I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pada ilmu hukum pidana
dikenal suatu penyertaan untuk melakukan suatu
tindakan atau perbuatan untuk melakukan
atau melaksanakan tindakan yang menyimpang dari aturan atau hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Namun tidak
semua penyertaan dalam konteks ini dapat diancam sesuai dengan
hukum postif yang berlaku di negara ini. Hanya percobaan kejahatanlah yang
secara tegas dapat diancam kepada barang siapa yang melakukannya terhadap sesuatu yang telah diatur oleh hukum postif
di negara ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga KUHP
mengancam terhadap subyek hukum yang melakukan percobaan kejahatan dengan
menjatuhkan hukuman tanpa terlebih dahulu menunggu sampai terjadinya suatu
akibat dari kejahatan yang sedang dilakukannya (dalam delik materiil).
Tetapi pada dasarnya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),tidak mau merampas atau membatasi kemerdekaan
individu jika hal tersebut tidak perlu.Sehingga dalam percobaan pelanggaran
hukum postif Indonesia (KUHP), tidak mengatur atau mengancam kepada barang
siapa yang melanggarnya. Jelas kiranya bahwa hanya “percobaan akan melakukan
kejahatanlah” yang akan diancam melalui pasal-pasal yang terdapat di KUHP
sebagai hukum postif yang berlaku di Indonesia.
B.
IDENTIFIKASI MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan penyertaan atau deelneming?
2.
Apa yang menjadi landasan teori dari
penyertaan atau deelneming?
3.
Bagaimana suatu penyertaan dilakukan dalam
suatu masalah terhadap kasus?
4.
Siapa saja yang termasuk ke dalam suatu penyertaan
tindak pidana?
5.
Kapan seseorang dapat dikategorikan ke dalam
suatu tindak pidana penyertaan?
C.
KERANGKA PEMIKIRAN
1.
URGENSI TEORI SISTEM HUKUM
Perkembangan
filsafat ilmu dan perkembangan ilmu pengetahuan modern merupakan cerminan
penting pada pertengahan abad kedua puluh, karena pada masa ini ditandai dengan
bangkitnya kesadaran manusia terhadap berbagai kelemahan yang terkandung dalam
formulasi sains modern. Filsafat pengetahuan Cartes ( Cartesian) memang telah
memberikan dasar dan pengukuhan eksistensial terhadap ilmu pengetahuan,
sehingga disamping membawa pengaruh positif terhadap eksistensi dan
perkembangan sains, filsafat cartes juga telah mengakibatkan pengaburan
terhadap karakteristik sains global.
Reaksi atas hal itu menimbulkan suatu metode organis yang kemudian lebih
dikenal dengan “Metodologi Sistem”.
Alasan
utama penghadiran pendekatan ini adalah:
1).
Pendekatan sistem merupakan metode semi-metafisika, yaitu di samping memiliki
kemampuan untuk menggambarkan keutuhan karakteristik objek, juga memiliki
kemampuan untuk melakukan analisis terhadap setiap komponen objek.
2).
Pendekatan sistem senantiasa mempertimbangkan faktor keberhubungan suatu objek
secara internal dan eksternal.
3).
Pendekatan ini lebih representative untuk ontology,epistemology,dan aksiologi
ilmu pengetahuan, sesuai dengan karakteristik esensialnya. Karena kapasitas
pendekatan sistem terletak pada kemampuannya untuk menembus kelemahan-kelemahan
karakteristik sains modern (Cartesian).
Sebagai
bagian dari sains global, ilmu hukum tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh
perkembangan pemikiran itu. Salah satu pengaruh yang paling menonjol dari perkembangan
itu adalah menonjolnya dominasi pendekatan mekanis analistis dalam epistemology
ilmu hukum. Akibat yang paling menonjol dari pengaruh ini adalah dominannya
teori-teori hukum normative di dalam khasanah ilmu hukum.
Pada
satu sisi, dominasi teori ini telah mempertegas makna hukum. Tetapi pada sisi
lainnya, ketegasan makna itu justru telah mengakibatkan kekaburan keutuhan
makna hukum global. Banyak orang hanya memandang hukum sekedar sebagai sistem
norma belaka. Pada dimensi ilmu hukum, pereduksian hukum ke dalam perspektif normative
ini telah mengakibatkan hal-hal serius yang senada dengan persoalan yang
dihadapi oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan modern lainnya. Keberadaan
ontology hukum menjadi kabur, metodologinya beraneka ragam dan tanpa ketegasan,
dan akhirnya ilmu hukum gagal untuk menjawab persoalan-persoalan hukum praktis
yang cenderung bersifat dinamis dan progresif.
Kompleksitas
permasalahan ini akan sangat sulit untuk ditelaah melalui pendekatan yang
bersifat otonomi dan karenanya urgensi pendekatan sistem dalam rangka pemulihan
hukum kearah karakteristik esensialnya menjadi jelas. Dalam rangka pemulihan
ini,pendekatan yang relevan sangatlah penting.
2.
DASAR PENDEKATAN
Gagalnya
suatu paradigma untuk menjawab masalah tertentu, dari suatu kurun waktu
tertentu, bukanlah alas an penyebab yang dapat mengakibatkan tersingkirnya
suatu paradigma dari totalitas konstelasi ilmu dan kehidupan manusia. Hukum
alam tetap hidup dan menjalankan fungsinya. Dalam perspektif pemahaman esensi
hukum, polarisasi itu akan sangat berguna bagi pemahaman terhadap keberadaan
“reduksi hukum normatif” sebagai suatu gejala kekinian yang tentu saja
merupakan akibat dari suatu rangkaian perkembangan kondisi,gejala,dan paradigma
pendahulunya. Berdasarkan polarisasi perkembangan sains ini, pemahaman terhadap
“reduksi hukum normatif” akan dilakukan melalui penelusuran terhadap kondisi
dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta perkembangan paradigma
hukum pada khususnya.
Urgensi
dan validitas pemahaman terhadap “reduksi hukum normatif” ini terletak pada
beberapa alasan yang bersifat factual dan teoritis, antara lain ;
1).
Reduksi terhadap hukum (sebagai objek ilmu hukum) secara demikian itu telah
mengakibatkan pengaburan batas-batas ruang lingkup kajian terhadap hukum
sebagai suatu objek ilmu (hukum) yang utuh.
2).
Reduksi terhadap hukum secara demikian itu telah mengakibatkan keterputusan
antara norma hukum dengan unsur-unsur hukum lainnya yang secara nyata merupakan
bagian tak terpisahkan dari (proses) hukum sebagai suatu keutuhan.
3).
Pemutusan norma hukum secara demikian itu telah mengakibatkan menyempitnya dan
terbatasnya ruang lingkup kajian ilmu hukum.
4).
Reduksi secara demikian itu telah merusak polarisasi pemahaman hukum sebagai
sains maupun sebagai gejala praktis.
5).
Reduksi secara demikian itu telah memerosotkan daya dukung ilmu hukum terhadap
tuntutan kebutuhan praktis.
6).
Akibat-akibat reduksi hukum normatif yang semakin bersifat multi-aspek
(teori,praktik,dan proses) ini mencerminkan suatu tuntutan kebutuhan yang
sangat serius terhadap suatu paradigma yang mampu menggambarkan hukum dan
proses hukum secara utuh.Gejala kebutuhan ini akan semakin menguat,jika
kebutuhan itu dikaitkan dengan keajegan ilmu hukum sebagai suatu sistem yang
akan menentukan keajegan ontologism,epistemologis,dan aksiologisnya dalam
perspektif statusnya sebagai desain ilmu yang diharapkan mampu meningkatkan
sifat manusiawi dari manusia(humaniora).
7).
Hanya mendasarkan pemahaman polaritas terhadap perkembangan itulah dapat
disusun suatu pendekatan dan desain sistem hukum yang mampu secara benar dan
(logis) dan sistematis menggambarkan hukum sebagai objek ilmu hukum tersebut
secara utuh.
Dalam
menyusun sistem hukum, cara-cara mengatasi kelemahan metode analistis-mekanis
ini akan menjadi bahan analisis menarik. Karenanya, untuk mengatasinya haruslah
ditemukan suatu metode analisis yang mampu berperan ganda,yaitu; pertama,mampu
mengatasi kelemahan-kelemahan metode analisis-mekanis itu,dan kedua,
bersamaan dengan itu ia juga harus mampu mempertahankan kelebihan dari pendekatan
analisis-mekanis itu.
3.
PENDEKATAN YANG RELEVAN
Ada 3 pendekatan utama yang digunakan untuk
mengkaji perkembangan hukum saat ini, yaitu;
1).
Pendekatan filsafat ilmu, digunakan untuk menggambarkan tempat pengetahuan
hukum dalam perspektif filsafat ilmu, yaitu untuk menggambarkan perkembangan
ilmu pengetahuan, perkembangan ilmu hukum dalam perspektif itu, pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan global terhadap ilmu hukum, dan munculnya
kebutuhan baru terhadap pendekatan yang relevan dalam rangka mengatasi
kelemahan-kelemahan ilmu hukum, baik dari segi ontology, epistemology,ataupun
aksiologi,akibat dari perkembangan itu.
2).
Pendekatan filsafat hukum, digunakan menggambarkan perkembangan teori-teori
hukum yang berjalan parallel dengan perkembangan ide manusia tentang
pengetahuan pada umumnya.Pendekatan ini digunakan untuk menegaskan influensi
perkembangan ilmu pengetahuan global terhadap ilmu hukum, baik dari segi
ontology,epistemology,maupun secara eksiologinya.
3).
Pendekatan ilmu hukum digunakan untuk melihat tingkat perkembangan ilmu hukum
dalam perspektif perkembangan sains global. Sehingga pendekatan ini berfungsi
untuk menegaskan perkembangan ilmu hukum dan akhirnya urgensi metodologi sistem
bagi pengembangan ilmu hukum dan pembangunan hukum.
Dari
uraian diatas,ketiga pendekatan ini digunakan untuk menegaskan urgensi
pendekatan sistem bagi ilmu hukum pascamodern dan memformulasikan teori hukum
baru yang mampu menggambarkan hukum secara keseluruhan, yaitu teori hukum yang
didasarkan pada konsep-konsep sistem.
4.
DESAIN PEMBAHASAN
Pertama : Penelusuran terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan dan keutuhan formulasi hukum adat dalam
perkembangannya. Setelah diteliti, terdapat faktor-faktor penting yang
mengakibatkan terjadinya pereduksian terhadap hukum adat yang lama.
Kedua : Setelah mendapatkan pemahaman yang utuh
tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reduksi hukum normatif dalam
hukum adat, yang merupakan dasar kebutuhan terhadap kehadiran teori sistem
hukum dalam rangka rehabilitasi objektivitas hukum.
Ketiga : Penyusunan teori yang didasarkan pada
prinsip transformasi, yaitu seleksi dan pemahaman terhadap msing-masing
unsur dan teori dengan dasar
pertimbangan pada validitasnya, dan unsur-unsur itu yang kemudian dibandingkan
dengan kenyataan keberadaan hukum itu sendiri.
5.
METODE PENULISAN
Metode
yang sekaligus dapat melangsungkan peran itu adalah metode pendekatan sistem,
karena:
a).
Metode ini merupakan induk yang melahirkan metode analistis-mekanis (merupakan
alasan historis).
b).
Metode ini member perhatian sama kuatnya antara pentingnya keseluruhan dan
pentingnya analisis detail yang tajam terhadap setiap bagian dari suatu objek
pengetahuan. Metode ini merupakan metode semi metafisika yang memiliki
kemampuan untuk menembus keterbatasan metode mekanis-analistis,dan sekaligus
mempertahan kelebihan metode itu.
c).
Metode ini memiliki sifat sains dalam pengertian modern, dan juga sifat sains
dalam pengertian filosofis. Sehingga, kapasitas pendekatan ini dipasti
II.
TINJAUAN PUSTAKA
/ TEORI
PENYERTAAN(DEELNEMING)
Adalah: apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing2 peserta dalam persitiwa tersebut.
Adalah: apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing2 peserta dalam persitiwa tersebut.
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan
tindak pidana tersebut, adalah:
1. bersama-sama melakukan kejahatan
2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
1. bersama-sama melakukan kejahatan
2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Masalah penyertaan deelneming atau keikutsertaan itu oleh
pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-pasal 55 dan 56 KUHP. Akan
tetapi apa yang disebut dader itu
telah disebutkan oleh pembentuk undang-undang di dalam Pasal 55 KUHP, sehingga
lebih tepatlah kiranya apabila pembicaraan mengenai ketentuan-ketentuan Pidana
di dalam Pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu disebut sebagai suatu pembicaraan
mengenai masalah pelaku (dader) dan
keturutsertaan (deelneming) dari pada
disebut semata-mata sebagai pembicaraan mengenai keturutsertaan saja.
Kemudian seperti kita ketahui bahwa suatu
tindak pidana cukup diselesaikan oleh satu orang disebut pelaku dari tindak
pidana, namun sering terjadi dimana tindak pidana tidak cukup dilakukan oleh
satu orang melainkan melibatkan beberapa orang, ini menyangkut ajaran
penyertaan (deelneming/complicity).
• Ini diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP (memuat bentuk-bentuk
penyertaan) yaitu bentuk-bentuk penyertaan yang dikenai dalam pasal 55 KUHP
tersebut ada 4 bentuk:
1. mereka yang melakukan (pleger),
2. mereka yang menyuruh (doen pleger),
3. mereka yang turut serta melakukan (mendeplegen),
4. mereka yang sengaja menganjurkan/ membujuk (uitlokker).
•
Ini pidananya disamakan dengan alasan sama jahatnya, sedangkan pasal 56 KUHP
mengatur bentuk yang ke-5 yaitu mereka yang membantu (medeplichtige), pidananya
tidak disamakan dengan mereka dalam pasal 55 KUHP, tegasnya pidana untuk
pembantu dengan melihat pasal 57 ada yang dikurangi 1/3, ada juga yang
ditentukan 15 tahun.
•
Yang sering terjadi dalam praktek misalnya yang menyangkut bentuk ke-3 harus dipenuhi
syarat-syaratnya, menurut Langemeijer, yang dianut sampai saat ini dan dianggap
yurisprudensi :
1.
Tidak semua orang yang terlihat harus melakukan perbuatan pelaksanaan cukup
satu orang saja asal peserta yang lain menginsyafi bahwa perorangan cukup untuk
menunjang terselesaikannya delik bersangkutan.
2.
Harus ada kerjasama yang erat diantara mereka meliputi:
a.
Kerjasama kesadaran
Yaitu
sebelum mereka berbuat, terlebih dahulu diantara mereka sudah melakukan
pemufakatan/ perundingan untuk mengatur taktik dan strategi.
b.
Kerjasama fisik (physieke samenwerking),
ini
muncul saat mereka berbuat maupun setelah mereka berbuat.
•
Misalnya :
Penyertaan pencurian: pasal
55 jo 362 KUHP.
Penyertaan
perampokan: pasal 55 jo 365 KUHP.
Penyertaan
penganiayaan: pasal 55 jo 351 KUHP.
Perangai pembantu tanpa syarat, sering terjadi dalam
praktek yaitu ke-4, syaratnya :
1.
Ada orang yang sengaja menganjurkan dan ada orang yang mau dibujuk;
2.
Cara melakukan penganjuran harus dengan insentif/ daya upaya (diatur dalam
pasal 55 ayat 1 (2)).
3.
Orang yang dianjurkan harus mau melakukannya (kalau tak ada yang disebut
penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking) pasal 163 bis (1)).
Ketentuan pidana di dalam
pasal 55 KUHP itu menurut rumusannya yang asli di dalam bahasa Belanda berbunyi
:
1. Als
DADERS van een strafbaar feit worden gestraft:
·
Zij die het feit PLEGEN,
DOEN PLEGEN of MEDE PLEGEN
·
Zij die door giften,
beloften, misbruik van gezag of van aanzein,geweld, bedreiging of misleiding of
door het vershaften van gelegenheid,middelen of inlichtingen het feit
OPZETTELIJK UITLOKKEN, benevens hare gevolgen.
2.
Ten aanzien der laatsten
komen allen die handelingen in aanmerking die zij OPZETTELIJK HEBBEN UITGELOKT.
Sedangkan ketentuan pidana
seperti yang telah diatur di dalam Pasal 56 KUHP itu. Menurut rumusannya yang
asli di dalam bahasa Belanda berbunyi :
Als MEDEPLICHTIGEN aan een misdrif worden
gestraft
1.
Zij die opzettelijk
BEHULPZAAM ZIJN bij het plegen van het misdrift;
2.
Zij die opzettelijk
gelegenheid, middlen of inlichtingen ver schaften tot het plegen van het
misdrif.
Penyertaan dapat dibagi
menurut sifatnya:
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai sendiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai sendiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.
3. Di dalam KUHP terdapat 2
bentuk penyertaan:
1. Para Pembuat (mededader)
pasal 55 KUHP, yaitu:
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) pasal 56 KUHP
Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan
b. mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan)
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) pasal 56 KUHP
Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan
b. mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan)
4.
Dengan
demikian dapat diketahui siapa-siapa yang dapat membuat tindak pidana dan
siapa2 yang terlibat dalam terwujudnya tindak pidana:
1. pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana dalam uu.
2. para pembuat, ada 4 bentuk
3. Pembuat Pembantu.
1. pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana dalam uu.
2. para pembuat, ada 4 bentuk
3. Pembuat Pembantu.
5.
Perbedaan
antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah: para pembuat (mededader)
secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat
pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam
melaksanakan tindak pidana.
6.
Pembuat
yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan tindap pidana
secara pribadi, melainkan secara bersama-sama dengan orang lain dalam
mewujudkan tindak pidana. Apabila dilihat dari perbuatan masing2 peserta
berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi sebagian unsur tindak pidana. Dengan
demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta,
tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.
Syarat subjektif dan Objektif dalam
penyertaan;
• Syarat
subjektif
Syarat sunbjektif dibagi menjadi 2:
1) adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
2) Adanya hubungan batin (kesengaaan dengan mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya dan bahkan dengan apa yang dilakukan oleh dia dan peserta lainnya.
• Syarat objektif ialah bahwa perbuatan orang tersebut memiliki hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dapat dikatakan juga bahwa wuud perbuatan orang tersebut secara objektif ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.
Namun terhadap syarat yang kedua (objektif) tidak mungkin dapat berdiri sendiri, karena apabila berdiri sendiri, maka tidak akan dapat disebut sebagai penyertaan. Dengan demikian syarat objektif harus selalu melekat dengan syarat subektif pada tindak pidana yang dilakukan secara deelneming.
Syarat sunbjektif dibagi menjadi 2:
1) adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
2) Adanya hubungan batin (kesengaaan dengan mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya dan bahkan dengan apa yang dilakukan oleh dia dan peserta lainnya.
• Syarat objektif ialah bahwa perbuatan orang tersebut memiliki hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dapat dikatakan juga bahwa wuud perbuatan orang tersebut secara objektif ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.
Namun terhadap syarat yang kedua (objektif) tidak mungkin dapat berdiri sendiri, karena apabila berdiri sendiri, maka tidak akan dapat disebut sebagai penyertaan. Dengan demikian syarat objektif harus selalu melekat dengan syarat subektif pada tindak pidana yang dilakukan secara deelneming.
Teori penyertaan tindak Pidana Menurut
(Prof. Lobby Luqman)
Perbedaan antara pembantuan dan turut
serta, terdapat tiga teori, antara lain:
1.
Teori Obyektif (de
obyectieve deelnenings theorie)
Untuk membedakan antara turut serta
dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak
pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan
perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan dalam
bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila orang tersebut perbuatannya tidak
bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan “pembantuan”.
2.
Teori Subyektif (de
subyectieve deelnemings theorie)
Dasar teori ini adalah niat dari
para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam “turut serta” pelaku memang
mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam
“pembantuan” kehendak ditujukan kearah “memberi bantuan” kepada orang yang
melakukan tindak pidana.
Disamping perbedaan kehendak, dalam
“turut serta” pelaku mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu
atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam
“pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan
disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya “pembantu” hanya memberikan
bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana.
Dalam hal kepentingan, peserta dalam
“turut serta” mempunyai kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan “pembantuan”
kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi
terbatas atas bantuan yang diberikan.
3.
Teori Gabungan (verenigings
theorie)
Artinya dalam hal penerapan delik
digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang.
Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan
teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-undang.
Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta
kepentingan masing-masing peserta.
Dalam membedakan antara “turut serta”
dengan “pembantuan” di dalam praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi
syarat dari bentuk “turut serta” yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja
sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut maka
peserta itu diklasifikasikan sebagai “turut serta”. Sedangkan apabila tidak
memenuhi syarat diatas, peserta diklasifikasikan sebagai “pembantuan”.
Perbedaan antara “pembantuan” dengan
“menggerakkan”, dapat dibedakan melalui kehendak dari pelaku. Dalam bentuk
“penggerakkan” kehendak untuk melakukan tindak pidana baru timbul setelah
ada daya upaya dari orang yang menggerakkan. Jadi dimulai oleh penggerak dengan
memberi daya upaya, barulah orang yang dapat digerakkan mempunyai kehendak
untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal “pembantuan”, dimana dari semula dalam
diri pelaku sudah ada kehendak untuk melakukan tindak pidana. Pembantuan baru
kemudian diberikan yang dapat berupa sarana, kesempatan dan keterangan.
Pembantuan pasif (passieve medeplichttigheid)
bahwa terjadinya delik disebabkan atas kewajiabn yang terdapat dalm peristiwa
tersebut. Artinya orang yang dianggap membantu terdapat kewajiban, dan
kewajiban itu diabaikannya sehingga timbul tindak pidana. Terdapat pula
pembantuan pasif yang dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri, misalnya
terdapat dalam pasal 110 ayat (2) KUHP yang menyatakan “pidana yang sama
dijatuhkan terhadap orang yang dengan maksud hendak menyediakan atau memudahkan
salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal 104, 106, dan 108,…. dst”. Dengan
mempermudah terjadinya tindak pidana yang disebutkan diatas, berarti telah
dianggap membantu meskipun secara pasif. Dan menurut pasal 110 KUHP diatas
dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri dan diancam dengan pelaku pokoknya.
Saksi mahkota juga erat kaitannya
dengan penyertaan. Hal ini disebabkan “saksi mahkota” adalah kesaksian
seseorang yang sama-sama terdakwa. Dengan kata lain, saksi mahkota terjadi
apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana.
Dimana terdakwa akan menjafi saksi terhadap teman pesertanya, sebalikanya,
gilirannya terdakwa yang alin menjadi saksi untuk teman peserta lainnya.
Teori Tindak Pidana Menurut (Utrecht)
1. MELAKUKAN (PLEGEN)
Dalam hukum pidana yang melakukan tindak pidana adalah
pembuat lengkap yaitu di mana perbuatan memuat semua anasir-anasir peristiwa
pidana yang bersangkutan. Biasanya dengan agak mudah dapat dikatakan
siapa yang menurut undang-undang menjadi yang melakukan dan siapa yang tidak
menjadi melakukan. Tetapi penentuan ini agak sukar dalam delik delik yang
terjadi karena yang melakukan menimbbulkan atau meneruskan satu keadaan yang
terlarang dan tidak jelas diterangkan siapa yang berkewajiban menghindarkan
atau menghindarkan terjadinya delik itu atau menghentikan berlangsungnya. Hoge
raad pernah memutuskan bahwa yang menjadi pembuat adalah yang mempunyai
kemampuan untuk mengakhiri keadaaan yang terlarang.
Vos menyatakan bahwa pembuat tidak perlu bertindak
sendiri. Ia dapat merealisasi maksudnya dengan memakai satu alat. Namun apabila
orang yang dipakai sebagai alat itu melakukan sesuatu yang benar benar tidak
diinsyafinya, orang yang memakai orang lain sebagai alat itu disebut sebagai
yang melakukan (pleger)
2. MENYURUH MELAKUKAN
Definisi yang dibuat oleh MvT memperlihatkan beberapa
unsur meyuruh melakukan. Pertama adalah seseorang yang dipakai sebagai alat.
Adanya manusia oleh pembuat delik dipakai sebagai alat, itulah salah satu unsur
pokok dan khusus dari menyuruh melakukan. Hal ini dapat diterangkan dengan
contoh sebagai berikut A mengait kemeja B dari tali jemur yang dipasang di
hlaman B dengan memakai sebatang galah panjang dan putuk galah itu diikat
sebuah kait. A adalah yang melakukan pencurian karena perbuatannya memenuhi
unsur delik pencurian. Namun apabila A menyuruh orang lain yaitu C sedang C
tidak tahu bahwa kemeja itu adalah milik B maka perbuatan itu adalah menyuruh
melakukan. A dihukum karena menyuruh melakukan pencurian.
Unsur kedua dari menyuruh melakukan adalah orang yang
dipakai sebagai alat tersebut tidak dapat bertanggung jawab menurut hukum
pidana, yang dapat berupa orang tersebut sama sekali tidak melakukan satu
peristiwa pidana atau perbuatannya tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana atau orang tersebut melakukan tindak pidana namun ia tidak dapat dihukum
karena ada satu atau beberapa alasan yang menghilangkan kesalahan.
3. TURUT MELAKUKAN
MvT mengemukakan bahwa yang turut melakukan adalah
tiap orang yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja dalam melakukan
satu peristiwa pidana. Sampai di manakah kata turut serta itu harus diartikan?
Van Hamel mengemukakan bahwa turut melakukan itu
terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua anasir anasir
peristiwa pidana yang dilakukan. Pendapat ini ditentang oleh Simons yang
engatakan bahwa andaikata pendapat tersebut digunakan, apa gunanya penggunaan
kata turut melakukan? Karena masing-masing yang melakukan itu sebagai pembuat
lengkap dan bertanggung jawab penuh.
Hoge raad mengemukakan bahwa tidak perlu yang turut
melakukan itu mempunyai semua kualitet pada dirinya yang harus dipunyai oleh
seorang pembuat delik bersangkutan. Dalam keputusan tertanggal 29 oktober 1934
ini dengan jelas diperlihatkan ukuran untuk menetukan apakah bentuk turut serta
yang bersangkutan adalah turut melakukan atau salah satu bentuk lain dari
penyertaan, untuk dapat mengatakan bahwa bentuk yang bersangkutan adalah turut
serta harus ada dua unsur yaitu antara para peserta harus ada kerja sama yang
diinsyafi dan para peserta bersama telah melaksanakan. Menurut
Hazewinkel-Suringa dikemukakan bahwa kerja sama yang begitu sempurna dan erat
itu tidak perlu dijanjikan dan direncanakan para peserta terlebih dahulu,
cukuplah ada saling mengerti yaitu pada saat perbuatan yang bersangkutan
dilakukan ada kerja sama yang erat dan sempurna yang ditujukan pada satu tujuan
yang sama.
4. MEMBUJUK MELAKUKAN
Menurut perumusan yang tercantum pada pasal 55 ayat
(1) sub 2E KUHP maka unsur-unsur membujuk itu adalah:
- Dengan memakai salah satu atau beberapa cara cara yang disebut dalam undang-undang pidana sengaja membujuk seorang lain melakukan satu perbuatan yang dilarang oleh undang undang pidana
Yang membujuk menghendaki supaya satu delik tertentu
dilakukan. Oleh sebab itu maka yang membujuk sengaja mengajak orang lain
melakukan delik yang bersangkutan. Unsur sengaja pada pihak yang mengajak ini
adalah salah satu unsur membujuk yang harus dipenuhi. Harus dipenuhinya unsur ini
ditentukan oleh undang-undang pidana: ”sengaja membujuk”. Sengaja yang ada pada
pihak yang membujuk itu harus ditujukan kepada dilakukannya satu delik
tertentu. Hubungan antara sengaja pada pihak yang membujuk dengan delik yang
dilakukan itu harus langsung.
- Adanya kehendak pada yang melakukan untuk melakukan untuk melakukan untuk melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang pidana itu, adalah akibat bujukan dari yang membujuk
- Yang dibujuk telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan perbuatan yang dikehendakinya. Hanya ada satu kehendak pada yang dibujuk itu, tidaklah cukup, haruslah yang dibujuk itu telah berbuat
- Oleh sebab itu yang dibujuk bertanggung jawab penuh menurut hukum pidana apabila ia tidak dapat dihukum maka tidak ada membujuk tetapi ada menyuruh melakukan
5. MEMBANTU
·
Membantu
hanya dapat dihukum dalam hal kejahatan. Membantu dalam hal ini dapat dilakukan
sebelum atau saat melakukan tindak pidana. Membantu melakukan dilakukan dengan
cara limitatif seperti yang ada pada pasal 56 KUHP.
·
Batas
pertanggung jawaban dari orang yang membantu melakukan addalah sampai pada
perbuatan yang sengaja dimudahkan atau dianjurkan si pembantu serta dengan
akibatnya.
III.
ANALISIS MASALAH
PENYERTAAN DALAM KASUS PIDANA (Studi
Kasus Antasari Azhar)
Beberapa waktu yang lalu, konsentrasi nasional ditujukan persidangan AA
(mantan Ketua KPK) yang didakwa melakukan perbuatan pidana pembunuhan berencana
terhadap Nas (Direktur PT. Rajawali Banjaran Negara). Konsentrasi nasional ini
ditujukan untuk melihat keterkaitan antara AA dengan terbunuhnya Nas. Pandangan
publik terbelah. Sebagian kalangan menduga bahwa adanya upaya rekayasa terhadap
AA yang berhasil mengggegerkan belantara nasional dengan sepak terjangnya di
KPK. Sebagian meyakini bahwa AA terlibat dalam rangkaian pembunuhan tersebut
bersama dengan WW dan Sgt.
Hingga putusan dibacakan, reaksipun masih beragam. Kalangan yang meyakini ada upaya rekayasa tetap berpatokan kepada fakta-fakta persidangan yang menganggap bahwa AA tidak terlibat. Selain tuduhan jaksa penuntut umum terhadap AA tidak didukung fakta-fakta yang mempunyai hubungan langsung dengan peran AA dalam kasus itu, juga didukung adanya upaya sistematis terhadap kriminalisasi Bibit dan Chandra (Wakil Ketua KPK). Bibit dan Chandra kemudian digiring menjadi pelaku kriminalisasi dan ditahan di Rutan Mako Brimob.
Berbeda dengan AA, reaksi publik terhadap Bibit dan Chandra mendapat dukungan luas. Hampir praktis gemuruh politik terhadap kasus ini menjadi wacana nasional. Pers, LSM, kalangan kelas menengah, intelektual seakan-akan berseru lantang menolak upaya sistematis kriminalasi terhadap bibit dan chandra. Dukungna yang luas ini kemudian tidak diperhitungkan wacana politik konvensional. Di dunia maya, dukungan mendapat sambutan yang luar biasa. Facebookers (penggemar Facebook) berhimpun dan berhasil mengumpulkan dukunmgan sebanyak 1 juta members. Dukungan yang begitu luas berhasil mengantarkan teori politik konvensional, bahwa kelas menengah Indonesia mulai berperan secara politik dan melawan konsepsi politik konvensional. Dukungan 1 juta members berhasil “memaksa”, Presiden turun tangan dengan membentuk Tim 8, menghentikan kasus ini dan mengeluarkan bibit dan chandra dari tahanan. Prestasi ini memberikan catatan sendiri di tengah masyarakat melawan kesewenang-wenangan rezim dalam membungkam KPK.
Namun yang terjadi dengna kasus AA kurang mendapat dukungan dari members facebookers. Hasil penghitungan sementara, facebookers yang mendukung kasus AA masih berkisar puluhan ribu. Sama sekali jauh dari dukungan terhadap bibit dan Chandra.
Gemuruh AA sudah usai. Proses hukum terhadap AA telah dijatuhkan dengna pidana penjara 18 tahun. AA masih mempunyai hak banding dan kasasi. Proses hukum tidaklah segemuruh pada awal-awal kasus ini mencuat.
Banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam kasus AA memberikan catatan penting bagi kita. Namun hanya segelintir yang melihat kasus AA dalam lapangan hukum pidana. Pandangan pakar hanya sekilas menyoroti tentang perbuatan penyertaan (deelneming) dalam kasus AA. Berangkat dari pemikiran itulah, penulis ingin memberikan catatan kasus ini agar kita dapat melihat dari berbagai sudut dan memperkaya gagasan kita.
Didalam lapangan hukum pidana, pada prinsipnya yang bisa diminta pertanggungjawaban pidana adalah orang (naturalij recht). Walaupun banyak sekali peraturan diluar KUHP yang telah mengakui pertanggungjawaban badan hukum (recht person), namun hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Didalam rumusan KUHP, secara tegas adanya kata-kata “barangsiapa” (Hij die). Jelaslah, hanya manusia yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketentuan normatif ini berlaku secara universal.
Sekarang bagaimana untuk meminta pertanggungjawaban perbuatan yang dilakukan bersama-sama (penyertaan/deelneming). Utrecht mengatakan bahwa “pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggunjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan perbuatan pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut”. dengan demikian, prinsip pertanggungjawaban pelaku tindak pidana juga dapat diminta pertanggungjawaban terhadap perbuatan penyertaan (deelneming).
Berangkat dari konsepsi itu, maka orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari merek berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak bisa sama apa yang ada dalam sikap bathin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. Karena berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap perbuatan masing-masing menjadi berbeda (Adam Chazawi, Penyertaan, 2008). Begitu banyak teori-teori yang melihat pertanggungjawaban pelaku penyertaan dalam tindak pidana. Namun secara prinsip penyertaan dapat dilihat dalam ajaran subyektif dan ajaran obyektif. Ajaran subyektif memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat berkehendak mempunyai tujuan dan kepentingan yang paling besar, dialah yang dibebankan tanggung jawab pidan. Sedangkan ajaran obyektif, yang menitikberatkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu.
Di hubungkan dengna pertanggungjawaban pidana, maka sistem yang berasal dari hukum romawi menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama dipertanggungjawabkan sebagaimana melakukan pebuatan itu sendiri (dader). Sedangkan didalam sistem yang berasal dari Italia, berat atau ringannya dilihat dari wujud hasil tindak pidana.
Setelah sekilas kita memperhatikan teori penyertaan, siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan (zij die het feit plegen), maka bentuk penyertaan dapat dilihat didalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Didalam rumusan pasal 55 dibedakan antara mededader (para peserta, para pembuat). Kelompok ini terdiri dari orang yang melakukan (plegen), yang menyuruh melakukan (doen plegen), turut serta melakukan (mede plegen), sengaja menganjurkan (uitlokken). Sedangkan didalam rumusan pasal 56 dikenal istilah Pembuat pembantu (medeplichtige).
Untuk membedakan para pembuat (mededader) dengan medeplichtige), mededader secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit. (MvT WvS Belanda).
Uraian ini sedikit membantu kita untuk melihat bagaimana perbuatan pidana itu terjadi dan bagaimana diminta pertanggungjawaban pidana kepada para pelaku.
Dalam eksepsinya, Wiliardi dan Sigid sama-sama mempersoalkan bentuk penyertaan dalam dakwaan mereka, yakni Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo Pasal 340 KUHP. Menurut mereka, bentuk penyertaan yang diformulasikan penuntut umum aneh. Pasalnya, ada penyertaan dalam penyertaan. Kedua terdakwa dianggap bersama-sama membujuk orang lain untuk melakukan pembunuhan berencana. (Penyertaan dalam Penyertaan Tidak Bertentangan dengan KUHAP, hukumonline, 23/10/09)
Atas eksepsi Wiliardi dan Sigid ini, masing-masing penuntut umum memberikan tanggapan. Dari beberapa Arrest Hoge Raad dan pendapat ahli hukum pidana, penyertaan dalam penyertaan dibenarkan dalam praktek peradilan. Konstruksi hukum suatu dakwaan yang menggabungkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 dan Pasal 340 KUHP tidaklah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasalnya, KUHP memang tidak mengatur secara jelas berapa jumlah susunan penyertaan yang diperbolehkan.
Lebih lanjut, bentuk penyertaan dalam penyertaan yang dihubungkan dengan tindak pidana, haruslah dipandang secara luas atau ekstensif. Artinya, penganjuran atas Pasal 340 KUHP adalah satu tindak pidana yang berdiri sendiri, sehingga bisa dihubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penggabungan tersebut, menurut Artha, dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa masih jelas, dan secara ratio masih bisa diterima (Arrest Hoge Raad, 24 Januari 1950 atau lebih dikenal dengan nama Examen Arrest).
Putusan Sela inilah yang kemudian melihat kesalahan dan pertanggungjawaban masing-masing pelaku dalam pembunuhan Nas tersebut.
Dari paparan ini, kemudian Majelis hakim melihat peran dan tanggung jawab masing-masing pelaku. Dalam kasus AA, maka dapat dikelompokkan. 1. mereka yang melakukan. 2. mereka yang menyuruh melakukan. 3 turut serta melakukan perbuatan. (1) mereka yang melakukan dapat dilihat siapa saja yang telah melakukan pembunuhan tersebut (eksekusi). Ini tidak perlu kita perdebatkan lagi. Karena membuktikan kelompok ini adalah mereka mempersiapkan dan menggunakan sepeda motor dan menembak. Sedangkan kelompok kedua inilah yang menjadi perdebatan dalam teori yang penulis paparkan. Siapakah yang berkepentingan terhadap matinya Nas ? siapa yang menyiapkan dana ? siapa yang mencari pembunuh ? dan bagaimana menghubungkan antara yang berkepntingan matinya nas dengan yang menyiapkan dana dan mencari pembunuh ?. Pertanyaan itu sengaja penulis sampaikan untuk melihat teori penyertaan dan bagaiman para pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja pertanyaan itu dapat kita temukan jawaban waktu kita melihat langsung persidangan tersebut. Dan tentu saja kita menghormati proses hukum terhadap AA sehingga fakta-fakta yang kita lihat haruslah disesuaikan dengan teori penyertaan yang telah penulis sampaikan.
Hingga putusan dibacakan, reaksipun masih beragam. Kalangan yang meyakini ada upaya rekayasa tetap berpatokan kepada fakta-fakta persidangan yang menganggap bahwa AA tidak terlibat. Selain tuduhan jaksa penuntut umum terhadap AA tidak didukung fakta-fakta yang mempunyai hubungan langsung dengan peran AA dalam kasus itu, juga didukung adanya upaya sistematis terhadap kriminalisasi Bibit dan Chandra (Wakil Ketua KPK). Bibit dan Chandra kemudian digiring menjadi pelaku kriminalisasi dan ditahan di Rutan Mako Brimob.
Berbeda dengan AA, reaksi publik terhadap Bibit dan Chandra mendapat dukungan luas. Hampir praktis gemuruh politik terhadap kasus ini menjadi wacana nasional. Pers, LSM, kalangan kelas menengah, intelektual seakan-akan berseru lantang menolak upaya sistematis kriminalasi terhadap bibit dan chandra. Dukungna yang luas ini kemudian tidak diperhitungkan wacana politik konvensional. Di dunia maya, dukungan mendapat sambutan yang luar biasa. Facebookers (penggemar Facebook) berhimpun dan berhasil mengumpulkan dukunmgan sebanyak 1 juta members. Dukungan yang begitu luas berhasil mengantarkan teori politik konvensional, bahwa kelas menengah Indonesia mulai berperan secara politik dan melawan konsepsi politik konvensional. Dukungan 1 juta members berhasil “memaksa”, Presiden turun tangan dengan membentuk Tim 8, menghentikan kasus ini dan mengeluarkan bibit dan chandra dari tahanan. Prestasi ini memberikan catatan sendiri di tengah masyarakat melawan kesewenang-wenangan rezim dalam membungkam KPK.
Namun yang terjadi dengna kasus AA kurang mendapat dukungan dari members facebookers. Hasil penghitungan sementara, facebookers yang mendukung kasus AA masih berkisar puluhan ribu. Sama sekali jauh dari dukungan terhadap bibit dan Chandra.
Gemuruh AA sudah usai. Proses hukum terhadap AA telah dijatuhkan dengna pidana penjara 18 tahun. AA masih mempunyai hak banding dan kasasi. Proses hukum tidaklah segemuruh pada awal-awal kasus ini mencuat.
Banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam kasus AA memberikan catatan penting bagi kita. Namun hanya segelintir yang melihat kasus AA dalam lapangan hukum pidana. Pandangan pakar hanya sekilas menyoroti tentang perbuatan penyertaan (deelneming) dalam kasus AA. Berangkat dari pemikiran itulah, penulis ingin memberikan catatan kasus ini agar kita dapat melihat dari berbagai sudut dan memperkaya gagasan kita.
Didalam lapangan hukum pidana, pada prinsipnya yang bisa diminta pertanggungjawaban pidana adalah orang (naturalij recht). Walaupun banyak sekali peraturan diluar KUHP yang telah mengakui pertanggungjawaban badan hukum (recht person), namun hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Didalam rumusan KUHP, secara tegas adanya kata-kata “barangsiapa” (Hij die). Jelaslah, hanya manusia yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketentuan normatif ini berlaku secara universal.
Sekarang bagaimana untuk meminta pertanggungjawaban perbuatan yang dilakukan bersama-sama (penyertaan/deelneming). Utrecht mengatakan bahwa “pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggunjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan perbuatan pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut”. dengan demikian, prinsip pertanggungjawaban pelaku tindak pidana juga dapat diminta pertanggungjawaban terhadap perbuatan penyertaan (deelneming).
Berangkat dari konsepsi itu, maka orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari merek berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak bisa sama apa yang ada dalam sikap bathin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. Karena berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap perbuatan masing-masing menjadi berbeda (Adam Chazawi, Penyertaan, 2008). Begitu banyak teori-teori yang melihat pertanggungjawaban pelaku penyertaan dalam tindak pidana. Namun secara prinsip penyertaan dapat dilihat dalam ajaran subyektif dan ajaran obyektif. Ajaran subyektif memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat berkehendak mempunyai tujuan dan kepentingan yang paling besar, dialah yang dibebankan tanggung jawab pidan. Sedangkan ajaran obyektif, yang menitikberatkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu.
Di hubungkan dengna pertanggungjawaban pidana, maka sistem yang berasal dari hukum romawi menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama dipertanggungjawabkan sebagaimana melakukan pebuatan itu sendiri (dader). Sedangkan didalam sistem yang berasal dari Italia, berat atau ringannya dilihat dari wujud hasil tindak pidana.
Setelah sekilas kita memperhatikan teori penyertaan, siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan (zij die het feit plegen), maka bentuk penyertaan dapat dilihat didalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Didalam rumusan pasal 55 dibedakan antara mededader (para peserta, para pembuat). Kelompok ini terdiri dari orang yang melakukan (plegen), yang menyuruh melakukan (doen plegen), turut serta melakukan (mede plegen), sengaja menganjurkan (uitlokken). Sedangkan didalam rumusan pasal 56 dikenal istilah Pembuat pembantu (medeplichtige).
Untuk membedakan para pembuat (mededader) dengan medeplichtige), mededader secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit. (MvT WvS Belanda).
Uraian ini sedikit membantu kita untuk melihat bagaimana perbuatan pidana itu terjadi dan bagaimana diminta pertanggungjawaban pidana kepada para pelaku.
Dalam eksepsinya, Wiliardi dan Sigid sama-sama mempersoalkan bentuk penyertaan dalam dakwaan mereka, yakni Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo Pasal 340 KUHP. Menurut mereka, bentuk penyertaan yang diformulasikan penuntut umum aneh. Pasalnya, ada penyertaan dalam penyertaan. Kedua terdakwa dianggap bersama-sama membujuk orang lain untuk melakukan pembunuhan berencana. (Penyertaan dalam Penyertaan Tidak Bertentangan dengan KUHAP, hukumonline, 23/10/09)
Atas eksepsi Wiliardi dan Sigid ini, masing-masing penuntut umum memberikan tanggapan. Dari beberapa Arrest Hoge Raad dan pendapat ahli hukum pidana, penyertaan dalam penyertaan dibenarkan dalam praktek peradilan. Konstruksi hukum suatu dakwaan yang menggabungkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 dan Pasal 340 KUHP tidaklah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasalnya, KUHP memang tidak mengatur secara jelas berapa jumlah susunan penyertaan yang diperbolehkan.
Lebih lanjut, bentuk penyertaan dalam penyertaan yang dihubungkan dengan tindak pidana, haruslah dipandang secara luas atau ekstensif. Artinya, penganjuran atas Pasal 340 KUHP adalah satu tindak pidana yang berdiri sendiri, sehingga bisa dihubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penggabungan tersebut, menurut Artha, dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa masih jelas, dan secara ratio masih bisa diterima (Arrest Hoge Raad, 24 Januari 1950 atau lebih dikenal dengan nama Examen Arrest).
Putusan Sela inilah yang kemudian melihat kesalahan dan pertanggungjawaban masing-masing pelaku dalam pembunuhan Nas tersebut.
Dari paparan ini, kemudian Majelis hakim melihat peran dan tanggung jawab masing-masing pelaku. Dalam kasus AA, maka dapat dikelompokkan. 1. mereka yang melakukan. 2. mereka yang menyuruh melakukan. 3 turut serta melakukan perbuatan. (1) mereka yang melakukan dapat dilihat siapa saja yang telah melakukan pembunuhan tersebut (eksekusi). Ini tidak perlu kita perdebatkan lagi. Karena membuktikan kelompok ini adalah mereka mempersiapkan dan menggunakan sepeda motor dan menembak. Sedangkan kelompok kedua inilah yang menjadi perdebatan dalam teori yang penulis paparkan. Siapakah yang berkepentingan terhadap matinya Nas ? siapa yang menyiapkan dana ? siapa yang mencari pembunuh ? dan bagaimana menghubungkan antara yang berkepntingan matinya nas dengan yang menyiapkan dana dan mencari pembunuh ?. Pertanyaan itu sengaja penulis sampaikan untuk melihat teori penyertaan dan bagaiman para pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja pertanyaan itu dapat kita temukan jawaban waktu kita melihat langsung persidangan tersebut. Dan tentu saja kita menghormati proses hukum terhadap AA sehingga fakta-fakta yang kita lihat haruslah disesuaikan dengan teori penyertaan yang telah penulis sampaikan.
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
- Kesimpulan
Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
dalam defenisinya menyatakan bahwa perbuatan pidana yang mana pelakunya lebih
dari satu orang tidak dan maksimalnya tanpa batas, sedangkan substansi dari
perbuatan yang dilakukan sama dengan perbuatan pidana pada umunya. Pada
perbuatan pidana ini yang selama ini menjadi permasalahan adalah bagaimana
dalam hal penegakkan hukumnya bagi massa yang banyak dan tidak jelas berapa
banyak yang terlibat sehingga hal ini menyulitkan dalam menentukan siapa yang
berbuat dan sebatas apa perbuatan yang dilakukan. Walaupun sebenarnya dalam
hukum pidana untuk perbuatan pidana yang pelakunya lebih dari satu orang
terdapat pada delik penyertaan tetapi dalam delik juga tidak dapat mengakomodir
dalam penegakkan hukumnya.
Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
dibagi menjadi dua bentuk yaitu: perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan perbuatan pidana yang
dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk tidak secara terorgansir.
Berdasarkan pada judul dari tulisan ini yang mengkaji tentang hubungan antar
pelaku perbuatan pidana massal menurut hukum pidana dan yurisprudensi, maka
dalam tulisan ini menyimpulkan bahwa, delik penyertaan yang relevan dapat
diterapkan pada kedua bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
adalah turut serta (medepleger),
mengajurkan (uitlokker), dan
Pembantuan (medeplichtighei).
Untuk perbuatan pidana yang dilakukan secara
massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir maka berlaku delik
penyertaan turut serta (medepleger),
dan untuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang
terbentuk tidak secara terorganisir maka
berlaku delik penyertaan menganjurkan (uitlokker).
Sedangkan untuk pembantuan (medeplichtigheid)
berlaku bagi semua bentuk penyertaan karena bentuk penyertaan ini hanya sebagai
pelengkap saja dan diluar dari sistem perbuatn yang dilakukan.
Jadi dengan dikontekskannya perbuatan pidana
yang dilakukan secara massal dengan delik penyertaan maka dapat dilihat
hubungan antar pelaku massa yang berbuat. Untuk massa yang terorganisir
hubungan antar pelaku dalam hal ini saling terikat satu sama lain dan merupakan
satu kesatuan. Jadi memilik porsi yang sama baik dari segi perbuatn maupun dari
segi pertanggungjawabannya hanya saja apabila diluar dari yang direncanakan
maka pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan apa yang dilakukan dan hal
ini sesuai dengan rumusan pada turut serta (medeplegen).
Sedangkan untuk massa yang tidak terorganisir
hubungan antar pelaku tidak saling mengikat dan terpisah hanya saja terjadi
pada saat sebelum perbuatan dilakukan. Jadi antar pelaku satu dengan yang
lainnya memiliki tanggungjawab yang berbeda-beda sesuai dengan posisi masing-masing
dari pelaku apakah sebagai penganjur atau sebagai yang diberi anjuran. Dan
perbuatn yang dilakukan tentunya juga berbeda-beda dan hal ini juga sesuai
dengan rumusan pada menganjurkan (uitlokker).
Adapun selama ini mengingat keterbatasan dari
aparat penegak hukum dalam prakteknya yang selama ini banyak mengalami kendala
dalam mengungkap siapa saja yang terlibat dan yang bertanggungjawab, maka dalam
tulisan ini diberikan ada alternatif penyelesian dalam penegakkan hukumnya
diluar dari konsep delik penyertaan, yaitu dengan menggunakan konsep
pertanggungjawaban korporasi yaitu pada
bentuk pertanggungjawaban yang kedua yaitu: ‘korporasi berbuatan dan pengurus
yang bertanggungjawab, dalam hal ini adalah pemimpin’. Untuk konsep
pertanggungjawaban korporasi ini hanya berlaku pada perbuatan pidana yang
dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir. Jadi
pada model ini yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh massa
adalah pemimpin atau ketua dari massa tersebut
karena dia yang merupakan motor penggerak dari massa yang bereaksi dan yang bertangungjawab sepenuhnya atas
semua perbuatan yang dilakukana anggotanya, hal ini dimaksudkan dengan tujuan
agar tidak ada yang mau menjadi pemimpin bagi massa yang terorganisir dalam bernuat
puidana karena semua tanggungjawab pidana akan diemban kepadanya.
Sedangkan untuk perbuatan pidana yang
dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir
tidrak dapat mengunkan konsep pertanggungjawaban ini karena tidak mempunyai
pemimpin yang resmi. Jadi untuk bentuk massa ini dalam penyelesainnya dapat
menggunakan pasal 170 KUHP sebagai mana yang sering digunakan penuntut umum
untuk mendakwa massa yang berbuat anarkis, dan hal ini sering ditemukan pada
yurisprudensi sebagaimana salah satunya terdapat dalam tulisan ini. Tapai yang
menjadi catatan bahwa pasal ini hanya berlaku bagi kasus-kasus yang tidak ada
atau tidak ditemukannya pihak yang menganjurakan atau mempropokatori saja,
sedangkan untuk kasus yang ditemukan ada pihak yang menganjurkan maka tetap
menggunakan bentuk penyertaan
menganjurkan (uitlokker).
Jadi antara doktirn hukum pidana dan
yurisprudensi pada prakteknya saling
melengkapi satu dengan yang lain, karena keduanya sama-sama sebagai sumber dari
hukum pidana. Tinggal bagaimana dari pihak aparat penegak hukum melihat suatu
perbuatan pidana dan menindaknya dengan berdasarkan pada nilai keseimbangan,
yang baik bagi yang korban maupun
pelaku, dan pada kata “bagaimana mudahnya saja/praktis”.
B.Saran
Berdasarkan pada hasil kajian yang dilakukan
baik melalui literature, perundang-undangan, pendapat para ahli dan juga
yurisprudensi berkenaan dengan bukan saja permasalahan kedudukan para pelaku
perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang ditinjau dari sudut pandang
hukum pidana dan yurisprudensi tetapi juga penanggulangannya. Maka hendaknya
dilakukan suatu tindakan. Yaitu:
1. Permasalahan
perbuatan pidana yang dilakukan secara massal selama ini kurang mendapatkan
tempat dalam konstitusi khususnya hukum pidana, baik hukum pidana Formil maupun
hukum pidana materiil, jadi hendaknya diberlakukan sebuah peraturan
perundang-undangan yang dapat mengakomodir perbuatan tersebut, sehingga dalam
penegakkan hukumnya dapat berjalan dengan lancar, sehingga paling tidak adanya
keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan pertanggungjawaban yang
dikenakan.
2. Pemidanaan
dijatuhkan sebagai upaya untuk tujuan refresif dan preventif, dan khususnya
pada model perbuatan pidana hendaknya diberlakukan sistem pertanggungjawaban
pidana seperti pada korporasi yaitu dimana yang dipidana adalah para ketua atau
pemimpin dalam melakukan perbuatan pidana
massal khususnya massa yang jumlahnya tidak jelas serta terorganisir ,
karena adalah dalam kasus-kasus seperti inilah sering sekali dalam melakukan
penegakkan hukumnya.
3. karena
permasalahan yang memicu timbulnya perbuatan pidana yang dilakukan secara
massal bermacam-macam dan komplek
disertai ciri-ciri yang berbeda-beda maka hendaknya dalam melakukan
penanggulangan terhadap perbuatan pidana ini
tidak hanya dengan hukum pidana tapi juga dilakukan dengan non pidana
yaitu dengan melalui upaya-upaya kepada pencegahan sebelum perbuatan pidana
dilakukan baik dari segi sosial, politik, hukum dan lain-lain
4. karena
maraknya kejadian fenomena perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, maka
sering juga diadakan pembahasan-pembahasan tentang hal tersebut baik oleh
akedemisi, agamawan, penegak hukum dan lain-lain, yang mana hendaknya hasil
kajian tersebut dapat dijadikan acuan atau rekomendasi bagi penegak hukum
khususnya sebagai salah satu pedoman bagaimana hendaknya dalam menghadapi hal
tersebut
V.
DAFTAR PUSTAKA
BAMBANG POERNOMO. 1978. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta
: Ghalia Indonesia
Drs.P.A.F.LAMINTANG, S.H. 1984. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia.Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti
Prof. MOELJATNO, S.H. 2009. KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA (KUHP).
Jakarta : Bumi Aksara
Mr. Drs E UTRECHT. 1958. Hukum Pidana I .
SOFJAN SASTRAWIDJAJA, S.H. 1995. Hukum Pidana. Bandung
: ARMICO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar