Oleh:
Ditha Wiradiputra*
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia /
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan
Kebijakan Usaha FHUI
Sesuai dengan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, seharusnya dalam hitungan hari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) sudah menghasilkan putusan terhadap kasus dugaan
praktek anti persaingan atas kepemilikan silang (cross ownership) Temasek pada PT. Telkomsel dan PT. Indosat yang
diduga mengkibatkan hilangnya persaingan yang sehat diantara kedua perusahaan
tersebut.
Dan mungkin Putusan KPPU
atas kasus ini dapat dikatakan sebagai salah satu putusan yang paling
ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan, dibandingkan putusan yang pernah
diperiksa oleh KPPU sebelumnya, terkait dengan besarnya skala usaha dan asset
dari perusahaan yang terlibat mencapai nilai triliunan rupiah.
Bagi KPPU sendiri,
bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memutuskan perkara ini terlebih tidak
sedikit intervensi secara langsung maupun tidak langsung untuk mengarahkan
kasus menjadi bukan lagi perkara persaingan usaha yang menjadi kompetensi dan
yuridiksi KPPU, seperti antara lain meminta KPPU memutuskan agar Temasek
melepaskan kepemilikannya pada salah satu operator jasa telekomunikasi.
Ditambah lagi pernyataan
yang kerap kali dilontarkan oleh ketua KPPU semakin membuat penanganan perkara
ini menjadi kurang proposional, dan telah memberikan kesan bahwa seolah-oleh
Temasek sudah pasti diputus bersalah sedangkan pemeriksaan perkara belum
selesai. Jadi jangan sampai mengulangi
kesalahan yang sama pada waktu penanganan kasus disvestasi Indomobil dimana
ketua KPPU pada waktu itu juga terlalu banyak memberikan pernyataan ketika
perkara belum selesai diputuskan, dan berakibat menghadapi gugatan dari para
pihak yang merasa dirugikan pada waktu itu dipengadilan perdata.
Dan belum lagi pernyataan
dari Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang akan memanggil KPPU
bila putusan terhadap perkara ini tidak mengutamakan kepentingan nasional
(Bisnis Indonesia, 3 september 2007). Dimana seharusnya lembaga ini
berkewajiban membantu KPPU dalam menangani perkara ini. Karena meskipun KPPU
merasa yang paling berwenang berdasarkan undang-undang No.5/1999 untuk
menangani perkara persaingan usaha namun alangkah lebih baiknya sebagai lembaga
yang diyakini cukup memiliki otoritas serta berkompeten mengenai permasalahan
dibidang telekomunikasi juga diikutsertakan untuk dimintakan bantuannya,
sehingga putusan yang dihasilkan KPPU diharapkan menjadi lebih komprehensif.
Bukan semata masalah kepemilikan silang
Tetapi dalam kasus ini, yang ramai diberitakan justru masalah kepemilikan
silangnya saja, yang tidak mutlak kesalahan 100% dari Temasek, tetapi
Pemerintah juga mesti turut bertanggung jawab, mengapa Pemerintah mengijinkan grup Temasek (melalui
STT Telemedia) membeli saham PT Indosat, sedangkan sebelumnya diketahui bahwa grup Temasek (melalui
Singtel) pada saat itu juga telah memiliki saham PT Telkomsel yang jelas-jelas
kedua perusahaan ini merupakan perusahaan yang saling bersaing di dalam pasar
penyelenggaraan jasa telekomunikasi seluler di Indonesia.
Sehingga seharusnya yang terpenting sekarang adalah bagaimana KPPU harus
dapat membuktikan dalam putusannya bahwa akibat adanya cross ownership tersebut kedua perusahaan itu menjadi saling
berkolusi untuk menguasai pasar dan menghindari terjadinya persaingan secara
sehat diantara mereka.
Kuatnya dugaan terjadinya kolusi diantara Indosat dan Telkomsel ini dapat
dimaklumi, karena berdasarkan literatur ilmu ekonomi yang ada, perusahaan yang
berada di dalam pasar yang berstruktur oligopoli seperti dimana Telkomsel dan
indosat ini berada, rentan sekali terjadinya praktek kolusi diantara mereka,
karena dengan saling berkolusi keuntungan yang mereka bisa raih didalam pasar
akan jauh lebih besar dibandingkan jika mereka harus saling bersaing.
Sedangkan praktek kolusi yang paling sering dan mudah untuk dipraktekan
adalah kolusi melalui harga, sebelum kasus ini ditangani oleh KPPU sebagian
besar majalah dan tabloid yang mengangkat issu telekomunikasi memuat mengenai
tarif jasa telekomunikasi yang ada di pasaran pada waktu itu, dan yang menarik
adalah antara tarif yang diberlakukan oleh Telkomsel dan Indosat hampir memiliki
kesamaan, dibandingkan tarif yang diberlakukan oleh operator jasa
telekomunikasi yang lain.
Mudah-mudahan informasi tarif yang hampir sama ini merupakan kekhilafan
dari media tersebut saja, karena apabila apa yang diberitakan isinya adalah
benar sesuai dengan kenyataanya, itu sama saja memberikan bukti kepada otoritas
hukum persaingan usaha dalam hal ini KPPU
bahwa benar antara Telkomsel dan Indosat telah terjadi praktek kolusi diantara
mereka. Dan dengan bukti seperti ini sudah cukup untuk
menjatuhkan sanksi pada dua perusahaan tersebut berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU
No.5/1999 mengenai penetapan harga. tanpa perlu menghabiskan energi membahas
struktur kepemilikan saham pada dua perusahaan tersebut.
Apalagi Pasal 5 ayat (1)
ini dirumuskan secara Per Se, dimana
artinya KPPU tidak perlu bersusah payah membuktikan adanya akibat dari
perbuatan yang dilakukan pelaku usaha, ketika pelaku usaha melakukan tindakan
seperti yang disebutkan di dalam pasal tersebut maka pasal tersebut bisa
langsung dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.
Meskipun tarif pelayanan
jasa telekomunikasi yang sekarang dianggap masih relatif tinggi tetapi permintaan terhadap pelayanan
jasa telekomunikasi tetap saja tidak akan menurun bahkan cendrung terus
meningkat. Dimana kembali merujuk pada literatur ilmu ekonomi, pelayanan jasa
telekomunikasi merupakan pelayanan jasa yang termasuk inelastis. Dimana
meskipun tariff yang dikenakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi tinggi
hal ini tidak akan berpengaruh banyak terhadap permintaan konsumen atas
pelayanan jasa ini.
Lebih lagi konsumen tidak
dapat dengan mudah beralih dari penyelenggara jasa telekomunikasi yang satu ke penyelengara
yang lain, karena nomor telekomunikasi selular yang dimiliki oleh konsumen
sekarang ini terikat pada salah satu penyelenggara telekomunikasi, sehingga
ketika konsumen berpindah menggunakan jasa penyelenggara lain maka konsumen
terpaksa harus menggunakan nomor telekomunikasi seluler yang baru, dan tidak
dapat menggunakan nomor telekomunikasi seluler penyelenggara yang lama pada
penyelengara yang baru. Meskipun untuk menyiasatinya bagi sebagian konsumen
tertentu terpaksa memiliki lebih dari
satu nomor telekomunikasi seluler.
Hal di atas inilah yang
kemudian disadari rentan sekali dimanfaatkan oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi untuk mengeruk keuntungan yang setinggi-tingginya dengan dalih
agar dapat mengembangkan teknologi yang mereka miliki serta agar dapat mengembalikan
investasi yang mereka tanamkan dalam bisnis ini.
Pada akhirnya masyarakat
berharap banyak terhadap putusan yang akan dihasilkan oleh KPPU ini
mudah-mudahan dapat membuat bisnis telekomunikasi tidak hanya menguntungkan
bagi pihak penyelenggara jasa telekomunikasi saja tetapi juga memperhatikan
kepentingan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan jasa yang berkualitas,
dengan harga yang murah dan memberikan banyak alternatif pilihan bagi masyarakat
yang selama ini terus diabaikan.
* Penulis mengajar pada mata kuliah Hukum Persaingan
Usaha pada program studi S-1 FHUI, serta aktif menjadi pembicara pada
pendidikan profesi advokat untuk materi Hukum Persaingan Usaha, konsultan pada
beberapa instansi pemerintahan seperti Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen kehakiman, KPPU, dan beberapa tulisan mengenai Hukum
Persaingan Usaha pernah dimuat pada Harian Bisnis Indonesia, Koran Tempo,
tabloid Kontan. Penulis sekarang sedang menyelesaikan studi Magister Program
Kebijakan Publik-FEUI. Untuk korespodensi dapat menghubungi melalui HP No. 0816713673 dan No.telp. 7270003 ext 57, alamat fax No.7270052.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar