Alasan Hapusnya
Kewenangan Menuntut Pidana
Kewenangan menuntut
pidana dapat hapus dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Tidak
adanya pengaduan pada delik-delik aduan.
Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur
mengenai siapa saja yang berhak mengadu dan tenggang waktu pengaduan. Namun ada
pasal-pasal khusus mengenai delik aduan ini, yaitu Pasal 284 (perzinahan) yang
berhak mengadu adalah suami/istrinya, dan Pasal 332 (melarikan wanita) yang
berhak mengadu adalah :
a) jika
belum cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin
bila wanita itu kawin
b) jika
sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.
2. Ne
bis in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)
Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal
76 KUHP ini disyaratkan :
a) telah
ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
b) orang
terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c) perbuatan
yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.
3. Matinya
terdakwa (Pasal 77)
4. Daluwarsa
Pasal 78 mengatur tenggang waktu, yaitu :
a) untuk
semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun.
b) untuk
kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun,
daluwarsanya sesudah 6 tahun.
c) untuk
kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, daluwarsanya 12
tahun.
d) untuk
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, daluwarsanya
sesudah 18 tahun.
Daluwarsa ini berlaku pada hari sesudah
perbuatan dilakukan kecuali hal-hal tertentu, seperti ditangguhkan karena ada
perselisihan dalam hukum perdata. Sebagai contoh daluwarsa: A melakukan tindak
pidana pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) pada tanggal 1 Januari 2004 yang
diancam pidana maksimal 15 tahun penjara. Jika A kemudian menghilang dan tidak
tertangkap polisi, maka kewenangan penuntutan terhadap A akan berakhir setelah
waktu 12 tahun (1 Januari 2016).
5. Telah
ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang
hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82). Ada abolisi atau amnesti Dengan
pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan
tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan
penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan
sebelum adanya putusan.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dalam
Rancangan KUHP
1. Aturan
dalam Rancangan KUHP tentang gugurnya kewenangan menuntut pidana diatur dalam
Pasal 137. Menurut Pasal 137 tersebut, kewenangan penuntutan gugur jika :
2. terdakwa
meninggal dunia
3. Presiden
memberikan amnesti atau abolisi
4. maksimum
denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam
dengan pidana denda paling banyak kategori II
5. maksimum
denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
6. telah
ada putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap
7. telah
kadaluwarsa
8. tindak
pidana aduan yang pengaduannya ditarik kembali.
Alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana karena
kedaluwarsa dalam Rancangan KUHP berbeda dengan aturan dalam KUHP, yaitu
disebut dalam Pasal 141 Rancangan KUHP:
1. sesudah
lampau waktu 1 tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
2. sesudah
lampau 2 tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan denda atau semua
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun;
3. sesudah
lampau waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun;
4. sesudah
lampau waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
lebih dari 3 tahun; dan
5. sesudah
lampau waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
Menurut KUHP,
kewenangan menjalankan pidana dapat hapus karena beberapa hal, yaitu:
1. Matinya
terdakwa (Pasal 83)
2. Daluwarsa
(Pasal 84-85) Tenggang waktu daluwarsanya adalah sebagai berikut :
a) semua
pelanggaran daluwarsanya 2 tahun
b) kejahatan
percetakan daluwarsanya 5 tahun
c) kejahatan
lainnya daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan ditambah 1/3
d) pidana
mati tidak ada daluwarsa
Daluwarsa dihitung
mulai keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan.Sebagai contoh, A
melakukan tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang diancam dengan pidana
penjara maksimal 12 tahun. A kemudian disidangkan dan diputus pidana penjara 10
tahun oleh hakim pada tanggal 1 Januari 2004. Sebelum menjalankan pidana, A
kemudian melarikan diri. Maka bagi A batas tenggang waktu dia untuk tidak
menjalankan pidana penjara adalah daluwarsa penuntutan di tambah 1/3 (12 tahun
+ (1/3 X 12 tahun)). Sehingga A “bebas” dari menjalankan pidana penjara kalau
dia “berhasil” melarikan diri selama 16 tahun atau setelah tanggal 1 Januari
2020.
3. Grasi
Grasi diatur dalam UU
Nomor 3 Tahun 1950. Grasi tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan,
tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi. Oleh karena itu, grasi dapat
berupa (a) tidak mengeksekusi seluruhnya, (b) hanya mengeksekusi sebagian, dan
(c) mengganti jenis pidana/komutasi.
Dalam Rancangan KUHP,
alasan-alasan tersebut tidak ditambah namun hanya dipertegas lagi agar semua
alasan-alasan yang dapat menghapuskan kewenangan menjalankan pidana masuk di
dalam KUHP. Hanya saja terdapat perbedaan sedikit dalam alasan gugurnya
kewenangan pelaksanaan pidana karena daluwarsa.
Grasi tidak
menghilangkan putusan hakim ybs, hanya menghapus/ mengurangi/meringankan
pidana.
Grasi dapat berupa :
a) peringanan
atau perubahan jenis pidana;
b) pengurangan
jumlah pidana; atau
c) penghapusan
pelaksanaan pidana.
Pasal
145 Rancangan KUHP menyebutkan bahwa kewenangan pelaksanann pidana gugur jika:
1. terpidana
meninggal dunia.
2. Presiden
memberikan amnesti atau grasi yang berupa pembebasan terpidana dari kewajiban
menjalankan pidana.
3. kedaluwarsa.
Rancangan
KUHP mengatur bahwa kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena
kadaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu
kedaluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 dari tenggang waktu kedaluwarsa
tersebut (Pasal 147 ayat (1)). Termasuk dalam hal ini pidana mati yang kemudian
diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara. Sedangkan pelaksanaan
pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kadaluwarsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar