Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DAN JAMINAN KEAMANAN KONSUMEN DALAM SISTEM INTERNET BANKING



BAB I
PENDAHULUAN
A.        LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat di dunia kini telah memberikan dampak perubahan perilaku manusia, baik secara sosial, pendidikan, informasi, dan perdagangan.
Salah satunya dengan perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan bisnis, industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber World) yang tidak memerlukan kegiatan fisik. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu dengan semakin populernya internet, seakan telah membuat dunia semakin menciut dan semakin memudarkan batas negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang pun yang pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih menjadi transaksi jual beli barang secara elektronik yang menggunakan media internet yang dikenal dengan e-commerce atau perdagangan elektronik.

Dalam dunia perdagangan pun telah memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika sebagai media untuk memperluas pemasaran, dan  mempermudah transaksi dalam perbuatan perdagangan. Perbuatan perdagangan termasuk dalam perikatan sehingga yang menjadi syarat dalam perdagangan  memenuhi sebagaimana yang diatur pada Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan menggunakan teknologi telekomunikasi dan informatika, syarat sahnya perjanjian dan bentuk perjanjian yang harus bersifat kaku yaitu berbentuk fisik dan tertulis atau langsung, nyata dirasakan semua pihak saling bertemu telah mulai ditinggalkan dimana suatu perjanjian dan transaksi tidaklah bertemu langsung, atau menandatangani secara langsung.
Salah satu bentuk transaksi dalam dunia perbankan yang menggunakan teknologi internet disebut dengan internet banking. Internet banking merupakan salah satu transaksi elektronik yang sering digunakan dalam masyarakat yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank. Kehadiran layanan internet banking sebagai media alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah suatu bank seperti menjadi solusi yang cukup efektif. Hal ini tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki internet itu sendiri, dimana orang ketiga ingin melakukan transaksi melalui layanan internet banking, dapat melakukan dimana dan kapan saja. Tetapi transaksi melalui internet banking ini juga tidak terlepas dari resiko yang ada dalam penyelenggaraannya.
Tentunya dapat disadari pula bahwa aspek-aspek negatif dari sistem informasi teknologi yang begitu tinggi membawa imbas negatif sehingga pelanggaran dan kejahatan yang semula dalam kehidupan konvensional tidak dapat ditemukan, dewasa kini dengan mudah dapat dilakukan oleh individu atau kelompok dengan akibat kerugian yang begitu besar bagi masyarakat dan bahkan Negara. Teknik hacker/peretas yang dapat menjebol atau mencuri bahan informasi berharga dan juga pembobolan keuangan di perbankan yang menimbulkan kerugiaan bagi nasabah tidak dapat terhindar. Berbagai penyimpangan tersebut menuntut adanya sistem hukum yang efektif dalam mencegah dan menanggulangi berbagai kejahatan cyber. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana konsepsi perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik dan jaminan keamanan konsumen dalam sistem internet banking.
Mendasarkan pada uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai perlindungan konsumen yang berkaitan dengan internet banking yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT TRANSAKSI ELEKTRONIK MELALUI INTERNET BANKING”.

B.        IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.         Bagaimanakah perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik?
2.         Bagaimanakah jaminan keamanan konsumen dalam sistem internet banking?
C.        TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1.        Memahami perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik.
2.        Memahami cara menjamin keamanan konsumen dalam sistem internet banking.

D.        MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1.         Segi Teoritis
Tulisan ini diharapakan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan terutama bagi hukum perusahaan yang mengatur perlindungan konsumen, khususnya terhadap konsumen yang melakukan perdagangan elektronik dengan sistem internet banking.
2.         Segi Praktis
Tulisan ini diharapkan dapat memperluas serta menambah khasanah pengetahuan kita mengenai Hukum Perusahaan yang mengatur perlindungan konsumen, khususnya cara menjamin keamanan konsumen dalam sistem internet banking.




BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI INDONESIA

A.        PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen[1]. Ada beberapa sarjana yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution misalnya, berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Hukum konsumen dalam hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas dimana termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah  kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang undangan lainnya. Baik hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam KUH Perdata. Pada tahun 1963 Mahkamah Agung “menganggap” KUH Perdata (BW) tidak sebagai Undang undang tetapi sebagai dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis[2].
Adapun Hukum Konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat[3]. Disamping itu Az. Nasution dalam bukunya yang lain menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup[4].
Pada dasarnya baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya[5].
Dengan demikian, apabila perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindunganhukum terhadap kepentingan konsumen.
Pasal 2 UUPK menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Di dalam penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu:
1.         Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra keseluruhan.
2.         Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepeda konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.         Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil.
4.         Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.         Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Menurut pasal 3 UUPK, perlindungan konsumen bertujuan :
1.         Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.         Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
3.         Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.         Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5.         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Obyek daripada hukum perlindungan konsumen adalah konsumen, pengertian konsumen menurut UUPK pasal 1 angka 2 adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” sedangkan Taufik H. Simatupang menyatakan bahwa: “Dalam pengertian sempit konsumen dapat diartikan setiap orang (anyperson), pembeli (purchase), dan pengguna yang tidak berniat untuk menjual (not for sale). Sedangkan dalam pengertian luas konsumen dapat diartikan apa saja tanpa terkecuali, termasuk badan hukum yang bukan orang atau instansi, sepanjang hal tersebut menyangkut kepentingan-kepentingan individu (anything/without exeption primasy for personal). Meliputi pula sewa/kontrak dari suatu jasa yang diterima (lease) dan penyewa/pengontrak (receive)”[6].
Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara antara lain:
1.         Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukanpada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
2.         Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya. Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau diluar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
1.         Perlindungan tersebut berlaku untuk semua pihak baik yang berposisi sebagai konsumen maupun pengusaha sebagai pengelola produksi barang atau jasa atau instansi apapun.
2.         Perlindungan tersebut semata-mata dikaitkan dengan masalah kesehatan manusia atau kenyamanan yang dibutuhkan oleh setiap manusia.
Menurut  Prof. hans. W. Mickklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).
Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Prinsip tentang tanggung jawab  merupkan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1.         Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsure kesalahan (fault liability  atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seserorang dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya  empat unsur pokok, yaitu:
a.         Adanya perbuatan,
b.         Adanya unsur kesalahan,
c.         Adanya kerugian yang diderita,
d.         Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”. Tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alteram partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenagkan perkara tersebut.
2.         Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, Tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah.  Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23 (lihat ketentuan pasal 28 UUPK). Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan-gugatan. Posisi konsumen sebagai Penggugat selau terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukan kesalahan si Tergugat.
3.         Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjwab (presumption of non laiblity principile) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
4.         Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggungjawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, misalnya keadaan  force majeure.  Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. Biasanya prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan karena:
a.         konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.
b.         waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga pokoknya.
c.         asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.

5.         Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan                 
Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen , bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.  Jika ada pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas[7].
B.        PERKEMBANGAN PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E- COMMERCE) DI INDONESIA
E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik barang dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Danrivanto dalam bukunya mengatakan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya[8]. Keunggulan e-commerce terletak pada efisiensi dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak akan lepas dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia virtual/dunia maya yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat si pengguna internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce.[9]
E-commerce atau perdagangan elektronik adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. Sedangkan Julian Ding[10] memberikan definisi sebagai berikut :
Electronic Commerce, or E-commerce as it is also known is a commercial transactions between a vendor and purchaser or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or digital medium) when the physical presence of the parties is not required. And the medium exits in a public network or system as opposed to a private network (Closed System). The public network or system must be considered an open system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements”. Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media elektronik (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional.
E-commerce dapat dibagi menjadi 2 model, yakni :[11]
a.         B2B (bussines to bussines)
Yakni perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana barang yang diperdagangkan biasanya akan dijual kembali, contoh ; perusahaan A membeli barang dari perusahaan B.
b.         B2C (bussiness to consumer)
Yakni perdagangan yang melibatkan dua atau lebih pihak, dimana pihak yang satu adalah produsen atau penjual akhir dan di lain pihak adalah konsumen. Model inilah yang paling banyak berkembang dimasyarakat.
Dalam kegiatan perniagaan model B2C, transaksi memiliki peran yang sangat penting. Pada umumnya, makna transaksi sering direduksi sebagai perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu. Padahal dalam perspektif yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya merupakan keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna yuridis dari transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak bukan perbuatan hukum formilnya. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan tetap berlaku, walaupun transaksi terjadi secara elektronik[12].
E-commerce telah banyak digunakan khususnya di Indonesia seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut data Departemen Telekomunikasi, jumlah pengguna internet pada bulan februari 2008 mencapai 25 juta pengguna dan diprediksi akan mencapai 40 juta pengguna pada akhir tahun 2008. Sebelum keluarnya Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-commerce diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan munculnya Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin, dan yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan e-commerce mempunyai basis legalnya.
C.        PRAKTEK TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM SISTEM PERBANKAN
Electronic Banking atau e-banking didefinisikan sebagai penghantaran otomatis jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik. E-banking meliputi sistem yang memungkinkan nasabah bank, baik individu ataupun bisnis, untuk mengakses rekening, melakukan transaksi bisnis, atau mendapatkan informasi produk dan jasa bank melalui jaringan pribadi atau publik, termasuk internet. Nasabah dapat mengakses e-banking melalui piranti pintar elektronis seperti komputer/PC, PDA, ATM, atau telepon. Jenis – jenis layanan e-banking antara lain sebagai berikut:
1.         ATM, Automatic Teller Machine atau Anjungan Tunai Mandiri
ATM adalah untuk mengetahui informasi saldo dan melakukan penarikan tunai. Namun dalam Ini adalah saluran e-banking paling populer yang kita kenal. Fitur tradisional perkembangannya, fitur semakin bertambah sehingga memungkinkan untuk melakukan pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket), dan yang terkini transfer ke bank lain (dalam satu switching jaringan ATM).
2.         Phone Banking
Ini adalah saluran yang memungkinkan nasabah untuk melakukan transaksi dengan bank via telepon. Pada awalnya, lazim diakses melalui telepon rumah, namun seiring dengan makin populernya telepon genggam/HP Pada awalnya, layanan Phone Banking hanya bersifat informasi yaitu untuk informasi jasa/produk bank dan informasi saldo rekening serta dilayani oleh Customer Service Operator/CSO. Namun profilnya kemudian berkembang untuk transaksi pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket), dan transfer ke bank lain, serta dilayani oleh Interactive Voice Response (IVR).
3.         Internet banking
Ini termasuk saluran terbaru e-banking yang memungkinkan nasabah melakukan transaksi via internet dengan menggunakan komputer/PC atau PDA. Fitur transaksi yang dapat dilakukan sama dengan Phone Banking yaitu informasi jasa/produk bank, informasi saldo rekening, transaksi pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket), dan transfer ke bank lain.
4.         SMS/m-Banking
Saluran ini pada dasarnya merupakan evolusi lebih lanjut dari Phone Banking, yang memungkinkan nasabah untuk bertransaksi via HP dengan perintah SMS. Fitur transaksi yang dapat dilakukan yaitu informasi saldo rekening, pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), dan pembelian voucher.


















BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT TRANSAKSI ELEKTRONIK MELALUI INTERNET BANKING

A.        PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK
Dalam praktek e-commerce, UNCITRAL telah mengeluarkan model hukum yang ditujukan untuk memberikan panduan-panduan yang patut diikuti oleh negara-negara yang telah menjadi anggota PBB. Tujuan utamanya agar menyusun produk legislasi nasional yang mengatur e-commerce, Negara-negara tersebut dapat meningkatkan daya guna seluruh aspek penting yang tercantum dalam model hukum untuk perdagangan elektronik[13].
Terdapat beberapa perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik diantaranya melalui cara sebagai berikut[14]:
1.         Kontrak Baku Transaksi Elektronik
Konsumen dalam hal ini tidak mempunyai alat-alat proteksi yang terorganisir dengan baik. Persoalan ini dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa pelaku usaha yang mejual barang atau jasanya secara online kerap mencantumkan kontrak baku, sehingga  muncul kekuatan daya tawar yang asimetris (unequal bargaining power). Studi yang dilakukan oleh Ian Walden menjelaskan, bahwa syarat dan ketentuan yang tercantum dalam kontrak baku hanya ditentukan oleh pelaku usaha sendiri. Mereka menyebarluaskan model ini kepada calon konsumen lewat web site atau floopy disk. Sehingga faktanya menutup kemunginan konsumen untuk melakukan negosiasi dengan pelaku usaha. Perjanjian model ini sering disebut dengan ­shrink-wrap, click-wrap,dan browse-wrap contract. Jenis model perlindungan konsumen ini menempatkan perlindungan layaknya kontrak secara konvensional yang dimana tertulis pada media kertas yang mengubah media kertas kepada media elektronik. Karena hal tersebut termasuk sebagai kontrak, maka prinsip – prinsip yang terkait terhadap kontrak sebagaimana yang tertera pada buku III Burgelijk Wetboek tetaplah berlaku, yang sangat disayangkan pada jenis perlindungan ini tidak adanya negosiasi antar kedua belah pihak yang terkait.
2.         Online Dispute Resolution (ODR)
Eksistensi prosedur ODR dalam system hukum sangat mempengaruhi kekuatan elemen proteksi konsumen yang melakukan transaksi secara online. Oleh karena itu, konsumen harus dapat mengakses informasi yang jelas dan benar tentang ODR termasuk mekanisme maupun  prosedurnya. Kelemahan dari perlindungn konsumen ini adalah masih banyak konsumen yang belum tahu bahkan tidak mengetahui bagaimana cara menyelesaikan persoalan hukum yang mereka hadapi melalui proses ini. Maka sudah sepatutnya konsemen diberi informasi yang jelas dan lengkap tentang keberadaan ODR dalam system hukum Indonesia.
3.         Penyelesaiaan Sengketa Transaksi Elektronik
Perlindungan konsumen ini telah diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 UU ITE Pasal 18 ayat (1) mengatakan bahwa Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak” yang memnugkin bisa terjadinya sengketa diantara para pihak maka diatur pula pada ayat (2) yang mengatakan “para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Maka dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa para pihak dapat melakukan pilihan hukum dalam kontraknya dan apabila transaksi yang dilakukan bersifat internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas hukum perdata internasional.

B.        JAMINAN KEAMANAN KONSUMEN DALAM SISTEM INTERNET BANKING
Internet banking merupakan salah satu transaksi elektronik yang sering digunakan dalam masyarakat yang ditawarkan oleh bank. Kehadiran layanan internet banking sebagai media alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah suatu bank seperti menjadi solusi yang cukup efektif. Hal ini tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki internet itu sendiri, dimana seseorang ketiga ingin melakukan transaksi melalui layanan internet banking, dapat melakukan dimana dan kapan saja. Tetapi transaksi melalui internet banking ini juga tidak terlepas dari resiko yang ada dalam penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:
1.         Resiko kredit adalah risiko terhadap pendapatan atau modal yang timbul dari kegagalan obligor untuk menyepakati setiap kontrak dengan bank atau sebaliknya untuk performan yang disetujui. Resiko kredit ditemukan dalam semua kegiatan yang kesuksesannya tergantung pada performan counterparty, issuer, atau peminjam.
2.         Resiko suku bunga adalah resiko terhadap pendapatan dan modal yang timbul dari pergerakan dalam suku bunga. Layanan internet banking dapat menyediakan layanan deposito, pinjaman dan hubungan lainya.
3.         Resiko transaksi adalah resiko yang prospektif dan banyak berdampak pada pendapatan modal.
Oleh karena itu perlu ada yang manajeman resiko yang benar dalam menyelenggarakan kegiatan internet banking. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet banking). Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb.:
a.         Bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara efektif.
b.         Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c.         Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking adalah:
1)        Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
a)        Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut.
b)        Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
2)        Pengendalian pengamanan (security control)
a)        Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi melalui internet banking.
b)        Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi internet banking.
c)        Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem internet banking, database dan aplikasi lainnya.
d)        Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses (privileges) yang tepat terhadap sistem internet banking, database dan aplikasi lainnya.
e)        Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet banking.
f)         Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi internet banking.
g)        Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada internet banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database.
3)      Manajemen Resiko Hukum dan Risiko Reputasi
a)        Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui internet banking.
b)        Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet banking.
c)        Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa internet banking.
d)        Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa internet banking.
e)        Dalam hal sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II, perlindungan hukum terhadap konsumen sebelum terjadinya transaksi dapat dilakukan dengan cara Legislation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukanpada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat) dan Voluntary Self Regulation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya). Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau diluar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa. Berikut ini penerapan perlindungan hukum terhadap konsumen sebelum terjadinya transaksi melalui internet banking:

1.         Perlindungan Hukum dengan Pendekatan Self Regulation
 Perlindungan hukum preventif atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan internet banking dengan pendekatan pengaturan hukum secara internal dari penyelenggara layanan internet banking itu sendiri. Dengan cara mempersyaratkan untuk melakukan pendaftaran . apabila langkah ini telah dilakukan maka dapat diakses melalui layanan internet bankingnya. Oleh karena itu, layanan internet banking sifatnya merupakan media bagi pemasaran produk dan sekaligus sebagai sarana mempermudah transaksi, di mana transaksi dapat dilakukan secara online.
Dengan langkah preventif ini maka data pribadi nasabah dapat dilindungi dari para hacker. Untuk menambah keamanan digunakan metode time out session,di mana setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah, akses akan tidak aktif lagi. setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah, akses akan tidak aktif lagi.
2.         Perlindungan Hukum dengan Pendekatan Government Regulation
 Ada Beberapa ketentuaan yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dalam pasal 29 ayat 5 dan ayat 40 ayat 1 dan 2. didalam pasal 29 ayat 5 menyatakan “ untuk kepentingan nasabah bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian bagi transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Dalam penjelasan pasal ini bank bekerja dengan dana masyarakat disimpan di bank dengan atas dasar kepercayaan. Dengan demikiaan setiap bank harus menjaga kesehataannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya.
Beberapa ketentuan yang dapat dijadikan landasan dalam perlindungan hukum bagi konsumen atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraaan internet banking yakni Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Elektronik, Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan penerapan Undang-Undang Telekomunikasi untuk mencermati perlindungan data pribadi nasabah disebabkan bahwa penyelenggaraan internet banking pada dasarnya tidak akan terlepas dari penggunaaan jasa telekomunikasi.
Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi menyatakan sebagai berikut, “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: (1) Akses ke jaringan telekomunikasi dan atau; (2) Akses ke jasa telekomunikasi dan atau; (3) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagi para pihak yang melakukan pelanggaran akan di kenakan sanksi pidana sebagai mana yang di atur dalam pasal 50 Undang-undang Telekomunikasi. “ barang siapa yang melanggar ketentuaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Menurut pasal 5 huruf h Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen “ hak untuk mendapat konpensasi , gantirugi dan atas penggantian “, apabila barang atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Apabila terjadi kerugiaan terhadap nasabah bank yang mengunakan fasilitas internet banking maka Bank harus bertanggung jawab baik kerugiaan materiil maupun kerugian atas bocornya data pribadi nasabah, baik yang disebabkan oleh kesalahan dari pihak Bank maupun akibat yang dilakukan oleh pihak hacker.
C.        KILASAN KASUS KLIK BCA
Pada tahun 2001, internet banking diributkan oleh kasus pembobolan internet banking milik bank BCA, kasus tersebut dilakukan oleh seorang mantan mahasiswa Institut Teknik Bandung (ITB) dan juga merupakan salah satu karyawan media online yaitu satunet.com yang bernama Steven Haryanto. Anehnya, Steven ini bukan seorang insinyur elektro ataupun informatika, melainkan insinyur kimia. Ide ini timbul ketika Steven pernah salah dalam mengetikkan alamat website, kemudian dia membeli domain-domain internet dengan harga sekitar US$ 20 yang menggunakan nama dengan kemungkinan orang-orang salah mengetikkan dan tampilan yang sama persis dengan situs internet banking BCA www.klikbca.com dengan nama lain yaitu clikbca.com, klickbca.com, dan klikbac.com.
Jika masuk ke situs-situs tersebut, anda akan mendapatkan situs internet yang sama persis dengan situs www.klikbca.com. Hanya saja saat melakukan login, anda tidak akan masuk ke fasilitas internet banking BCA namun akan tertera pesan “The page cannot be displayed”. Fatalnya dengan melakukan login di situs tersebut, username dan PIN internet anda secara otomatis terkirim pada sang pemilik situs, yaitu Steven.
Orang tidak akan sadar bahwa dirinya telah menggunakan situs palsu tersebut karena tampilan yang disajikan serupa dengan situs aslinya. Hacker tersebut mendapatkan user ID dan password dari pengguna yang memasuki situs palsu tersebut, namun hacker tersebut tidak bermaksud melakukan tindakan kriminal seperti mencuri dana nasabah. Hal ini murni dilakukan atas keingintahuannya mengenai seberapa banyak orang yang tidak sadar menggunakan situs www.klikbca.com sekaligus menguji tingkat keamanan dari situs milik BCA tersebut.
Steven Haryanto dapat disebut sebagai hacker karena dia telah mengganggu suatu sistem milik orang lain yang dilindungi privasinya. Sehingga tindakan Steven ini disebut sebagai hacking. Steven dapat digolongkan dalam tipe hacker sebagai gabungan white-hat hacker dan black-hat hacker, dimana Steven hanya mencoba mengetahui seberapa besar tingkat keamanan yang dimiliki oleh situs Internet banking Bank BCA. Disebut white-hat hacker karena dia tidak mencuri dana nasabah tetapi hanya mendapatkan user ID dan password milik nasabah yang masuk dalam situs internet banking palsu. Namun, tindakan yang dilakukan Steven juga termasuk black-hat hacker karena membuat situs palsu dengan diam-diam mengambil data milik pihak lain. Hal-hal yang dilakukan Steven antara lain scans, sniffer, dan password crackers.
Steven sendiri telah menyatakan menyesal dan mengakui menimbulkan kerugian kepada pihak BCA dan pihak pelanggan yang kebetulan masuk ke situs palsu tersebut. Steven juga menyerahkan kembali data user yang didapatkannya kepada BCA dan menjamin data tersebut tidak pernah disalahgunakan.
Menurut Laksono, data yang diperoleh Steven juga tidak semuanya valid karena apapun yang diketikkan pada form user ID dan PIN akan terekam oleh program Steven, walaupun data yang diketikkan tidak valid. Saat itu pihak Bank Central Asia (BCA) tidak mengadukan pemalsu situs www.klikbca.com, Steven Haryanto, pada pihak kepolisian, tetapi memikirkan alternatif lain ketimbang melaporkan Steven ke polisi yang tidak bisa disebutkan, demikian ungkap Deputy Chief Manager Customer Service BCA Laksono pada tanggal 8 Juni 2001.
Pihak BCA sendiri telah meminta Steven menutup semua situs palsunya dan hal itu sudah dilakukan oleh Steven. Jika situs-situs www.klikbca.com palsu diakses sekarang tertera peringatan berbunyi “ANDA SALAH KETIK SITUS ASLI ADA DI www.klikbca.com” secara mencolok dengan huruf merah dan link ke situs www.klikbca.com dengan warna ungu.
Analisis Kasus Klik BCA
Dalam kasus klikbca.com banyak sekali masyarakat yang dirugikan, kerena Steven Haryanto, membuat lebih dari satu situs www.klikbca.com palsu. Sehingga banyak masyarakat yang masih awam mengira bahwa situs tersebut adalah situs milik klikbca yang asli karena memang tampilannya pun sama dengan situs klikbca. Hanya saja pada saat login tidak akan masuk ke fasilitas internet banking BCA dan akan tertera pesan "The page cannot be displayed". Fatalnya adalah dengan login di situs-situs tersebut username dan password/pin akan terkirim kepada pemilik situs tersebut. Dalam hal ini memang bukan pihak BCA yang melakukan kejahatan, dan jika di hubungkan dengan pasal 28 UUPK no 8 tahun 1999 yang isinya:
“pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”
Pasal 19 UUPK:
(1)       Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang/jasa yang diperjualbelikan atau diperdagangkan.
(2)       Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang / jasa yang sejenis atau setara nialainya…
Sebagaimana diketahui Pasal 19 yang dimaksud mengatur tanggung jawab ganti rugi, Pasal 22 tentang tanggung jawab pembuktian unsur kesalahan dalam perkara pidana, dan Pasal 23 mengatur gugatan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau badan peradilan ditempat kedudukan konsumen, namun dalam hal ini apabila pelaku usaha dapat membuktikan kerugian bukan merupakan kesalahannya maka pelaku usaha terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian.
Walaupun dalam kasus ini yang melakukan kejahatan bukan dari pelaku usaha namun dari pihak lain, tapi perusahaan BCA dan konsumennya tetaplah merasa dirugikan, dan apabila pihak BCA tidak melakukan tindakan sama sekali akan seolah-olah tidak ada perlindungan terhadap konsumennya. Tindakan BCA dalam kasus ini adalah bernegoisasi dengan pemilik situs agar menyerahkan segala data yang telah dimilikinya, serta bersedia juga menyerahkan situs-situs yang merugikan konsumen BCA tersebut. Berdasarkan prinsip yang bersalah yang bertanggung jawab maka seharusnya steven dilaporkan kepada pihak kepolisian atas tindakan pidana yang dilakukannya Karena melanggar Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan sebagai berikut, “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: (1) Akses ke jaringan telekomunikasi dan atau; (2) Akses ke jasa telekomunikasi dan atau; (3) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus”. Dalam kasus ini steven telah terbukti telah memanipulasi situs sehingga nasabah-nasabah tertipu dan masuk pada situs yang dibuatnya. Maka Bagi para pihak yang melakukan pelanggaran harus di kenakan sanksi pidana sebagai mana yang di atur dalam pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi. “barang siapa yang melanggar ketentuaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)”. Dalam kasus ini pihak BCA hanya bernegosiasi dengan steven dan dalam rangka perlindungan konsumennya maka pihak BCA harus memberikan ganti kerugian kepada seluruh nasabah yang telah dirugikan karena pihak BCA dalam situs tersebut belum mendapatkan serifikat keamanan internasional dalam dunia maya yang belum maksimal dalam memanfaatkan internet banking untuk perlindungan nasabahnya yang dimana memaksimalkan keamanan suatu website telah sesuai dengan asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
 






BAB IV
SIMPULAN
1.         Perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik diatur baik dalam instrumen hukum internasional (misalnya UNCITRAL), maupun instrumen hukum nasional (misalnya UU ITE, juga UUPK). Terdapat beberapa perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik diantaranya melalui cara sebagai berikut:
·                Kontrak Baku Transaksi Elektronik
·                Online Dispute Resolution (ODR)
·                Penyelesaiaan Sengketa Transaksi Elektronik
2.         Jaminan keamanan perlindungan hukum terhadap konsumen sebelum terjadinya transaksi internet banking dapat dilakukan dengan cara Governement Regulation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukanpada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat) dan Self Regulation (yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya). Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau diluar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.




















DAFTAR PUSTAKA
Buku
Az. Nasution, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999.
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran,dan Teknologi Informasi Regulasi dan Konvergensi, Refika Aditama, Bandung, 2010.
Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Eelektronik, Alumni, Bandung, 2010.
Miriam Darus Badrulzaman, (et.al), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,  Bandung, 2001.
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), Panta Rei, Jakarta, 2005.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006.
Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Instrumen Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1998
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
Artikel
Michael S.H. Neng, “Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective”, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc
Henry Prayitno, “E-commerce Dalam perspektif Hukum”, http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=123490
Otje Salman S., “Prinsip-prinsip Cyber Law Dalam Hukum Positif di Indonesia, http://hk.unikom.ac.id/download/PRINSIPPRINSIP%20CYBER%20LAW%20DALAM%20.doc


[1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK).
[2] SEMA RI Tanggal 5 September 1963 tentang Gagasan Menganggap BW tidak sebagai Undang-undang dalam Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999, hlm. 38.
[3],Ibid, hlm. 22.
[4] Az. Nasution, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm 64-65.
[5] N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 13.
[6] Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.  47.
[7] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006, hlm 49.
[8] Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran,dan Teknologi Informasi Regulasi dan Konvergensi, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm.138.
[9] Michael S.H. Neng, “Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective”, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc
[10] Miriam Darus Badrulzaman, (et.al), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,  Bandung, 2001,. hlm. 283.
[11] Henry Prayitno, “E-commerce Dalam perspektif Hukum”, http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=123490
[12] Otje Salman S., “Prinsip-prinsip Cyber Law Dalam Hukum Positif di Indonesia, http://hk.unikom.ac.id/download/PRINSIPPRINSIP%20CYBER%20LAW%20DALAM%20.doc
[13] Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Eelektronik, Alumni, Bandung, 2010, hlm.65 – 66.
[14] Ibid, hlm.69 - 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar