Kata Pengantar
Puji syukur tim penulis panjatkan
ke hadirat Allah SWT bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Asas-Asas Hukum Pidana Perkembangan dengan membahas perbarengan dalam tindak pidana
(concurcus) dalam bentuk makalah.
Dalam penulisan makalah ini tim penulis
merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki tim penulis. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat
dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi tim
penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Tim penulis
Daftar Isi
Kata
Pengantar
1
Daftar
Isi
2
Bab I
Pendahuluan
3
Latar
Belakang
3
Identifikasi
Masalah
3
Metode
Penulisan
3
Tujuan
Penulisan
4
Bab II
Tinjauan Teori
4
Pengertian Concursus
4
Sistem
Pemidanaan
6
Bab III
Analisa
7
Karakteristik
perbarengan perbuatan pidana (concursus)
7
Bentuk-bentuk
Perbarengan
7
Ukuran
Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus
10
Ketentuan
pidana yang bersifat khusus dan ketentuan pidana yang bersifat umum
11
Bab IV
Kesimpulan
12
Daftar
Pustaka
13
Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Menurut
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pidana itu terbagi
menjadi dua macam yaitu kejahatan (misdrijven)
dan pelanggaran (overtredingen). Dari
segi kodifikasinya, kejahatan diatur dalam buku kedua KUHP, sedangkan
pelanggaran diatur tersendiri dalam buku ketiga KUHP. Dari sisi akibat
hukumnya, kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara bagi
pelakunya. Adapun untuk perbuatan yang termasuk ketegori pelanggaran, pelakunya
dijatuhi hukuman berupa kurungan dan denda.
Dengan
demikian maka terdapat perbedaan pada kedua tindak pidana tersebut. Perbuatan
pidana di atas masing-masing mempunyai konsekuensi tersendiri yang tidak sama.
Akan tetapi, pada kenyataannya seringkali ditemukan adanya suatu perbuatan
kejahatan yang bersamaan dengan kejahatan lain. Ada juga satu perbuatan
pelanggaran yang disertai dengan pelanggaran lain. Atau bahkan perbuatan
kejahatan yang bersamaan dengan pelanggaran dan sebaliknya. Ada kalanya suatu
tindakan pidana yang ternyata diatur dalam lebih dari satu ketentuan pidana.
Kejadian seperti diatas biasa disebut perbarengan.
Ajaran
mengenai perbarengan (samenloop van
strafbaar feit atau concursus) ini merupakan salah satu ajaran yang
tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan
dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang
itu tidak mengikuti perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan
pasal-pasal yang mengatur masalah perbarengan itu sendiri.
Makalah
ini akan membahas tentang karakter ajaran perbarengan perbuatan pidana (samenloop van strafbaar feit atau concursus)
dalam KUHP, bentuk-bentuk perbarengan, perbarengan pidana dalam hukum pidana
umum dan khusus. Tujuannya adalah untuk mengetahui akibat hukum dari
perbarengan (concursus) tersebut.
2.
Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ajaran perbarengan
perbuatan pidana (concursus) dalam
KUHP?
2. Bagaimana karateristik concursus dalam KUHP?
3. Apa saja bentuk-bentuk concursus itu?
4. Apa saja akibat hukum yang ditimbulkan dari
perbarengan perbuatan pidana (concursus)
itu?
3.
Metode Penulisan
Tim penulis mempergunakan metode observasi dan
kepustakaan. Cara yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kepustakaan.
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan
makalah ini.
4.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
menambah pengetahuan mengenai perbarengan dalam tindak pidaana (concursus). Selain itu tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai bentuk hasil tugas pada mata kuliah
Asas-Asas Hukum Pidana Perkembangan.
Bab II
Tinjauan Teori
1.
Pengertian Concursus
Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan. Dalam
makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Gabungan tindak pidana yaitu
apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu
perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan hakim atas diri
orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peraturan pidana
itu diadili sekaligus.
Dengan
demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya
gabungan adalah:
1.
Ada
dua/ lebih tindak pidana dilakukan
2.
Bahwa
dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang
dalam hal penyertaan)
3.
Bahwa
dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili
4.
Bahwa
dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus
Gabungan,
adalah satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. Dalam penentuan
berat hukuman, terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
ü Van Hammel, membahas gabungan itu sebagai satu
lembaga hukum pidana tersendiri
ü Van Hattum, membahas gabungan itu sebagai satu
lembaga hukum pidana tersendiri, tetapi berdasarkan alasan-alasan lain.
ü Somons, Zevenbergen, Vos, dan
Hazewinkel-Suringa, menempatkan gabungan itu dalam pembahasan mengenai ukuran
untuk menetapkan beratnya hukuman (straftoemeting)
ü Pompe, membahas gabungan itu sebagai bagian
dari pelajaran mengenai dapat dihukum atau tidak dapat dihukumnya pembuat,
karena pasal-pasal 63 dan 64 KUHP menyinggung hubunganantara peristiwa pidana
dan perbuatan V. Jonkers, memebahas gabungan itu sebagai bagian dari pelajaran
mengenai peristiwa pidana (strafbarefeit),
biarpun ia melihat gabungan itu sebagai salah satu ukuran untuk menentukan
beratnya hukuman.
2.
Sistem Pemidanaan
Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana
dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak
pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel
pemidanaan, yaitu:
a) Sistem Absorpsi
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya
dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut
melakukan beberapa delik.
b) Sistem Kumulasi
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana
yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya
dijatuhkan.
c) Sistem Absorpsi
Diperberat
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang
masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada
hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat,
akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
d) Sistem Kumulasi
Terbatas
Apabila
seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis
delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut
stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik
dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu
jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
Bab III
Analisa
1. Karakteristik perbarengan perbuatan
pidana (concursus)
Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan
sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang
sekaligus atau serentak tersebut disebut perbarengan yang dalam bahasa Belanda
juga disebut samenloop van strafbaar feit
atau disebut juga dengan concursus. perlu diketahui bahwa orang hanya dapat
berbicara mengenai adanya suatu samenloop van strafbaar feit, apabila di dalam
suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan lebih daripada satu
tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum
pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari
tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.
Perbarengan merupakan terjemahan dari
samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan.
Seperti Wirjono Prodjodikoro yang menerjemahkan samenloop van strafbaar feit
dengan gabungan tindak pidana. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan
adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan
kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak-tindak
pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam
perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu
tindakan saja, dua atau lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut.
Dalam hal dua atau lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik
tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.
2. Bentuk-bentuk Perbarengan
Ada tiga
bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa juga disebut
dengan ajaran, yaitu :
·
Concursus
idealis (eendaadsche samenloop):
apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu
melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Dalam KUHP disebut dengan
perbarengan peraturan.
·
Concursus
realis (meerdaadsche samenloop):
apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus.
·
Perbuatan
lanjutan (voortgezette handeling):
apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara
perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian
perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dibahas secara rinci mengenai ketiga bentuk perbarengan atau concursus di atas.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dibahas secara rinci mengenai ketiga bentuk perbarengan atau concursus di atas.
A.
Concursus Idealis
Concursus
idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan
pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan (eendaadsche samenloop), yakni suatu
perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem
pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi,
yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Dalam KUHP bab II Pasal 63
tentang perbarengan peraturan disebutkan :
§ Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari
satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara
aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.
§ J ika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan. Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar
berusaha membuat pengertian tentang perbuatan (feit). Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang
dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut : “Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang
berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena
tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang
ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh
undang-undang lain.” Hoge Raad menyatakan pendapatnya mengenai concursus
idealis. Yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang
demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya
terberat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan.
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag), maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana diatur dalam pasal 341.
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag), maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana diatur dalam pasal 341.
B.
Concursus realis
Concursus realis atau gabungan beberapa
perbuatan (meerdaadsche samenloop)
terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana.
Sistem
pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu:
§ Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan
pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa
jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah
sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam . Misalnya A
melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5
tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12
tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara.
Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah
maksimum pidana 10 tahun.
§ Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan
pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk
tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum
pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi
diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam
pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2
tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus
dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
§ Apabila concursus realis berupa pelanggaran,
maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan.
Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
§ Apabila concursus realis berupa
kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap
hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan
482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
§ Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun
pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang
berbunyi: “Jika seseorang, setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan
bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada
putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang
akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai
perkara-perkara diadili pada saat yang sama.” Misalkan A tanggal 1 Januari
melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5
Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8
bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4
tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4
tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun +
(1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun
penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada
tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun),
maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak
hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus)
dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara.
C. Perbuatan berlanjut
Perbuatan
berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau
pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria
“perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah :
§ Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan
§ Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama
macamnya
§ Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan
itu tidak terlalu lama
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut
menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat,
dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok
yang terberat. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan
dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus
dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian
ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
3.
Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan
atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus
Telah
diutarakan bahwa persoalan pokok dalam masalah perbarengan adalah mengenai
ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel atau sistem pemidanaan. Ada dua
stelsel pemidanaan untuk perbarengan, yaitu: stelsel komulasi dan stelsel
absorbsi murni. Sedangkan stelsel antara adalah stelsel komulasi terbatas dan
stelsel absorsi dipertajam.
v Stelsel Komulasi murni atau stelsel
penjumlahan murni
Menurut
stelsel ini, untuk setiap tindak pidana diancamkan/dikenakan pidana
masing-masing tanpa pengurangan. Jadi, apabila seseorang melakukan 3 tindak
pidana yang masing-masing ancaman pidananya maksimum 5 bulan, 4 bulan, 3 bulan
maka jumlah (komulasi) maksimum ancaman pidana adalah 12 bulan.
v Stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan
murni
Menurut
stelsel ini, hanya maksimun ancaman pidana yang terberat yang dikenakan dengan
pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau tidak sejenis) diserap
oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sukar dielakkan apabila salah
satu tindak pidana di antaranya diancam dengan pidana yang tertinggi, misalnya
pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimum 20 tahun.
Akan tetapi dalam hal terjadi perbarengan tindakan, di mana yang satu diancam
dengan pidana penjara maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4 tahun,
dengan penggunaan stelsel ini seakan-akan tindak pidana lainnya itu dibiarkan
tanpa penyelesaian secara hukum pidana. Karenanya para sarjana pada umumnya
cenderung untuk “ mempertajam “ atau “ menambahnya “.
v Stelsel Komulasi terbatas, atau stelsel komulasi
terhambat atau reduksi
telsel ini
dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari tersebut pertama
dan kedua. Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing ancaman
pidana yang ditentukan pidananya, akan tetapi dibatasi dengan suatu penambahan
yang lamanya/jumlahnya ditentukan berbilang pecahan dari yang tertinggi.
Misalnya 2 tindak pidana yang masing-masing diancam dengan maksimum 6 dan 4
tahun. Apabila ditentukan maksimum penambahan sepertiga dari yang tertinggi,
maka maksimum ancaman pidana untuk kedua tindakan pidana tersebut adalah 6
tahun + sepertiga x 6 tahun + 8 tahun.
v Stelsel penyerapan dipertajam
Stelsel
ini merupakan varian dari stelsel komulasi terbatas. Menurut stelsel ini,
tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi
dipandang sebagai keadaan yang memberatkan bagi tindak pidana yang lebih berat
ancaman pidananya. Penentuan maksimum pidana menurut stelsel ini hampir sama
dengan tersebut sebelumnya (stelsel komulasi tebatas), yaitu pidana yang
diancamkan terberat ditambah dengan sepertiganya.
4. Ketentuan pidana yang bersifat
khusus dan ketentuan pidana yang bersifat umum
Pada awal pembicaraan kita mengenal samenloop
dari beberapa perilaku yang terlarang ini telah dikatakan bahwa dalam bab ke-VI
dari buku ke-I KUHP itu, pembentuk undang-undang juga telah mengatur tentang
kemungkinan suatu perilaku itu memenuhi rumusan suatu ketentuan pidana yang
bersifat umum, akan tetapi pada saat yang sama juga memenuhi rumusan suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Kemungkinan seperti itu oleh pembentuk
undang-undang telah diatur di dalam pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi: “Jika
suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”.
Dalam hal semacam itu apabila ketentuan pidana yang disebutkan terakhir itu
merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara lebih
khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan
pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang diberlakukan.
Atau dengan perkataan lain, dalam hal semacam itu berlakulah ketentuan hukum
yang mengatakan : lex specialis derogat legi generali (undang-undang khusus
meniadakan undang-undang umum).
Di dalam doktrin terdapat dua cara memandang
suatu ketentuan pidana, yaitu untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana
itu merupakan sutu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau bukan. Pertama,
menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap
sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabila ketentuan pidana
tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari
suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana
berdasarkan pandangan secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut
suatu logische specisliteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Kedua, menurut pandangan secara yuridis atau
secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur
dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat
diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan
ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara yuridis atau
secara sistematis seperti itu di dalam doktrin juga disebut suatu juridische
specialiteit atau suatu systematische specieliteit, yang berarti kekhususan
secara yuridis atau secara sistematis.
Bab IV
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
4.
Secara
garis besar, akibat hukum yang timbul dari concursus adalah sebagai berikut:
· Untuk concursus idealis, sanksi pidana yang
dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
·
Untuk
concursus realis, jika hukuman pokoknya sejenis, maka satu hukuman saja yang
dijatuhkan. Sedangkan apabila hukuman pokoknya tidak sejenis, maka setiap
hukuman dari masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
·
Untuk
perbuatan berlanjut, dikenai ancaman pidana yang terberat atau yang mengandung
ancaman hukuman yang lebih berat.
Daftar Pustaka
Chazawi,
Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana
bagian 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Marpaung,
Leden. 2006. Asas-Teori-Praktek Hukum
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno.
2002. Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Moeljatno.
2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jakarta: PT.Bumi Aksara
R.Soesilo.
1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia
Prodjodikoro,
Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama
Prodjodikoro,
Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama
izin copy ya untuk tugas kuliah saya
BalasHapussama-sama, mohon dicantumkan link blog ini sebagai sumber, terimakasih :)
Hapus