BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan
mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dari jenis tindak pidana dalam KUHP
terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada
pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang
mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang
hanya dituntut atas pengaduan.
Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan
atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu
dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur
dalam Pasal 75 KUHP.
Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangankan dengan
melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap
dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak
yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk
menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (yang selanjutnya disebut UUPKDRT), dimana dalam Pasal 51 dan 52 secara
tegas disebutkan bahwa : “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) adalah Delik Aduan”. Akan tetapi menarik untuk
dibahas lebih lanjut, apabila pengadu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga
setelah adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan dengan tenggang waktu masih
dalam batas Pasal 75 KUHP pada proses penyidikan ditingkat penyidik (kepolisian
yaitu POLRES Deli Serdang), namun perkara tetap dilimpahkan oleh penyidik
kepada penuntut umum.
Demikian juga pada saat perkara tersebut sampai pada tingkat
penuntut umum, pengadu juga telah mengajukan kembali pencabutan pengaduan
kepada penuntut umum (KEJARI Lubuk Pakam). Namun perkaranya juga dilimpahkan ke
pengadilan.
Bahwa walaupun pengadu telah mencabut pengaduannya
sebagaimana dimaksud diatas namun Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tetap menghukum
terdakwa (suami dari pengadu).
Mencermati putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg.:
1276/Pid.B/2007/PN.LP, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pencabutan delik
aduan (pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh seorang istri terhadap
suaminya) setelah didahului dengan perdamaian tidak menjadi pertimbangan
institusi penegak hukum yang mengakibatkan terdakwa dihukum dengan hukuman
pidana penjara 3 (tiga) bulan dan manetapkan hukuman tersebut tidak perlu
dijalani sebelum adanya perintah hakim karena terdakwa bersalah telah melakukan
suatu kesalahan dalam suatu syarat yang telah ditentukan dalam waktu 6 (enam)
bulan.
Persoalan diatas menjadi sangat bertentangan sekali dengan hukum
dan merupakan suatu tantangan untuk menguji antara teori dan praktek, serta
apakah teori tersebut sejalan dengan prakteknya.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini,
yaitu :
1. Bagaimana hubungan antara KUHP dan KUHAP dengan UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan
pengaduan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga?
3. Mengapa institusi penegak hukum melanjutkan proses penyidikan,
penuntutan bahkan sampai menjatuhkan hukuman dalam sidang antara suami istri
dalam putusan pengadilan No. Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP, padahal telah
terjadi perdamaian dan diikuti dengan pencabutan pengaduan oleh pengadu?
C. Keaslian Penulisan
Penulisan tentang permasalahan dalam hal pencabutan delik
aduan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dan akibatnya dalam peradilan
pidana dianggap asli karena sepengetahuan penulis, judul yang penulis angkat
pada skripsi ini belum pernah diteliti oleh penulis lain.
Bila dikemudian hari ternyata ada judul dan permasalahan yang
sama sebelum Skripsi ini dibuat saya bertanggung jawab sepenuhnya.
D. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Tujuan Penulisan :
a) Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara KUHP dengan UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
b) Untuk mengetahui bagaimana pencabutan atau mencabut suatu
delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan apa akibatnya apabila suatu delik
aduan tersebut dicabut
c) Untuk mengetahui apakah hal-hal tersebut yang telah
ditentukan didalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga telah sesuai dengan prakteknya.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a) Menambah ilmu pengetahuan tentang delik aduan pada umumnya
dan khususnya dalam delik aduan kekerasan dalam rumah tangga
b) Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti
dan memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi peristiwa
delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari
c) Untuk mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah
tangga didalam kehidupan masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Delik Aduan
Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami
pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk
pengertian tentang delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli tentang
itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik
perhatian kita pada satu pertanyaan yaitu apa itu delik?
Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan
lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana,
tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum
didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara
umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing sarjana menyampaikan
pengertian dan pernyataan yang berbeda pula.
Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit,
peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah
perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu
penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum.
Alasan lain adalah bahwa dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian
abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian
yang tertentu, dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian
itu(1). Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu
perbuatan pidana, maka yang paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan
dan akibat, adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si
pembuat. Dengan berpedoman pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno
akhirnya menegaskan :
1 Moeljatno, Azas-azas
Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 54. 2
Ibid., hal 56. (footnote)
1. bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan
atau tingkah laku,
2. bahwa pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan
kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi(2).
Bahwa feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja
tetapi termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau
dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana(3).
Pendapat diatas terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana sebagai
padanan kata strafbaarfeit yang diketengahkan. Pemakaian istilah ini, dinilai
kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari strafbaarfeit itu
sendiri, yakni adanya pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku.
Dengan pemisahan ini maka terlepaslah salah satu eleman dari strafbaarfeit dan
bila demikian halnya, padanan kata ini dikesampingkan.
2 Ibid., hal 56(footnote)
3 Ibid., hal
56-57.
4 P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181.
5 Van Apeldorn, Pengantar
Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal 338. (footnote)
Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit
ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya
dengan peristiwa pidana sebagai berikut : “secara harafiah perkataan
strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan
kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan”(4).
Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas
menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat(5).
Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga
perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan
membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan.
Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban
pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang
mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan yang
bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat (dader) yang
bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (unsur
subjektif)(6). Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi
pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut
perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkehandeling). Dengan kata lain,
pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana, memuat unsur melawan hukum. Di
antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana),
yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang
oleh KUHP dikualifikasi peristiwa pidana (strafbaar feit). Peristilahan
peristiwa pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit adalah cukup tepat. Ini
didasarkan pada kenyataan bahwa dari pemahaman istilah peristiwa pidana itu,
yang dapat dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan
pidana bukan saja yang berbuat, tetapi juga menyangkut mereka yang tidak
berbuat. Pemahaman itu juga sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana.
6 E. Utrecht, Pengantar
Dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989,
hal 390. 7 Samidjo, Pengantar Hukum
Indonesia, Armico, Bandung, 1985, hal 154-155. (footnote)
Peristilahan strafbaarfeit juga dapat disepadankan dengan
perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yaitu delik adalah
suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau
dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu
menurut Samidjo harus berunsurkan : adanya perbuatan manusia, parbuatan itu
bertentangan ataupun melanggar hukum, adanya unsur kesengajaan dan atau
kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik
adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan oleh manusia
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh
suatu delik adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan
oleh manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, secara tidak langsung, perumusan ini telah
mengesampingkan penerjemahan istilah strafbaarfeit oleh Lamintang dengan
mengutip pendapat Van der Hoeven berikut ini : “Van der Hoeven tidak setuju
apabila perkataan strafbaarfeit itu harus diterjemahkan dengan perkataan
perbuatan yang dapat dihukum, oleh karena yang dapat dihukum itu hanyalah
manusia dan bukan perbuatan”(8). Dari beberapa pendapat pakar dan istilah
strafbaarfeit itu, umumnya masing-masing pengertian itu mengandung elemen yang
jelas tentang suatu kelakuan atau perbuatan yang pada prinsipnya adalah suatu
strafbaarfeit dan dengan sendirinya dapat dihukum. Karenanya, terhadap setiap
kelakuan atau perbuatan itu dapat dikenai sanksi pidana (atas pelakunya); hanya
pelaku yang melakukan (termasuk juga mereka yang menyuruh, menggerakkan dan
membantu), kelakuan atau perbuatan tertentu (terkualifisir) yang pada akhirnya
dapat dihukum
8 P. A. F Lamintang, op.
cit., hal 192.
Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga
mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan
punya cirri khusus dan kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”. Lazimnya,
setiap delik timbul, menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa ada
permintaan yang tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang
dirugikan. Dalam delik aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang
dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut
Umum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada
memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian
dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar
dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini:
1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah
suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan
penuntutan.
2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir
semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik
aduan(9).
3. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti
ini disebut Klacht Delicten(10).
9 R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87.
10 P. A. F. Lamintang, op.
cit., hal 217.
Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat
dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka
disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik,
delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak
yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Dari beberapa pendapat diatas
walaupun dirasa sudah menggambarkan secara jelas bagaimana karakter serta sifat
hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit
kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal “penuntutan”. Tegasnya para pakar
tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penggunaan asas opportunitas dalam
defenisi yang mereka kemukakan. Jadi walaupun hak pengaduan untuk penuntutan
perkara ada pada si korban. Pada akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah
semata-mata digantungkan kepada Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna
apabila defenisi tentang delik aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas
opportunitas karena dalam hal penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu
dipertimbangkan pemberlakuannya. Delik aduan (Klacht Delicten) ini
adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan
perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan
sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan
dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.
Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons
yang dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam
beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan
khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan
umum dengan tidak menuntutnya”(11).
11 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa,
Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.
Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan
pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau
pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan
perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan
ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya
(contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau
kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut
perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si
korban atau pihak yang dirugikan. Bila keberadaan asas opportunitas tidak
diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si
korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan
diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku.
Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang
diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan
pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak
opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam
suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum
kembali diberlakukan. Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni
“delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu
“delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa
Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana.
Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang
oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang
melanggar larangan tersebut(12) . Ia juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau
sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti
12 Wantjik Saleh, Tindak
Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal 10.
bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan
yang dianggap baik dan adil.
Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran
teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif,
yakni suatu ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang)
tentang peristiwa pidana itu(13). Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa
pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan
karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Dalam gambaran
menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan
dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu
kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan
diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan
diancam dengan hukuman. Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah :
13 E. Utrecht, Hukum
Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.
14 Ibid,.
1) Suatu kelakuan manusia
2) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan
perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman(14).
Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah
pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak
pidana aduan diambil tindakan menurut hukum(15) .
Universitas Sumatera Utara 21
15 Soesilo Yuwono, Penyelesaian
Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung,
1982, hal 50.
16 Satochid
Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur
Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154.
Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai
berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan
(klacht) (16).
2. Jenis-Jenis Delik Aduan
Gerson W. Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian
yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid
membedakannya atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten)
dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli
tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu :
a) Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)
b) Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)
Ad. a) Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute
Klachtdelicten) Delik aduan
absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang untuk
penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Sifat pengaduan dalam delik
aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak
boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan
kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini
dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut
peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini
dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak
akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan
tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat
atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak
membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak.
Larangan ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang
kejahatan-kejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B,
mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia
berzina dengan C. Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B
mengampuni akan tetapi ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C
dituntut lantaran perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak
karena menurut Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut,
jadi A hanya boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus
yang turut campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya
baru dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan
menyerahkan kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut
yang diatur dalam KUHP, yaitu :
1. Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur
dalam Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan”
(verkrachting), Pasal 293 tentang “perbuatan cabul” (ontucht),
didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus
dilakukan pengaduan.
2. Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang
“menista” (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315
tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige belediging), Pasal 316
(penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang
sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319,
tidak diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa
kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan
pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari
ketentuan delik aduan itu sendiri).
3. Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen),
yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan
penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam
ayat terakhir dari kedua pasal itu.
4. Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam
Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk
mengadakan penuntutan.
Selain kejahatan-kejahatan aduan absolut yang diatur didalam
KUHP, diluar KUHP terdapat juga pengaturan mengenai kejahatan aduan tersebut,
seperti: kekerasan dalam rumah tangga yang diatur didalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Pasal 51-53
menentukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk kedalam
delik aduan. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut, yaitu :
1. Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 51 jo Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT.
Menurut Pasal 6 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 52 jo Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT.
Menurut Pasal 7 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis, berat pada
seseorang.
3. Tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
Dengan ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah
tangga tersebut sebagai delik aduan, pembentuk undang-undang (Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) telah mengakui adanya unsur
privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Ad. b) Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)
Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu
yang guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam
hal ini hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara
si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara
si pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis
lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang
(saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu)
atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik
aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu :
1. Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),
2. Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut
“pencurian di dalam lingkungan keluarga”,
3. Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan
dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui
rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A
dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka.
OLeh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,
4. Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan
yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,
5. Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang
dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.
Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan
pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam
pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan,
maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak
dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat
dipecah-pecah (splitsbaar).
Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu,
penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka
kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian
pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan
preventif.
Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk
kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu
diajukan secara lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan
pengaduan. Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya
kejahatan-kejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga(17),
yaitu :
17 Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hal 205.
18 E.
Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 257.
1. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah
menghadapkan orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang
sangat erat dan dalam sidang pengadilan,
2. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di
dalam suatu keluarga antara pasangan suami istri dan istri ada semacam
condominium.
Baik delik aduan absolut maupun delik aduan relatif yang
sering disebut aduan saja, dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan pihak
yang dirugikan dari pada kepentingan penuntutan. Dengan kata lain pembuat
undang-undang memberikan penghargaan kepada pihak yang dirugikan dan kesempatan
untuk mengadakan pilihan, apakah ia bermaksud untuk mengajukan pengaduan atau
mendiamkan persoalan, misalnya demi untuk nama baik keluarga ataupun mungkin
untuk menyimpan sebagai rahasia yang tidak perlu diketahui orang banyak.
Menurut Utrecht alasan satu-satunya pembentuk undang-undang
untuk menetapkan suatu delik aduan adalah pertimbangan bahwa dalam beberapa hal
tertentu pentingnya bagi yang dirugikan supaya perkaranya tidak dituntut adalah
lebih besar dari pada pentingnya bagi negara supaya perkara itu dituntut(18).
Konsekuensi yuridis dari penentuan tersebut adalah aparat penegak hukum tidak
dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku, meskipun mereka
mengetahui bahwa tindak pidana telah terjadi, jika korban dari tindak pidana
tersebut melakukan pengaduan.
3. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Membicarakan masalah kekerasan dalam rumah tangga berarti
mengingatkan kita pada gambaran dan fenomena istri yang teraniaya atau
terlantar karena tindakan suami yang sewenang-wenang. Pada prinsipnya kekerasan
dalam rumah tangga ini merupakan suatu fenomena pelanggaran hak asasi manusia,
sehingga masalah ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi, khususnya
terhadap perempuan. Sebelum menguraikan pengertian kekerasan dalam rumah
tangga, terlebih dahulu dijelaskan beberapa definisi tentang kekerasan. Kata
“kekerasan” bukanlah sesuatu yang asing maupun hal baru. Sejarah peradaban
manusia sendiri tidak pernah lepas dari kekerasan, seperti yang dilihat dan
dirasakan baik dimasa lalu maupun masa sekarang. Kata “kekerasan” merupakan
terjemahan dari bahasa latin yaitu violentia, yang berarti kekerasan;
keganasan; kehebatan; kesengitan; kebengisan; kedahsyatan; kegarangan; aniaya;
perkosaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti “kekerasan” adalah :
1. Perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain,
2. Paksaan(19).
19 W. J. S
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, edisi 3
Jakarta. 2002.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, kekerasan
ialah perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain. Sedangkan Kamus Webster mendefinisikan kekerasan
sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai atau menganiaya, perlakuan atau
prosedur yang kasar serta keras. Dilukai oleh atau terluka dikarenakan
penyimpangan, pelanggaran atau perkataan tidak senonoh atau kejam. Sesuatu yang
kuat, bergejolak atau hebat dan cenderung menghancurkan atau memaksa. Perasaan
atau ekspresi yang berapi-api, juga termasuk hal-hal yang ditimbulkan dari aksi
atau perasaan tersebut suatu bentrokan atau kerusuhan.
Menurut KUHP dalam Pasal 89 disebutkan bahwa “yang disamakan
melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi
(lemah)”. Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil secara yang tidak syah, misalnya memukul dengan tangan atau
dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan
dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan
atau tidak berdaya. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya,
umpamanya memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya
tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang
terjadi akan dirinya. Sedangkan tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan
atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikit
pun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar,
memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu
masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Perlu dicatat disini
bahwa mengancam orang dengan akan membuat itu pingsan atau tidak berdaya itu
tidak boleh disamakan dengan mengancam dengan kekerasan, sebab dalam pasal ini
hanya mengatakan tentang melakukan kekerasan, bukan membicarakan tentang
kekerasan atau ancaman kekerasan.
Untuk lebih jelasnya, pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
sebagai berikut :
a. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
b. Menurut Pendapat Para Sarjana
Menurut Nettler, bahwa kejahatan kekerasan (violent crime)
adalah suatu peristiwa seseorang dengan sengaja melukai fisik atau mengancam
untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, baik dalam bentuk
penganiayaan, perampokan, perkosaan, pembunuhan maupun intimidasi lainnya.
Salah seorang pakar kriminologi Soerdjono Soekanto
mendefinisikan kejahatan kekerasan (violence) yaitu : “istilah yang
dipergunakan bagi terjadinya cedera mental atau fisik, yang merupakan bagian
dari proses kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan, sehingga jarang disebut
sebagai kekerasan“. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu
mengenai tingkah laku yang dianggap keras dan tidak semakin sedikit terjadinya
kekerasan dalam suatu masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila itu
terjadi(20).
20 Soerjono
Soekanto dan Pudji Santoso, Kamus Kriminologi, Bhalia Indonesia,
Jakarta, 1985, hal 104.
Lain halnya defenisi kejahatan kekerasan yang dikemukakan
oleh Harkristuti Harkrisnowa, bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap
kekerasan yang diarahkan kepada perempuan hanya karena mereka perempuan(21).
Sedangkan menurut Rumusan Konferensi Perempuan Sedunia TV di Beijing 1995,
istilah kekerasan terhadap perempuan (violence against women) diartikan
sebagai kekerasan yang dilakukan berdasarkan gender (gender-based violence).
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa pakar diatas, menunjukkan
bahwa kejahatan kekerasan dalam rumah tangga berhubungan dengan ibu rumah
tangga atau isteri sebagai korban, yang harus mengikuti kehendak dan kemauan
suami secara sepihak. Dalam Literatur Barat pada umumnya istilah kekerasan
dalam rumah tangga dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic
violence, family violence, wife abuse, marital violence, namun pada intinya
menyamakan bahwa tindak kekerasan selalu dialami oleh perempuan sebagai korban,
seperti tindakan pemukulan, menampar, menyiksa, memnganiaya, ataupun pelemparan
benda-benda kepada korban. Istilah kekerasan dalam rumah tangga ini pada bentuk
kekerasan yang berhubungan antara suami dan istri yang salah satu diantaranya
bisa menjadi pelaku atau korban (istri, anak maupun pasangan).
21
Harkristuti Harkrisnowa, Wajah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di
Indonesia, Makalah pada Semiloka Nasional Mengenai Kemitraan Pemerintah dan LSM
dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan,
diselenggarakan Menperta, beberapa LSM dan Organisasi Internasional di Jakata,
26-27 Januari 1999.
Dari semua pendapat para sarjana tersebut diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang
berakibat suatu penderitaan secara fisik, seksual maupun psikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah
tangga atau personal.
4. Sistem Peradilan Pidana
Secara sederhana sistem peradilan pidana (Criminal Justice
System) dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab
pertanyaan, apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana
hukum pidana didalam undang-undang dan bagaimana hakim menerapkannya(22).
22 Pertus
Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif
Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, 1995, hal 54.
23 Muladi, Kapita
Selekta Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995, hal 13-14.
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna
dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi
stuktural (structural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial
syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural
syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan
keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam
kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi
substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik vertical maupun
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang
sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya sistem peradilan pidana(23).
Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sistem ini
mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan dari masyarakat (delik aduan),
maupun pada saat-saat adanya perbuatan yang menyimpang dari kacamata hukum
pidana Indonesia yang mana atas perbuatan tersebut pemerintah melalui Jaksa
Penuntut Umum berkewajiban untuk menuntutnya melalui proses peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai “the network of courts and
tribunals which deal with criminal law and its enforcement” (suatu jaringan
proses peradilan dan persidangan yang saling mendukung dalam hukum pidana dan
penegakannya) (24).
24 Ibid,
hal 15.
25 Ibid,
hal 81-86.
Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam
konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang
terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system,
dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama
lain dalam ketergantungan(25). Sebagai suatu jaringan (network)
peradilan, sistem peradilan pidana menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaannya. Peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan
pidana, adalah sangat penting. Perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan
pada pengambilan kebijakan dan memberikan kerangka hukum untuk memformulasikan
kebijakan dan penjatuhan pidana. Hal ini merupakan bagian dari politik hukum,
yang pada hakekatnya berfungsi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu :
1. Politik tentang pembentukan hukum;
2. Politik tentang penegakan hukum;
3. Politik tentang pelaksanaan kewenangan
Secara operasional, perundang-undangan pidana mempunyai
kedudukan strategis terhadap sistem peradilan pidana, dimana perundang-undangan
tersebut telah memberikan defenisi tentang perbuatan-perbuatan apa yang
dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, serta memberikan batasan tentang pidana
yang dapat diterapkan untuk setiap kejahatan. Dengan kata lain,
perundang-undangan pidana menciptakan “legislated environment”
(lingkungan perundang-undangan) yang mengatur segala prosedur dan tata cara
yang harus dipatuhi didalam sistem peradilan pidana.
Ada beberapa sub sistem yang tergantung didalam sistem
peradilan pidana, yang masing-masing sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang
tersendiri pula. Namun demikian, pada dasarnya tujuan akhir pada masing-masing
sub sistem tersebut adalah sama yaitu “penanggulangan Kejahatan”. Untuk
mencapai tujuan yang sama inilah mangharuskan sub-sub sistem ini untuk saling
koordinasi dan bekerja sama didalam proses kerjanya. Suatu sub sistem harus
memperhitungkan sub sistem yang lainnya didalam proses peradilan.
Sistem peradilan pidana mengandung gerak sistematis dari
masing-masing sub sistem yang mendukungnya, yang secara keseluruhan merupakan
satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi
keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana. Keterpaduan
garis sistematis sub-sub sistem peradilan pidana dalam proses penegakkan hukum,
tentunya sangat diharapkan dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya, salah satu
indicator keterpaduan sistem peradilan pidana ini adalah “sinkronisasi”
pelaksanaan penegakan hukum guna mencapai tujuan penanggulangan kejahatan
didalam masyarakat. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, diharapkan akan
mampu menanggulangi kejahatan. Apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan
oleh anggota masyarakat tersebut kedalam salah satu sub sistem dari sistem
peradilan pidana, maka belum tentu ia akan menjalani semua sub sistem. Hal ini
wajar adanya, sebab dianutnya asas praduga tak bersalah atau asas presumption
of innocence sebagaimana yang terkandung dalam KUHAP. Asas
Universitas Sumatera Utara 34
praduga tak bersalah ini membuka peluang bagi anggota masyarakat
yang diduga melakukan kesalahan tersebut untuk keluar dari sub sistem yang
tergabung dalam sistem peradilan pidana. Adapun peluang untuk keluar dari sub
sistem tersebut, dapat saja terjadi seperti pada skema berikut ini :
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan.
Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif
yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasi hukum dengan cara
meneliti aturan, norma-norma hukum(27). Norma-norma hukum itu yang berkaitan
dengan pencabutan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan akibat hukumnya
bagi peradilan pidana.
27
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kepolisian Resot (Polres) Deli
Serdang khususnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim,
Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
3. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini sumber data yang digunakan adalah
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data Primer yaitu data-data yang diperoleh langsung dari
sumber pertama, seperti wawancara, questioner/angket, pengamatan (observasi)
baik secara partisipatif maupun non partisipatif. Data-data dalam skripsi ini
diperoleh melalui teknik wawancara dengan pihak Polres Deli Serdang di Lubuk
Pakam, Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari sumber
kedua antara lain mencakup dokumen-dokemen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian dan sebagainya.Data sekunder dibagi atas beberapa bahan hukum, yaitu
:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
seperti data dalam penulisan skripsi ini diantaranya UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan
topik permasalahan yang dibahas.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-ndang,
hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar. bahan-bahan yang dipakai dalam
skripsi ini adalah mengenai masalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
seperti makalah, seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopedia. 4. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang diperlukan dalam
penulisan skripsi ini yaitu dilakukan dengan jalan Penelitian Kepustakaan (Library
Research) yang merupakan cara untuk memperoleh data-data teoritis yang
relevan melalui literature seperti undang-undang, buku, majalah ilmiah,
laporan-laporan penelitian dan koran-koran (media massa) yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas(28)dan Penelitian Lapangan (Field Research),
yaitu cara untuk memperoleh data langsung ke objek penelitian. Dalam hal ini
berupa hasil wawancara dengan pihak Polres Deli Serdang, Kejari Lubuk Pakam,
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dan berkas perkara diperoleh di Pengadilan Negeri
Lubuk Pakam.
28 Ibid.,
hal 68-70.
G. Sistematika Penulisan
Sitematika penyusunan skripsi ini tertuang dalam lima (5)
bagian yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan,
dan di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran
mengenai skripsi ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara
garis besar sebagai berikut:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang sisnya antara
lain memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang terdiri dari
pengertian delik aduan, jenis-jenis delik aduan, pengertian kekerasan dalam
rumah tangga, sistem peradilan, metode penulisan, sistematika penulisan.
Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai hubungan antara
KUHP dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga. Bagian-bagian yang diuraikan, yaitu : ketentuan umum KUHP dalam UU No.
23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, proses
penyidikan kasus kekerasan dalam rumah tangga, pembuktian delik kekerasan dalam
rumah tangga.
Bab III : Dalam bab ini diuraikan mengenai pencabutan delik
aduan kekerasan dalam rumah tangga dan akibatnya dalam peradilan pidana.
Bagian-bagian yang diuraikan, yaitu : pihak-pihak yang berhak mengadukan dan
mencabut dalik aduan kekerasan dalam rumah tangga dimana hal tersebut terbagi
atas pihak yang berhak mengadukan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan
pihak yang berhak mencabut delik aduan kekerasan dalam rumah tangga, bentuk /
format pencabutan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga, akibat pencabutan
delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dalam peradilan pidana.
Bab IV : Dalam bab ini diulas mengenai kasus dan analisa
kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg. :
1276/Pid.B/2007?PN.LP
Bab V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai penutup
yang berisi kesimpulan dan saran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar