Data
dari International Organization for Migration (IOM) mencatat hingga April 2006
bahwa jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus,
dengan rinciannya: 88,6 persen korbannya adalah perempuan, 52 persen
dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur.
Modus tindak pidana trafficking sangat beragam, mulai dari dijanjikan
pekerjaan, penculikan korban, menolong wanita yang melahirkan, penyelundupan
bayi, hingga memperkejakan sebagai PSK komersil. Umumnya para korban baru
menyadari bahwa dirinya merupakan korban trafficking setelah tidak mendapatkan
perlakuan yang tidak manusiawi, alias dieksploitasi di negeri rantau.
DEFINISI HUMAN TRAFFICKING
perdagangan manusia adalah
perdagangan dan perdagangan dalam gerakan atau migrasi masyarakat, hukum dan
ilegal, termasuk tenaga kerja baik sah kegiatan serta kerja paksa.
- perikritan
- perekrutan
- pengiriman
- pemindah-tanganan
- penampungan atau penerimaan orang
Yang dilakukan dengan ancaman,
atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainya, seperti:
- penculikan
- muslihat atau tipu daya
- penyalahgunaan kekuasaan
- penyalahgunaan posisi rawan
- menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.
Istilah ini digunakan dalam arti
yang lebih sempit oleh kelompok advokasi untuk;
- perekrutan,
- transportasi,
- penampungan,
- atau penadahan manusia korban perdagangan
Tujuan perdagangan manusia antara
lain:
- Perbudakan
- Pelacuran
- Kerja paksa (termasuk tenaga kerja atau disimpan dalam gudang hutang, yaitu dimana seseorang dipaksa untuk melunasi pinjaman dengan tenaga kerja secara langsung melalui jangka waktu yang tidak jelas/janggal. Dalam masa melunasi hutang, para pekerja dipaksa/terpaksa terperangkap dalam hutang yang lebih besar. Bisa jadi terperangkap hutang akibat judi, obat-obatan atau bahkan hingga yang pokok seperti pakaian atau makanan. Ketika pekerja yang berhutang tersebut tidak mampu membayar, mereka dipaksa untuk membayar dan terperangkap dalam kerja paksa yang disebut gudang hutang.)
- Jasa-jasa
UNODC, United Nations Office on Drugs and
Crime (Bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas
menangani Kejahatan dan Obat Bius) mendefinisikan perdagangan manusia sesuai
dengan Lampiran II, Ketentuan Umum, Pasal 3, Ayat (a) [1] dari Protocol to Prevent, Suppress and
Punish Trafficking in Persons (Protokol untuk Mencegah, Menekan dan
Menghukum Perdagangan Manusia) perdagangan manusia sebagai “rekrutmen,
transportasi, transfer, menadah atau menerima manusia, dengan cara ancaman atau
penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, dari penculikan, dari
penipuan, dari kecurangan, dari penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan
atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai
persetujuan dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang lain, untuk tujuan
eksploitasi
Lebih
tegas menurut Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) pasal 1 ayat 1, definisi trafficking (perdagangan orang) adalah:
“tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Ada
tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian trafficking di atas.
Pertama, elemen perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut, memindahkan,
menyembunyikan, atau meneirma. Kedua, elemen sarana (cara) untuk mengendalikan
korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan
atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya, yang
meliputi: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi
seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ
tubuh (Harkristuti Harkrisnowo dikutip dalam www.menkokesra.go.id).
Modus
operandi dari tindak pidana trafficking adalah sebagai berikut: (1) merekrut
calon pekerja wanita 16-25 tahun; (2) dijanjikan bekerja di restoran, salon
kecantikan, karyawan hotel, pabrik dengan gaji RM 500 s/d RM 1.000; (3)
identitas dipalsukan; (4) biaya administrasi, transportasi, dan akomodasi
ditipu oleh pihak agen; (5) tanpa ada calling visa atau working permit atau
menggunakan visa kunjungan singkat; (6) putusnya jaringan; dan (7) korban
dijual, disekap, dan dipekerjakan sebagai PSK. Modus yang terakhir sering
sekali terjadi. Sedangkan jalur masuk sindikat trafficking adalah sebagai
berikut: (1) Medan-Penang/Ipoh-Kuala Lumpur (menurut laporan KBRI di Kuala
Lumpur: tertangkap 3 sindikat berjumlah 6 orang dan sudah divonis Pengadilan
Negeri Medan dan Tebing Tinggi); (2) T. Pinang/Batam-Staling Laut/Tg.
Belungkor-Kuala Lumpur (1 sindikat, 5 orang, sudah divonis Pengadilan Tanjung
Pinang); (3) Jakarta-Pontianak-Entikong-Kuching-Kuala Lumpur (tertangkap 1
sindikat, 6 orang (Rizal Cs) proses hukum dilakukan di Pengadilan Negeri
Jakarta); dan (4) Nunukan-Tawau-Kota Kinabalu (www.kbrikl.org.my).
Kasus
perdagangan perempuan dengan modus pelacuran di luar negeri adalah kasus yang
paling umum terjadi. Bahkan, menurut data yang ada fenomena ini makin meningkat
dari tahun ke tahun. Menurut laporan Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (Menko Kesra) tercatat sepanjang tahun 2005 saja ada 700 perempuan
Indonesia telah dijadikan budak seks di negeri orang (www.bkkbn.go.id).
Jumlah itu diperkirakan terus meningkat jika penanganannya tidak diatasi secara
serius[1].
Perkembangan
definisi “trafficking”
Dewasa ini,
kata “trafficking” didefinisikan secara bervariasi oleh badan-badan
internasional dan nasional, baik badan antar-pemerintah maupun non-pemerintah.
Dalam Human
Rights Workshop yang diselenggarakan oleh GAATW pada bulan Juni 1996, para
peserta mencoba mengidentifikasi beberapa aspek dalam “trafficking”. Ada tiga
elemen yang didiskusikan, sebagai berikut:
-
Pertama menyangkut “consent”.
Pertanyaan pokoknya ialah apakah keberadaan atau ketiadaan consent—misalnya
akibat penipuan, paksaan, ancaman, ketidaan informasi, ketiadaan kapasitas
legal untuk bisa memberikan persetujuan—perlu diperhitungkan bagi terjadinya
trafficking?
-
Kedua menyangkut tujuan migrasi.
Pertanyaannya ialah apakah hanya migrasi untuk prostitusi yang bisa
diklasifikan sebagai trafficking, atau apakah termasuk juga jenis kerja
eksploitatif lainnya.
-
Ketiga menyangkut perlu
tidaknya garis perbatasan dilewati. Apakah definisi trafficking hanya
diberlakukan khusus bagi kasus penyeberangan perbatasan?
Secara umum, disepakati bahwa “consent” perlu menjadi elemen kunci yang harus diperhitungkan bagi terjadinya trafficking; bahwa trafficking tidak selalu untuk prostitusi; dan bahwa perbatasan internasional tidak perlu dilewati.
Secara umum, disepakati bahwa “consent” perlu menjadi elemen kunci yang harus diperhitungkan bagi terjadinya trafficking; bahwa trafficking tidak selalu untuk prostitusi; dan bahwa perbatasan internasional tidak perlu dilewati.
Jika elemen
“consent” diperhitungkan, maka sebagai konsekuensinya, berbagai situasi
“trafficking” yang disetujui oleh “korban” harus dikecualikan. Implikasinya,
tidak semua pekerja migran bisa dikualifikasikan sebagai korban trafficking,
terutama mereka yang tidak menjadi korban penipuan, paksaan, ancaman, atau
kekurangan informasi atas situasi pekerjaan yang hendak mereka jalani. Begitu
pula, pekerja seks yang memang secara sadar memilih prostitusi sebagai profesi
tidak bisa dikualifikasikan kedalam kategori trafficking.
Menyangkut
tidak perlunya garis perbatasan dilewati, beberapa argumen menyatakan bahwa
trafficking pada dasarnya sudah terjadi jika transportasi dimaksudkan oleh
trafficker untuk tujuan mengeksploitir tenaga kerja (atau jasa) dari mereka
yang diperdagangkan. Disinilah letak perbedaan antara “trafficking” dengan
“smuggling” (penyelundupan). Dalam kasus “smuggling”, harus terkandung unsur
ilegalitas transportasi dan harus melewati tapal batas negara, sementara mereka
yang menyelundupkan manusia pada kenyataannya tidak mengambil keuntungan dari
eksploitasi tenaga kerja setelah mereka berhasil diselundupkan.
Ada empat
perjanjian internasional menyangkut trafficking yang dikembangkan pada awal
abad duapuluh, yakni:
1.
1904 — International Agreement
for the Suppression of the White Slave Traffic (Persetujuan Internasional bagi
Penghapusan Perdagangan Pelacur),
2.
1910 — International Convention
for the Suppression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional bagi Penghapusan
Perdagangan Pelacur),
3.
1921 — International Convention
for the Suppression of Traffic in Women and Children (Konvensi Internasional
bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak), dan
4.
1933 — International Convention
for the Suppression of Traffic in Women of Full Age (Konvensi Internasional
bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa).
Keempat
konvensi menyangkut perdagangan manusia tersebut semuanya merujuk pada
perpindahan (movement) manusia — umumnya perempuan dan anak perempuan — secara
lintas batas negara dan untuk tujuan prostitusi.
Hak
asasi manusia dan “trafficking”
Walaupun
keempat konvensi awal menyangkut “trafficking” diatas dikategorikan sebagai
konvensi HAM, namun semuanya sebenarnya berfokus pada kepedulian untuk
memberantas pergerakan pelacuran antar batas negara. Sedangkan hak asasi dari
mereka yang menjadi korban trafficking tidak menjadi perhatian utama.
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 meletakkan dasar bagi perlindungan
terhadap HAM. Dinyatakan dalam Deklarasi (Ps. 3&4) bahwa “setiap orang
berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan perseorangan” dan bahwa “tak
seorangpun akan diperlakukan sebagai budak atau hamba sahaya; perbudakan dan
perdagangan budak dalam segala bentuknya akan dilarang.”
Pada tahun berikutnya,
1949, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the
Exploitation of the Prostitution of Others (Konvensi Penghapusan
Perdagangan Manusia dan Eksploitasi atas Pelacur) disetujui oleh Majelis Umum
PBB. Konvensi ini sebenarnya menggabungkan 4 konvensi mengenai perdagangan
perempuan dan anak-anak yang telah disetujui pada masa sebelumnya.
Sekalipun
demikian, Konvensi 1949 ini masih mengabaikan elemen “consent”, sebagaimana
ditunjukkan pada rumusan pasal 1 yang mewajibkan Negara Peserta untuk menghukum
siapapun yang membeli, membujuk atau menjerumuskan orang lain kedalam
pelacuran, bahkan jika yang bersangkutan menyetujuinya; atau yang melakukan
eksploitasi atas pemelacuran orang lain, bahkan bila yang bersangkutan
menyetujuinya.
Diadopsinya Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada
tahun 1979 sebagai salah satu dari empat instrumen HAM PBB yang utama, memberi
unsur baru dalam wacana “trafficking”.
Walaupun CEDAW
tidak memberikan definisi mengenai “trafficking”, namun Komite yang dibentuk
berdasarkan pakta ini mengehendaki pemerintah agar memberikan penjelasan
menyangkut masalah prostitusi dan “hak” kaum perempuan dalam konteks tersebut.
Elemen “hak”
berhubungan dengan masalah “consent”, persetujuan yang diberikan secara sadar.
(Dalam Fowler & Fowler (ed), The Concise Oxford Dictionary of Current
English, Oxford University Press, 1964; consent diartikan sebagai voluntary
agreement/ compliance/ permission).[2]
KASUS TKI DIBAWAH UMUR
1. MEDAN
- Sebuah asrama tempat penampungan penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di
Jalan Tanjung Dua Blok III, No 145, Kecamatan Medan Helvetia, digerebek pihak
kepolisian Polsekta Medan Helvetia. Penggerebekan itu dilakukan polisi, setelah
mendapat laporan dari angoota keluarga salah satu korban wanita yang masih di
bawah umur yang akan diberangkatkan ke Luar Negeri. Dari hasil penggerebekan,
polisi mengamankan tiga wanita di bawah umur, beserta seorang pengelola asrama
tempat penampungan TKI tersebut. Awalnya, ibu korban J. Simanjuntak (50) warga
Jalan Binjai, ingin menjemput putrinya Yanti Hartati Tambunan (16) di kantor
penyelarun TKI, PT Anugerah Diantas Jalan Listrik No 3 Medan. Namun tidak
diperbolehkan, dengan alasan tidak masuk akal. Merasa keberatan, akhirnya ibu
korban melaporkan hal ini ke Polsekta Helvetia Medan. Mendapat informasi ini,
polisi langsung turun ke lokasi, tempat penampungan para calon TKI di bawah
umur yang diduga melakukan pemalsuan data dari para calon TKI. Di lokasi, pihak
kepolisian berhasil mengamankan tiga cewek di bawah umur yang akan
diberangkatkan ke luar negri antara lain, Rianti Nanda Boru Tambunan (16) yang
telah di samarkan menjadi Yanti Hartati Tambunan (24) warga Jalan Binjai Km 12,
Agnes (18) warga Jalan Binjai Km 12, dan Irna (18) warga Jalan Karya beserta
Yeni Boru Munte (36) sebagai pegelolah asramah penampungan calon TKI
tersebut. Saat berada di Polsekta Helvet, Yeni mengaku hanya sebagai
pengelola tempat penampungan yang dipimpin oleh wanita berama Elis alias
Maya. Dirinya mengaku tidak mengetahui secara pasti perihal identitas resmi
para calon TKI yang berada di penampungan dan hanya sebagai staf
pengawas. J Simanjuntak, orangtua Rianti Nanda Boru Tambunan, yang didampingi
paman korban bernama Luhut Simanjuntak (45) mengatakan, anak mereka telah tiga
minggu meninggakan rumah dan tidak mengetahui bahwa anaknya secara tiba-tiba
sudah berada di tempat penampungan calon TKI. J Simanjuntak juga mengatakan,
dirinya mengetahui keberadaan anaknya setelah ditelepon oleh anaknya yang tidak
diperbolehkan pulang dari tempat penampungan tersebut. Setelah mencoba
menjemput anaknya, dirinya juga dihalangi oleh pihak perusahan untuk membawa
anaknya dengan alasan yang tidak jelas, hingga akhirnya permasalahan itu
dilaporkan oleh keluarga ke pihak kepolisian yang langsung merespon laporan
tersebut. Kanit Reskrim Polsekta Medan Helvetia, AKP Zulkifli Harahap saat
dikonfirmasi malam ini, mengatakan penggerebekan dilakukan oleh timya setelah
mendapatkan laporan dari salah satu orangtua calon TKI di bawah umur.[3]
2. Berdasarkan
data yang dimiliki oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
(BPPKB) Jawa Barat, sebanyak 143 orang menjadi korban penjualan manusia yang
berasal dari Jawa Barat. Jumlah ini diperoleh dari data BPPKB sejak akhir 2009.[4]
3. Sepanjang
2011, tercatat 19 kasus kejahatan penyelundupan (people smuggling) dan
perdagangan manusia (human trafickking) ditangani Polda Jabar. "Dari 19
kasus ini, 12 perkara sudah masuk tahap penyidikan, 6 perkara sudah P21
(lengkap). Sedangkan 1 perkara lainnya SP3 (dibatalkan)," kata Kapolda
Jabar Irjen Putut Eko Bayu Seno kepada para wartawan saat kunjungan kerja di
Polres Sukabumi Kota, Selasa (18/10/2011). Menurut Putut, dalam mengantisipasi
kejahatan internasional atau transnasional, dan organization crime (TOC),
pihaknya terus melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga seperti Kantor
Imigrasi dan pemerintah daerah (Pemda). Sedangkan untuk pengawasan di perairan
laut, pihaknya menugaskan Polisi Perairan (Polair) di berbagai wilayah yang dinilai
rawan penyelundupan manusia, seperti perairan Sukabumi dan Cianjur. Kasus
penyelundupan manusia terakhir, terjadi di wilayah Sukabumi dengan
tertangkapnya 44 imigran ilegal asal Irak dan Iran pada Selasa (4/10/2011)
lalu. Mereka rencananya akan menyeberang ke Pulau Christmas melalui Pantai
Palabuhanratu.[5]
4. Sebanyak dua puluh calon tenaga
kerja dibawah umur asal Jawa dan Lampung berhasil digagalkan pihak kepolisian
Polda Kepri sesaat hendak berangkat di Bandara Hang Nadim Batam, para calon TKI
ini kemudian dibawa ke Poltabes guna pemeriksaan. Dari pendatang petugas 20
calon TKI ini rencananya akan diberangkatkan ke Singapura dan Malaysia. Rata -
rata calon TKI ini berumur berkisar antara 16 - 22 tahun. Rencananya disana
mereka akan diperkerjakan sebagai pelayan dan pembantu. Polisi masih
menyelidiki PJTKI yang memberangkatkan mereka. Menurut Wiarso, polisi
menggagalkan keberangkatan 20 calon tenaga kerja ini karena masih dibawah umur.
Diduga terjadi penjualan manusia (trafficking) sedangkan surat - surat dan
pasport mereka masih dalam pemeriksaan petugas lebih lanjut. Polisi belum
menetapkan tersangka terhadap PJTKI yang memberangkatkan mereka. Untuk
sementara pada calon TKI ini rencananya akan diserahkan ke Dinas Sosial Pemko
Batam sebelum di pulangkan ke daerah masing - masing.[6]
5. Senin
(04/07/11), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
atau BNP2TKI kembali menggrebeg tempat penampungan TKI di kawasan Condet –
Jakarta Timur. Di tempat ini, petugas menemukan puluhan tenaga kerja dibawah
umur yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi.
Fitri, calon TKW ini, jatuh pingsan saat petugas dari Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Senin sore,
menggrebek tempat penampungan TKI, milik PT Tritama Megah Abadi, di Jalan Batu
Ampar Dua, Condet, Jakarta Timur. Ditempat
ini, petugas menemukan ratusan TKW yang hendak diberangkatkan ke Arab Saudi.
Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara
Barat. Usai dilakukan pendataan, petugas
menemukan tiga puluh tujuh TKW bermasalah seperti di bawah umur, buta huruf.
Dokumen mereka ditemukan palsu. Mereka disembunyikan dalam sebuah ruangan di
lantai dua. Penggerebekan dilakukan setelah petugas BNP2TKI menemukan tiga TKW
dibawah umur yang hendak diberangkatkan ke luar negeri, di Bandara
Soekarno-Hatta. Ketiganya diketahui berasal dari PT Tritama Megah Abadi ini. Para
calon TKI yang masih dibawah umur ini mengaku, mereka bekerja ke Arab Saudi
adalah keinginan mereka sendiri, namun untuk urusan manipulasi data, mereka
serahkan ke sponsor mereka. Petugas selanjutnya membawa para calon TKI yang
bermasalah ini, ke polres untuk kemudian di bina di balai penampungan
penempatan pelatihan tenaga kerja indonesia di Ciracas, Jakarta Timur. PT
Tritama Megah Abadi, diduga melanggar Undang-undang Tentang Tenaga Kerja.
Selain akan meninjau kembali izin PT Tritama Megah Abadi, BNP2TKI menyerahkan
pelanggaran pidana kasus ini ke mabes polri untuk ditindaklanjuti.[7]
DATA-DATA PENYALUR TKI
LEGAL DAN ILEGAL
PT
DTS sebenarnya memiliki dokumen resmi sebagai jasa penyalur TKW. Tetapi,
perusahaan jasa yang diketahui milik seorang bernama Umar itu, merekrut calon
TKW di bawah umur. Calon TKW itu berasal dari Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Calon TKW yang belum bermasalah dipalsukan identitasnya, seperti usia dibuat
lebih dewasa dan merahasiakan kondisi TKW yang sedang hamil.[8]
Penyebab TKI ilegal :
Penyebab TKI ilegal muncul antara lain karena :
1.
Dokumen kependudukan yang belum
tertib bagi sejumlah warga di daerah pedesaan / terpencil; TKI tidak
mengantongi dokumen ketenagakerjaan yang sah dan lengkap. Mereka berangkat dan
bekerja ke luar negeri dengan memanfaatkan jasa tekong atau penyalur tenaga
kerja tidak resmi.
2.
Minimnya pemahaman TKI di
bidang ketenagakerjaan khususnya prosedur bekerja ke luar negeri, maklum memang
mayoritas TKI ilegal berpendidikan rendah dan ketrampilan juga kurang. Kondisi
seperti tersebut memicu Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) lebih memilih
menjadi penumpang gelap, jika akan bertolak ke negeri tujuan pengguna TKI.
Akibatnya setiap tahun puluhan bahkan ratusan TKI Ilegal dideportasi karena
tidak dilengkapi dokumen yang sah.
3.
Daya tarik ekonomi yang
menjanjikan di negeri orang sehingga mendorong TKI berbondong-bondong ke luar
negeri, walaupun dengan cara-cara ilegal sekalipun, karena dalam pikiran
mereka, untuk mengurus dokumen-dokumen resmi seperti paspor, visa dan
sebagainya memerlukan biaya yang tidak sedikit dan prosesnya pun berbelit-belit
dan lama.
4.
Menyalahgunakan perjanjian
kerja yang telah dibuat antara TKI dengan user, missal lari dari majikan,
pindah majikan karena TKI dipekerjakan tidak sesuai kontrak yang ada.
5.
Maraknya Calo / sponsor tenaga
kerja yang menjadikan TKI merupakan barang komoditas yang
menggiurkan baginya. Dengan perhitungan semata-mata keuntungan bila dapat
memberangkatkan TKI. Imbalan yang sangat besar itu sering membuat para
sponsor gelap mata. Mereka menjadi tidak peduli dan main tabrak dengan
ketentuan perundangan yang semestinya dipatuhi.
6.
Dokumen yang dimiliki TKI (
Paspor, Visa ) sudah habis masa berlaku tapi belum diperpanjang ( OVER STAY ).
7.
Calon TKI memilih lewat pintu
belakang dan tidak mau repot serta ingin mengantongi dokumen kerja ke luar
negeri secara instan. Dan menyakini bila menggunakan jasa calo lebih murah dan
cepat. Dan mereka diiming-imingi kerja enak dan gaji besar jika berangkat
melalui calo.
8.
Belum tersedianya lapangan
pekerjaan di dalam negeri secara mencukupi dan akibat sangat kurangnya
kebutuhan sumber daya manusia sebagai pekerja kasar di negara diluar negeri
(supply lebih besar dari pada demand).
Akibat TKI Ilegal:
Karena
statusnya yang ilegal dan kemampuan keuangan yang sangat terbatas, maka
mereka sejak mulai direkrut di Indonesia sampai dengan masuk
ke negara pengguna secara terselubung di malam hari, dan hidup bertahun –
tahun di tempat mereka bekerja tanpa perlindungan kontrak kerja yang memadai
serta tidak memiliki kemampuan untuk pulang ke tanah air karena tidak mempunyai
dokumen resmi diri seperti paspor / visa, maka para TKI illegal
diperlakukan seperti budak ( trafiking ). Sedangkan upaya untuk melarikan diri
dari tempat kerja hanya akan menyengsarakannya, karena sudah pasti mereka
akan dikejar dan ditangkap aparat keamanan. Kalau ditangkap sudah dipastikan
akan dimasukan penjara dan diproses dipengadilan serta dinyatakan
bersalah karena status ilegalnya. Kasus ini tidak bisa dihindari
akan dikenakan hukuman cambuk.
Penyebab lain
yang akan dihadapi antara lain biaya yang desetor ke mafia TKI akan
dilarikan dan calon TKI gagal berangkat, selama di penampungan dan
sepanjang perjalanan keluar negeri biasanya TKI diperlakukan tidak manusiawi,
di tempat kerja majikan akan membayar upah lebih rendah dari TKI resmi, bahkan
majikan sering tidak membayar karena alasan – alasan yang kurang
mendasar, majikan memperlakukan TKI sewenang-wenang dan hak-hak TKI sangat
dibatasi. Selama bekerja TKI selalu was-was khawatir ditangkap
polisi dan dimasukan penjara. Bilamana TKI mengalami musibah, sakit,
kecelakaan atau meninggal dunia tidak ada santunan asuransi.[9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar