Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Militer Myanmar terhadap Etnis Rohingya dikaitkan dengan ICCPR



BAB I


1.1       LATAR BELAKANG

Dewasa ini Hak Asasi Manusia banyak dibicarakan orang. Hak asasi manusia menjadi sangat menarik untuk dibahas karena merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir dan merupakan anugerah dari Tuhan. Contoh hak asasi manusia antara lain: hak untuk hidup, hak untuk memperolehpendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, hak untukmendapatkan perlakuan yang sama, dan hak untuk mendapatkan pekerjaan.[1] Perlindungan atas Hak Asasi Manusia juga telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan nasional, khususnya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A-28J, dan internasional.

Namun tidak semua orang dapat menghargai dan menghormati adanya hak asasi manusia. Hal ini tercermin dari berita-berita tentang diskriminasi, pembunuhan massal, penyiksaan, dan penghilangan lawan-lawan politik secara kekerasan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan tanpa mengindahkan adanya hak dasar sebagai manusia. Tindak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan baik itu oleh perorangan ataupun kelompok tertentu dan bahkan negara, yang memiliki kepentingan sendiri baik itu dengan alasan keamanan nasional ataupun kepentingan nasional.
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang cukup disoroti belakangan ini ialah mengenai pelanggaran yang terjadi di Myanmar (Burma). Kasus yang terjadi di Myanmar bisa dikatakan sebagai salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terburuk di kawasan Asia-Pasifik selain kasus di Korea Utara. Sejak tahun 1958 pemerintahan di Myanmar diambil alih oleh Militer. Topik yang akan dibahas dalam makalah ini ialah mengenai kasus Rohingya yakni sebuah etnis minoritas muslim yang mendapatkan represi berlebihan oleh pemerintah militer Myanmar. Pemerintah militer Myanmar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis Rohingya seperti pembatasan Hak Kebebasan Untuk Bepergian (freedom to movement), pembunuhan terhadap etnis Rohingya dan menerapkan peraturan yang ketat terhadap perkembangan-perkembangan agama-agama selain Budha. Hal tersebut dapat kita simpulkan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.




1.2  RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimana kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Militer Myanmar terhadap Etnis Rohingya?
2.    Bagaimana pelanggaran Hak Asasi Manusia di Myanmar, khususnya yang dilakukan terhadap etnis Rohingya, dikaitkan dengan ICCPR?















BAB II

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia

Hakasasimanusiaadalahhakdasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekatdengan kodratkita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunya imartabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia.Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun.Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakansebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban.Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksanaatautegaknyahakasasimanusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimilikioleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia, hargadiri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di mukab umi. Hal itu disebabkan oleh hak-hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itud ilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia.
            Penggolongan Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:
·           Substansi (oleh Karel Vasak)
-       Generasi 1. Hak Sipil Politik
-       Generasi 2. Hak Ekonomi Sosial Budaya
-       Generasi 3. Solidaritas Kelompok
·           Prosedural
-       Right to good administration
-       Right to complain, to be heard, to have corrective action


2.1.2 Tinjauan tentang ICCPR

            KOVENAN internasional Hak-Hak Sipildan Politik atau International Covenan onCivil and Political Rights (ICCPR) merupakan produk Perang Dingin. Ia merupakan hasildari kompromi politik yang keras antarakekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi[2] manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional.
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi Negara-Negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Apabila negara berperan tetapi intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Dalam ICCPR dapat kita bagi kedalam dua klasifikasi mengenai hak-hak, yakni:
1.    Hak-hak dalam jenis non-derogable
Yakni hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah:
·           Hak atas hidup (right to life)
·           Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture)
·           Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery)
·           Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang)
·           Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut
·           Hak sebagai subjek hukum
·           Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama
Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
2.    Hak-hak dalam jenis derogable
Yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah:
·           Hak atas kebebasan berkumpul secara damai
·           Hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh
·           Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan)
Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpanan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demimenjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum dan menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 (1) yang menyatakan, Negara-Negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya”  tanpa diskriminasi macam apapun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 (2)). Tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable. Kewajiban negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif.























BAB III

3.1 Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Myanmar

·           Sejarah Perkembangan Lahirnya Pemerintahan Otoriter oleh Junta Militer Myanmar

Myanmar (Burma) merdeka dari Inggris tepatnya tanggal 4 januari 1948, atas sebuah kesepakatan damai antara pemerintah kolonial Inggris dan kaum nasionalis Burma yang dipimpin oleh Thakin Nu, penerus dari Jenderal Aung San yang tewas terbunuh. Jenderal Aung San yang merupakan tokoh nasionalis Myanmar tersebut adalah ayah dari Daw Aung San Suu Kyi (pemimpin partai NLD).
Pada saat itu, Myanmar berada di bawah pemerintahan sipil Perdana Menteri U Nu, ia mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem parlementer. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan U Nu juga dihadapkan pada keadaan sosio-politik yang rumit. Dengan strategi pembangunan “Pydawatha” (Negara yang makmur), U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya.[3] Namun strategi “Pydawatha” tersebut pada akhirnya menemui kegagalan yang berimbas pada menurunnya harga beras pada pasar internasional dan naiknya harga beras pada tingkat konsumen dalam negeri serta terjadinya korupsi dalam jajaran pemerintaha Myanmar memicu terjadinya perang saudara dan pemberontakan etnis yang memberikan pada kemacetan dan inflasi perekonomian pada tahun 1950-an.[4]
Keterlibatan militer dimulai ketika Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan ketertiban dan mempersiapkan pemilu pada tahun 1960. Pemerintahan militer pada saat itu berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya pemilu pada tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama dua tahun untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintahan sipil tidak mampu menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi Myanmar, maka timbul ketidakpuasan dikalangan pro-militer dan militer. Akhirnya pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta dibawah pimpinan Jenderal Ne Win. Keberhasilan kudeta atas Perdana Menteri U Nu pada tahun 1962 itu bisa dikatakan sebagai awal keruntuhan demokrasi di Myanmar.


·           Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Etnis Rohingya oleh Junta Militer Myanmar

Kisah Rohingya menambah panjang sejarah kelam pelanggaran HAM didunia pada umumnya dan Myanmar pada khususnya. Sudah lama junta militer menerapkan peraturan ketat terhadap perkembangan agama-agama selain Budha, agama resmi Negara Myanmar. Ini membuat implementasi hak kebebasan beragama bagi agama minoritas di negara itu terbatas. Sebelumnya, Pemerintah Myanmar memenjarakan penganut Kristen aliran Chin. Kasus itu bahkan mendapat perhatian serius dari Lembaga HAM PBB yang akhirnya menyurati pemerintah junta. Sayang, junta militer tidak pernah menghiraukan himbauan lembaga HAM PBB, bahkan malah melarang utusan lembaga itu untuk bertemu dengan korban di penjara.[5]
Berdasarkan keterangan dari Amnesty Internasional, orang-orang Rohingya mengalami berbagai penindasan Hak Asasi Manusia oleh Junta Militer Burma sejak 1978.[6] Hak kebebasan untuk bepergian (freedom to movement) bagi orang-orang Rohingya dibatasi secara ketat dan sebagian besar dari mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Pihak Junta telah melakukan kekejaman-kekejaman lainnya yaitu berupa pembunuhan etnis Rohingya, bahkan hal ini dilakukan secara acak dalam rangka pemusnahan etnis Rohingya. Selain itu penyiksaan dan penahanan secara ilegal dilakukan setiap hari di Arakan, ratusan etnis Rohingya hilang dan tidak diketahui nasibnya tiap tahunnya. Saat ini Arakan telah menjadi ladang pembantaian etnis Rohingya. Tentu saja tindakan junta militer Myanmar yang mengatasnamakan kepentingan Nasional terbukti telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Masyarakat dunia internasional, terutama negara-negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia, dicengangkan oleh kisah yang menyedihkan tentang “manusia perahu” sebutan bagi orang-orang Rohingya yang dipercaya berasal dari Myanmar dan Bangladesh. Orang-orang Rohingya tiba dalam keadaan yang sangat memilukan, Terkatung-katung di tengah laut tanpa bekal yang cukup. Kini, jumlahnya diperkirakan sudah mencapai sekitar 400 orang yang datang dalam dua gelombang dan kini ditempatkan di Pulau Weh, Propinsi NAD.[7]
Etnis Rohingya adalah penduduk asli negara bagian Arakan. Arakan sendiri merupakan sebuah wilayah seluas 14.200 mil persegi yang terletak di barat Myanmar. Kawasan tersebut sangat terpencil dan berbatasan langsung dengan Bangladesh. Saat ini dihuni oleh sekitar 5 juta penduduk yang terdiri dari dua etnis utama, Rohingya yang Muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Buddha.
Kata Rohingya sendiri berasal dari kata Rohang, yang merupakan nama lama dari negara bagian Arakan. Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke 7 Masehi. Penduduk di kawasan tersebut umumnya berasal dari keturunan Arab yang hijrah ke wilayah tersebut sejak masa kekhaisaran Mughal, Kekaisaran Muslim yang pernah berkuasa di sub-kontinen India pada 1526-1858. Ciri-ciri ini terlihat dari tampilan fisik, bahasa, dan kebudayaan, yang menunjukkan kedekatan orang-orang Rohingya dengan masyarakat Asia Selatan, khususnya orang-orang Chittagonian.
Dengan diundangkannya UU Kewarganegaraan tahun 1982 etnis Rohingya disebut sebagai warga non-kebangsaan atau warga asing. Muslim Rohingya pun resmi dideklarasikan sebagai warga yang pantas untuk dimusnahkan. Rezim junta militer mempraktekkan dua kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis MuslimRohingya di Arakan, serta asimilasi budaya bagi umat Islam yang tinggal dibagian Myanmar.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Junta Militer Myanmar antara lain kasus pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya yang terjadi di Arakan, adalah banyaknya Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga baru Budha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha, dilarang mengenakan hijab, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis.
Berdasarkan keterangan dari Amnesty Internasional, orang-orang Rohingya mengalami berbagai penindasan hak asasi manusia oleh Junta Militer Burma sejak 1978.[8] Junta militer menganggap etnis Rohingya bukanlah warga negara Myanmar. Menurutnya etnis Rohingya merupakan pendatang yang ditempatkan oleh penjajah Inggris dari Bangladesh.
Untuk saat ini, orang-orang Rohingya dan orang-orang dari etnis-etnis minoritas lainnya yang berasal dari wilayah Myanmar bisa dikatakan sebagai “stateless-citizen”, maksudnya adalah penduduk yang kehilangan status kewarganegaraan karena alasan-alasan politik. Maka tidak mengherankan jika faktor-faktor tersebut menjadi pendorong orang-orang Rohingya untuk mengungsi dan mencari perlindungan ke negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand. Dengan harapan mereka mendapatkan perlindungan kemanusiaan dari negara-negara yang mereka singgahi.
Namun pada kenyataannya, harapan mereka untuk mendapatkan perlindungan dari negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand tidak selalu mendapatkan respon yang positif. Sebagai contoh saat mereka berada di Thailand, orang-orang Rohingya sempat mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Saat ditangkap otoritas keamanan Thailand dan kemudian dibawa ketengah laut, disatukan dengan warga Myanmar lainnya yang sudah lebih dahulu ditangkap. Ditengah laut mereka disiksa selama tiga bulan, mereka dipukuli oleh pasukan keamanan yang datang silih berganti, diberi minum hanya seteguk air putih dalam sehari , diberi makan beras yang tidak dimasak, dan dilepaskan ketengah samudera hanya menggunakan perahu reyot tak bermesin tanpa bekal makanan yang cukup.[9]
Di Indonesia sendiri perlakuannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan di negara Thailand. Meskipun sedikit menuai pro dan kontra. Bagi masyarakat yang pro, mereka sepantasnya mendapatkan kepedulian dari masyarakat internasional karena menyangkut perlindungan HAM. Sedangkan bagi masyarakat yang kontra mereka dianggap hanya sebagai pengungsi yang sejauh ini diketahui motif mereka hanya mencari kehidupan yang lebih baik atau bisa digolongkan sebagai migran bermotif ekonomi. Oleh karena itu Indonesia tidak membuka diri bagi migran bermotif ekonomi, mereka harus dipulangkan ke negara asal.
Permasalahan bahwa orang-orang Rohingya itu adalah "pengungsi ekonomi" atau "pengungsi politik" semestinya tidak membutakan mata kita akan pentingnya mendahulukan penanganan kemanusiaan. Dengan menilik pada sejarahnya dan latar-belakang sosialnya, setiap orang Rohingya yang terdampar di Aceh saat ini barangkali bisa disebut sebagai orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan. Padahal jika ditilik dari sejarahnya, etnis Rohingya tidak pernah menentang bahkan cenderung pernah berkiprah dan berjasa untuk Myanmar pada masa pemerintahan U Nu, tetapi mengapa kemudian junta militer melakukan pembantaian terhadap Rohingya.
            Penyebab Junta Militer Myanmar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis minoritas Rohingya adalah karena sebab-sebab berikut:
Ø  Junta militer Myanmar ingin memperkecil perbedaan guna terciptanya satu kesatuan wilayah untuk membangun kesetiaan yang lebih besar dan bersifat nasional dengan cara integrasi bangsa, sehingga etnis  Rohingya dipaksa untuk melebur identitas sosio, kultur, politik, dan agama mereka.
Ø  Adanya asistensi internasional terhadap gerakan separatisme Etnis Muslim Rohingya.

·         Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Etnis Rohingya oleh Junta Militer Myanmar dikaitkan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Melihat kasus di atas, pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Etnis Rohingya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena telah melanggar non-derogable rights. Dalam hal ini dapat terlihat dalam hal:
-     Pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya yang terjadi di Arakan, telah melanggar Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”
-     Terdapat Etnis Rohingya yang disiksa, yang mana melanggar pasal 7 ICCPR yang berbunyi “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”
-     Terdapat Muslim Rohingya yang dipaksa menjadi buruh pagi-siang-malam yang mana melanggar Pasal 8 ayat (3)a ICCPR yang berbunyi “Tidak seorang pun dapat diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib”
-     Terdapat Etnis Rohingya yang ditahan secara sewenang-wenang yang mana melanggar Pasal 9 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum”
-     Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis yang mana dalam hal ini melanggar Pasal 12 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut”
-     Muslim Rohingya juga dilarang untuk melaksanakan ibadah sesuai agamanya dan Masjid serta madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha yang mana dalam hal ini melanggar Pasal 18 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran”
-     Muslimah Rohingya dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya yang mana melanggar Pasal 23 ayat (3) yang berbunyi “Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah”
-     Pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Etnis minoritas Rohingya melanggar pasal 27 ICCPR yang berbunyi “Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri”






























BAB IV

KESIMPULAN

   Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dewasa ini masih dapat kita dengar meski telah ada regulasi yang berfungsi melindungi hak-hak tersebut. Dengan melihat kasus yang dipaparkan diatas kita dapat melihat meski kedaulatan suatu negara tidaklah absolut, melainkan dibatasi oleh hukum internasional[10] tidaklah serta merta organisasi yang berkaitan dengan HAM tersebut dapat mengintervensi suatu negara berdaulat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Junta Militer Myanmar antara lain kasus pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya yang terjadi di Arakan, adalah banyaknya Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga baru Budha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha, dilarang mengenakan hijab, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis. Pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Etnis Rohingya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena telah melanggar non-derogable rights.
Penyebab Junta Militer Myanmar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis minoritas Rohingya adalah karena sebab-sebab berikut:
·         Junta militer Myanmar ingin memperkecil perbedaan guna terciptanya satu kesatuan wilayah untuk membangun kesetiaan yang lebih besar dan bersifat nasional dengan cara integrasi bangsa, sehingga etnis  Rohingya dipaksa untuk melebur identitas sosio, kultur, politik, dan agama mereka.
·         Adanya asistensi internasional terhadap gerakan separatisme Etnis Muslim Rohingya.






























DAFTAR PUSTAKA



·      Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta:Grafiti




·      David I. Steinberg, Burma: A Socialist Nation of Southeast Asia, (Colorado: Westview Press, 1982)

·      http://id.wikipedia.org/wiki/Hak Asasi Manusia

·      IfdhalKasim, S.H., DirekturEksekutifLembagaStudidanAdvokasiMasyarakat(ELSAM).

·      Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Departemen Luar Negeri Indonesia, Kerjasama ASEAN Dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM ASEAN, (Jakarta: ASEAN secretariat, 2002)


[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Hak Asasi Manusia. 30 Oktober 11

[2]IfdhalKasim, S.H., DirekturEksekutifLembagaStudidanAdvokasiMasyarakat(ELSAM).
[3]David I. Steinberg, Burma: A Socialist Nation of Southeast Asia, (Colorado: Westview Press, 1982) Hal 45
[4]Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Departemen Luar Negeri Indonesia, Kerjasama ASEAN Dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM ASEAN, (Jakarta: ASEAN secretariat, 2002) hal: 2
[5] http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00283510/rohingya.dan.masa.depan.minoritas,
diaksestanggal30 oktober 11

[6] http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-rohingya &catid=13:catatan-minggu-ini&itemid=54, diakses tanggal 29 oktober 11
[7] http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-
rohingya&catid=13:catatan-minggu-ini&Itemid=54, diakses29 oktober 11
[8] http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-
rohingya&catid=13:catatan-minggu-ini&Itemid=54, diakses29 oktober 11


[10]Scott Davidson,. “Hak Asasi Manusia”, Grafiti, 1994, hal 69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar