BAB I
1.1
LATAR BELAKANG
Dewasa
ini Hak Asasi Manusia banyak dibicarakan orang. Hak asasi manusia menjadi
sangat menarik untuk dibahas karena merupakan hak-hak
dasar yang dibawa manusia sejak lahir dan merupakan anugerah dari Tuhan. Contoh
hak asasi manusia antara lain: hak untuk hidup, hak untuk memperolehpendidikan,
hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, hak untukmendapatkan perlakuan
yang sama, dan hak untuk mendapatkan pekerjaan.[1]
Perlindungan atas Hak Asasi Manusia juga telah diatur baik dalam peraturan
perundang-undangan nasional, khususnya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 28A-28J, dan internasional.
Namun
tidak semua orang dapat menghargai dan menghormati adanya hak asasi manusia.
Hal ini tercermin dari berita-berita tentang diskriminasi, pembunuhan massal,
penyiksaan, dan penghilangan lawan-lawan politik secara kekerasan, kekejaman,
dan kesewenang-wenangan tanpa mengindahkan adanya hak dasar sebagai manusia.
Tindak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan baik itu oleh perorangan
ataupun kelompok tertentu dan bahkan negara, yang memiliki kepentingan sendiri
baik itu dengan alasan keamanan nasional ataupun kepentingan nasional.
Kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang cukup disoroti belakangan ini ialah mengenai
pelanggaran yang terjadi di Myanmar (Burma). Kasus yang terjadi di Myanmar bisa
dikatakan sebagai salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terburuk di
kawasan Asia-Pasifik selain kasus di Korea Utara. Sejak tahun 1958 pemerintahan
di Myanmar diambil alih oleh Militer. Topik yang akan dibahas dalam makalah ini
ialah mengenai kasus Rohingya yakni sebuah etnis minoritas muslim yang
mendapatkan represi berlebihan oleh pemerintah militer Myanmar. Pemerintah
militer Myanmar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis Rohingya
seperti pembatasan Hak Kebebasan Untuk Bepergian (freedom to movement), pembunuhan terhadap etnis Rohingya dan
menerapkan peraturan yang ketat terhadap perkembangan-perkembangan agama-agama
selain Budha. Hal tersebut dapat kita simpulkan merupakan pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia yang diatur dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Militer Myanmar
terhadap Etnis Rohingya?
2. Bagaimana
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Myanmar, khususnya yang dilakukan terhadap
etnis Rohingya, dikaitkan dengan ICCPR?
BAB II
2.1 TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.1 Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia
Hakasasimanusiaadalahhakdasar yang dimiliki manusia sejak manusia
itu dilahirkan.Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekatdengan kodratkita
sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai
manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena
pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung
dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi
diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak
yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunya imartabat
yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia.Oleh karena itu,
bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak
dapat diambil oleh siapapun.Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri
dan martabat kemanusiaanya juga digunakansebagai landasan moral dalam bergaul atau
berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban.Karena itu,selain ada hak asasi
manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan
demi terlaksanaatautegaknyahakasasimanusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia,
kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga
dimilikioleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia, hargadiri, harkat dan martabat
kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di mukab umi. Hal itu disebabkan oleh
hak-hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itud ilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia.
Penggolongan
Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:
·
Substansi (oleh Karel Vasak)
-
Generasi 1. Hak Sipil Politik
-
Generasi 2. Hak Ekonomi Sosial Budaya
-
Generasi 3. Solidaritas Kelompok
·
Prosedural
-
Right to good administration
-
Right to complain, to be heard, to have corrective action
2.1.2 Tinjauan tentang ICCPR
KOVENAN internasional Hak-Hak
Sipildan Politik atau International Covenan onCivil and Political Rights
(ICCPR) merupakan produk Perang Dingin. Ia merupakan hasildari kompromi politik yang keras
antarakekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis. Saat itu
situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi[2]
manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Hasilnya
adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam
kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian
internasional.
ICCPR
pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh
aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi
Negara-Negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga
sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan
kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara
terbatasi atau terlihat minus. Apabila negara berperan tetapi intervensionis,
tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar
oleh negara. Dalam ICCPR dapat kita bagi kedalam dua klasifikasi mengenai
hak-hak, yakni:
1.
Hak-hak dalam jenis non-derogable
Yakni hak-hak
yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh
Negara-Negara Pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang
termasuk ke dalam jenis ini adalah:
·
Hak atas hidup (right
to life)
·
Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture)
·
Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery)
·
Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian
(utang)
·
Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut
·
Hak sebagai subjek hukum
·
Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama
Negara-negara
Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali
akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius
hak asasi manusia (gross violation of
human rights).
2.
Hak-hak dalam jenis derogable
Yakni hak-hak
yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Hak dan kebebasan
yang termasuk dalam jenis ini adalah:
·
Hak atas kebebasan berkumpul secara damai
·
Hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan
menjadi anggota serikat buruh
·
Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi,
termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam
gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan)
Negara-Negara
Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpanan atas kewajiban
dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya dapat dilakukan
apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat
diskriminatif, yaitu demimenjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moralitas umum dan menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Tanggung
jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan
di dalam Kovenan ini adalah di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara
Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 (1) yang menyatakan, Negara-Negara
Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua
individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apapun. Kalau hak dan
kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi
suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan
legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan
hak-hak itu (Pasal 2 (2)). Tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban
yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan
(immediately). Singkatnya hak-hak
yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable.
Kewajiban negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban
memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan
yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif.
BAB III
3.1 Pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Myanmar
·
Sejarah
Perkembangan Lahirnya Pemerintahan Otoriter oleh Junta Militer Myanmar
Myanmar
(Burma) merdeka dari Inggris tepatnya tanggal 4 januari 1948, atas sebuah
kesepakatan damai antara pemerintah kolonial Inggris dan kaum nasionalis Burma
yang dipimpin oleh Thakin Nu, penerus dari Jenderal Aung San yang tewas terbunuh.
Jenderal Aung San yang merupakan tokoh nasionalis Myanmar tersebut adalah ayah
dari Daw Aung San Suu Kyi (pemimpin partai NLD).
Pada
saat itu, Myanmar berada di bawah pemerintahan sipil Perdana Menteri U Nu, ia
mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem
parlementer. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan U Nu
juga dihadapkan pada keadaan sosio-politik yang rumit. Dengan strategi
pembangunan “Pydawatha” (Negara yang
makmur), U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya.[3]
Namun strategi “Pydawatha” tersebut
pada akhirnya menemui kegagalan yang berimbas pada menurunnya harga beras pada
pasar internasional dan naiknya harga beras pada tingkat konsumen dalam negeri
serta terjadinya korupsi dalam jajaran pemerintaha Myanmar memicu terjadinya
perang saudara dan pemberontakan etnis yang memberikan pada kemacetan dan
inflasi perekonomian pada tahun 1950-an.[4]
Keterlibatan
militer dimulai ketika Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan
ketertiban dan mempersiapkan pemilu pada tahun 1960. Pemerintahan militer pada
saat itu berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya
pemilu pada tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum
pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama dua tahun untuk menyelesaikan
permasalah-permasalahan yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintahan sipil tidak
mampu menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar yang semakin diperparah
dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi
Myanmar, maka timbul ketidakpuasan dikalangan pro-militer dan militer. Akhirnya
pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta dibawah pimpinan Jenderal
Ne Win. Keberhasilan kudeta atas Perdana Menteri U Nu pada tahun 1962 itu bisa
dikatakan sebagai awal keruntuhan demokrasi di Myanmar.
·
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia terhadap Etnis Rohingya oleh Junta Militer Myanmar
Kisah Rohingya
menambah panjang sejarah kelam pelanggaran HAM didunia pada umumnya dan Myanmar
pada khususnya. Sudah lama junta militer menerapkan peraturan ketat terhadap
perkembangan agama-agama selain Budha, agama resmi Negara Myanmar. Ini membuat
implementasi hak kebebasan beragama bagi agama minoritas di negara itu terbatas.
Sebelumnya, Pemerintah Myanmar memenjarakan penganut Kristen aliran Chin. Kasus
itu bahkan mendapat perhatian serius dari Lembaga HAM PBB yang akhirnya
menyurati pemerintah junta. Sayang, junta militer tidak pernah menghiraukan
himbauan lembaga HAM PBB, bahkan malah melarang utusan lembaga itu untuk
bertemu dengan korban di penjara.[5]
Berdasarkan
keterangan dari Amnesty Internasional, orang-orang Rohingya mengalami berbagai
penindasan Hak Asasi Manusia oleh Junta Militer Burma sejak 1978.[6]
Hak kebebasan untuk bepergian (freedom to movement) bagi orang-orang Rohingya
dibatasi secara ketat dan sebagian besar dari mereka tidak diakui sebagai warga
negara Myanmar. Pihak Junta telah melakukan kekejaman-kekejaman lainnya yaitu
berupa pembunuhan etnis Rohingya, bahkan hal ini dilakukan secara acak dalam
rangka pemusnahan etnis Rohingya. Selain itu penyiksaan dan penahanan secara
ilegal dilakukan setiap hari di Arakan, ratusan etnis Rohingya hilang dan tidak
diketahui nasibnya tiap tahunnya. Saat ini Arakan telah menjadi ladang
pembantaian etnis Rohingya. Tentu saja tindakan junta militer Myanmar yang
mengatasnamakan kepentingan Nasional terbukti telah melakukan pelanggaran HAM
berat.
Masyarakat dunia
internasional, terutama negara-negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia,
dicengangkan oleh kisah yang menyedihkan tentang “manusia perahu” sebutan bagi
orang-orang Rohingya yang dipercaya berasal dari Myanmar dan Bangladesh.
Orang-orang Rohingya tiba dalam keadaan yang sangat memilukan, Terkatung-katung
di tengah laut tanpa bekal yang cukup. Kini, jumlahnya diperkirakan sudah
mencapai sekitar 400 orang yang datang dalam dua gelombang dan kini ditempatkan
di Pulau Weh, Propinsi NAD.[7]
Etnis Rohingya
adalah penduduk asli negara bagian Arakan. Arakan sendiri merupakan sebuah
wilayah seluas 14.200 mil persegi yang terletak di barat Myanmar. Kawasan
tersebut sangat terpencil dan berbatasan langsung dengan Bangladesh. Saat ini
dihuni oleh sekitar 5 juta penduduk yang terdiri dari dua etnis utama, Rohingya
yang Muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Buddha.
Kata Rohingya
sendiri berasal dari kata Rohang, yang merupakan nama lama dari negara bagian
Arakan. Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke 7 Masehi. Penduduk
di kawasan tersebut umumnya berasal dari keturunan Arab yang hijrah ke wilayah
tersebut sejak masa kekhaisaran Mughal, Kekaisaran Muslim yang pernah berkuasa
di sub-kontinen India pada 1526-1858. Ciri-ciri ini terlihat dari tampilan
fisik, bahasa, dan kebudayaan, yang menunjukkan kedekatan orang-orang Rohingya
dengan masyarakat Asia Selatan, khususnya orang-orang Chittagonian.
Dengan
diundangkannya UU Kewarganegaraan tahun 1982 etnis Rohingya disebut sebagai
warga non-kebangsaan atau warga asing. Muslim Rohingya pun resmi dideklarasikan
sebagai warga yang pantas untuk dimusnahkan. Rezim junta militer mempraktekkan
dua kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida dan
pembersihan etnis MuslimRohingya di Arakan, serta asimilasi budaya bagi umat
Islam yang tinggal dibagian Myanmar.
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang dilakukan Junta Militer Myanmar antara lain kasus pemusnahan
fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya yang terjadi di
Arakan, adalah banyaknya Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang,
disiksa, dieksekusi dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi
buruh pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga
baru Budha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan
pagoda dan kuil Buddha. Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan
dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha, dilarang
mengenakan hijab, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim
Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu
kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun
bisnis.
Berdasarkan
keterangan dari Amnesty Internasional, orang-orang Rohingya mengalami berbagai
penindasan hak asasi manusia oleh Junta Militer Burma sejak 1978.[8]
Junta militer menganggap etnis Rohingya bukanlah warga negara Myanmar.
Menurutnya etnis Rohingya merupakan pendatang yang ditempatkan oleh penjajah
Inggris dari Bangladesh.
Untuk saat ini,
orang-orang Rohingya dan orang-orang dari etnis-etnis minoritas lainnya yang
berasal dari wilayah Myanmar bisa dikatakan sebagai “stateless-citizen”, maksudnya adalah penduduk yang kehilangan
status kewarganegaraan karena alasan-alasan politik. Maka tidak mengherankan
jika faktor-faktor tersebut menjadi pendorong orang-orang Rohingya untuk
mengungsi dan mencari perlindungan ke negara-negara tetangga seperti Indonesia
dan Thailand. Dengan harapan mereka mendapatkan perlindungan kemanusiaan dari
negara-negara yang mereka singgahi.
Namun pada kenyataannya,
harapan mereka untuk mendapatkan perlindungan dari negara-negara tetangga
seperti Indonesia dan Thailand tidak selalu mendapatkan respon yang positif.
Sebagai contoh saat mereka berada di Thailand, orang-orang Rohingya sempat
mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Saat ditangkap otoritas keamanan
Thailand dan kemudian dibawa ketengah laut, disatukan dengan warga Myanmar
lainnya yang sudah lebih dahulu ditangkap. Ditengah laut mereka disiksa selama
tiga bulan, mereka dipukuli oleh pasukan keamanan yang datang silih berganti,
diberi minum hanya seteguk air putih dalam sehari , diberi makan beras yang
tidak dimasak, dan dilepaskan ketengah samudera hanya menggunakan perahu reyot
tak bermesin tanpa bekal makanan yang cukup.[9]
Di Indonesia
sendiri perlakuannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan di negara Thailand.
Meskipun sedikit menuai pro dan kontra. Bagi masyarakat yang pro, mereka
sepantasnya mendapatkan kepedulian dari masyarakat internasional karena
menyangkut perlindungan HAM. Sedangkan bagi masyarakat yang kontra mereka
dianggap hanya sebagai pengungsi yang sejauh ini diketahui motif mereka hanya
mencari kehidupan yang lebih baik atau bisa digolongkan sebagai migran bermotif
ekonomi. Oleh karena itu Indonesia tidak membuka diri bagi migran bermotif
ekonomi, mereka harus dipulangkan ke negara asal.
Permasalahan
bahwa orang-orang Rohingya itu adalah "pengungsi ekonomi" atau
"pengungsi politik" semestinya tidak membutakan mata kita akan
pentingnya mendahulukan penanganan kemanusiaan. Dengan menilik pada sejarahnya
dan latar-belakang sosialnya, setiap orang Rohingya yang terdampar di Aceh saat
ini barangkali bisa disebut sebagai orang-orang yang melarikan diri dari
penganiayaan. Padahal jika ditilik dari sejarahnya, etnis Rohingya tidak pernah
menentang bahkan cenderung pernah berkiprah dan berjasa untuk Myanmar pada masa
pemerintahan U Nu, tetapi mengapa kemudian junta militer melakukan pembantaian
terhadap Rohingya.
Penyebab Junta Militer Myanmar
melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis minoritas Rohingya
adalah karena sebab-sebab berikut:
Ø Junta militer
Myanmar ingin memperkecil perbedaan guna terciptanya satu kesatuan wilayah
untuk membangun kesetiaan yang lebih besar dan bersifat nasional dengan cara
integrasi bangsa, sehingga etnis
Rohingya dipaksa untuk melebur identitas sosio, kultur, politik, dan
agama mereka.
Ø Adanya asistensi
internasional terhadap gerakan separatisme Etnis Muslim Rohingya.
·
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia terhadap Etnis Rohingya oleh Junta Militer Myanmar dikaitkan
dengan International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik.
Melihat kasus di
atas, pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Etnis
Rohingya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena telah
melanggar non-derogable rights. Dalam
hal ini dapat terlihat dalam hal:
-
Pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis
Muslim Rohingya yang terjadi di Arakan, telah melanggar Pasal 6 ayat (1) ICCPR
yang berbunyi “setiap manusia berhak atas
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum.
Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”
-
Terdapat Etnis Rohingya yang disiksa, yang mana melanggar
pasal 7 ICCPR yang berbunyi “Tidak
seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain
yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak
seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa
persetujuan yang diberikan secara bebas”
-
Terdapat Muslim Rohingya yang dipaksa menjadi buruh
pagi-siang-malam yang mana melanggar Pasal 8 ayat (3)a ICCPR yang berbunyi “Tidak seorang pun dapat diwajibkan untuk melakukan
kerja paksa atau kerja wajib”
-
Terdapat Etnis Rohingya yang ditahan secara
sewenang-wenang yang mana melanggar Pasal 9 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan dan
keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara
sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali
berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
hukum”
-
Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke
desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan,
keagamaan, perdagangan, maupun bisnis yang mana dalam hal ini melanggar Pasal
12 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap
orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan
untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah
tersebut”
-
Muslim Rohingya juga dilarang untuk melaksanakan ibadah
sesuai agamanya dan Masjid serta madrasah diledakkan lalu diganti dengan
pembangunan pagoda dan kuil Buddha yang mana dalam hal ini melanggar Pasal 18
ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di
tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran”
-
Muslimah Rohingya dipaksa untuk menikah dengan pria-pria
Budha dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya yang mana melanggar
Pasal 23 ayat (3) yang berbunyi “Tidak
ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan
penuh dari para pihak yang hendak menikah”
-
Pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar
terhadap Etnis minoritas Rohingya melanggar pasal 27 ICCPR yang berbunyi “Di negara-negara yang memiliki kelompok
minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang
tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam
masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya
mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau
menggunakan bahasa mereka sendiri”
BAB IV
KESIMPULAN
Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dewasa
ini masih dapat kita dengar meski telah ada regulasi yang berfungsi melindungi
hak-hak tersebut. Dengan melihat kasus yang dipaparkan diatas kita dapat
melihat meski kedaulatan suatu negara tidaklah absolut, melainkan dibatasi oleh
hukum internasional[10]
tidaklah serta merta organisasi yang berkaitan dengan HAM tersebut dapat
mengintervensi suatu negara berdaulat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Junta
Militer Myanmar antara lain kasus pemusnahan fisik melalui genosida dan
pembersihan etnis Muslim Rohingya yang terjadi di Arakan, adalah banyaknya
Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi
dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh
pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga baru
Budha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda
dan kuil Buddha. Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan
hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha, dilarang
mengenakan hijab, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim
Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu
kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun
bisnis. Pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Etnis
Rohingya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena telah
melanggar non-derogable rights.
Penyebab
Junta Militer Myanmar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis
minoritas Rohingya adalah karena sebab-sebab berikut:
·
Junta militer Myanmar ingin memperkecil perbedaan guna
terciptanya satu kesatuan wilayah untuk membangun kesetiaan yang lebih besar
dan bersifat nasional dengan cara integrasi bangsa, sehingga etnis Rohingya dipaksa untuk melebur identitas
sosio, kultur, politik, dan agama mereka.
·
Adanya asistensi internasional terhadap gerakan
separatisme Etnis Muslim Rohingya.
DAFTAR PUSTAKA
· Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta:Grafiti
· http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-rohingya&catid=13:catatan-mingguini&Itemid=54
· David I. Steinberg, Burma: A Socialist Nation of
Southeast Asia, (Colorado: Westview Press, 1982)
· IfdhalKasim,
S.H., DirekturEksekutifLembagaStudidanAdvokasiMasyarakat(ELSAM).
· Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Departemen Luar
Negeri Indonesia, Kerjasama ASEAN Dalam
Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM ASEAN, (Jakarta: ASEAN secretariat,
2002)
[2]IfdhalKasim, S.H.,
DirekturEksekutifLembagaStudidanAdvokasiMasyarakat(ELSAM).
[3]David I. Steinberg, Burma: A Socialist Nation of
Southeast Asia, (Colorado: Westview Press, 1982) Hal 45
[4]Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Departemen
Luar Negeri Indonesia, Kerjasama ASEAN
Dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM ASEAN, (Jakarta: ASEAN
secretariat, 2002) hal: 2
[5] http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00283510/rohingya.dan.masa.depan.minoritas,
diaksestanggal30 oktober 11
[6]
http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-rohingya
&catid=13:catatan-minggu-ini&itemid=54, diakses tanggal 29 oktober 11
[7]
http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-
rohingya&catid=13:catatan-minggu-ini&Itemid=54,
diakses29 oktober 11
[8]
http://www.indies.myphp.net/index.php?option=com_content&view=article&id=103:tentang-
rohingya&catid=13:catatan-minggu-ini&Itemid=54,
diakses29 oktober 11
[9]http://news.okezone.com/read/2009/02/04/1/189595/1/manusia-perahu-tak-ingin-tinggalkan-aceh, 30 oktober 11
[10]Scott Davidson,. “Hak Asasi Manusia”, Grafiti,
1994, hal 69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar