I. FAKTA HUKUM
Kamboja dan Thailand merupakan negara yang terletak di
kawasa Asia Tenggara. Keduanya merupakan negara yang berbatasan secara langsung, yaitu wilayah Preah Vihear
berbatasan dengan wilayah Sisaket di bagian Timur Laut Thailand. Wilayah Preah
Vihear sejak lama menjadi rebutan antaran Kamboja dengan Thailand. Pada saat
itu keduanya masih diduduki oleh Pemerintahan Perancis (Kamboja) dan Pemerintahan
Siam (Thailand). Ini berawal dari perebutan Kuil Preah Vihear yang terletak di
wilayah Preah Vihear. Sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand di
wilayah Kuil Preah Vihear sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Pada tanggal
7 Juli 2008, Kuil Preah Vihear yang disebutkan terletak di wilayah Kamboja
secara resmi masuk ke dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List)
yang dikeluarkan oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and
Cultural Organization).
Langkah ini nampaknya tidak dapat diterima oleh
Pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak
Kuil Preah Vihear yang sebenarnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Pemerintah
Kamboja, militer Thailand sejak tanggal 15 Juli 2008 telah memasuki wilayah
Kamboja di dekat kuil tersebut. Pada tanggal 21 Juli 2008, aktifitas militer
Thailand semakin banyak lagi dikerahkan dan memasuki area Keo Sikha Kiri Svara
Pagoda (Preah Vihear Pagoda). Keadaan semakin memanas dengan terlukanya 2 orang
anggota militer Thailand akibat ranjau darat di daerah sekitar Preah Vihear
Pagoda pada tanggal 7 Oktober 2008. Langsung saja Thailand menganggap bahwa
Pemerintah Kamboja telah dengan sengaja memasang ranjau di daerah perbatasan
yang dipersengketakan. Hal ini segera dibantah oleh Pemerintah Kamboja dan
beralasan bahwa ranjau-ranjau tersebut adalah sisa-sisa persenjataan dalam
konflik tiga faksi di Kamboja.
Pada akhirnya, konflik bersenjata berdarah pun tidak
dapat dielakkan lagi. Kedua kepala negara sebenarnya telah melakukan
upaya-upaya penyelesaian damai. Hal ini nampak dari surat Perdana Menteri Hun
Sen tanggal 17 Juli 2008 yang meminta kepada Perdana Menteri Samak Sundaravej
untuk segera menarik mundur tentaranya dari daerah sekitar Preah Vihear Pagoda
agar mengurangi ketegangan di perbatasan. Dalam balasannya, Perdana Menteri
Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari
Thailand-Kamboja General Border Committee (GBC) pada tanggal 21
Juli 2008.Namun Perdana Menteri Samak juga menekankan bahwa area di sekitar
Preah Vihear Pagoda adalah berada dalam kedaulatan territorial kerajaan
Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan
integritas wilayah Thailand. Selanjutnya Perdana Menteri HunSen kembali
menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik pertemuan yang akan diadakan
oleh GBC, namun juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan “Annex I Map” yang
dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa
Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial
kerajaan Kamboja.
Dari korespondensi di atas tampak bahwa diantara kedua
negara masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional
tanggal 15 Juni 1962 tentang Case Concerning the Temple of Preah Vihear.
Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional
menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan
Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau
dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.
Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta
(Annex I Map) yang dibuat oleh pejabat Prancis pada tahun 1907 yang beberapa
diantaranya adalah anggota Mixed Commission yang dibentuk berdasarkan Boundary
Treaty antara France dan Siam tanggal 13 Februari 1904. Pada peta
ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Kuil Preah Vihear terletak berada dalam
wilayah Kamboja. Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tersebut tidaklah
mengikat karena tidak dibuat oleh anggota Mixed Commission yang
sah. Lebih lanjut, garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut adalah
berdasarkan watershed line yang salah dan bila menggunakan watershed
line yang benar maka Kuil Preah Vihear akan terletak di dalam wilayah
Thailand.
Menarik bahwa dalam salah satu kesimpulannya, mayoritas
hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I Map
mempunyai kekuatan teknis topografi, namun pada saat dibuatnya peta ini tidak
memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alasan hakim sehingga
menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya. Karena saat peta ini
diserahkan dan dikomunikasikan kepada Pemerintah Siam oleh pejabat Perancis,
Pemerintah Siam sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan
ataupun mempertanyakannya. Ketiadaan reaksi tersebut menjadikan Pemerintah Siam
menerima keadaan dan kondisi dalam peta ini. Demikian juga pada banyak
kesempatan lainnya, Pemerintah Thailand tidak mengajukan keberatan apapun
terhadap letak Kuil Preah Vihear.
Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini
nampaknya didasarkan pada prinsip Estoppel, dimana kegagalan Thailand
menyatakan keberataannya saat kesempataan tersebut ada membuat Thailand
kehilangan hak untuk menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex
I Map. Lebih menarik lagi, mayoritas hakim berkesimpulan bahwa
adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang
dipergunakan dalam peta sebagaimana Annex I Map telah sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.
Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang masih belum
dapat diterima oleh Thailand yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi
kesalahan watershed line dalam pembuatan peta namun tidak diperiksa oleh
mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi.
Insiden tembak-menembak pada tanggal 15 Oktober 2008 sebenarnya bisa dikatakan
sebagai akibat dari keenganan Mahkamah Internasional untuk memeriksa kembali apakah
watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan peta telah sesuai atau
tidak dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga masalah ini menjadi isu yang
selalu terbuka untuk diperdebatkan oleh pihak yang bersengketa. Namun nasi
sudah menjadi bubur, nyawa manusia telah hilang. Berdasarkan Pasal 94 Piagam
PBB, masuknya militer Thailand ke dalam wilayah Kamboja sebagaimana tertuang
dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap
putusan Mahkamah Internasional. Selanjutnya Kamboja bisa saja membawa
permasalahan ini kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan penyelesaian. Kemudian perundingan antara Kamboja dan
Thailand mengalami kegagalan untuk mengakhiri sengketa soal kuil di perbatasan.
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendesak Thailand dan Kamboja
agar menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh dan bisa menahan diri. ASEAN
menawarkan diri untuk membantu mengatasi ketegangan di antara mereka. Sekjen
ASEAN, Surin Pitsuan, menyatakan Phnom Penh juga membantah mengadu atau minta intervensi
Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan persengketaan sebuah kuil di perbatasan
Kamboja-Thailand.
Kedua pihak mengungkapkan keinginannya untuk merespons
niat baik, permintaan, dan desakan kolega-kolega mereka. Mereka berharap kedua
pihak menemukan solusi yang baik bagi situasi itu. Kedua negara dikenal
sama-sama memiliki kekayaan warisan budaya dunia berbasis bangunan candi Hindu
dan Buddha. Kuil Preah Vihear yang sekarang disengketakan merupakan salah satu
simbol keagungan budaya masa lalu.
Namun sengketa di lahan seluas 4,6 kilometer persegi di
Kuil Preah Vihear tidak pernah diperkirakan muncul kembali dalam bentuk setajam
ini, yang sampai mengarah ke pengerahan pasukan. Kita belum dapat menduga,
apakah di luar masalah-masalah menyangkut klaim yang bersifat kesejarahan itu,
juga tersimpan motif lain apakah politik, apakah potensi-potensi ekonomi, atau
akumulasi dari semua permasalahan yang timbul.
II. PERMASALAHAN
HUKUM;
Termasuk wilayah manakah situs kuil Preah Vihear,
Thailand atau Kamboja?
III. PUTUSAN
PENGADILAN;
Berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam
menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda
berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dalam
keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand
harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari
daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.
IV. ANALISIS KASUS
Dalam analisis masalah ini, terdapat suatu persengketaan
terhadap wilayah Kuil Preah Vihear yang sebelumnya telah diakui secara resmi
oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and Cultural
Organization) masuk ke dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List) atas Negara Kamboja. Persengketaan ini telah
berlangsung sejak lama, dimana sampai pada saat itu Pemerintah Thailand yang
menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang
sebenarnya.
Namun Keputusan Pengadilan Internasional atas kasus
tersebut, Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada
tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah
Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan
Kamboja. Dimana hakim mahkamah Internasional Tetapi Thailand tidak secara nyata
menunjukkan kesepakatannya terhadap putusan tersebut, yang mana pemerintah
Thailand justru melakukan aktifitas militer di daerah Kuil Preah Vihear.
Berdasarkan
kasus yang terjadi pada Preah Vihear maka dapat ditarik suatu persamaan bahwa
kasus tersebut timbul akibat terjadinya suatu suksesi baik suksesi negara,
dalam kaitan beralihnya kekuasaan dari pemerintah kolonial Prancis kepada
suksesornya yaitu kamboja dalam kasus Preah Viher dengan pihak-pihak terkait
lainnya.
Perjanjian internasional yang
terjadi dalam kasus tersebut, maka terhadap suksesor memiliki akibat hukum yang
berbeda, mengenai kasus Preah Vihear yang berkaitan dengan perjanjian
perbatasan antara Prancis selaku suksesor dari kamboja dengan Kerajaan Siam
maka berdasarkan praktek negara-negara dan Vienna Convention on Succession of
States in respect of Treaties, perjanjian internasional semacam ini mengikat
negara suksesor. Mengenai Konsekuensi tersebut secara tegas diatur dalam pasal
11 Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties yang
berbunyi :
‘
A succession of States does not as such affect:
·
a
boundary established by treaty; or
·
obligations
and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary.
Dari pendapat diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perubahan terhadap suatu pemerintahan dalam suatu negara tidak
akan merubah atau berakibat kepada posisi negara tersebut dimata hukum
internasional baik mengenai kebijakan luar negeri suatu negara maupun
perjanjian yang telah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://icj-cij.org
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/1180/1325
http://www.invispress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar