BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Setelah perang dunia ke II
yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HIHAM) mengalami
perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan sendirinya menjadi rujukan
berbagai aktor seperti, negara, organisasi internasional, nasional, dan individu
ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Hubungan antar bangsa di dunia meliputi tidak saja kepentingan ekonomi, politik
dan militer, tapi juga kepentingan sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di
berbagai bidang kegiatan itu tak terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM.
Dalam konteks ini Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara umum
menyebutkan, bahwa “PBB akan memajukan penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM
dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua bangsa tanpa pembedaan suku bangsa,
kelamin, bahasa atau agama.” (Pasal 55 c Piagam PBB). Selain itu pada bulan
Desember tahun 1948 Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan Deklarasi Umum
HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat norma-norma HAM di bidang-bidang sipil,
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Norma-norma HAM itu dinyatakan dalam suatu
deklarasi dan berlaku sebagai standar atau baku pelaksanaan HAM bagi semua
bangsa dan semua negara.
Piagam dan DUHAM PBB
tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal bagi lahirnya HIHAM seperti,
Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida tahun l948, Konvensi Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia,
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi
Internasional Tentang Hak-hak Anak, dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi internasional
tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan
Undang-undang HAM Internasional (International Bill of Rights). J.G.
Starke menyebutkan secara kronologis tiga tahapan penyusunan International Bill
of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang menetapkan
bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua, serangkaian
ketentuan Konvensi yang mengikat negara negara untuk menghormati hak-hak yang
telah ditetapkan tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat kerja
untuk pelaksanaannya. Sebagian dari Konvensi konvensi internasional itu sudah
diratifikasi oleh Republik Indonesia dan karena itu sudah menjadi bagian dari
hukum nasional Indonesia. Konvensi konvensi internasional yang telah
diratifikasi itu, antara lain Konvensi internasional Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial, Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak Anak, dan berbagai
Konvensi International Labour Organization ( ILO ).
Statuta
Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Poiagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban individu. Yang berarti tanpa
memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggungjawab atas
keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal perttanggungjawaban
individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasional (International
Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan
suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus
dihukum.
2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam
dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum
internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari
tanggungjawab menurut hukum internasional.
3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang
merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala
Negara atau Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab, tidak membebaskan dia
dari tanggungjawab menurut hukum internasional.
4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk
melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah
membebaskan dia dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja
pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.
Bila kita
mencermati substansi konvensi konvensi internasional HAM tersebut di atas kita
tidak akan menemukan suatu difinisi tunggal yang menjelaskan secara memadai
pengertian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada umumnya difahami
sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar
biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak
menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau
agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu:
(a) Membunuh anggota kelompok;
(b) Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap
anggota kelompok;
(c) Secara
sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuran fisik secara
keseluruhan atau sebagian ;
(d) Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah
kelahiran dalam kelompok tersebut ;
(e) Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke
kelompok lain.
Genosida atau genosid adalah
sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa
atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa
tersebut.[1]
Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa'
atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan').
Genosida
merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat
yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan Agresi.
Dari
pengertian lain genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama
dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan
tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak
dalam kelompok ke kelompok lain.[2]
Ketika konferensi tentang pembantaian etnis dilaksanakan di Kigali tahun 2004,
disebutkan secara jelas, forum menunjuk Amerika Serikat, Belgia, Perancis dan
Inggris berada di balik tragedi pembantaian. Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan
yang waktu lalu menjabat sebagai wakil komandan pasukan penjaga perdamaian di
Rwanda tak luput mendapat sorotan. Terutama setelah ia mendapat Penghargaan
Nobel untuk bidang perdamaian.
Juga disebutkan, veto dari Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menurunkan jumlah pasukan penjaga perdamaian dari 2500 personil menjadi 450 personil tidak mampu mengatasi masalah. Presiden Paul Kagame, "Pihak luar gagal mencegah pembantaian selama 100 hari di Rwanda" .
Rwanda adalah sebuah negara yang dianggap tidak memiliki potensi di mata dunia (baik sumber daya manusia maupun alam), maka pihak internasional (negara-negara utama dalam keanggotaan PBB, tentu saja) cenderung tidak mengentaskan masalah. Pihak pasukan UN hanya sebatas sebagai formalitas atas keikutsertaannya dalam menjaga perdamaian, selain jumlahnya yang hanya sedikit, pasukan UN hanya mengevakuasi warga negara asing dan tidak mengambil resiko untuk ikut mengevakuasi satupun suku Tutsi.
Juga disebutkan, veto dari Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menurunkan jumlah pasukan penjaga perdamaian dari 2500 personil menjadi 450 personil tidak mampu mengatasi masalah. Presiden Paul Kagame, "Pihak luar gagal mencegah pembantaian selama 100 hari di Rwanda" .
Rwanda adalah sebuah negara yang dianggap tidak memiliki potensi di mata dunia (baik sumber daya manusia maupun alam), maka pihak internasional (negara-negara utama dalam keanggotaan PBB, tentu saja) cenderung tidak mengentaskan masalah. Pihak pasukan UN hanya sebatas sebagai formalitas atas keikutsertaannya dalam menjaga perdamaian, selain jumlahnya yang hanya sedikit, pasukan UN hanya mengevakuasi warga negara asing dan tidak mengambil resiko untuk ikut mengevakuasi satupun suku Tutsi.
PERUMUSAN
MASALAH
Adapun
masalah yang saya bahas dalam tulisan ini adalah:
1.
Bagaimana dunia internasional menyikapi masalah genosida Rwanda?
2.
Bagamana langkah-langkah penyelesaian kasus Genosida Rwanda?
ANALISIS
KASUS
Pembantaian
di Rwanda, yang di dunia internasional juga dikenal sebagai genosida Rwanda, adalah
sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok
ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100
hari pada tahun 1994. Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika
Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di
dalam pesawat terbang. Beberapa sumber menyebutkan Juvenal Habyarimana tengah
berada di dalam sebuah helikopter pemberian pemerintah Perancis. Saat itu,
Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden
Burundi, Cyprien Ntarymira. Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan
sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda.
Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian
kekuasaan kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya,
seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993. Pada
tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga
etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana
mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan
dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang
ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku. Peristiwa tragis penembakan
Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya. Lebih
mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di
Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat
di Rwanda langsung diblokade.
Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.
Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa mempedulikan status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam Arusha. Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekedarnya. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji. Dikatakan konspirasi, karena kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini dilakukan pemimpin Front Patriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu Paul Kagame. Usai pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden mengantikan Habyarimana. Polisi Uganda menangkap salah satu otak peristiwa pembantaian massal (genosida) di Rwanda pada 1994, Idelphonse Nizeyimana. Nizeyimana ditangkap dalam perjalanan menuju Kenya. Ia membawa dokumen palsu. Nizeyimana dituduh mengotaki pembunuhan ribuan orang suku Tutsi, termasuk seorang mantan ratu. Sekitar 800.000 orang suku Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh para militan Hutu selama 100 hari pembantaian besar-besaran.Nizeyimana adalah mantan kepala operasi intelijen dan militer selama genosida..
Konsep Kasus Rwanda sebagai Genosida
Tahun 1944, Raphael Lemkin (1900–1959), pertama kali
mengenalkan studi tentang genosida. Kata “geno cide” diartikan sebagai
menghancurkan sebuah bangsa atau group etnis ,” Selanjutnya, Pieter N. Drost
(1959), Frank Chalk and Curt Jonassohn (1990), and Israel Charny (1991),
genocide dipandang sebagai “pembantaian” dimana yang lain seperti, Helen Fein
(1990) and Irving Louis Horowitz (1976) lebih melihat pada isu pelaku/ oknum
negara secara struktural mengadakan usaha-usaha pengancuran terencana. Henry
Huttenbach (1988) bahwa tindakan genosida bertumpu pada segala bentuk tindakan
yang membuat sebuah kelompok berada dalam “keadaan berbahaya” (juga dilihat dari
mendekati resiko terjadinya situasi membahayakan tersebut) Berawal dari Lemkin:
pada perkembangannya genosida terbagi lagi pada sekup yang lebih kecil seperti
etnosida, politisida, demosida, omnisida, gendersida, librisida, and
autogenoside.Dimana dalam Genocide Convention disebutkan bahwa,“Segala hal yang
diikuti oleh tindakan yang terorganisir secara intens untuk melenyapkan suatu
bangsa, etnis, ras, kelompok agama tertentu yang berkarakteristik;
menghilangkan nyawa anggota kelompok; menyebabkan dengan sengaja mengakibatkan
kelompok tertentu direncanakan dibantai; menekan kelahiran yang terjadi dalam
grup tersebut; dan menelantarkan anak-anak keluar dari grupnya.”
Genosid menurut Helen Fein ,
Genosid menurut Helen Fein ,
1. Those to eliminate other faiths
2. Those to eliminate rival tribes, and those
carried out by nation-states.
3. Mass killing to legitimize political
power
4. To kill indigenous cultures
5. To kill rebellious elements
Penyelesaian Kasus Genosida Rwanda;
Statuta Tribunal Kriminal Internasional bagi Penuntutan
Orang-orang yang Bertanggung Jawab atas Genosida dan Pelanggaran Serius Hukum
Kumaniter Internasional lainnya yang dilakukan di Wilayah Rwanda dan Warga
Rwanda yang Bertanggung Jawab atas Genosida dan Pelanggaran Demikian Lainnya
yang Dilakukan di Wilayah Negara-negagra Tetangga, antara 1 Januari 1994 dan 31
Desember 1994 (International Criminal tribunal for the Prosecution of Persons
Responsible for Genocide and Other Serious Violations of International
Humanitarian Law Commited in the Territory of Rwanda and Rwanda Citizens
Responsible for Genocide and Other Such Violations Committed in the Territory
of Neighbouring States, between 1 January 1994 and 31 December 1994, yang
secara resmi disingkat “the International Tribunal for Rwanda” atau yang lebih
populer dengan akronimnya “ICTR”) ICTR menunjuk tiga jenis kejahatan yang
termasuk kewenangan ICTR, yakni, pertama, genosida (genocide), kedua, kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity), dan ketiga pelanggaran Protokol
Tambahan II (violations of Article 3 common to the Geneva Conventions and
Additional Protocol II).
Dengan demikian, kerangka kewenangan ICTR, jenis kejahatan
yang dikategorikan sebagai pelanggaran serius hukum humniter internasional
adalah genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity), dan pelanggaran Pasal 3 yang sama Konvensi-konvensi Jenewa dan
pelanggaran Protokol Tambahan II. (violations of Article 3 common to the Geneva
Conventions and Additional Protocol II).
Konvensi Genosida. Konvensi Genosida mulai berlaku sejak
tanggal 12 Januari 1952, dan sudah diratifikasi oleh banyak negara Seperti
konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi Genosida memberikan kewajiban mutlak untuk
mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas genosida, seperti
didefinisikan di dalam Konvensi. Konvensi tersebut mendefinisikan genosida
sebagai salah satu tindakan berikut ini, bila dilakukan “dengan tujuan untuk
menghancurkan, secara keseluruhan maupun sebagian, sebuah kelompok nasional,
etnis, rasial atau religius.
Konvensi Genosida memiliki dua pembatasan yang menjadikannya
tidak bisa diterapkan pada sebagian terbesar kasus di atas. Pertama, konvensi
tersebut hanya berlaku pada mereka yang memiliki tujuan spesifik untuk menghancurkan
sebagian besar populasi kelompok yang menjadi sasaran. Kedua, para korban harus
merupakan salah satu kelompok yang dijelaskan dalam Konvensi Genosida, yaitu
nasional, etnik, rasial atau religius. Perlu diperhatikan bahwa para perancang
Konvensi Genosida secara sengaja mengabaikan tindakan-tindakan yang ditujukan
kepada “kelompok politik” dan tidak mencantumkannya dalam definisi genosida.
Komisi Kebenaran Rwanda lahir di tengah-tengah tingginya kekerasan di negara itu segera setelah Presiden baru mengendorkan kekuasaannya dengan berbagi kekuasaan kepada kelompok oposisi. Sebagaimana diketahui, semenjak 1959 Rwanda dikoyak perang saudara antar tiga kelompok suku utama negeri itu, yaitu suku Hutu, Tutsi dan Twa. Konflik yang memakan korban nyawa sangat besar itu lebih sebagai akibat dari hirarki sosial yang telah terjadi berabad-abad lamanya. Pelbagai upaya mengakhiri kekerasan selalu saja gagal sampai akhirnya dicapai kesepakatan gencatan senjata pada tahun 1992. Komisi kebenaran Rwanda yang lahir setelah itu tidak bisa dipisahkan dari dicapainya kesepakatan menghentikan kekerasan antara pemerintah dan kelompok bersenjata. Komisi itu kemudian disetujui dalam kesepakatan Arusha di Tanzania akhir tahun 1992. Selanjutnya lima Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia Rwanda memprakarsai pendirian sebuah Komisi dengan mengundang LSM dari Amerika Serikat, Kanada, Perancis dan Burkino Fuso. Setelah membicarakan segala masalah di sekitar rencana pendirian Komisi, keempat LSM dari empat Negara tersebut akhirnya sepakat membentuk “Komisi Internasional untuk menyelidiki berbagai pelanggaran HAM di Rwanda sejak 1 Oktober 1990”. Penentuan tanggal itu dimaksudkan untuk mencakup periode perang saudara. Upaya Komisi melakukan penyelidikan ternyata tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan militer Rwanda. Terjadi aneka tindakan teror, penculikan dan bahkan pembunuhan terhadap sejumlah orang yang diharapkan memberikan kesaksian di depan Komisi. Keadaan menjadi lebih buruk setelah Komisi meninggalkan Rwanda karena terjadi pembunuhan besar-besaran yang menewaskan sekitar 300-500 jiwa.
Komisi Kebenaran Rwanda lahir di tengah-tengah tingginya kekerasan di negara itu segera setelah Presiden baru mengendorkan kekuasaannya dengan berbagi kekuasaan kepada kelompok oposisi. Sebagaimana diketahui, semenjak 1959 Rwanda dikoyak perang saudara antar tiga kelompok suku utama negeri itu, yaitu suku Hutu, Tutsi dan Twa. Konflik yang memakan korban nyawa sangat besar itu lebih sebagai akibat dari hirarki sosial yang telah terjadi berabad-abad lamanya. Pelbagai upaya mengakhiri kekerasan selalu saja gagal sampai akhirnya dicapai kesepakatan gencatan senjata pada tahun 1992. Komisi kebenaran Rwanda yang lahir setelah itu tidak bisa dipisahkan dari dicapainya kesepakatan menghentikan kekerasan antara pemerintah dan kelompok bersenjata. Komisi itu kemudian disetujui dalam kesepakatan Arusha di Tanzania akhir tahun 1992. Selanjutnya lima Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia Rwanda memprakarsai pendirian sebuah Komisi dengan mengundang LSM dari Amerika Serikat, Kanada, Perancis dan Burkino Fuso. Setelah membicarakan segala masalah di sekitar rencana pendirian Komisi, keempat LSM dari empat Negara tersebut akhirnya sepakat membentuk “Komisi Internasional untuk menyelidiki berbagai pelanggaran HAM di Rwanda sejak 1 Oktober 1990”. Penentuan tanggal itu dimaksudkan untuk mencakup periode perang saudara. Upaya Komisi melakukan penyelidikan ternyata tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan militer Rwanda. Terjadi aneka tindakan teror, penculikan dan bahkan pembunuhan terhadap sejumlah orang yang diharapkan memberikan kesaksian di depan Komisi. Keadaan menjadi lebih buruk setelah Komisi meninggalkan Rwanda karena terjadi pembunuhan besar-besaran yang menewaskan sekitar 300-500 jiwa.
Bernard Munyagishari, seorang pimpinan kelompok etnis
Hutu yang bertanggung jawab atas pembantaian massal di Rwanda, ditangkap di
Kongo. Munyagishari ditahan dan dibawa ke Kinshasa, Ibu Kota Kongo. Dia dituduh
memimpin milisi Interahamwe yang terlibat dalam aksi perkosaan dan pembunuhan
massal terhadap etnis Tutsi.[3] Dewan
Keamanan PBB sangat menyambut tertangkapnya Munyagishari dan mengucapkan
selamat terhadap otoritas yang berhasil dalam kerja samanya dengan mahkamah
internasional. Dewan Keamanan PBB juga masih mencari beberapa buronan lainnya
yang terkait dalam kasus yang sama.
KESIMPULAN
Permasalahan hak asasi manusia muncul dikarenakan adanya
inter aksi, interkoneksi dan interdependensi antar indevidu, antar kelompok
masyarakat, bangsa baik secara bilateral maupun multi lateral yang mau tidak
mau akan mempengaruhi pengetahuan dan kesadaran baik secara perorangan ataupun
kolektif.
Hak asasi manusia mengandung 2 aspek yaitu ; aspek
indevidualitas dan aspek sosialitas. Maka dari itu kebebasan setiap orang
dibatasi oleh hak kebebasan orang lain demikian juga kebebasan pada setiap
organisasi apapun dan dimanapun juga mempunyai hak dan kewajiban dalam
pergaulannya didunia. Jika ada kebebasan mengakui hak orang lain, maka setiap
orang mengemban kewajiban untuk mengakui hak orang lain itu.
Dalam kasus ini dapat
dipastikan bahwa suku-suku etnis di Rwanda masih membedakan suku-suku dan
memberi jarak antara satu suku dengan suku yang lain. Dalam hal ini suku-suku
di Rwanda dapat dibilang bersifat etnosentrisme yang kemudian berkembang
menjadi rasisme. Etnosentrisme yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat
subyektif. Jadi pandangan etnosentrisme disini dapat diartikan bahwa memandang
bangsa sendiri lebih baik dari bangsa lain, hal ini member kesimpulan bahwa
memandang buruk bangsa lain. kasus
Genosida sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan
berkelanjutan di masa yang akan datang. Pembantaian masal/ genosid merupakan
bentuk kejahatan yang direncanakan yang tentunya membahayakan bagi keberadaan
orang-orang yang menjadi sasaran para pelaku. Alhasil, tugas kita bersama bahwa
human rights harus ditegakkan di muka bumi ini.
Peristiwa pembantaian besar-besaran terjadi beberapa jam
setelah Presiden Rwanda, Juvénal Habyarimana terbunuh oleh kelompok yang diduga
menolak persetujuan Arusha, penyatuan kekuasaan dari tiga suku di tingkat
parlemen negara. Karena Rwanda adalah sebuah negara yang dianggap tidak
memiliki potensi di mata dunia (baik sumber daya manusia maupun alam), maka
pihak internasional (negara-negara utama dalam keanggotaan PBB, tentu saja)
cenderung tidak mengentaskan masalah. Pihak pasukan UN hanya sebatas sebagai
formalitas atas keikutsertaannya dalam menjaga perdamaian, selain jumlahnya
yang hanya sedikit, pasukan UN hanya mengevakuasi warga negara asing dan tidak
mengambil resiko untuk ikut mengevakuasi satupun suku Tutsi.
Jadi, kita harus mengambil suatu sikap atau tindakan
terhadap suatu peristiwa kemanusiaan. Peristiwa yang memang benar terjadi di
depan mata kita. Walau terkadang membawa konsekuensi dan efek tertentu.
Tujuannya adalah agar semua kembali ke tatanan idealnya. Bahwa benar adalah
benar, dan salah adalah salah. Demi tegaknya keadilan bagi peradaban manusia
dimuka bumi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Totten,
Samuel dan Paul R. Bartrop. Dictionary of Genocide. London: Greenwood Press,
2008.
·
Microsoft
® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reservedhttp://id.wikipedia.org/wiki/Genosida_Rwanda
diakses 15 Desember 2009, Pukul 15. 57 WIB.
·
http://www.kompas.com/read/xml/2009/10/06/18342940/otak.genosida.rwanda.dibekuk15
Desember 2009, Pukul 15. 25 WIB.
·
Levinson,
David. Ethnic relations: A Cross-Cultural Encyclopedia. California: ABC-CLIO,
1994.
·
Soeprapto,
Enny, “Perkembangan Konsep Tanggung Jawab Atasan terhadap Kejahatan paling
Serius yang Merupakan Urusan Komunitas Internasional secara Keseluruhan yang
Dilakukan oleh Bawahannya avalaiable at
·
http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_PerkembKonsepTanggungJwbAtasanThdKejahatanPlgSerius.pdf
acessed at December 14th, 2009, Pukul 09.20 WIB.
·
Kasim,
Ifdhal, Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan internasional”
avalaiable at http://www.lfip.org/english/pdf/bali- seminar/Pengadilan%20HAM%20dalam%20konteks%20-%20ifdhal%20kasim.pdf
accessed at December 14th, 2009, Pukul 09.08 WIB.
http://pusham.uii.ac.id/ham/16_Chapter10.pdf diakses December 14th, 2009, Pukul 09.15WIB
http://pusham.uii.ac.id/ham/16_Chapter10.pdf diakses December 14th, 2009, Pukul 09.15WIB
[1] Ahli hukum Polandia, Raphael
Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat.
[3] Dilansir Associated Press,
Sabtu (28/5/2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar