BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia cenderung untuk bersosialisasi antara yang satu dengan yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini manusia disebut sebagai zoon politicon. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu akibat.
Dalam masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik
peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu
berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan
menciptakan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam
melakukan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar aturan atau
peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana.
Tindak Pidana
adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas
dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / KUHP. Dari jenis tindak
pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan
penuntutan apabila ada suatu pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini
diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan
dalam hal kejahatan - kejahatan yang hanya dituntut atas dasar pengaduan.
Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak
dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam
perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur dalam
Pasal 75 KUHP.
Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangankan dengan
melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap
dilanjutkan atau tidak. Diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak
yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk
menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Mengenai delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga / UUPKDRT, dimana dalam Pasal 51 dan 52 secara tegas disebutkan bahwa :
“Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat
(2) adalah Delik Aduan”.
B. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Tujuan Penulisan :
a) Untuk mengetahui dan memahamu BAB VII KUHP yang mengatur
tentang “mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan - kejahatan
yang hanya dituntut atas dasar pengaduan”.
b) Untuk mengetahui bagaimana pencabutan atau mencabut suatu
delik aduan dan apa akibatnya apabila suatu delik aduan tersebut dicabut
Manfaat Penulisan :
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
a) Menambah ilmu pengetahuan tentang delik aduan pada
umumnya.
b) Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti
dan memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi peristiwa
delik dalam kehidupan sehari-hari.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan.
Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut :
Penelitian makalah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasi hukum dengan cara
meneliti aturan, norma-norma hukum[1].
D. Sistematika Penulisan
Sitematika penyusunan makalah ini tertuang dalam tiga (3)
bagian yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan,
dan di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran
mengenai makalah ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara
garis besar sebagai berikut:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang sisnya antara
lain memuat latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan,
sistematika penulisan.
Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan
kepustakaan atau teori yang terdiri dari pengertian delik aduan, jenis-jenis
delik aduan, dan lain-lain.
Bab III : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai
penutup yang berisi kesimpulan.
Dan dilembar akhir disertai dengan daftar pustaka, yaitu
untuk mengetahui pengambilan teori dalam makalah ini sesuai dengan literatur
yang digunakan dalam penulisan makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA/TEORI
A. Pengertian Delik Aduan
Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami
pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk
pengertian tentang delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli tentang
itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik
perhatian kita pada satu pertanyaan yaitu apa itu delik?
Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan
lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana,
tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum
didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara
umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing sarjana menyampaikan
pengertian dan pernyataan yang berbeda pula.
Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit,
peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah
perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu
penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum.
Alasan lain adalah bahwa dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian
abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian
yang tertentu, dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian
itu[2].
Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu perbuatan
pidana, maka yang paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat,
adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si pembuat. Dengan
berpedoman pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno akhirnya menegaskan :
1. bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan
atau tingkah laku,
2. bahwa pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan
kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi[3].
Bahwa feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja
tetapi termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk
kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana
kalau dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana[4].
Pendapat diatas terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana sebagai
padanan kata strafbaarfeit yang diketengahkan. Pemakaian istilah ini, dinilai
kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari strafbaarfeit itu
sendiri, yakni adanya pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku.
Dengan pemisahan ini maka terlepaslah salah satu eleman dari strafbaarfeit dan
bila demikian halnya, padanan kata ini dikesampingkan.
Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit
ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya
dengan peristiwa pidana sebagai berikut : “secara harafiah perkataan
strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita
ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi
dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan”[5].
Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas
menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat[6].Tidak
hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang
tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah
juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan.
Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban
pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang
mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan yang
bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat (dader) yang
bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (unsur
subjektif)[7].
Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran
hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan
hukum (wederrechtelijkehandeling). Dengan kata lain, pelanggaran hukum
itu, untuk hukum pidana, memuat unsur melawan hukum. Di antara pelanggaran
hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam
dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang oleh KUHP
dikualifikasi peristiwa pidana (strafbaar feit). Peristilahan peristiwa pidana
sebagai padanan kata strafbaarfeit adalah cukup tepat. Ini didasarkan pada
kenyataan bahwa dari pemahaman istilah peristiwa pidana itu, yang dapat
dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan pidana bukan
saja yang berbuat, tetapi juga menyangkut mereka yang tidak berbuat. Pemahaman
itu juga sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.
Peristilahan strafbaarfeit juga dapat disepadankan dengan
perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo[8],
yaitu delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan
dengan sengaja atau dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu
menurut Samidjo harus berunsurkan : adanya perbuatan manusia, parbuatan itu
bertentangan ataupun melanggar hukum, adanya unsur kesengajaan dan atau
kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik
adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan oleh manusia
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh
suatu delik adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan
oleh manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, secara tidak langsung, perumusan ini telah
mengesampingkan penerjemahan istilah strafbaarfeit oleh Lamintang dengan
mengutip pendapat Van der Hoeven berikut ini : “Van der Hoeven tidak setuju
apabila perkataan strafbaarfeit itu harus diterjemahkan dengan perkataan
perbuatan yang dapat dihukum, oleh karena yang dapat dihukum itu hanyalah
manusia dan bukan perbuatan”[9].
Dari beberapa pendapat pakar dan istilah strafbaarfeit itu, umumnya
masing-masing pengertian itu mengandung elemen yang jelas tentang suatu
kelakuan atau perbuatan yang pada prinsipnya adalah suatu strafbaarfeit dan
dengan sendirinya dapat dihukum. Karenanya, terhadap setiap kelakuan atau
perbuatan itu dapat dikenai sanksi pidana (atas pelakunya); hanya pelaku yang
melakukan (termasuk juga mereka yang menyuruh, menggerakkan dan membantu),
kelakuan atau perbuatan tertentu (terkualifisir) yang pada akhirnya dapat
dihukum
Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga
mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan
punya cirri khusus dan kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”. Lazimnya,
setiap delik timbul, menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa
ada permintaan yang tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang
dirugikan. Dalam delik aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang
dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut
Umum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada
memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian
dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar
dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini:
1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah
suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan
penuntutan.
2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir
semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik
aduan[10].
3. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti
ini disebut Klacht Delicten[11].
Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat
dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping
delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini
haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang
dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Dari beberapa pendapat diatas
walaupun dirasa sudah menggambarkan secara jelas bagaimana karakter serta sifat
hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit
kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal “penuntutan”. Tegasnya para pakar
tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penggunaan asas opportunitas dalam
defenisi yang mereka kemukakan. Jadi walaupun hak pengaduan untuk penuntutan
perkara ada pada si korban. Pada akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah
semata-mata digantungkan kepada Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna
apabila defenisi tentang delik aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas
opportunitas karena dalam hal penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu
dipertimbangkan pemberlakuannya. Delik aduan (Klacht Delicten) ini
adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan
perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan
sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan
dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.
Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons
yang dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam
beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan
khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan
umum dengan tidak menuntutnya”[12].
Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan
pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau
pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan
perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan
ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya
(contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau
kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut
perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si
korban atau pihak yang dirugikan. Bila keberadaan asas opportunitas tidak
diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si
korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan
diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku.
Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang
diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan
pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak
opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam
suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum
kembali diberlakukan. Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni
“delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu
“delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa
Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana.
Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang
oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang
melanggar larangan tersebut(12) [13].
Ia juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan
pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan
yang dianggap baik dan adil.
Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran
teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif,
yakni suatu ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang)
tentang peristiwa pidana itu[14].
Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah
(pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang
harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum. Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana
itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu
peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan
bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman. Menurut VOS unsur-unsur delik
itu adalah :
1) Suatu kelakuan manusia
2) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan
perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman.
Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah
pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak
pidana aduan diambil tindakan menurut hukum[15].
Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai
berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan
(klacht)[16]
.
B. Jenis-Jenis Delik Aduan
Gerson W. Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian
yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya
atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan
relatif (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu :
1) Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)
2) Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)
Ad. 1) Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute
Klachtdelicten)
Delik aduan absolut atau mutlak adalah beberapa
kejahatan-kejahatan tertentu yang untuk penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan.
Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten)
ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu,
melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang
bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat
dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut
peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini
dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak
akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan
tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat
atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak
membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak.
Larangan ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang
kejahatan-kejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B,
mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia
berzina dengan C. Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B
mengampuni akan tetapi ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C
dituntut lantaran perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak
karena menurut Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut,
jadi A hanya boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus
yang turut campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya
baru dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan
menyerahkan kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut
yang diatur dalam KUHP, yaitu :
1. Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur
dalam Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan”
(verkrachting), Pasal 293 tentang “perbuatan cabul” (ontucht),
didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus
dilakukan pengaduan.
2. Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang
“menista” (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315
tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige belediging), Pasal 316
(penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang
sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319,
tidak diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa
kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan
pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari
ketentuan delik aduan itu sendiri).
3. Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen),
yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan
penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam
ayat terakhir dari kedua pasal itu.
4. Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam
Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk
mengadakan penuntutan.
Selain kejahatan-kejahatan aduan absolut yang diatur didalam
KUHP, diluar KUHP terdapat juga pengaturan mengenai kejahatan aduan tersebut,
seperti: kekerasan dalam rumah tangga yang diatur didalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Pasal 51-53
menentukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk kedalam
delik aduan. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut, yaitu :
1. Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 51 jo Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT.
Menurut Pasal 6 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 52 jo Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT.
Menurut Pasal 7 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis, berat pada
seseorang.
3. Tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
Dengan ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah
tangga tersebut sebagai delik aduan, pembentuk undang-undang (Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) telah mengakui adanya unsur
privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Ad. 2) Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)
Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu
yang guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam
hal ini hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara
si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara
si pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis
lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang
(saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu)
atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik
aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu :
1. Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),
2. Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut
“pencurian di dalam lingkungan keluarga”,
3. Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan
dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui
rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A
dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka.
OLeh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,
4. Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan
yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,
5. Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang
dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.
Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan
pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam
pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan,
maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak
dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat
dipecah-pecah (splitsbaar).
Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu,
penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka
kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan
dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif.
Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk
kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu
diajukan secara lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan
pengaduan. Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya
kejahatan-kejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga[17],yaitu
:
1. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah
menghadapkan orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang
sangat erat dan dalam sidang pengadilan,
2. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di
dalam suatu keluarga antara pasangan suami istri dan istri ada semacam
condominium.
Baik delik aduan absolut maupun delik aduan relatif yang
sering disebut aduan saja, dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan pihak
yang dirugikan dari pada kepentingan penuntutan. Dengan kata lain pembuat
undang-undang memberikan penghargaan kepada pihak yang dirugikan dan kesempatan
untuk mengadakan pilihan, apakah ia bermaksud untuk mengajukan pengaduan atau
mendiamkan persoalan, misalnya demi untuk nama baik keluarga ataupun mungkin
untuk menyimpan sebagai rahasia yang tidak perlu diketahui orang banyak.
Menurut Utrecht alasan satu-satunya pembentuk undang-undang
untuk menetapkan suatu delik aduan adalah pertimbangan bahwa dalam beberapa hal
tertentu pentingnya bagi yang dirugikan supaya perkaranya tidak dituntut adalah
lebih besar dari pada pentingnya bagi negara supaya perkara itu dituntut[18].Konsekuensi
yuridis dari penentuan tersebut adalah aparat penegak hukum tidak dapat
melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku, meskipun mereka mengetahui
bahwa tindak pidana telah terjadi, jika korban dari tindak pidana tersebut
melakukan pengaduan.
Daftar Pustaka
[1] Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132
[2]
1 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 2002, hal 54.
[3]
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 2002, hal 56
[4]
Ibid., hal 56-57.
[5]
4 P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hal 181.
[6]
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal 338.
[7] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989, hal 390.
[10] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,
1993, hal 87.
[12] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II,
Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.
[15] Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan
KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50.
[16] Satochid Kartanegara, Hukum
Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa
Tahun, hal 154.
[17] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 205.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar