Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

TENAGA KERJA INDONESIA DAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)



Data dari International Organization for Migration (IOM) mencatat hingga April 2006 bahwa jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus, dengan rinciannya: 88,6 persen korbannya adalah perempuan, 52 persen dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur. Modus tindak pidana trafficking sangat beragam, mulai dari dijanjikan pekerjaan, penculikan korban, menolong wanita yang melahirkan, penyelundupan bayi, hingga memperkejakan sebagai PSK komersil. Umumnya para korban baru menyadari bahwa dirinya merupakan korban trafficking setelah tidak mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, alias dieksploitasi di negeri rantau.


DEFINISI HUMAN TRAFFICKING
perdagangan manusia adalah perdagangan dan perdagangan dalam gerakan atau migrasi masyarakat, hukum dan ilegal, termasuk tenaga kerja baik sah kegiatan serta kerja paksa.
Menurut Protokol Palermo pada ayat tiga definisi aktivitas transaksi meliputi:
  • perikritan
  • perekrutan
  • pengiriman
  • pemindah-tanganan
  • penampungan atau penerimaan orang
Yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainya, seperti:
  • penculikan
  • muslihat atau tipu daya
  • penyalahgunaan kekuasaan
  • penyalahgunaan posisi rawan
  • menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.

Istilah ini digunakan dalam arti yang lebih sempit oleh kelompok advokasi untuk;
  • perekrutan,
  • transportasi,
  • penampungan,
  • atau penadahan manusia korban perdagangan
Tujuan perdagangan manusia antara lain:
  • Perbudakan
  • Pelacuran
  • Kerja paksa (termasuk tenaga kerja atau disimpan dalam gudang hutang, yaitu dimana seseorang dipaksa untuk melunasi pinjaman dengan tenaga kerja secara langsung melalui jangka waktu yang tidak jelas/janggal. Dalam masa melunasi hutang, para pekerja dipaksa/terpaksa terperangkap dalam hutang yang lebih besar. Bisa jadi terperangkap hutang akibat judi, obat-obatan atau bahkan hingga yang pokok seperti pakaian atau makanan. Ketika pekerja yang berhutang tersebut tidak mampu membayar, mereka dipaksa untuk membayar dan terperangkap dalam kerja paksa yang disebut gudang hutang.)
  • Jasa-jasa
UNODC, United Nations Office on Drugs and Crime (Bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas menangani Kejahatan dan Obat Bius) mendefinisikan perdagangan manusia sesuai dengan Lampiran II, Ketentuan Umum, Pasal 3, Ayat (a) [1] dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons (Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia) perdagangan manusia sebagai “rekrutmen, transportasi, transfer, menadah atau menerima manusia, dengan cara ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, dari penculikan, dari penipuan, dari kecurangan, dari penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang lain, untuk tujuan eksploitasi

Lebih tegas menurut Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, definisi trafficking (perdagangan orang) adalah: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Ada tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian trafficking di atas. Pertama, elemen perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan, atau meneirma. Kedua, elemen sarana (cara) untuk mengendalikan korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya, yang meliputi: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh (Harkristuti Harkrisnowo dikutip dalam www.menkokesra.go.id).
Modus operandi dari tindak pidana trafficking adalah sebagai berikut: (1) merekrut calon pekerja wanita 16-25 tahun; (2) dijanjikan bekerja di restoran, salon kecantikan, karyawan hotel, pabrik dengan gaji RM 500 s/d RM 1.000; (3) identitas dipalsukan; (4) biaya administrasi, transportasi, dan akomodasi ditipu oleh pihak agen; (5) tanpa ada calling visa atau working permit atau menggunakan visa kunjungan singkat; (6) putusnya jaringan; dan (7) korban dijual, disekap, dan dipekerjakan sebagai PSK. Modus yang terakhir sering sekali terjadi. Sedangkan jalur masuk sindikat trafficking adalah sebagai berikut: (1) Medan-Penang/Ipoh-Kuala Lumpur (menurut laporan KBRI di Kuala Lumpur: tertangkap 3 sindikat berjumlah 6 orang dan sudah divonis Pengadilan Negeri Medan dan Tebing Tinggi); (2) T. Pinang/Batam-Staling Laut/Tg. Belungkor-Kuala Lumpur (1 sindikat, 5 orang, sudah divonis Pengadilan Tanjung Pinang); (3) Jakarta-Pontianak-Entikong-Kuching-Kuala Lumpur (tertangkap 1 sindikat, 6 orang (Rizal Cs) proses hukum dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta); dan (4) Nunukan-Tawau-Kota Kinabalu (www.kbrikl.org.my).
Kasus perdagangan perempuan dengan modus pelacuran di luar negeri adalah kasus yang paling umum terjadi. Bahkan, menurut data yang ada fenomena ini makin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) tercatat sepanjang tahun 2005 saja ada 700 perempuan Indonesia telah dijadikan budak seks di negeri orang (www.bkkbn.go.id). Jumlah itu diperkirakan terus meningkat jika penanganannya tidak diatasi secara serius[1].
Perkembangan definisi “trafficking”
Dewasa ini, kata “trafficking” didefinisikan secara bervariasi oleh badan-badan internasional dan nasional, baik badan antar-pemerintah maupun non-pemerintah.
Dalam Human Rights Workshop yang diselenggarakan oleh GAATW pada bulan Juni 1996, para peserta mencoba mengidentifikasi beberapa aspek dalam “trafficking”. Ada tiga elemen yang didiskusikan, sebagai berikut:
-          Pertama menyangkut “consent”. Pertanyaan pokoknya ialah apakah keberadaan atau ketiadaan consent—misalnya akibat penipuan, paksaan, ancaman, ketidaan informasi, ketiadaan kapasitas legal untuk bisa memberikan persetujuan—perlu diperhitungkan bagi terjadinya trafficking?
-          Kedua menyangkut tujuan migrasi. Pertanyaannya ialah apakah hanya migrasi untuk prostitusi yang bisa diklasifikan sebagai trafficking, atau apakah termasuk juga jenis kerja eksploitatif lainnya.
-          Ketiga menyangkut perlu tidaknya garis perbatasan dilewati. Apakah definisi trafficking hanya diberlakukan khusus bagi kasus penyeberangan perbatasan?
Secara umum, disepakati bahwa “consent” perlu menjadi elemen kunci yang harus diperhitungkan bagi terjadinya trafficking; bahwa trafficking tidak selalu untuk prostitusi; dan bahwa perbatasan internasional tidak perlu dilewati.
Jika elemen “consent” diperhitungkan, maka sebagai konsekuensinya, berbagai situasi “trafficking” yang disetujui oleh “korban” harus dikecualikan. Implikasinya, tidak semua pekerja migran bisa dikualifikasikan sebagai korban trafficking, terutama mereka yang tidak menjadi korban penipuan, paksaan, ancaman, atau kekurangan informasi atas situasi pekerjaan yang hendak mereka jalani. Begitu pula, pekerja seks yang memang secara sadar memilih prostitusi sebagai profesi tidak bisa dikualifikasikan kedalam kategori trafficking.
Menyangkut tidak perlunya garis perbatasan dilewati, beberapa argumen menyatakan bahwa trafficking pada dasarnya sudah terjadi jika transportasi dimaksudkan oleh trafficker untuk tujuan mengeksploitir tenaga kerja (atau jasa) dari mereka yang diperdagangkan. Disinilah letak perbedaan antara “trafficking” dengan “smuggling” (penyelundupan). Dalam kasus “smuggling”, harus terkandung unsur ilegalitas transportasi dan harus melewati tapal batas negara, sementara mereka yang menyelundupkan manusia pada kenyataannya tidak mengambil keuntungan dari eksploitasi tenaga kerja setelah mereka berhasil diselundupkan.
Ada empat perjanjian internasional menyangkut trafficking yang dikembangkan pada awal abad duapuluh, yakni:
1.      1904 — International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Persetujuan Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur),
2.      1910 — International Convention for the Suppression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur),
3.      1921 — International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children (Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak), dan
4.      1933 — International Convention for the Suppression of Traffic in Women of Full Age (Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa).
Keempat konvensi menyangkut perdagangan manusia tersebut semuanya merujuk pada perpindahan (movement) manusia — umumnya perempuan dan anak perempuan — secara lintas batas negara dan untuk tujuan prostitusi.
Hak asasi manusia dan “trafficking”
Walaupun keempat konvensi awal menyangkut “trafficking” diatas dikategorikan sebagai konvensi HAM, namun semuanya sebenarnya berfokus pada kepedulian untuk memberantas pergerakan pelacuran antar batas negara. Sedangkan hak asasi dari mereka yang menjadi korban trafficking tidak menjadi perhatian utama.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap HAM. Dinyatakan dalam Deklarasi (Ps. 3&4) bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan perseorangan” dan bahwa “tak seorangpun akan diperlakukan sebagai budak atau hamba sahaya; perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya akan dilarang.”
Pada tahun berikutnya, 1949, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi atas Pelacur) disetujui oleh Majelis Umum PBB. Konvensi ini sebenarnya menggabungkan 4 konvensi mengenai perdagangan perempuan dan anak-anak yang telah disetujui pada masa sebelumnya.
Sekalipun demikian, Konvensi 1949 ini masih mengabaikan elemen “consent”, sebagaimana ditunjukkan pada rumusan pasal 1 yang mewajibkan Negara Peserta untuk menghukum siapapun yang membeli, membujuk atau menjerumuskan orang lain kedalam pelacuran, bahkan jika yang bersangkutan menyetujuinya; atau yang melakukan eksploitasi atas pemelacuran orang lain, bahkan bila yang bersangkutan menyetujuinya.
Diadopsinya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1979 sebagai salah satu dari empat instrumen HAM PBB yang utama, memberi unsur baru dalam wacana “trafficking”.
Walaupun CEDAW tidak memberikan definisi mengenai “trafficking”, namun Komite yang dibentuk berdasarkan pakta ini mengehendaki pemerintah agar memberikan penjelasan menyangkut masalah prostitusi dan “hak” kaum perempuan dalam konteks tersebut.
Elemen “hak” berhubungan dengan masalah “consent”, persetujuan yang diberikan secara sadar. (Dalam Fowler & Fowler (ed), The Concise Oxford Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1964; consent diartikan sebagai voluntary agreement/ compliance/ permission).[2]


KASUS TKI DIBAWAH UMUR
1.      MEDAN - Sebuah asrama tempat penampungan penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Jalan Tanjung Dua Blok III, No 145, Kecamatan Medan Helvetia, digerebek pihak kepolisian Polsekta Medan Helvetia. Penggerebekan itu dilakukan polisi, setelah mendapat laporan dari angoota keluarga salah satu korban wanita yang masih di bawah umur yang akan diberangkatkan ke Luar Negeri. Dari hasil penggerebekan, polisi mengamankan tiga wanita di bawah umur, beserta seorang pengelola asrama tempat penampungan TKI tersebut. Awalnya, ibu korban J. Simanjuntak (50) warga Jalan Binjai, ingin menjemput putrinya Yanti Hartati Tambunan (16) di kantor penyelarun TKI, PT Anugerah Diantas Jalan Listrik No 3 Medan. Namun tidak diperbolehkan, dengan alasan tidak masuk akal. Merasa keberatan, akhirnya ibu korban melaporkan hal ini ke Polsekta Helvetia Medan. Mendapat informasi ini, polisi langsung turun ke lokasi, tempat penampungan para calon TKI di bawah umur yang diduga melakukan pemalsuan data dari para calon TKI. Di lokasi, pihak kepolisian berhasil mengamankan tiga cewek di bawah umur yang akan diberangkatkan ke luar negri antara lain, Rianti Nanda Boru Tambunan (16) yang telah di samarkan menjadi Yanti Hartati Tambunan (24) warga Jalan Binjai Km 12, Agnes (18) warga Jalan Binjai Km 12, dan Irna (18) warga Jalan Karya beserta Yeni  Boru Munte (36) sebagai pegelolah asramah penampungan calon TKI tersebut. Saat berada di Polsekta Helvet, Yeni mengaku hanya sebagai pengelola  tempat penampungan yang dipimpin oleh wanita berama Elis alias Maya. Dirinya mengaku tidak mengetahui secara pasti perihal identitas resmi para calon TKI yang berada di penampungan dan hanya sebagai  staf pengawas. J Simanjuntak, orangtua Rianti Nanda Boru Tambunan, yang didampingi paman korban bernama Luhut Simanjuntak (45) mengatakan, anak mereka telah tiga minggu meninggakan rumah dan tidak mengetahui bahwa anaknya secara tiba-tiba sudah berada di tempat penampungan calon TKI. J Simanjuntak juga mengatakan, dirinya mengetahui keberadaan anaknya setelah ditelepon oleh anaknya yang tidak diperbolehkan  pulang dari tempat penampungan tersebut. Setelah mencoba menjemput anaknya, dirinya juga dihalangi oleh pihak perusahan untuk membawa anaknya dengan alasan yang tidak jelas, hingga akhirnya permasalahan itu dilaporkan oleh keluarga ke pihak kepolisian yang langsung merespon laporan tersebut. Kanit Reskrim Polsekta Medan Helvetia, AKP Zulkifli Harahap saat dikonfirmasi malam ini, mengatakan penggerebekan dilakukan oleh timya setelah mendapatkan laporan dari salah satu orangtua calon TKI di bawah umur.[3]
2.      Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat, sebanyak 143 orang menjadi korban penjualan manusia yang berasal dari Jawa Barat. Jumlah ini diperoleh dari data BPPKB sejak akhir 2009.[4]
3.      Sepanjang 2011, tercatat 19 kasus kejahatan penyelundupan (people smuggling) dan perdagangan manusia (human trafickking) ditangani Polda Jabar. "Dari 19 kasus ini, 12 perkara sudah masuk tahap penyidikan, 6 perkara sudah P21 (lengkap). Sedangkan 1 perkara lainnya SP3 (dibatalkan)," kata Kapolda Jabar Irjen Putut Eko Bayu Seno kepada para wartawan saat kunjungan kerja di Polres Sukabumi Kota, Selasa (18/10/2011). Menurut Putut, dalam mengantisipasi kejahatan internasional atau transnasional, dan organization crime (TOC), pihaknya terus melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga seperti Kantor Imigrasi dan pemerintah daerah (Pemda). Sedangkan untuk pengawasan di perairan laut, pihaknya menugaskan Polisi Perairan (Polair) di berbagai wilayah yang dinilai rawan penyelundupan manusia, seperti perairan Sukabumi dan Cianjur. Kasus penyelundupan manusia terakhir, terjadi di wilayah Sukabumi dengan tertangkapnya 44 imigran ilegal asal Irak dan Iran pada Selasa (4/10/2011) lalu. Mereka rencananya akan menyeberang ke Pulau Christmas melalui Pantai Palabuhanratu.[5]
4.      Sebanyak dua puluh calon tenaga kerja dibawah umur asal Jawa dan Lampung berhasil digagalkan pihak kepolisian Polda Kepri sesaat hendak berangkat di Bandara Hang Nadim Batam, para calon TKI ini kemudian dibawa ke Poltabes guna pemeriksaan. Dari pendatang petugas 20 calon TKI ini rencananya akan diberangkatkan ke Singapura dan Malaysia. Rata - rata calon TKI ini berumur berkisar antara 16 - 22 tahun. Rencananya disana mereka akan diperkerjakan sebagai pelayan dan pembantu. Polisi masih menyelidiki PJTKI yang memberangkatkan mereka. Menurut Wiarso, polisi menggagalkan keberangkatan 20 calon tenaga kerja ini karena masih dibawah umur. Diduga terjadi penjualan manusia (trafficking) sedangkan surat - surat dan pasport mereka masih dalam pemeriksaan petugas lebih lanjut. Polisi belum menetapkan tersangka terhadap PJTKI yang memberangkatkan mereka. Untuk sementara pada calon TKI ini rencananya akan diserahkan ke Dinas Sosial Pemko Batam sebelum di pulangkan ke daerah masing - masing.[6]
5.      Senin (04/07/11), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia atau BNP2TKI kembali menggrebeg tempat penampungan TKI di kawasan Condet – Jakarta Timur. Di tempat ini, petugas menemukan puluhan tenaga kerja dibawah umur yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi.  Fitri, calon TKW ini, jatuh pingsan saat petugas dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Senin sore, menggrebek tempat penampungan TKI, milik PT Tritama Megah Abadi, di Jalan Batu Ampar Dua, Condet, Jakarta Timur.  Ditempat ini, petugas menemukan ratusan TKW yang hendak diberangkatkan ke Arab Saudi. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.  Usai dilakukan pendataan, petugas menemukan tiga puluh tujuh TKW bermasalah seperti di bawah umur, buta huruf. Dokumen mereka ditemukan palsu. Mereka disembunyikan dalam sebuah ruangan di lantai dua. Penggerebekan dilakukan setelah petugas BNP2TKI menemukan tiga TKW dibawah umur yang hendak diberangkatkan ke luar negeri, di Bandara Soekarno-Hatta. Ketiganya diketahui berasal dari PT Tritama Megah Abadi ini. Para calon TKI yang masih dibawah umur ini mengaku, mereka bekerja ke Arab Saudi adalah keinginan mereka sendiri, namun untuk urusan manipulasi data, mereka serahkan ke sponsor mereka. Petugas selanjutnya membawa para calon TKI yang bermasalah ini, ke polres untuk kemudian di bina di balai penampungan penempatan pelatihan tenaga kerja indonesia di Ciracas, Jakarta Timur. PT Tritama Megah Abadi, diduga melanggar Undang-undang Tentang Tenaga Kerja. Selain akan meninjau kembali izin PT Tritama Megah Abadi, BNP2TKI menyerahkan pelanggaran pidana kasus ini ke mabes polri untuk ditindaklanjuti.[7]



DATA-DATA PENYALUR TKI LEGAL DAN ILEGAL
PT DTS sebenarnya memiliki dokumen resmi sebagai jasa penyalur TKW. Tetapi, perusahaan jasa yang diketahui milik seorang bernama Umar itu, merekrut calon TKW di bawah umur. Calon TKW itu berasal dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Calon TKW yang belum bermasalah dipalsukan identitasnya, seperti usia dibuat lebih dewasa dan merahasiakan kondisi TKW yang sedang hamil.[8]
Penyebab TKI ilegal :
Penyebab TKI ilegal muncul antara lain karena :
1.      Dokumen kependudukan yang belum tertib bagi sejumlah warga di daerah pedesaan / terpencil; TKI tidak mengantongi dokumen ketenagakerjaan yang sah dan lengkap. Mereka berangkat dan bekerja ke luar negeri dengan memanfaatkan jasa tekong atau penyalur tenaga kerja tidak resmi.
2.      Minimnya pemahaman TKI di bidang ketenagakerjaan khususnya prosedur bekerja ke luar negeri, maklum memang mayoritas TKI ilegal berpendidikan rendah dan ketrampilan juga kurang. Kondisi seperti tersebut memicu Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) lebih memilih menjadi penumpang gelap, jika akan bertolak ke negeri tujuan pengguna TKI. Akibatnya setiap tahun puluhan bahkan ratusan TKI Ilegal dideportasi karena tidak dilengkapi dokumen yang sah.
3.      Daya tarik ekonomi yang menjanjikan di negeri orang sehingga mendorong TKI berbondong-bondong ke luar negeri, walaupun dengan cara-cara ilegal sekalipun,  karena dalam pikiran mereka, untuk mengurus dokumen-dokumen resmi seperti paspor, visa dan sebagainya memerlukan biaya yang tidak sedikit dan prosesnya pun berbelit-belit dan lama.
4.      Menyalahgunakan perjanjian kerja yang telah dibuat antara TKI dengan user, missal lari dari majikan, pindah majikan karena TKI dipekerjakan tidak sesuai kontrak yang ada.
5.      Maraknya Calo / sponsor tenaga kerja  yang menjadikan  TKI merupakan barang komoditas yang menggiurkan baginya.  Dengan perhitungan semata-mata keuntungan bila dapat memberangkatkan TKI.  Imbalan yang sangat besar itu sering membuat para sponsor gelap mata. Mereka menjadi tidak peduli dan main tabrak dengan ketentuan perundangan yang semestinya dipatuhi.
6.      Dokumen yang dimiliki TKI ( Paspor, Visa ) sudah habis masa berlaku tapi belum diperpanjang ( OVER STAY ).
7.      Calon TKI memilih lewat pintu belakang dan tidak mau repot serta ingin mengantongi dokumen kerja ke luar negeri secara instan. Dan menyakini bila menggunakan jasa calo lebih murah dan cepat. Dan  mereka diiming-imingi kerja enak dan gaji besar jika berangkat melalui calo.
8.      Belum tersedianya lapangan pekerjaan di dalam negeri secara mencukupi dan akibat sangat kurangnya kebutuhan sumber daya manusia sebagai pekerja kasar di negara diluar negeri (supply lebih besar dari pada demand).
 Akibat TKI Ilegal:
Karena statusnya yang ilegal dan kemampuan keuangan yang sangat terbatas, maka  mereka sejak  mulai  direkrut di Indonesia sampai dengan masuk ke negara pengguna  secara terselubung di malam hari, dan hidup bertahun – tahun di tempat mereka bekerja tanpa perlindungan kontrak kerja yang memadai serta tidak memiliki kemampuan untuk pulang ke tanah air karena tidak mempunyai dokumen resmi diri seperti paspor / visa, maka  para TKI illegal diperlakukan seperti budak ( trafiking ). Sedangkan upaya untuk melarikan diri dari tempat kerja hanya akan menyengsarakannya,  karena sudah pasti mereka akan dikejar dan ditangkap aparat keamanan. Kalau ditangkap sudah dipastikan akan dimasukan penjara dan diproses dipengadilan  serta dinyatakan bersalah karena  status ilegalnya. Kasus ini  tidak bisa dihindari akan dikenakan hukuman cambuk.
Penyebab lain yang akan dihadapi  antara lain biaya yang desetor ke mafia TKI akan dilarikan dan calon TKI  gagal berangkat,  selama di penampungan dan sepanjang perjalanan keluar negeri biasanya TKI diperlakukan tidak manusiawi, di tempat kerja majikan akan membayar upah lebih rendah dari TKI resmi, bahkan majikan sering  tidak membayar karena alasan – alasan yang kurang mendasar, majikan memperlakukan TKI  sewenang-wenang dan hak-hak TKI sangat dibatasi.  Selama bekerja TKI  selalu was-was khawatir ditangkap polisi dan dimasukan penjara.  Bilamana TKI mengalami musibah, sakit, kecelakaan atau meninggal dunia tidak ada santunan asuransi.[9]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar