BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hak
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
yang sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda – benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor
lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha,
dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai atas tanah Negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji
untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
perjanjian utang-piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak
tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut
dilakukan selambat – lambatnya 7 hari kerja setelah
penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Namun pada prakteknya di
masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara peraturan perundang –
undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak didaftarkan di
Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak tanggungan
tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan
terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang – Undang Hak
Tanggungan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut maka identifikasi masalah yang bisa ditarik adalah:
1. Apakah akibat hukum
dari hak tanggungan yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan?
2.
Apakah akibat dari pendaftaran hak tanggungan dilakukan melebihi jangka waktu
yang ditentukan perundang – undangan?
BAB II
TINJAUAN UMUM HAK
TANGGUNGAN
A. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Adanya unifikasi hukum
barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis
kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS
Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum
berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal
lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan
tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga
jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek Credietverband.
Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband
atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan – ketentuan KUHPerdata dan Stb
1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu misalnya mengenai hak – hak dan
kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas – asas Hipotik,
mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan
Credietverband.[1]
Dengan berlakunya UUPA,
(UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah,
dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai
pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha
dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya. Hak-hak barat
sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada
lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang
diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996. Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan
pengertian dari Hak Tanggungan.
"Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah
yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan,
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana
dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
– Pokok Agraria berikut atau tidak
berikut benda – benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap
kreditor-kreditor lainnya”
Dengan lahirnya Undang
– Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan
suatu kepastian hukum tentang pengikatan
jaminan dengan tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan yang
diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak
atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda – benda berupa
bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan
dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana
diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang
menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan
hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda
tersebut.[2] Penerapan asas
tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan
perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu
UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda
diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah
bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
B. CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN
Ciri Hak Tanggungan
adalah:
1. Memberikan kedudukan
yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitor cidera
janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah
yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului
dan kreditor yang lain.
2. Selalu mengikuti
obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite). Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus
bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah
berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat
menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji
(wanprestasi).
3. Memenuhi asas
spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan
kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti
pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 kreditur
diberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi. Hal ini diatur
dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanpreslasi), maka kreditor tidak
perlu menempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya besar. Kreditur
pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak
tanggungan melalui pelelangan umum.[3]
Ciri-ciri tersebut selalu melekat
pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa:[4]
Ciri-ciri Hak
Tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan,
suatu Pasal yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara
lain menyebutkan ciri:
a. Hak jaminan;
b. atas tanah berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;
c. untuk pelunasan
suatu hutang;
d. memberikan kedudukan
yang diutamakan
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka
ciri yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1
Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan
yang diutamakan.
Apabila mengacu
beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa
sifat dan asas dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan adalah
sebagai berikut:
a. Hak Tanggungan
mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi
kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference) dinyatakan dalam
pengertian Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang
– Undang Nomor 4 Tahun 1996:
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lainnya”,
Penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:
“Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan
berhak menjual melalui pelelengan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu
daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah
barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.
b. Hak Tanggungan
mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak
dapat dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,
menentukan:
“Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat
dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”,
dan juga di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,
menentukan:
“Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa
pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang
besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari objek Hak Tanggungan,yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut,
sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan
untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.
c. Hak Tanggungan
mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah.
Hak Tanggungan dapat
dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan
tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu. Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan
saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut.[5]
d. Hak Tanggungan
mempunyai sifat Accessoir Hak Tanggungan menurut sifat accessoir dijelaskan
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa:
“Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada
suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang
atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya
piutang yang dijamin pelunasannya”
Lebih lanjut Hak
Tanggungan mempunyai sifat Accessoir dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan
janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu
yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang tersebut”.
Kemudian dalam Pasal 18
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan hapus karena
hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.”
Perjanjian pembebanan
Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya
adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian
induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang
menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan Hak
Tanggungan adalah perjanjian accessoir.
e. Hak Tanggungan
mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang.
Hak Tanggungan dapat
menjamin lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari
satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari
beberapa hubungan hukum.”
f. Hak Tanggungan
mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut
berada.
Hak Tanggungan
mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada
berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek
tersebut berada”.
Dengan demikian Hak
Tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek Hak Tanggungan itu berada pada
pihak lain.
g. Hak Tanggungan
mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan
dialihkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996, menentukan:
“Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie,
subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut
beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.”
Hak Tanggungan dapat
beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih
dan dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat
beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak
milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak
Tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.[6]
h. Hak Tanggungan
mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah.
Menurut Pasal 6
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual objek Hak Tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut”.
Dengan sifat ini, jika
debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak perlu
memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta
penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak
Tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung
mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan
objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
C. SUBJEK DAN OBJEK HAK
TANGGUNGAN
1. Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan
adalah:
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.[7]
Berdasarkan Pasal 8
tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau
debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin
pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus
ada pada pemberi hak tanggungan pada
saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan
adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak
tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.[8]
Dengan
demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan
tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas
tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang
ikut dibebani hak tanggungan
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang
Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang.[9]
Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan
berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau
perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak
mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang
dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan.
Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak tanggungan dapat dilakukan oleh
Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga
negara asing atau badan hukum asing.
2. Obyek hak tanggungan
Obyek hak tanggungan
adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah,
maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:[10]
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.
Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat
dijual dengan cara lelang
b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera
janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk
membayar utang yang dijamin pelunasannya
c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang
berlaku, karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah
adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum,
dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan
diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan
terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus
ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah
yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya.
d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.
Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat
dibebani dengan hak tanggungan adalah:
1. Hak Milik (Pasal 25
UUPA) ;
2. Hak Guna Usaha
(Pasal 33 UUPA) ;
3. Hak Guna Bangunan
(Pasal 39 UUPA) ;
4. Hak Pakai Atas Tanah
Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar
dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah
Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang
perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk
keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada
Instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan
Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah
didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan
karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang
diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan;
5. Bangunan Rumah Susun
dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal
27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.
D. PROSES PEMBEBANAN HAK
TANGGUNGAN
Tahap pemberian hak
tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal
10 Ayat (1) Undang undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses
pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1. Tahap Pemberian Hak
Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak
tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak
atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya
masing-masing.
2. Tahap Pendaftaran
Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari
kerja setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan. Warkah
yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak
tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya
sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak
tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi
atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.[11]
Pendaftaran hak
tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak
tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek
hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1)
Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak
tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini
berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya
hak tanggungan. Oleh karena itu maka
sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya
sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal
pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak
Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga
parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan
lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak
tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan
untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Untuk melindungi
kepentingan kreditor, maka dapat saja sertifikat hak tanggungan tetap berada
ditangan kreditor. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang
Hak Tanggungan yang menyatakan kecuali jika diperjanjikan lain, sertifikat hak
atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan
kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
E. EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitor cidera
janji maka eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan berdasarkan:
1. Hak pemegang Hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT atau ;
2. Titel Eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
3. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan penjualan obyek
hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan apabila jika dengan demikian
itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak;
4. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan hanya dapat dilakukan setelah
lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan kepada pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar
didaerah yang bersangkutan atau media masa
setempat, serta tidak ada pihak yang merasa keberatan;
5. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara
yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal
demi hukum;
6. Sampai pengumuman untuk lelang dikeluarkan penjualan lelang
dapatdihindarkan dengan pelunasan hutang yang dijamin dengan hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi
yang telah dikeluarkan
Pasal 6 Undang - Undang
Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitor cidera janji, pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.
Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila pemberi hak tanggungan
dinyatakan pailit pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak
yang diperolehnya menurut ketentuanUndang-Undang ini.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Akibat Hak Tanggungan
yang tidak didaftarkan
Tahap pemberian hak
tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal
10 Ayat (1) Undang - Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang.
Proses pembebanan Hak
Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1. Tahap Pemberian Hak
Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian
hak tanggungan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta
lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum
tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2. Tahap Pendaftaran
Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari
kerja setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi
surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas
pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah
dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib
melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal
tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang jabatan PPAT.
Pendaftaran hak
tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak
tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek
hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1)
Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak
tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini
berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh
karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada
saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok
adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak
Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga
parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan
lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak
tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan
untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Dari penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan kepada Kantor
Pertanahan selambat – lambatnya dalam jangka waktu 7 hari. Pendaftaran Hak
Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya suatu hak tanggungan
dan merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak didaftarkan hak
tanggungan maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah berlaku. Namun tidak
memenuhi unsur dari hak tanggungan. Sehingga kreditur dari hak tanggungan tidak
memiliki hak sebagai kreditur preferen sebagaimana kreditur hak tanggungan.
Jika tidak didaftarkan
maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan.
Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat
hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti
dari adanya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan
eksekutorial karena memuat irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Sertifikat yang memiliki irah – irah ini mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
yang tetap. Sehingga dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor
Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang
didalamnya memberikan hak – hak kepada kreditur seperti sertifikat hak
tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap.
Sehingga suatu hak
tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan asas dari hak
tanggungan. Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai
kreditur yang preferen melainkan sama seperti kedudukan kreditur konkuren.
Selain itu dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat
sertifikat hak tanggungan yang memberikan hak parate executie dan dapat menjadi bukti di pengadilan.
2. Pendaftaran Hak
Tanggungan yang Melampaui Jangka Waktu Pendaftaran
Pasal 13 Undang – Undang Hak Tanggungan
menegaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan
buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan adalah
tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,
buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Hak
Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan. Sebagai tanda
bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan
sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
Undang – Undang Hak
Tanggungan memberi batasan pendaftaran Hak Tanggungan yaitu selama 7 hari
setelah penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pendaftaran ini wajib
dilaksanakan oleh PPAT. Setelah didaftarkan maka akan keluar Sertifikat Hak
Tanggungan. Namun pada kenyataannya sering kali pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan melebihi waktu yang ditentukan, yaitu melewati jangka waktu 7 hari
yang ditentukan undang – undang. Seharusnya pendaftaran hak tanggungan tersebut
ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun dari sumber yang kami temukan,
keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan tidak selalu menjadi penghalang dalam
melakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Dalam Tesis yang dibuat oleh Mahasiswa
Program Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro, keterlambatan
pendaftaran Hak Tanggungan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal
tidak menjadi persoalan. Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak
Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya
diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis.
Begitu pula pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Berdasarkan skripsi dari
mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia, ditemukan bahwa keterlambatan
pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan di Kabupaten Bogor tidak
menjadi penghalang bagi proses pendaftaran suatu hak tanggungan. Sanksi yang
diberikan oleh Kantor Pertanahan terhadap pihak yang terlambat mendaftarkan hak
tanggungan hanyalah berupa sanksi administratif yaitu berupa teguran lisan atau
tertulis.
Sehingga dapat
disimpulkan meskipun peraturan perundang – undangan memberi batasan bahwa
pendaftaran hak tanggungan hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 hari,
namun terdapat perbedaan dalam prakteknya. Pendaftaran hak tanggungan tetap
diproses oleh Kantor Pertanahan meskipun terjadi keterlambatan
pendaftaran.
BAB IV
PENUTUP
Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap
kreditor-kreditor lainnya. Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Lahirnya undang-undang tersebut diharapkan
dapat memberikan suatu kepastian hukum
tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya
menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor
Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa
pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan akta pemeberian
hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain yang
diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
sertifikat hak tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut terlambat
didaftarkan, bukan suatu persoalan penting karena Kantor Pertanahan tetap
memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan
hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau
teguran tertulis.
Lain halnya apabila hak tanggungan tersebut
tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan tidak didaftarkan, maka hak tanggungan
tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan
dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut
Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak
tanggungan. Dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan
maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya
memberikan hak – hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat
dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Harsono, Boedi. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan.
Masjehoen, Sri Soedewi. 1975. Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta:
Liberty.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media.
Patrik ,Purwahid. 1986. Asas-asas
Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang : Badan Penerbit UNDIP.
Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum
Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan
Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Sudrajat, Sutardja. 1997. Pendaftaran
Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, Bandung: Mandar Maju.
Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum
Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta.
B. PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan.
[1] Sri Soedewi Masjehoen, Hak
Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta: Liberty, 1975), hal. 6
[2] Purwahid Patrik, Asas-asas
Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang : Badan Penerbit
UNDIP, 1986), hal. 52
[3] Purwahid Patrik, Op.cit hal. 53
[4] J. Satrio, Hukum Jaminan
Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 278.
[5] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum
Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.26
[6] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta:Prenada Media, 2005), hal. 105
[7] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 8
Ayat (1) dan Ayat (2)
[8] Purwahid Patrik, Op. Cit., hlm 62.
[9] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 9
Ayat (1)
[10] Boedi Harsono, Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. (Jakarta
: Djambatan, 2000), hal.425
[11] Sutardja Sudrajat, Pendaftaran
Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, (Bandung: Mandar Maju, 1997),
hlm 54.
bagus,,, terimakasih, sangat membantu pak
BalasHapussama-sama
Hapusbagus,,, terimakasih, sangat membantu pak
BalasHapus