BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat di dunia kini telah memberikan
dampak perubahan perilaku manusia, baik secara sosial, pendidikan, informasi,
dan perdagangan.
Salah satunya dengan perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong
kemajuan di bidang teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin
luas dalam kegiatan bisnis, industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan
manusia. Dimana kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan
fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber World) yang tidak memerlukan kegiatan fisik. Ditengah
globalisasi komunikasi yang semakin terpadu dengan semakin populernya internet,
seakan telah membuat dunia semakin menciut dan semakin memudarkan batas negara
berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga perkembangan
teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang pun yang
pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih menjadi transaksi
jual beli barang secara elektronik yang menggunakan media internet yang dikenal
dengan e-commerce atau perdagangan
elektronik.
Dalam dunia perdagangan pun
telah memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika sebagai media untuk
memperluas pemasaran, dan mempermudah
transaksi dalam perbuatan perdagangan. Perbuatan perdagangan termasuk dalam
perikatan sehingga yang menjadi syarat dalam perdagangan memenuhi sebagaimana yang diatur pada Pasal
1320 Burgerlijk Wetboek mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan menggunakan teknologi
telekomunikasi dan informatika, syarat sahnya perjanjian dan bentuk perjanjian
yang harus bersifat kaku yaitu berbentuk fisik dan tertulis atau langsung,
nyata dirasakan semua pihak saling bertemu telah mulai ditinggalkan dimana
suatu perjanjian dan transaksi tidaklah bertemu langsung, atau menandatangani
secara langsung.
Salah satu bentuk transaksi dalam dunia perbankan
yang
menggunakan teknologi internet disebut dengan internet banking. Internet banking
merupakan salah satu transaksi elektronik yang sering digunakan dalam
masyarakat yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank. Kehadiran layanan internet banking sebagai media
alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah suatu bank seperti
menjadi solusi yang cukup efektif. Hal ini tidak terlepas dari
kelebihan-kelebihan yang dimiliki internet itu sendiri, dimana orang ketiga
ingin melakukan transaksi melalui layanan internet
banking, dapat melakukan dimana dan kapan saja. Tetapi transaksi melalui internet banking ini juga tidak terlepas
dari resiko yang ada dalam penyelenggaraannya.
Tentunya dapat disadari pula
bahwa aspek-aspek negatif dari sistem informasi teknologi yang begitu tinggi
membawa imbas negatif sehingga pelanggaran dan kejahatan yang semula dalam
kehidupan konvensional tidak dapat ditemukan, dewasa kini dengan mudah dapat
dilakukan oleh individu atau kelompok dengan akibat kerugian yang begitu besar
bagi masyarakat dan bahkan Negara. Teknik hacker/peretas yang dapat menjebol
atau mencuri bahan informasi berharga dan juga pembobolan keuangan di perbankan
yang menimbulkan kerugiaan bagi nasabah tidak dapat terhindar. Berbagai
penyimpangan tersebut menuntut adanya sistem hukum yang efektif dalam mencegah
dan menanggulangi berbagai kejahatan cyber.
Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana konsepsi perlindungan konsumen dalam
transaksi elektronik dan jaminan keamanan konsumen dalam sistem internet banking.
Mendasarkan pada uraian
latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih jauh mengenai perlindungan konsumen yang berkaitan
dengan internet banking yang berjudul
“PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT TRANSAKSI
ELEKTRONIK MELALUI INTERNET BANKING”.
B.
IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun
yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah
perlindungan konsumen dalam
perdagangan elektronik?
2.
Bagaimanakah
jaminan keamanan konsumen dalam sistem internet
banking?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan makalah ini adalah:
1.
Memahami perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik.
2.
Memahami cara menjamin keamanan konsumen dalam sistem internet
banking.
D.
MANFAAT
PENULISAN
Manfaat dari penulisan karya
tulis ini adalah sebagai berikut :
1.
Segi Teoritis
Tulisan ini diharapakan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan terutama bagi hukum perusahaan yang
mengatur perlindungan konsumen, khususnya terhadap konsumen yang melakukan
perdagangan elektronik dengan sistem internet
banking.
2.
Segi Praktis
Tulisan ini diharapkan dapat memperluas serta menambah
khasanah pengetahuan kita mengenai Hukum Perusahaan yang mengatur perlindungan
konsumen, khususnya cara menjamin keamanan konsumen dalam sistem internet banking.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN ELEKTRONIK
DI INDONESIA
A.
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan Konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan
bagi konsumen[1]. Ada
beberapa sarjana yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan
bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution misalnya, berpendapat
bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung
sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Hukum konsumen dalam hukum
perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas dimana termasuk hukum
perdata, hukum dagang serta kaidah
kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang
undangan lainnya. Baik hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Kaidah-kaidah
hukum perdata umumnya termuat dalam KUH Perdata. Pada tahun 1963 Mahkamah Agung
“menganggap” KUH Perdata (BW) tidak sebagai Undang undang tetapi sebagai
dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis[2].
Adapun Hukum Konsumen menurut Az. Nasution
adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan
masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia
dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat[3]. Disamping itu Az.
Nasution dalam bukunya yang lain menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen
diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang
dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup[4].
Pada dasarnya baik hukum konsumen maupun
hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum
(hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam
hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah
yang menjadi materi pembahasannya. Hukum perlindungan konsumen atau hukum
konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya[5].
Dengan demikian, apabila perlindungan
konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian
pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka
hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk
menjamin terwujudnya perlindunganhukum terhadap kepentingan konsumen.
Pasal 2 UUPK menyebutkan
“perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Di dalam penjelasan
pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu:
1.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra
keseluruhan.
2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepeda konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik
pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Menurut pasal 3 UUPK,
perlindungan konsumen bertujuan :
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.
Menciptakan perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
Obyek daripada hukum perlindungan konsumen adalah konsumen, pengertian
konsumen menurut UUPK pasal 1 angka 2 adalah “setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri,keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan” sedangkan Taufik H. Simatupang menyatakan bahwa: “Dalam
pengertian sempit konsumen dapat diartikan setiap orang (anyperson), pembeli (purchase),
dan pengguna yang tidak berniat untuk menjual (not for sale). Sedangkan dalam pengertian luas konsumen dapat
diartikan apa saja tanpa terkecuali, termasuk badan hukum yang bukan orang atau
instansi, sepanjang hal tersebut menyangkut kepentingan-kepentingan individu (anything/without exeption primasy for
personal). Meliputi pula sewa/kontrak dari suatu jasa yang diterima (lease) dan penyewa/pengontrak (receive)”[6].
Perlindungan
hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya
transaksi (no conflict/pre purchase)
dapat dilakukan dengan cara antara lain:
1.
Legislation,
yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukanpada saat sebelum
terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui
peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya
peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan
sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan
yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
2.
Voluntary
Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen
yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini
pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri
agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya. Sedangkan untuk
perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi
(conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN)
atau diluar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.
Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
1.
Perlindungan tersebut berlaku untuk semua
pihak baik yang berposisi sebagai konsumen maupun pengusaha sebagai pengelola
produksi barang atau jasa atau instansi apapun.
2.
Perlindungan tersebut semata-mata dikaitkan
dengan masalah kesehatan manusia atau kenyamanan yang dibutuhkan oleh setiap
manusia.
Menurut Prof. hans. W. Mickklitz, dalam perlindungan
konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama,
kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku
usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).
Kedua, kebijakan
kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan
ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Prinsip tentang tanggung
jawab merupkan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip
tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur
Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsure kesalahan (fault liability atau
liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku
dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, Pasal
1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan,
seserorang dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai
pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a.
Adanya perbuatan,
b.
Adanya unsur kesalahan,
c.
Adanya kerugian yang diderita,
d.
Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan
dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang
bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”. Tidak hanya bertentangan dengan
undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Ketentuan
diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et
alteram partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang
berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan
patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenagkan
perkara tersebut.
2.
Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung
Jawab
Prinsip ini menyatakan, Tergugat selalu
dianggap bertanggungjawab (presumption of
liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat.
Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam
prinsip tersebut. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23 (lihat ketentuan
pasal 28 UUPK). Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah
seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan
sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang lazim
dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak
asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban
untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat Tergugat
ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja
konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan-gugatan.
Posisi konsumen sebagai Penggugat selau terbuka untuk digugat balik oleh pelaku
usaha, jika ia gagal menunjukan kesalahan si Tergugat.
3.
Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu
Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip
kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjwab (presumption of non laiblity principile) hanya dikenal dalam lingkup
transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara
common sense dapat dibenarkan.
4.
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggungjawab
absolute (absolute liability).
Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas.
Ada pendapat yang mengatakan, strict
liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak
sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan
tidak ada pengecualian. Biasanya prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan
karena:
a.
konsumen tidak dalam posisi menguntungkan
untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi
yang kompleks.
b.
waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya
dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga pokoknya.
c.
asas ini dapat memaksa produsen lebih
berhati-hati.
5.
Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan
(limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku untuk
dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya ditentukan bila film yang dicuci
cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si
konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film
baru. Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen , bila diterapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha
tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk
membatasi maksimal tanggung jawabnya.
Jika ada pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas[7].
B.
PERKEMBANGAN PERDAGANGAN
ELEKTRONIK (E- COMMERCE) DI INDONESIA
E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan
baik barang dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam
kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Danrivanto dalam bukunya mengatakan bahwa transaksi elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media
elektronik lainnya[8]. Keunggulan
e-commerce terletak pada efisiensi
dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce
maka tidak akan lepas dari hukum internet (cyber
law). Internet adalah dunia virtual/dunia maya yang memiliki komunitas yang
sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi komputer yang
berlangsung secara online pada saat si pengguna internet menekan atau telah
terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam konteks ini pula maka aspek
hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce
adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak
yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce.[9]
E-commerce atau perdagangan
elektronik adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa
melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan
komputer lainnya. Sedangkan Julian Ding[10]
memberikan definisi sebagai berikut :
“Electronic Commerce, or E-commerce
as it is also known is a commercial transactions
between a vendor and purchaser or parties in similar contractual relationships
for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This
commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or
digital medium) when the physical presence of the parties is not required. And
the medium exits in a public network or system as opposed to a private network
(Closed System). The public network or system must be considered an open system
(e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded
regardless of national boundaries or local requirements”. Terjemahan bebasnya
adalah sebagai berikut:
Electronic
Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli
untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan
dengan media elektronik (digital medium)
di mana para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam
jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web.
Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional.
E-commerce dapat
dibagi menjadi 2 model, yakni :[11]
a.
B2B (bussines to bussines)
Yakni perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana barang yang
diperdagangkan biasanya akan dijual kembali, contoh ; perusahaan A membeli
barang dari perusahaan B.
b.
B2C (bussiness to consumer)
Yakni perdagangan yang melibatkan dua atau lebih pihak, dimana pihak yang
satu adalah produsen atau penjual akhir dan di lain pihak adalah konsumen.
Model inilah yang paling banyak berkembang dimasyarakat.
Dalam kegiatan perniagaan model B2C, transaksi
memiliki peran yang sangat penting. Pada umumnya, makna transaksi sering
direduksi sebagai perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk
itu. Padahal dalam perspektif yuridis, terminologi transaksi tersebut pada
dasarnya merupakan keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang
terjadi antara para pihak. Makna yuridis dari transaksi pada dasarnya lebih
ditekankan pada aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para
pihak bukan perbuatan hukum formilnya. Oleh karena itu, keberadaan
ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan tetap berlaku, walaupun transaksi
terjadi secara elektronik[12].
E-commerce telah banyak digunakan khususnya di Indonesia seiring
dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut data Departemen
Telekomunikasi, jumlah pengguna internet pada bulan februari 2008 mencapai 25
juta pengguna dan diprediksi akan mencapai 40 juta pengguna pada akhir tahun
2008. Sebelum keluarnya Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-commerce diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan
munculnya Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan
transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan
hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin,
dan yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai
dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik
dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan e-commerce mempunyai basis legalnya.
C.
PRAKTEK TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM SISTEM PERBANKAN
Electronic
Banking atau e-banking didefinisikan sebagai
penghantaran otomatis jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah
melalui elektronik. E-banking
meliputi sistem yang memungkinkan nasabah bank, baik individu ataupun bisnis,
untuk mengakses rekening, melakukan transaksi bisnis, atau mendapatkan
informasi produk dan jasa bank melalui jaringan pribadi atau publik, termasuk
internet. Nasabah dapat mengakses e-banking
melalui piranti pintar elektronis seperti komputer/PC, PDA, ATM, atau telepon. Jenis –
jenis layanan e-banking antara lain
sebagai berikut:
1.
ATM, Automatic Teller
Machine atau Anjungan Tunai Mandiri
ATM adalah untuk mengetahui informasi saldo dan melakukan
penarikan tunai. Namun dalam Ini adalah saluran e-banking paling populer yang kita kenal. Fitur tradisional
perkembangannya, fitur semakin bertambah sehingga memungkinkan untuk melakukan
pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon),
pembelian (voucher dan tiket), dan yang terkini transfer ke bank lain (dalam
satu switching jaringan ATM).
2.
Phone Banking
Ini
adalah saluran yang memungkinkan nasabah untuk melakukan transaksi dengan bank
via telepon. Pada awalnya, lazim diakses melalui telepon rumah, namun seiring
dengan makin populernya telepon genggam/HP Pada awalnya, layanan Phone Banking
hanya bersifat informasi yaitu untuk informasi jasa/produk bank dan informasi
saldo rekening serta dilayani oleh Customer Service Operator/CSO. Namun
profilnya kemudian berkembang untuk transaksi pemindahbukuan antar rekening,
pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket),
dan transfer ke bank lain, serta dilayani oleh Interactive Voice Response
(IVR).
3.
Internet
banking
Ini termasuk saluran terbaru e-banking yang memungkinkan nasabah melakukan transaksi via
internet dengan menggunakan komputer/PC atau PDA. Fitur transaksi yang dapat
dilakukan sama dengan Phone Banking yaitu informasi jasa/produk bank, informasi
saldo rekening, transaksi pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu
kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket), dan transfer ke
bank lain.
4.
SMS/m-Banking
Saluran
ini pada dasarnya merupakan evolusi lebih lanjut dari Phone Banking, yang
memungkinkan nasabah untuk bertransaksi via HP dengan perintah SMS. Fitur
transaksi yang dapat dilakukan yaitu informasi saldo rekening, pemindahbukuan
antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), dan pembelian
voucher.
BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT TRANSAKSI
ELEKTRONIK MELALUI INTERNET BANKING
A.
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERDAGANGAN
ELEKTRONIK
Dalam
praktek e-commerce, UNCITRAL telah
mengeluarkan model hukum yang ditujukan untuk memberikan panduan-panduan yang
patut diikuti oleh negara-negara yang telah menjadi anggota PBB. Tujuan
utamanya agar menyusun produk legislasi nasional yang mengatur e-commerce, Negara-negara tersebut dapat
meningkatkan daya guna seluruh aspek penting yang tercantum dalam model hukum
untuk perdagangan elektronik[13].
Terdapat
beberapa perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik diantaranya melalui
cara sebagai berikut[14]:
1.
Kontrak
Baku Transaksi Elektronik
Konsumen
dalam hal ini tidak mempunyai alat-alat proteksi yang terorganisir dengan baik. Persoalan
ini dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa pelaku usaha yang mejual barang
atau jasanya secara online kerap
mencantumkan kontrak baku, sehingga
muncul kekuatan daya tawar yang asimetris (unequal
bargaining power). Studi yang dilakukan oleh Ian Walden menjelaskan, bahwa
syarat dan ketentuan yang tercantum dalam kontrak baku hanya ditentukan oleh
pelaku usaha sendiri. Mereka menyebarluaskan model ini kepada calon konsumen
lewat web site atau floopy disk. Sehingga faktanya menutup
kemunginan konsumen untuk melakukan negosiasi dengan pelaku usaha. Perjanjian
model ini sering disebut dengan shrink-wrap,
click-wrap,dan browse-wrap contract.
Jenis model perlindungan konsumen ini menempatkan perlindungan layaknya kontrak
secara konvensional yang dimana tertulis pada media kertas yang mengubah media
kertas kepada media elektronik. Karena hal tersebut termasuk sebagai kontrak,
maka prinsip – prinsip yang terkait terhadap kontrak sebagaimana yang tertera
pada buku III Burgelijk Wetboek tetaplah berlaku, yang sangat disayangkan pada
jenis perlindungan ini tidak adanya negosiasi antar kedua belah pihak yang
terkait.
2.
Online Dispute Resolution (ODR)
Eksistensi
prosedur ODR dalam system hukum sangat mempengaruhi kekuatan elemen proteksi
konsumen yang melakukan transaksi secara online.
Oleh karena itu, konsumen harus dapat mengakses informasi yang jelas dan benar
tentang ODR termasuk mekanisme maupun prosedurnya.
Kelemahan dari perlindungn konsumen ini adalah masih banyak konsumen yang belum
tahu bahkan tidak mengetahui bagaimana cara menyelesaikan persoalan hukum yang
mereka hadapi melalui proses ini. Maka sudah sepatutnya konsemen diberi
informasi yang jelas dan lengkap tentang keberadaan ODR dalam system hukum
Indonesia.
3.
Penyelesaiaan
Sengketa Transaksi Elektronik
Perlindungan
konsumen ini telah diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 UU ITE Pasal 18 ayat (1) mengatakan bahwa
“Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik
mengikat para pihak” yang memnugkin bisa terjadinya sengketa diantara para
pihak maka diatur pula pada ayat (2) yang mengatakan “para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi
transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”. Maka dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa para
pihak dapat melakukan pilihan hukum dalam kontraknya dan apabila transaksi yang
dilakukan bersifat internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas hukum perdata internasional.
B.
JAMINAN KEAMANAN KONSUMEN DALAM SISTEM INTERNET
BANKING
Internet
banking merupakan salah satu transaksi elektronik yang sering
digunakan dalam masyarakat yang ditawarkan oleh bank. Kehadiran layanan internet banking sebagai media
alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah suatu bank seperti
menjadi solusi yang cukup efektif. Hal ini tidak terlepas dari
kelebihan-kelebihan yang dimiliki internet itu sendiri, dimana seseorang ketiga
ingin melakukan transaksi melalui layanan internet
banking, dapat melakukan dimana dan kapan saja. Tetapi transaksi melalui internet banking ini juga tidak terlepas
dari resiko yang ada dalam penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:
1.
Resiko kredit adalah risiko terhadap
pendapatan atau modal yang timbul dari kegagalan obligor untuk menyepakati
setiap kontrak dengan bank atau sebaliknya untuk performan yang disetujui.
Resiko kredit ditemukan dalam semua kegiatan yang kesuksesannya tergantung pada
performan counterparty, issuer, atau
peminjam.
2.
Resiko suku bunga adalah resiko terhadap
pendapatan dan modal yang timbul dari pergerakan dalam suku bunga. Layanan internet banking dapat menyediakan
layanan deposito, pinjaman dan hubungan lainya.
3.
Resiko transaksi adalah resiko yang
prospektif dan banyak berdampak pada pendapatan modal.
Oleh karena itu perlu ada yang manajeman resiko yang
benar dalam menyelenggarakan kegiatan internet
banking.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau
manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan internet
banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP
tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas
Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet
banking). Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb.:
a.
Bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara efektif.
b.
Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan
dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada
Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui
Internet (Internet banking), yang
ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c.
Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang
menyelenggarakan kegiatan internet
banking adalah:
1)
Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang
meliputi:
a)
Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang
efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan
proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut.
b)
Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang
terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
2)
Pengendalian pengamanan (security control)
a)
Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk
menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang
melakukan transaksi melalui internet
banking.
b)
Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian
transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan tanggung
jawab dalam transaksi internet banking.
c)
Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem
internet banking, database dan
aplikasi lainnya.
d)
Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap
otorisasi dan hak akses (privileges)
yang tepat terhadap sistem internet
banking, database dan aplikasi lainnya.
e)
Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai
untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet banking.
f)
Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas untuk seluruh
transaksi internet banking.
g)
Bank harus mengambil langkah-langkah
untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada internet banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan sensitivitas
informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database.
3) Manajemen
Resiko Hukum dan Risiko Reputasi
a)
Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan
informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat
mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui internet banking.
b)
Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan
bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di
negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet banking.
c)
Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan
berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan
jasa internet banking.
d)
Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai
untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari
kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang dapat menghambat
penyediaan sistem dan jasa internet
banking.
e)
Dalam hal sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing), bank
harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due dilligence yang
menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga
tersebut.
Seperti
yang telah dijelaskan dalam Bab II, perlindungan hukum terhadap konsumen
sebelum terjadinya transaksi dapat dilakukan dengan cara Legislation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang
dilakukanpada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan
kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat) dan Voluntary Self
Regulation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang
dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku
usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar
lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya). Sedangkan untuk
perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan
melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau diluar Pengadilan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang
bersengketa. Berikut ini penerapan perlindungan hukum terhadap konsumen sebelum
terjadinya transaksi melalui internet
banking:
1.
Perlindungan Hukum dengan Pendekatan Self Regulation
Perlindungan hukum
preventif atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan internet banking dengan pendekatan
pengaturan hukum secara internal dari penyelenggara layanan internet banking itu sendiri. Dengan
cara mempersyaratkan untuk melakukan pendaftaran . apabila langkah ini telah
dilakukan maka dapat diakses melalui layanan internet bankingnya. Oleh karena itu, layanan internet banking sifatnya merupakan media bagi pemasaran produk dan
sekaligus sebagai sarana mempermudah transaksi, di mana transaksi dapat
dilakukan secara online.
Dengan langkah preventif ini maka data
pribadi nasabah dapat dilindungi dari para hacker. Untuk menambah keamanan
digunakan metode time out session,di mana setelah 10 menit tanpa aktivitas
nasabah, akses akan tidak aktif lagi. setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah,
akses akan tidak aktif lagi.
2.
Perlindungan Hukum dengan Pendekatan Government Regulation
Ada Beberapa
ketentuaan yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
dalam pasal 29 ayat 5 dan ayat 40 ayat 1 dan 2. didalam pasal 29 ayat 5
menyatakan “ untuk kepentingan nasabah bank menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian bagi transaksi nasabah yang dilakukan
melalui bank. Dalam penjelasan pasal ini bank bekerja dengan dana masyarakat
disimpan di bank dengan atas dasar kepercayaan. Dengan demikiaan setiap bank
harus menjaga kesehataannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya.
Beberapa ketentuan yang dapat dijadikan landasan dalam
perlindungan hukum bagi konsumen atas data pribadi nasabah dalam
penyelenggaraaan internet banking
yakni Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Elektronik, Undang-undang Nomor
36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
Tentang Dokumen Perusahaan penerapan Undang-Undang Telekomunikasi untuk
mencermati perlindungan data pribadi nasabah disebabkan bahwa penyelenggaraan internet banking pada dasarnya tidak
akan terlepas dari penggunaaan jasa telekomunikasi.
Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi menyatakan sebagai
berikut, “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau
memanipulasi: (1) Akses ke jaringan telekomunikasi dan atau; (2) Akses ke jasa
telekomunikasi dan atau; (3) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagi para pihak yang melakukan pelanggaran akan di
kenakan sanksi pidana sebagai mana yang di atur dalam pasal 50 Undang-undang
Telekomunikasi. “ barang siapa yang melanggar ketentuaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Menurut pasal 5 huruf h Undang-undang Tentang
Perlindungan Konsumen “ hak untuk mendapat konpensasi , gantirugi dan atas
penggantian “, apabila barang atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Apabila terjadi kerugiaan terhadap nasabah
bank yang mengunakan fasilitas internet
banking maka Bank harus bertanggung jawab baik kerugiaan materiil maupun
kerugian atas bocornya data pribadi nasabah, baik yang disebabkan oleh
kesalahan dari pihak Bank maupun akibat yang dilakukan oleh pihak hacker.
C.
KILASAN KASUS KLIK
BCA
Pada tahun 2001, internet banking
diributkan oleh kasus pembobolan internet
banking milik bank BCA, kasus tersebut dilakukan oleh seorang mantan
mahasiswa Institut Teknik Bandung (ITB) dan juga merupakan salah satu karyawan
media online yaitu satunet.com yang bernama Steven Haryanto. Anehnya, Steven
ini bukan seorang insinyur elektro ataupun informatika, melainkan
insinyur kimia. Ide ini timbul ketika Steven pernah salah dalam mengetikkan
alamat website, kemudian dia membeli domain-domain internet dengan harga
sekitar US$ 20 yang menggunakan nama dengan kemungkinan orang-orang salah
mengetikkan dan tampilan yang sama persis dengan situs internet banking BCA www.klikbca.com dengan nama lain yaitu clikbca.com, klickbca.com, dan
klikbac.com.
Jika masuk ke situs-situs tersebut, anda akan
mendapatkan situs internet yang sama persis dengan situs www.klikbca.com. Hanya saja saat melakukan
login, anda tidak akan masuk ke fasilitas internet
banking BCA namun akan tertera pesan “The page cannot be displayed”.
Fatalnya dengan melakukan login di situs tersebut, username dan PIN internet
anda secara otomatis terkirim pada sang pemilik situs, yaitu Steven.
Orang tidak akan sadar bahwa dirinya telah
menggunakan situs palsu tersebut karena tampilan yang disajikan serupa dengan
situs aslinya. Hacker tersebut mendapatkan user ID dan password dari pengguna
yang memasuki situs palsu tersebut, namun hacker tersebut tidak bermaksud
melakukan tindakan kriminal seperti mencuri dana nasabah. Hal ini murni
dilakukan atas keingintahuannya mengenai seberapa banyak orang yang tidak sadar
menggunakan situs www.klikbca.com sekaligus
menguji tingkat keamanan dari situs milik BCA tersebut.
Steven Haryanto dapat disebut sebagai hacker karena dia telah
mengganggu suatu sistem milik orang lain yang dilindungi privasinya. Sehingga
tindakan Steven ini disebut sebagai hacking. Steven dapat digolongkan dalam
tipe hacker sebagai gabungan white-hat hacker dan black-hat hacker, dimana
Steven hanya mencoba mengetahui seberapa besar tingkat keamanan yang dimiliki
oleh situs Internet banking Bank BCA.
Disebut white-hat hacker karena dia tidak mencuri dana nasabah tetapi hanya
mendapatkan user ID dan password milik nasabah yang masuk dalam situs internet banking palsu. Namun, tindakan
yang dilakukan Steven juga termasuk black-hat hacker karena membuat situs palsu
dengan diam-diam mengambil data milik pihak lain. Hal-hal yang dilakukan Steven
antara lain scans, sniffer, dan password crackers.
Steven sendiri telah menyatakan menyesal dan
mengakui menimbulkan kerugian kepada pihak BCA dan pihak pelanggan yang
kebetulan masuk ke situs palsu tersebut. Steven juga menyerahkan kembali data
user yang didapatkannya kepada BCA dan menjamin data tersebut tidak pernah
disalahgunakan.
Menurut Laksono, data yang diperoleh Steven
juga tidak semuanya valid karena apapun yang diketikkan pada form user ID dan
PIN akan terekam oleh program Steven, walaupun data yang diketikkan tidak
valid. Saat itu pihak Bank Central Asia (BCA) tidak mengadukan pemalsu situs www.klikbca.com,
Steven Haryanto, pada pihak kepolisian, tetapi memikirkan alternatif lain
ketimbang melaporkan Steven ke polisi yang tidak bisa disebutkan, demikian
ungkap Deputy Chief Manager Customer Service BCA Laksono pada tanggal 8 Juni
2001.
Pihak BCA sendiri telah meminta Steven menutup semua situs
palsunya dan hal itu sudah dilakukan oleh Steven. Jika situs-situs www.klikbca.com
palsu diakses sekarang tertera peringatan berbunyi “ANDA SALAH KETIK SITUS ASLI
ADA DI www.klikbca.com” secara mencolok dengan huruf merah dan link ke situs www.klikbca.com
dengan warna ungu.
Analisis Kasus Klik
BCA
Dalam kasus klikbca.com banyak sekali masyarakat yang dirugikan,
kerena Steven Haryanto, membuat lebih
dari satu situs www.klikbca.com
palsu. Sehingga banyak masyarakat yang masih awam mengira bahwa situs tersebut
adalah situs milik klikbca yang asli karena memang tampilannya pun sama dengan
situs klikbca. Hanya saja pada saat login tidak akan masuk ke fasilitas internet banking BCA dan akan tertera
pesan "The page cannot be displayed". Fatalnya adalah dengan login di
situs-situs tersebut username dan password/pin akan terkirim kepada pemilik
situs tersebut. Dalam hal ini memang bukan pihak BCA yang melakukan kejahatan,
dan jika di hubungkan dengan pasal 28 UUPK no 8 tahun 1999 yang isinya:
“pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pasal 19, pasal 22, dan
pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”
Pasal 19
UUPK:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang/jasa yang diperjualbelikan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang / jasa yang sejenis atau
setara nialainya…
Sebagaimana diketahui Pasal 19 yang dimaksud
mengatur tanggung jawab ganti rugi, Pasal 22 tentang tanggung jawab pembuktian
unsur kesalahan dalam perkara pidana, dan Pasal 23 mengatur gugatan melalui
badan penyelesaian sengketa konsumen atau badan peradilan ditempat kedudukan
konsumen, namun dalam hal ini apabila pelaku usaha dapat membuktikan kerugian
bukan merupakan kesalahannya maka pelaku usaha terbebas dari tanggung jawab
ganti kerugian.
Walaupun dalam
kasus ini yang melakukan kejahatan bukan dari pelaku usaha namun dari pihak
lain, tapi perusahaan BCA dan konsumennya tetaplah merasa dirugikan, dan
apabila pihak BCA tidak melakukan tindakan sama sekali akan seolah-olah tidak
ada perlindungan terhadap konsumennya. Tindakan BCA dalam kasus ini adalah
bernegoisasi dengan pemilik situs agar menyerahkan segala data yang telah
dimilikinya, serta bersedia juga menyerahkan situs-situs yang merugikan
konsumen BCA tersebut. Berdasarkan prinsip yang bersalah yang bertanggung jawab
maka seharusnya steven dilaporkan kepada pihak kepolisian atas tindakan pidana
yang dilakukannya Karena melanggar Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan sebagai
berikut, “setiap orang dilarang melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: (1) Akses ke jaringan
telekomunikasi dan atau; (2) Akses ke jasa telekomunikasi dan atau; (3) Akses
ke jaringan telekomunikasi khusus”. Dalam kasus ini steven telah terbukti
telah memanipulasi situs sehingga nasabah-nasabah tertipu dan masuk pada situs
yang dibuatnya. Maka Bagi para pihak yang melakukan pelanggaran harus di
kenakan sanksi pidana sebagai mana yang di atur dalam pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi.
“barang siapa yang melanggar ketentuaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)”.
Dalam kasus ini pihak BCA hanya bernegosiasi dengan steven dan dalam rangka
perlindungan konsumennya maka pihak BCA harus memberikan ganti kerugian kepada
seluruh nasabah yang telah dirugikan karena pihak BCA dalam situs tersebut
belum mendapatkan serifikat keamanan internasional dalam dunia maya yang belum
maksimal dalam memanfaatkan internet
banking untuk perlindungan nasabahnya yang dimana memaksimalkan keamanan
suatu website telah sesuai dengan
asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
BAB IV
SIMPULAN
1.
Perlindungan konsumen dalam perdagangan
elektronik diatur baik dalam instrumen hukum internasional (misalnya UNCITRAL),
maupun instrumen hukum nasional (misalnya UU ITE, juga UUPK). Terdapat
beberapa perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik diantaranya melalui
cara sebagai berikut:
·
Kontrak
Baku Transaksi Elektronik
·
Online Dispute Resolution (ODR)
·
Penyelesaiaan
Sengketa Transaksi Elektronik
2.
Jaminan keamanan perlindungan hukum
terhadap konsumen sebelum terjadinya transaksi internet banking dapat dilakukan dengan cara Governement Regulation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen
yang dilakukanpada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan
perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah
dibuat) dan Self Regulation
(yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum
terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara
sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan
waspada dalam menjalankan usahanya). Sedangkan untuk perlindungan hukum
terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan
Negeri (PN) atau diluar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Az. Nasution, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
Daya Widya, Jakarta, 1999.
Danrivanto
Budhijanto, Hukum Telekomunikasi,
Penyiaran,dan Teknologi Informasi Regulasi dan Konvergensi, Refika Aditama,
Bandung, 2010.
Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi
Eelektronik, Alumni, Bandung, 2010.
Miriam Darus Badrulzaman, (et.al),
Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001.
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk),
Panta Rei, Jakarta, 2005.
Shidarta, Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006.
Taufik H. Simatupang,
Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif
Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Instrumen
Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1998
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE)
Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
Artikel
Michael S.H. Neng, “Understansing Electronic Commerce
From A Historitical Perspective”, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc
Henry Prayitno, “E-commerce Dalam perspektif Hukum”,
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=123490
Otje Salman S., “Prinsip-prinsip Cyber Law Dalam Hukum Positif di Indonesia”,
http://hk.unikom.ac.id/download/PRINSIPPRINSIP%20CYBER%20LAW%20DALAM%20.doc
[1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK).
[2] SEMA RI Tanggal
5 September 1963 tentang Gagasan Menganggap BW tidak sebagai Undang-undang
dalam Az. Nasution, Hukum Perlindungan
Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999, hlm. 38.
[4] Az. Nasution, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi
dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1995, hlm 64-65.
[5] N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk), Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 13.
[6] Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.
47.
[8] Danrivanto
Budhijanto, Hukum Telekomunikasi,
Penyiaran,dan Teknologi Informasi Regulasi dan Konvergensi, Refika Aditama,
Bandung, 2010, hlm.138.
[9] Michael S.H. Neng, “Understansing
Electronic Commerce From A Historitical Perspective”,
http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc
[10] Miriam Darus Badrulzaman, (et.al), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,. hlm. 283.
[11] Henry Prayitno, “E-commerce Dalam
perspektif Hukum”,
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=123490
[12] Otje Salman S., “Prinsip-prinsip
Cyber Law Dalam Hukum Positif di Indonesia”,
http://hk.unikom.ac.id/download/PRINSIPPRINSIP%20CYBER%20LAW%20DALAM%20.doc
[13] Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi
Eelektronik, Alumni, Bandung, 2010, hlm.65 – 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar