,
sebagai berikut:
“(1) Each party must act in
accordance with good faith and fair dealing in international trade; (2)The
parties may not exclude or limit this duty.”
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT
Principles tersebut,
ada tiga unsur itikad baik dan transaksi jujur, yaitu:
1.
Itikad baik dan transaksi jujur
sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak;
2.
Prinsip itikad baik dan transaksi
jujur dalam UNIDROIT ditekankan pada praktek perdagangan internasional;
3.
Prinsip itikad baik dan transaksi
jujur bersifat memaksa.
Berdasarkan prinsip tersebut maka
negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip
fair dealing, contohnya :[15]
·
seseorang
melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak
dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;
·
suatu
pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi
dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa
perundingan akan menjadi kontrak;
·
apabila
dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak, baik
dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai
status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.
3. Prinsip diakuinya kebiasaan
transaksi bisnis di negara setempat
Dalam hal ini, UNIDROIT memberikan pedoman bagaimana
hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam Pasal 1.8 UNIDROIT Principles:
“A party cannot act inconsistently
with an understanding it has caused the other party to have and upon which that
other party reasonably has acted in reliance to its detriment”
Ketentuan
di atas mengandung hal-hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa:
·
Praktek
kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;
·
Praktek
kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;
·
Praktek
kebiasaan yang disepakati;
·
Praktek
kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;
·
Praktek
kebiasaan yang tidak benar;
·
Praktek
kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum.
Apabila praktek kebiasaan telah disepakati untuk diberlakukan terhadap
suatu transaksi, maka hukum kebiasaan akan mengesampingkan ketentuan umum yang
bertentangan dengan kebiasaan itu. Alasannya adalah karena hukum kebiasaan
setempat mengikat para pihak sebagai syarat-syarat yang mengatur kontrak secara
keseluruhan. Pengecualian diberikan hanya terhadap ketentuan yang bersifat
memaksa.
4. Prinsip kesepakatan melalui
penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
Hal ini
tertuang dalam Pasal 2.1.1 UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“A contract may be concluded either by the acceptance of
an offer or by conduct of the parties that is sufficient to show agreement”
Inti dari
ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:
·
penawaran
dan penerimaan;
·
perilaku
yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dengan tercapainya
kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan kontrak. Konsep tentang penawaran
dan penerimaan digunakan untuk menentukan apakah dan kapankah para pihak telah
mencapai kata sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut
transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi yang
cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan penerimaannya, sehingga
sulit untuk menentukan kapan kata sepakat itu terjadi.
5. Prinsip larangan bernegosiasi dengan
itikad buruk
Larangan
untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk dalam Pasal 2.15 UNIDROIT Principles tentang Negotiation in Bad Faith, sebagai berikut:
“(1)
A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an
agreement; (2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in
bad faith is liable for the losses caused to the other party; (3) It is bad
faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when
intending not to reach an agreement with the other party”.
Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung
jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi dan prinsip hukum tentang
negosiasi yaitu :[16]
· Kebebasan negosiasi;
· Tanggung jawab atas negosiasi dengan
itikad buruk;
· Tanggung jawab atas pembatalan
negosiasi dengan itikad buruk.
6. Prinsip kewajiban menjaga
kerahasiaan
Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang
terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada kemungkinan mereka
memanfaatkan rahasia tersebut untuk keuntungannya. Pasal 2.1.16 UNIDROIT Principles mengatur kewajiban menjaga
kerahasiaan:
“Where
information is given as confidential by one party in the course of
negotiations, the other party is under a duty not to disclose that information
or to use it improperly for its own purposes, whether or not a contract is
subsequently concluded. Where appropriate, the remedy for breach of that duty
may include compensation based on the benefit received by the other party”
Dari
ketentuan dia atas, dapat disimpulkan bahwa para pihak pada dasarnya tidak
wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada informasi yang memiliki sifat rahasia
sehingga perlu dirahasiakan dan dimungkinkan adanya kerugian yang harus
dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para pihak dalam
negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal
yang rahasia. Dengan kata lain, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan
informasi mana yang bersifat rahasia dan tidak.
7. Prinsip perlindungan pihak lemah
dari syarat-syarat baku
Praktek menggunakan kontrak baku dapat dilihat dalam Pasal 2.1.19 UNIDROIT Principles,
yaitu:
“(1) Where one party or both parties
use standard terms in concluding a contract, the general rules on formation
apply, subject to Articles 2.1.20 - 2.1.22. (2) Standard terms are provisions
which are prepared in advance for general and repeated use by one party and
which are actually used without negotiation with the other party”
Pasal dia
atas mengandung ketentuan, sebagai berikut:
·
Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat baku, maka berlaku
aturan umum tentang pembentukan kotrak dengan tunduk pada UNIDROIT Principles Pasal 2.1.20 sampai 2.1.22;
·
Syarat
baku merupakan aturan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan
secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak yang secara nyata
digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lain.
8. Prinsip syarat sahnya kontrak
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3.1
UNIDROIT Principles, yaitu:
“These Principles do not deal with invalidity arising
from (a) lack of capacity; (b) immorality or illegality”
Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip UNIDROIT
tidak mengatur ketidakabsahan yang timbul dari tidak memiliki kemampuan, tidak
memiliki kewenangan, amoralitas dan ilegalitas.
Tidak mungkin semua dasar syarat sahnya kontrak yang ditemukan dalam
berbagai sistem hukum nasional dipakai dalam ruang lingkup prinsip UNIDROIT.
Alasan pengecualian ini mengingat baik karena kompleksitas yang melekat pada
masalah status, kewenangan, dan kebijaksanaan publik serta perbedaan yang
ekstrem mengenai bagaimana hal itu diberlakukan dalam hukum domestik.[17]
9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak
bila mengandung perbedaan
besar (gross disparity)
Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik
(good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) serta prinsip keseimbangan
dan keadilan. Hal ini dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar di
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya sistem aturan yang dapat melindungi
pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Prinsip-prinsip UNIDROIT
mengaturnya dalam Pasal 3.10 UNIDROIT Principles:
“(1) A
party may avoid the contract or an individual term of it if, at the time of the
conclusion of the contract, the contract or term unjustifiably gave the other
party an excessive advantage. Regard is to be had, among other factors, to (a)
the fact that the other party has taken unfair advantage of the first party’s
dependence, economic distress or urgent needs, or of its improvidence,
ignorance, inexperience or lack of bargaining skill, and (b) the nature and
purpose of the contract.
(2)
Upon the request of the party entitled to avoidance, a court may adapt the contract
or term in order to make it accord with reasonable commercial standards of fair
dealing.
(3) A
court may also adapt the contract or term upon the request of the party receiving
notice of avoidance, provided that that party informs the other party of its
request promptly after receiving such notice and before the other party has
reasonably acted in reliance on it. The provisions of Article 3.13(2) apply
accordingly”
Salah satu
pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan
keuntungan berlebihan dan secara tidak sah kepada salah satu pihak. Keadaan
demikian didasarkan pada:
·
Fakta
bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari
ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau dari
keborosan, ketidaktahuan, kekurangpahaman atau kekurangahlian dalam tawar
menawar;
·
Sifat
dan tujuan dari kontrak.
Atas permintaan pembatalan kontrak oleh pihak yang berhak, pengadilan
dapat mengubah kontrak atau syarat tersebut agar sesuai dengan standar
komersial yang wajar dari transaksi yang jujur. Pengadilan dapat juga mengubah
seluruh kontrak atau sebagian syaratnya atas permintaan pihak yang menerima
pemberitahuan pembatalan. Pemohon harus memberitahu pihak lain tentang
permohonannya tersebut.[18]
Adanya perbedaan yang besar mengenai keuntungan yang tidak dibenarkan,
hal ini disebabkan oleh posisi tawar yang seimbang, sifat dan tujuan dari
kontrak, dan faktor-foktor lain sehingga menimbulkan hak untuk membatalkan atau
mengubah kontrak tersebut.
10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku
Pengaturan penafsiran kontrak diatur dalam UNIDROIT Principles Chapter 4
dengan delapan pasal (Pasal 4.1 sampai dengan 4.8). Pasal 4.6 menyatakan:
“If contract terms supplied by one party are unclear, an
interpretation against that party is preferred”
Ketentuan ini menyatakan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh
salah satu pihak tidak jelas, maka penafsiran yang berlawanan dengan pihak
tersebut harus didahulukan.
Para pihak harus bertanggung jawab atas rumusan syarat kontrak, baik
kontrak yang dirancang sendiri maupun karena adanya pengajuan syarat-syarat
terhadap kontrak tersebut. Misalnya dengan menggunakan syarat baku yang
dipersiapkan terlebih dahulu, terkadang pihak pembuat diharuskan menanggung
resiko atas ketidakjelasan rumusan yang dibuatnya.
Hal ini merupakan alasan mengapa pasal tersebut menentukan bahwa jika
syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas. Maka diberikan
preferensi penafsiran yang berlawanan dengan pembuat syarat baku tersebut. Cara
pemberlakuan aturan ini akan bergantung pada hal-hal sebagai berikut:[19]
·
Keadaan
dari kasus yang dihadapi;
·
Sifat
kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi lebih
lanjut antara para pihak;
·
Pembenaran
untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat klausul baku tersebut.
Kontrak komersial internasional sering dibuat dalam dua atau lebih versi
bahasa yang dapat mempertemukan butir-butir tertentu. Terkadang para pihak
menentukan versi mana yang dapat diberlakukan jika terjadinya perbedaan
penafsiran. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal 4.7 UNIDROIT Principles mengenai linguistic
discrepancies yang
menentukan bahwa apabila kontrak dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang
semuanya berlaku, jika terjadi pertentangan diantaranya maka prioritas penafsiran
digunakan menurut versi asli dari kontrak itu.
Selanjutnya dalam Pasal 4.8 UNIDROIT Principles
mengenai supplying an omitted term menyatakan bahwa apabila para pihak dalam kontrak tidak
sepakat atas suatu syarat yang penting dalam menentukan hak dan kewajiban
mereka, maka harus dipilih syarat yang paling tepat dengan keadaan tersebut.
Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menentukan syarat-syarat yang tepat,
sebagai berikut: Kehendak para pihak; Sifat dan tujuan dari kontrak; Itikad baik dan transaksi wajar;
dan Kelayakan.
Jika keinginan para pihak tidak ditentukan secara jelas, syarat yang
diajukan dapat ditentukan sesuai dengan sifat dan tujuan dari kontrak tersebut.
Hal ini dengan tetap memperhatikan prinsip itikad baik dan transaksi jujur serta
kewajaran.
11. Prinsip menghormati kontrak ketika
terjadi kesulitan (hardship)
Ketentuan tentang hardship
dibedakan dengan ketentuan tentang force
majeur. Ketentuan tentang hardship
ini tertuang dalam Section 2,
yang terdiri dari 3 (tiga) pasal. Dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT Principles
menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah
satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya
dengan tunduk pada ketentuan tentang hardship. Ketentuan ini menentukan dua hal
pokok, yaitu sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum dan perubahan
keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.[20]
Prinsip mengikatnya kontrak bagaimana pun juga bukan suatu yang absolut.
Apabila terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas
keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan yang
dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship.
Pasal 6.2.2 UNIDROIT Principles memberikan
definisi tentang peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hardship, yaitu
peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hal ini
diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai
pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu:
·
Peristiwa
itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;
·
Peristiwa
tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat
penutupan kontrak;
·
Peristiwa
terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
·
Resiko
dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
Unsur hardship tertuang dalam
Pasal 6.2.2 (a) sampai dengan (d) UNIDROIT Principles,
yaitu perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental, meningkatnya
ongkos pelaksanaan kontrak, dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang harus
diterima oleh salah satu pihak.
Menurut prinsip umum, adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi
kewajiban pelaksanaan kontrak, oleh karena itu adanya hardship tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali
perubahan itu bersifat fundamental.
Definisi hardship dalam Pasal
6.2.1 UNIDROIT Principles lebih
bersifat umum, sedangkan kontrak komersial internasional seringkali memuat
aturan yang konkret dan terperinci. Para pihak dapat saja merubah isi aturan
kontrak dalam rangka menyesuaikannya dengan keadaan khusus dari transaksi.
Akibat hukum dari peristiwa ini dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UNIDROIT Principles sebagai berikut:
·
Pihak
yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain.
Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukan dasar-dasarnya;
·
Permintaan
renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan
untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;
·
Apabila
para pihak gagal untuk mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar,
masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;
·
Apabila
pengadilan membuktikan adanya hardship
maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak pada tanggal dan
jangka waktu yang pasti, atau dapat pula mengubah kontrak untuk mengembalikan
keseimbangannya.
12. Prinsip pembebasan tanggung jawab
dalam keadaan memaksa (force majeur)
Pembahasan tentang force
majeur ini terdapat
dalam Pasal 7.1.7 UNIDROIT Principles, pasal
ini mengatur tentang keadaan memaksa dengan menyatakan antara lain, sebagai berikut:[21]
·
Force
majeur yang dilakukan
oleh salah satu pihak yang dimaafkan apabila pihak tersebut dapat membuktikan
bahwa force majeur tersebut disebabkan oleh suatu rintangan di luar
pengawasannya dan hal itu secara wajar tidak diharapkan akan terjadi;
·
Apabila
rintangan hanya bersifat sementara, maka pemberian maaf akan berakibat hukum
atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari rintangan pelaksanaan kontrak
tersebut;
·
Pihak
yang gagal melaksanakan kontrak harus memberipemberitahuan kepada pihak lainnya
tentang rintangan dan akibat terhadap kemampuannya untuk melaksanakan kontrak.
Jika pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang
wajar, setelah pihak yang gagal melaksanakan mengentahui atau seharusnya telah
mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggung jawab atas kerugian akibat dari
tidak diterimanya pemberitahuan tersebut;
·
Pasal
ini tidak mencegah salah satu pihak untuk menggunakan haknya mengakhiri
kontrak, menahan pelaksanaan kontrak, atau meminta pembayaran bunga atas uang
yang telah jatuh tempo.
[2] Taryana
Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT
sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta, 2004, hlm. 10.
[3] Bayu
Seto Hardjowahono, Kontrak-Kontrak Bisnis
Transnasional dan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, Sebuah Pembuka Wawasan, Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2006, hlm. 13
[9] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 122.
[10] Ibid., hlm. 122.
[11] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 39.
[12] Ibid., hlm. 40.
[13] Ibid, hlm. 122.
[14] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional,
op. cit., hlm. 167.
[15] http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html
diakses tanggal 30 Oktober 2009.
[17] Taryana Sunandar, op.cit., hlm. 64.
[18] Ibid., hlm. 66.
[19] Ibid., hlm. 69.
[21] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 80-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar