FAKTA-FAKTA
Pada
2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan
SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene.
Delapan
warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam akibat kecelakaan tersebut.
Kapten
kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus
dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan
telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban
dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
Pemerintah
Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan
itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki
Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara
benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas
(floating island theory).
7
September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus
tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana
merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan
Bangsa-Bangsa).
MASALAH HUKUM
Yurisdiksi
negara manakah yang berhak mengadili kasus tersebut
KEPUTUSAN PERMANENT INTERNASIONAL COURT OF JUSTICE
Prinsip atau pendekatan Lotus, biasanya dianggap sebagai dasar hukum internasional, mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan cara apapun yang mereka inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan eksplisit. Prinsip ini - hasil dari kasus Lotus - kemudian ditolak oleh pasal 11 dari Tinggi Konvensi Laut 1958. Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan penekanan pada fakta bahwa hanya negara atau bendera negara yang tersangka pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional atas pelaut tentang insiden yang terjadi di laut lepas.
Tampak dari keputusan Permanent Court of Internasional Justice dalam Lotus case bahwa opinion Juris merupakana suatu hal yang merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsure materi dari apa yang dinyatakan keidah kebiasaan.
Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:
1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasa atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hokum internasional dan praktek hokum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hokum internasional.
3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.
ANALISIS KASUS
Asas-asas Hukum
internasional yang berlaku adalah
• Jurisdiksi atas Kapal
Kebangsaan kapal laut mengikuti negara dimana kapal didaftarkan.
Karenanya pendaftaran kapal menjadi bukti terciptanya status kebangsaan atas
kapal yang ditunjukkan dengan bendera negara dimana kapal didaftarkan. Oleh
karenanya bendera negara dan tanda-tanda negara menjadi bukti prima facie bagi
kebangsaan suatu kapal. Adanya kebangsaan kapal ini menjadikan negara bendera
memiliki kualitas sebagai penjamin (guarantor) dan pelindung (protector) atas
kapal itu dalam kegiatannya (pengaturan lebih lanjut terdapat dalam pasal
91,92,94 UNCLOS 1982).
Kapal perang juga tunduk pada jurisdiksi negara bendera dan memiliki kekebalan
terhadap jurisdiksi negara lain. Namun, jika kapal tersebut tidak menaati
peraturan yang dikeluarkan oleh negara pantai mengenai lalu lintas laut
territorial, maka negara pantai dapat menuntu kapal perang untuk segera
meninggalkan laut territorialnya.
Terdapat dua teori mengenai kapal-kapal perang dan kapal pemerintah yang
dioperasikan untuk tujuan non komersial;
• Teori “Pulau Terapung” (the floating island theory)
Menurut teori ini, kapal-kapal perang dan kapal pemerintsh tersebut
harus diperlakukan oleh negara-negara lain sebagai bagian dari wilayah suatu
negara dan jurisdiksi pengadilan tidak berlaku terhadap setiap tindakan yang
dilakukan di atas kapal itu atau menahan seseorang yang melakukan kesalahan di
atas kapal itu.
• Teori yang menyatakan bahwa pengadilan negara pantai memberikan
kekebalan-kekebalan tertentu kepada kapal-kapal asing beserta wakilnya. Hal ini
didasarkan pada pembebasan yang diberikan oleh UU negara pantai yang sifatnya
bersyarat dan dapat ditarik kembali oleh negara pantai.
• Asas Territorial Objektif, beberapa Negara melaksanakan
jurisdiksinyaterhadap pelanggar, yang pelanggarannya dimulai di Negara lain,
tetapi diselesaikan di dalam wilayah mereka atau menimbulkan akibat yang
merugikan ketertiban social di dalam wilayah mereka.
• Jurisdiksi di Laut Lepas
Setiap negara baik negara pantai (coastal state) maupun negara tidak
berpantai (land locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah
bendera negaranya di laut lepas (Pasal 90 UNCLOS 1982). Pelaksanaan jurisdiksi
suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip universal, yaitu setiap
negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu yang
terjadi atau dilakukan di laut lepas seperti pembajakan, perdagangan gelap obat
narkotika atau bahan-bahan psokotropis, dll.
• Nasionalitas Pasif
Titik berat asas ini terletak pada usaha negara untuk melindungi
kepentingan warga negaranya sendiri terhadap tindakan-tindakan atau perilaku
orang asing yang merugikannya. Jadi, warga yang bukan warga negaranya
ditundukkan di bawah hukum nasionalnya, disebabkan oleh karena perbuatan atau
perilaku orang asing yang merugikan kepentingan warga negaranya dan orang asing
itu dapat dihukum oleh negara yang dirugikan jika pelaku berada di wilayahnya.
Dalam hal ini PCIJ menemukan bahwa kedua kapal tersebut terlibat dalam
satu kecelakaan yang sama, jadi kedua negara tersebut sama-sama memiliki
yurisdiksi atas kecelakaan tersebut. Namun PCIJ menemukan suatu hukum kebiasaan
internasional yang memberi yurisdiksi pada prancis, namun tidak memberi mereka
yurisdiksi eksklusif, "di bawah hukum internasional, semua yang tidak
dilarang diperbolehkan"
Kasus ini mengarah pada pirnsip lotus (pendekatan lotus), yang berbunyi
kekuasaan negara dapat bertindak bagaimanapun juga sebatas mereka tidak
melanggar hukum yang tertulis.
Namun prinsip lotus ini telah disempurnakan oleh 1958 High Seas
Convention dalam pasal 11 (1)
Daftar pustaka
http://www.invispress.com
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/1180/1325
Tidak ada komentar:
Posting Komentar