Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

ANALISA PREAH VIHEAR TEMPLE CASE / KASUS KUIL PREAH VIHEAR


I.          FAKTA HUKUM

Kamboja dan Thailand merupakan negara yang terletak di kawasa Asia Tenggara. Keduanya merupakan negara yang berbatasan secara  langsung, yaitu wilayah Preah Vihear berbatasan dengan wilayah Sisaket di bagian Timur Laut Thailand. Wilayah Preah Vihear sejak lama menjadi rebutan antaran Kamboja dengan Thailand. Pada saat itu keduanya masih diduduki oleh Pemerintahan Perancis (Kamboja) dan Pemerintahan Siam (Thailand). Ini berawal dari perebutan Kuil Preah Vihear yang terletak di wilayah Preah Vihear. Sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand di wilayah Kuil Preah Vihear sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Pada tanggal 7 Juli 2008, Kuil Preah Vihear yang disebutkan terletak di wilayah Kamboja secara resmi masuk ke dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List) yang dikeluarkan oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and Cultural Organization).
Langkah ini nampaknya tidak dapat diterima oleh Pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Pemerintah Kamboja, militer Thailand sejak tanggal 15 Juli 2008 telah memasuki wilayah Kamboja di dekat kuil tersebut. Pada tanggal 21 Juli 2008, aktifitas militer Thailand semakin banyak lagi dikerahkan dan memasuki area Keo Sikha Kiri Svara Pagoda (Preah Vihear Pagoda). Keadaan semakin memanas dengan terlukanya 2 orang anggota militer Thailand akibat ranjau darat di daerah sekitar Preah Vihear Pagoda pada tanggal 7 Oktober 2008. Langsung saja Thailand menganggap bahwa Pemerintah Kamboja telah dengan sengaja memasang ranjau di daerah perbatasan yang dipersengketakan. Hal ini segera dibantah oleh Pemerintah Kamboja dan beralasan bahwa ranjau-ranjau tersebut adalah sisa-sisa persenjataan dalam konflik tiga faksi di Kamboja.
Pada akhirnya, konflik bersenjata berdarah pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua kepala negara sebenarnya telah melakukan upaya-upaya penyelesaian damai. Hal ini nampak dari surat Perdana Menteri Hun Sen tanggal 17 Juli 2008 yang meminta kepada Perdana Menteri Samak Sundaravej untuk segera menarik mundur tentaranya dari daerah sekitar Preah Vihear Pagoda agar mengurangi ketegangan di perbatasan. Dalam balasannya, Perdana Menteri Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari Thailand-Kamboja General Border Committee (GBC) pada tanggal 21 Juli 2008.Namun Perdana Menteri Samak juga menekankan bahwa area di sekitar Preah Vihear Pagoda adalah berada dalam kedaulatan territorial kerajaan Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Thailand. Selanjutnya Perdana Menteri HunSen kembali menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik pertemuan yang akan diadakan oleh GBC, namun juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja.
Dari korespondensi di atas tampak bahwa diantara kedua negara masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 15 Juni 1962 tentang Case Concerning the Temple of Preah Vihear. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.
Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta (Annex I Map) yang dibuat oleh pejabat Prancis pada tahun 1907 yang beberapa diantaranya adalah anggota Mixed Commission yang dibentuk berdasarkan Boundary Treaty antara France dan Siam tanggal 13 Februari 1904. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Kuil Preah Vihear terletak berada dalam wilayah Kamboja. Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tersebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota Mixed Commission yang sah. Lebih lanjut, garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut adalah berdasarkan watershed line yang salah dan bila menggunakan watershed line yang benar maka Kuil Preah Vihear akan terletak di dalam wilayah Thailand.
Menarik bahwa dalam salah satu kesimpulannya, mayoritas hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I Map mempunyai kekuatan teknis topografi, namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alasan hakim sehingga menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya. Karena saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada Pemerintah Siam oleh pejabat Perancis, Pemerintah Siam sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan ataupun mempertanyakannya. Ketiadaan reaksi tersebut menjadikan Pemerintah Siam menerima keadaan dan kondisi dalam peta ini. Demikian juga pada banyak kesempatan lainnya, Pemerintah Thailand tidak mengajukan keberatan apapun terhadap letak Kuil Preah Vihear.
Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini nampaknya didasarkan pada prinsip Estoppel, dimana kegagalan Thailand menyatakan keberataannya saat kesempataan tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map. Lebih menarik lagi, mayoritas hakim berkesimpulan bahwa adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang dipergunakan dalam peta sebagaimana Annex I Map telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang masih belum dapat diterima oleh Thailand yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line dalam pembuatan peta namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi. Insiden tembak-menembak pada tanggal 15 Oktober 2008 sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat dari keenganan Mahkamah Internasional untuk memeriksa kembali apakah watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan peta telah sesuai atau tidak dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga masalah ini menjadi isu yang selalu terbuka untuk diperdebatkan oleh pihak yang bersengketa. Namun nasi sudah menjadi bubur, nyawa manusia telah hilang. Berdasarkan Pasal 94 Piagam PBB, masuknya militer Thailand ke dalam wilayah Kamboja sebagaimana tertuang dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Internasional. Selanjutnya Kamboja bisa saja membawa permasalahan ini kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan penyelesaian.  Kemudian perundingan antara Kamboja dan Thailand mengalami kegagalan untuk mengakhiri sengketa soal kuil di perbatasan. Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendesak Thailand dan Kamboja agar menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh dan bisa menahan diri. ASEAN menawarkan diri untuk membantu mengatasi ketegangan di antara mereka. Sekjen ASEAN, Surin Pitsuan, menyatakan Phnom Penh juga membantah mengadu atau minta intervensi Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan persengketaan sebuah kuil di perbatasan Kamboja-Thailand.
Kedua pihak mengungkapkan keinginannya untuk merespons niat baik, permintaan, dan desakan kolega-kolega mereka. Mereka berharap kedua pihak menemukan solusi yang baik bagi situasi itu. Kedua negara dikenal sama-sama memiliki kekayaan warisan budaya dunia berbasis bangunan candi Hindu dan Buddha. Kuil Preah Vihear yang sekarang disengketakan merupakan salah satu simbol keagungan budaya masa lalu.
Namun sengketa di lahan seluas 4,6 kilometer persegi di Kuil Preah Vihear tidak pernah diperkirakan muncul kembali dalam bentuk setajam ini, yang sampai mengarah ke pengerahan pasukan. Kita belum dapat menduga, apakah di luar masalah-masalah menyangkut klaim yang bersifat kesejarahan itu, juga tersimpan motif lain apakah politik, apakah potensi-potensi ekonomi, atau akumulasi dari semua permasalahan yang timbul.

II.         PERMASALAHAN HUKUM;
Termasuk wilayah manakah situs kuil Preah Vihear, Thailand atau Kamboja?

III.        PUTUSAN PENGADILAN;

Berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.

IV.       ANALISIS KASUS

Dalam analisis masalah ini, terdapat suatu persengketaan terhadap wilayah Kuil Preah Vihear yang sebelumnya telah diakui secara resmi oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and Cultural Organization) masuk ke dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List)  atas Negara Kamboja. Persengketaan ini telah berlangsung sejak lama, dimana sampai pada saat itu Pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya.
Namun Keputusan Pengadilan Internasional atas kasus tersebut, Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dimana hakim mahkamah Internasional Tetapi Thailand tidak secara nyata menunjukkan kesepakatannya terhadap putusan tersebut, yang mana pemerintah Thailand justru melakukan aktifitas militer di daerah Kuil Preah Vihear.
Berdasarkan kasus yang terjadi pada Preah Vihear maka dapat ditarik suatu persamaan bahwa kasus tersebut timbul akibat terjadinya suatu suksesi baik suksesi negara, dalam kaitan beralihnya kekuasaan dari pemerintah kolonial Prancis kepada suksesornya yaitu kamboja dalam kasus Preah Viher dengan pihak-pihak terkait lainnya.
Perjanjian internasional yang terjadi dalam kasus tersebut, maka terhadap suksesor memiliki akibat hukum yang berbeda, mengenai kasus Preah Vihear yang berkaitan dengan perjanjian perbatasan antara Prancis selaku suksesor dari kamboja dengan Kerajaan Siam maka berdasarkan praktek negara-negara dan Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties, perjanjian internasional semacam ini mengikat negara suksesor. Mengenai Konsekuensi tersebut secara tegas diatur dalam pasal 11 Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties yang berbunyi :
‘ A succession of States does not as such affect:
·         a boundary established by treaty; or
·         obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary.
Dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan terhadap suatu pemerintahan dalam suatu negara tidak akan merubah atau berakibat kepada posisi negara tersebut dimata hukum internasional baik mengenai kebijakan luar negeri suatu negara maupun perjanjian yang telah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA

http://icj-cij.org
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/1180/1325
http://www.invispress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar