BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala
aspek kehidupan manusia (social phenomena) dalam masyarakat baik dari
hal yang sekecil-kecilnya sampai pada hal yang sebesar-besarnya yang pada
kenyataannya selalu diatur oleh hukum, antara lain salah satunya ialah oleh
hukum perdata. Hal ini berkaitan (sebagai konsekuensi yuridis) dengan
pernyataan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum, dimana segala tindakan
setiap warga negaranya dan aparatur pemerintahannya harus berdasarkan hukum,
sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan
demikian sebagai negara hukum, Indonesia harus membuktikan dirinya telah
menerapkan secara nyata dari prinsip-prinsip negara hukum, yaitu kepastian
hukum, menjamin/melindungi hak asasi penduduk, dan peradilan bebas karena manusia
mempunyai kepentingan yaitu tuntutan perorangan/kompleks yang diharapkan dapat
dipenuhi sesuai yang diharapkan.[1]
Keinginan
dari masyarakat dan para pencari keadilan (justitiabelen) menuntut agar
penyelesaian perkara melalui pengadilan berjalan sesuai dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.[2]
Seiring dengan pesatnya laju pembangunan dewasa ini dengan perkembangan
dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, maka tuntutan penyelesaian
perkara melalui proses berperkara yang cepat, sederhana dan biaya ringan tersebut
sangatlah dibutuhkan. Tujuan dari kedua belah pihak yang berperkara di
pengadilan negeri adalah untuk mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (in
kracht van gewijsde), yaitu putusan yang tidak mungkin dilawan dengan upaya
hukum verzet, banding, kasasi.[3] Tujuan
lainnnya ialah untuk menyelesaikan perkara akibat telah terjadinya perbenturan
kepentingan keperdataan antara individu.
Sebelum
penulis melanjutkan tentang apa yang menjadi permasalahan, maka terlebih dahulu
dikemukakan bahwa apa yang diutarakan dalam latar belakang permasalahan hanya
mengenai perdata formil, artinya sebatas hukum acara perdata saja, oleh karena
itu sebelumnya penulis memberi batasan atau definisi tentang apa itu hukum
acara perdata. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dengan perantara hakim.[4]
Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Penyelesaian
suatu perkara perdata dimulai dari tingkat pertama pada saat diajukannya
gugatan ke pengadilan negeri kemudian tingkat kedua yaitu banding pada
pengadilan tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung. Praktik akhir-akhir ini
yang terjadi dengan diajukannya permohonan eksekusi oleh pihak yang menang
dalam perkara itu, yang biasanya memerlukan waktu yang cukup lama dan
bertahun-tahun. Hal ini sangat merugikan bagi para pencari keadilan, ditambah
lagi dengan masalah biaya-biaya perkara yang harus dikeluarkan selama proses
perkara itu berlangsung, serta belum lagi beban psikologis yang dialami oleh
pihak-pihak yang berperkara itu.
Menurut
undang-undang, kekuasaan kehakiman merupakan suatu fundamen sebagai asas bahwa
peradilan itu harus dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
Namun kenyataannya asas ini sering kali dilupakan dan kurang diperhatikan.
Mengenai tahap tindakan dalam hukum acara perdata, Sudikno Mertokusumo
menjelaskan bahwa hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan yaitu: tahap
pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan.[5]
Tahap
pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam
tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai
kepada putusannya. Kemudian dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari
pada putusan. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Adapun
yang dimaksud dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu
adalah sebagai berikut:
1.
Apabila terhadap putusan hakim di
tingkat pertama pengadilan negeri tidak diajukan pernyataan banding/permohonan
banding oleh salah satu pihak yang berperkara dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan dalam peraturan perundangan; atau
2.
Apabila putusan hakim di tingkat banding
pengadilan tinggi oleh salah satu pihak yang kalah tidak diajukan pernyataan
kasasi/permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indoensia dalam tenggang
waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan; atau
3.
Apabila telah ada putusan Mahkamah Agung
sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia, dalam mengadili perkara yang
telah diputus di tingkat banding pengadilan tinggi.
Dengan
adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in
kracht van gewijsde) terhadap perkata perdata maka tujuan dari para pencari
keadilan telah terpenuhi, karena melalui putusan pengadilan itu dapatlah
diketahui hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berperkara. Namun hal
itu bukan berarti tujuan akhir dari para pihak yang berperkara tersebut telah
selesai terutama bagi pihak yang menang, hal ini disebabkan pihak yang menang
tidak mengharapkan kemenangannya itu hanya di atas kertas belaka tetapi harus
ada pelaksanaan dari putusan tersebut.
Suatu
putusan untuk memperoleh kekuatan hukum yang tetap diakui memang sering harus
menunggu waktu yang lama kadang-kadang sampai bertahun-tahun. Maka dari itu,
ada sebuah ketentuan yang merupakan penyimpangan dalam hal ini, yaitu terdapat
dalam Pasal 180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBG mengenai putusan yang
pelaksanaannya dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada banding dan kasasi.
Dengan kata lain putusan itu dapat dilaksanakan meskipun putusan itu belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, lembaga ini dikenal dengan uitvoerbaar
bij voorraad.
Memperhatikan
dasar hukum dari putusan serta-merta (uitvoerbaar
bij voorraad) yaitu Pasal 180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg. Pasal
180 Ayat (1) HIR menyatakan bahwa biarpun orang membantah putusan hakim
pengadilan negeri atau meminta apel, maka pengadilan negeri itu boleh
memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan lebih dahulu, jika ada surat
yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh
diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan
putusan yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan
dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik.
Pasal
180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg memberikan kewenangan bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan serta-merta, namun dalam prakteknya untuk melaksanakan
kewenangan tersebut masih simpang siur sehingga sering menyimpang dari patokan
undang-undang.
Dalam
praktek di pengadilan, eksekusi dari putusan serta-merta sangatlah menimbulkan
suasana yang dilematis. Pengadilan negeri berani mengabulkan gugatan dengan
putusan serta-merta, tetapi enggan dan tidak berani untuk melaksanakan eksekusinya.
Hal ini membuat Mahkamah Agung sebagai badan yang berwenang mengawasi jalannya
penerapan peraturan hukum telah banyak menaruh perhatian terhadap putusan
serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad) yang sering menimbulkan banyak
kesulitan. Oleh karena itu Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi dan beberapa
surat edaran yang ditujukan kepada hakim pengadilan negeri agar jangan secara
mudah menjatuhkan putusan serta-merta.
Untuk
dapat mengabulkan tuntutan permohonan putusan serta-merta, para hakim wajib
memperhatikan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), tetapi disamping itu
juga perlu dipenuhinya syarat-syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 180 Ayat
(1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg.
Dari
pengeluaran SEMA demi SEMA dan untuk membatasi hakim pengadilan negeri dalam
mengabulkan tuntutan serta merta maka dikeluarkanlah SEMA Nomor 3 Tahun 2000
tentang putusan serta merta dan putusan provisionil dengan alasan:
1.
Putusan serta-merta dikabulkan berdasar
bukti yang keotentikannya dibantah oleh tergugat dengan bukti yang juga
otentik.
2.
Pertimbangan hukum untuk mengabulkan
tuntutan serta-merta tidak jelas.
3.
Hampir setiap jenis perkara dijatuhkan
putusan serta-merta sehingga menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 180 Ayat (1)
HIR.
4.
Persetujuan untuk melaksanakan putusan
serta-merta kepada Ketua Pengadilan Tinggi tanpa disertai data atau dokumen
pendukung.
5.
Ketua pengadilan tinggi dengan mudah
mengabulkan permohonan persetujuan dari ketua pengadilan negeri.
6.
Ketua pengadilan tinggi dan para hakim
tidak mengindahkan SEMA terdahulu yaitu SEMA No. 13 Tahun 1964, SEMA No. 5
Tahun 1969, SEMA No. 3 Tahun 1971 dan SEMA No. 3 Tahun 1978.
Dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1975, Mahkamah Agung meminta kepada
para ketua pengadilan tinggi dan para ketua pengadilan negeri agar supaya tidak
menjatuhkan putusan serta-merta walaupun syarat-syarat dalam Pasal 180 Ayat (1)
HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg telah terpenuhi. Hanya dalam hal-hal yang tidak
dapat dihindarkan keputusan yang demikian yang sangat ekseptional sifatnya
dapat dijatuhi. Dalam hal itupun hendaknya diingat bahwa keputusan itu
diberikan:
1.
Apabila ada conservatoir beslag yang harga barang-barang yang disita tidak akan
mencukupi untuk menutup jumlah yang didugat.
2.
Jika dipandang perlu dengan jaminan oleh
pihak pemohon eksekusi yang seimbang, dengan catatan: bahwa benda-benda jaminan
hendaknya yang mudah disimpan dan mudah digunakan untuk mengganti pelaksanaan
jika putusan yang bersangkutan tidak dibenarkan oleh hakim banding atau dalam
kasasi; jangan menerima penjaminan orang (borg) untuk menghindarkan
pemasukan pihak ketiga dalam proses; penentuan benda serta jumlahnya terserah
kepada ketua pengadilan negeri; serta benda-benda jaminan dicatat dalam daftar
tersendiri seperti daftar benda-benda sitaan dalam perkara perdata.
Dengan
demikian jelaslah bahwa lembaga uitvoerbaar
bij voorraad ternyata banyak menimbulkan masalah dalam praktek, sehingga
penerapannya sedapat mungkin untuk dihindarkan oleh hakim walaupun lembaga itu
membantu pelaksanaan putusan dengan cepat. Apabila hal tersebut dihubungkan dalam
menghadapi debitur-debitur yang nakal, lembaga ini sangatlah berguna.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan dari putusan serta merta itu sendiri dalam praktiknya?
BAB II
PROSES DAN PELAKSANAAN
PUTUSAN SERTA MERTA
A. Pengertian Putusan Serta Merta
Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa
indonesianya sering diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan
suatu putusan pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun
terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan perlawanan
oleh pihak yang kalah atau pihak ketiga yang merasa berhak.
Menurut Abdulkadir Muhammad, putusan
serta merta adalah putusan yang dijatuhkan dapat langsung dilaksanakan
eksekusinya secara serta
merta, meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. putusannya
menjadi berkekuatan hukum tetap.
Mengenai tingkat
peradilan, di Indonesia secara umumnya dibagi menjadi dua tingkat peradilan
yaitu pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) dan pengadilan tinggi
(pengadilan tingkat kedua) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan judex factie[6].
Mahkamah Agung tidak
disebut pengadilan tingkat ketiga, karena Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak
memeriksa pokok perkara, melainkan sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya
saja.
B. Landasan
Hukum Putusan Serta Merta
Mengenai
landasan hukum putusan serta merta, ialah diatur dalam Pasal 180 Ayat (1) HIR
dan Pasal 191 Ayat (1) RBg. Berikut bunyi dari Pasal 180 Ayat (1) HIR:[7]
“Pengadilan negeri boleh memerintahkan supaya keputusan dijalankan dahulu,
walaupun keputusan itu dibantah atau diminta banding, jika ada surat yang sah, satu surat tulisan, yang menurut
peraturan yang laku untuk hal itu berkekuatan bukti, atau jika ada
hukuman dahulu, dengan keputusan, yang sudah medapat kekuatan keputusan pasti,
demikian juga jikalau tuntutan sementara dikabulkan, tambahan pula dalam
perselisihan hak milik”.
Pasal 180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg
memberikan kewenangan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan serta-merta, namun
dalam prakteknya untuk melaksanakan kewenangan tersebut masih simpang siur
sehingga sering menyimpang dari patokan undang-undang. Wewenang menjatuhkan
putusan serta merta hanya pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi dilarang
menjatuhkan putusan serta merta. Putusan serta merta dapat dijatuhkan, apabila
telah dipertimbangkan alasan-alasannya secara seksama sesuai tuntutan
yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku.
C. Syarat
Dijatuhkannya Putusan Serta Merta
Syarat
putusan serta merta menurut menurut Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg, dan Pasal 54 Rv:
1. Gugatan
didasarkan atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik.
2. Didasarkan
atas akta dibawah tangan yang diakui atau yang dianggap diakui jika putusannya dijatuhkan
secara verstek.
3. Didasarkan
pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Syarat
putusan serta merta menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000
yaitu:
1. Gugatan
berdasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan yang tidak
dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya.
2. Gugatan
tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.
3. Gugatan
tentang sewa menyewa tanah rumah, gudang, dan lain-lain dimana hubungan sewa
menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya
sebagai penyewa yang beritikat baik.
4. Gugatan
mengenai pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai
gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
5. Dikabulkannya
gugatan provisionil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta
memenuhi pasal 332 Rv.
Jadi apabila salah satu syarat
tersebut di atas dipenuhi, maka barulah dapat dijatuhkan putusan yang
dapat dijalankan terlebih dahulu,
walaupun diajukan perlawanan atau banding, sedang dalam hal-hal di luar itu
tidak boleh dijatuhkan sedang dalam hal-hal di luar itu tidak boleh dijatuhkan
putusan serupa itu.
Sebelum menjatuhkan putusan serta
merta, hakim wajib mempertimbangkan lebih dahulu gugatan tersebut telah
memenuhi syarat secara formal, syarat mengenai surat kuasa dan syarat-syarat
formil lainnya. Hakim wajib menghindari putusan serta merta yag gugatannya
tidak memenuhi syarat formil yang dapat berakibat dibatalknnya putusan oleh
pengadilan tinggi atau mahkamah agung.
Sita jaminan yang dilakukan
terhadap barang-barang milik tergugat atau terhadap barang-barang tertentu milik tergugat yang dikuasai oleh tergugat, tidak
menjadi penghalang untuk menjatuhkan putusan serta merta apabila memenuhi syarat-syarat
menjatuhkan putusan serta merta. Berdasarkan Pasal 195 HIR dan/atau Pasal 206 RBg,
putusan serta merta hanya dapt dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan
ketua pengadilan negeri dan pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan putusan serta
merta, diwajibkan untuk memperhatikan SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4
Tahun 2001 yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). SEMA No. 3
Tahun 2000 menyebutkan adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai
barang atau objek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak
lainnya apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan
putusan pengadilan tinggi pertama.
Dengan
SEMA No. 3 Tahun 1978 tertanggal 1 April 1978, Mahkamah Agung menegaskan
kembali kepada para ketua/ hakim pengadilan negeri seluruh Indonesia agar tidak
menjatuhkan keputusan uitvoerbaar bij
voorraad walaupun syarat-syarat dalam Pasal 180 Ayat (1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg telah
terpenuhi. Hanya dalam hal-hal yaang tidak dapat dihindarkan, keputuan demikian
yang sangat exceptionil sifatnya dapat dijatuhkan, dengan mengingat
syarat-syarat yang tercantum dalam SEMA No. 6 Tahun 1975.
C. Pelaksanaan
Putusan Serta Merta
Putusan uitvoerbaar bij voorrrad dijatuhkan
dalam putusan pengadilan tingkat pertama (PN). Dari segi hukum acara perdata
putusan tersebut memang dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian
Mahkamah Agung RI pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta
tersebut sering menimbulkan berbagai masalah.
D. Tata
Cara/Prosedur Pelaksanaan Putusan Serta Merta
Mahkamah Agung RI
mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang mengatur tentang tata cara dan prosedur
penjatuhan serta pelaksanaan putusan serta merta. Di dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata cara,
prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali
menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya
jaminan yang nilainya sama dengan barang/benda objek eksekusi.
Dari sini jelas
sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya putusan serta
merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut memenuhi
ketentuan Pasal 180 Ayat (1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg serta pasal 332 Rv
sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta, karena selain pelaksaan
putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak
permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang tereksekusi
ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua Pengadilan
bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan provisionil dan
permintaan putusan serta-merta.
E. Larangan
Putusan Serta Merta
Banyaknya
SEMA yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mengenai putusan serta merta
menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan serta merta dalam praktek tidak
memuaskan. Dalam praktek putusan serta merta dikabulkan berdasarkan bukti yang
keotentikannya dibantah oleh pihak lawan dengan bukti yang otentik pula. Untuk
itu melalui SEMA pada dasarnya Mahkamah Agung memberikan petunjuk, yaitu ketua
pengadilan negeri, ketua pengadilan agama, para hakim pengadilan negeri dan hakim
pengadilan agama tidak menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal
sebagai berikut:[8]
a. Gugatan
didasarkan pada bukti surat auntentik atau surat tulisan tangan (handschrift)
yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut
Undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti.
b. Gugatan
tentang Hutang - Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.
c. Gugatan
tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, di mana hubungan sewa
menyewa sudah habis/lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya
sebagai Penyewa yang beritikad baik.
d. Pokok
gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah
putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
e. Dikabulkannya
gugatan Provisionil, dengan pertimbangan agar hukum yang tegas dan jelas serta
memenuhi Pasal 332 Rv.
f. Gugatan
berdasarkan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan.
g. pokok
sengketa mengenai bezitsrecht.
Seperti
yang dijelaskan dalam pasal 180 HIR DAN
191 RBg sasarnya putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan kecuali dalam keadaan exceptional. Dasar hukum atas
larangan tersebut adalah Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) RBG, Rv Pasal 54–57,
dan SEMA No. 3 tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij
voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4 tahun 2001 tentang Permasalahan
Putusan Serta Merta dan Provisionil.
Pasal 18
ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) RBG menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi
hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta, adalah gugatan didasarkan atas
suatu alas hak yang berbentuk akta otentik, gugatan didasarkan atas akta di
bawah tangan yang diakui, dan putusan serta merta yang didasarkan pada putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Adapun Pasal 54-57 Rv pengaturannya lebih luas. Pasal 54 mengatur
syarat-syarat pengabulan dan pemberian jaminan atas pelaksanaan putusan
tersebut. Pasal 55 mengatur kebolehan pelaksanaan putusan yang dijalankan lebih
dahulu tanpa jaminan tertentu. Sedangkan Pasal 56 Rv memberi hak mengajukan
putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu pada tingkat banding. Sementara itu, dalam SEMA No. 3 Tahun 2000
ada tiga poin penting yang diatur antara lain:
1.
Para hakim harus betul-betul dan sungguh-sungguh dalam
mempertimbangkan dan memperhatikan serta mentaati syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebelum mengabulkan putusan serta merta.
2.
Tentang keadaan-keadaan tertentu dapat dijatuhkannya
putusan serta merta. Selain keadaan yang sudah diatur Pasal 18 ayat (1) dan 191
ayat (1) RBG, keadaan tertentu yang dimaksud adalah gugatan tentang
hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. Juga gugatan
tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gedung dan lain-lain, dimana hubungan
sewa-menyewa sudah habis, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai
Penyewa yang beritikad baik. Demikian pula dikabulkannya gugatan provisi serta
pokok sengketa mengenaibez its r echt.
3.
Tentang adanya pemberian jaminan yang nilainya sama
dengan nilai barang/obyek eksekusi,
sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata
dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat
Pertama
Adapun poin penting SEMA No. 4
Tahun 2001, selain penegasan kembali mengenai jaminan dalam SEMA terdahulu. SEMA ini menyatakan bahwa tidak boleh
ada putusan serta merta
tanpa adanya jaminan yang sama nilainya dengan nilai barang.
E. Eksekusi
Putusan Serta Merta
Pelaksanaan
putusan serta merta yang akan dimintakan izin kepada ketua pengadilan tinggi, oleh
ketua pengadilan negeri wajib meneliti dengan seksama sebelum permohonan
tersebut diajukan, apabila putusan serta merta tersebut dinilai tidak memenuhi
syarat yang ditentukan, oleh undang-undang ketua pengadilan negeri berwenang
untuk tidak melanjutkan permohonan tersebut. Putusan serta merta yang akan
dilaksanankan harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari ketua
pengadilan tinggi.
Setelah izin
diberikan oleh ketua pengadilan negeri tinggi maka sebelum eksekusi dilaksanankan
harus ada jaminan dari pihak pemohon eksekusi (perhatikan dalam SEMA No. 3
Tahun 2000 junc to SEMA No. 4 Tahun
2001) atau secara singkatnya penggugat dapat mengajukan eksekusi yaitu dengan
cara menyampaikan salinan putusan pada pengadilan tinggi (30 hari). Jika penggugat mengajukan pemohonan eksekusi, dikirimkan pada pengadilan
tinggi beserta berkas lengkap
disertai pendapat ketua pengadilan negeri..
F. Hal
Dikabulkannya Putusan Serta Merta
Memang dari segi
hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan uitvoerbaar bij voorraad dalam perkara yang memenuhi ketentuan
Pasal 180 Ayat (1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg serta Pasal 332 Rv, sehingga
sampai saat ini hakim masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta
tersebut. Guna memproteksi hal-hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang tereksekusi
yang ternyata dikemudian hari menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut,
maka Ketua Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 4 Tahun
2001 tentang Putusan Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan
serta-merta dapat dijalankan pihak pemohon eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan
yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan
kerugian pada pihak lain.
Namun kalau yang akan
dieksekusi itu adalah sebuah bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang mana
bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak pemohon eksekusi
bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang akan digantikan
dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya tentu masalahnya menjadi lain
jika di kemudian hari pihak tereksekusi ternyata
diputus menang dalam perkara tersebut.
Ketua pengadilan
negeri dan/atau ketua pengadilan tinggi harus dapat menjamin bahwa bangunan
bersejarah yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti semula tanpa
mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi tereksekusi tidak
ada lagi (in kracht van gewijsde).
Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan
ancaman yang keras kepada pejabat yang bersangkutan yang ditemukan menyimpang
dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana ditegaskannya dalam butir
ke-9 SEMA No. 3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta dan Provisionil.[9]
BAB III
PELAKSANAAN PUTUSAN
SERTA MERTA DALAM PRAKTIK
Apabila
objek perkara masih berada di tangan penggugat (pemohon ekseskusi) dan belum
berpindah
kepada pihak ketiga, maka pemulihan dilakukan secara langsung dan tidak perlu
ada gugatan baru dari tergugat (termohon eksekusi) baik peralihan tersebut
dilakukan secara sukarela oleh penggugat ataupun dengan eksekusi paksa. Tetapi
apabila objek perkara sudah beralih kepada pihak ketiga dengan alas hak yang sah, maka pemulihan dari
pihak ketiga tersebut harus melalui gugatan.
Terkait
dengan mekanismenya, pemulihan kembali atas proyek eksekusi apabila putusan
yang dieksekusi tersebut adalah putusan kasasi yang kemudian dibatalkan dalam
pemeriksaan peninjauan kembali, sebagai berikut: Oleh karena putusan kasasi
telah berkekuatan hukum tetap maka sepanjang objek eksekusi telah berpindah
tangan kepada pihak ketiga yang beritikad baik, sudah tidak mungkin lagi dilakukan
pemulihan seperti halnya dalam eksekusi putusan serta merta, yang memang masih
bersifat sementara sebab putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, tetapi
haruslah dilakukan melalui gugatan ganti rugi
terhadap penggugat (pemohon eksekusi) terlebih dahulu.
Praktik pelaksanaan
putusan serta merta dalam prakteknya, salah satu contohnya ialah di Palembang. Pengadilan
Hukum
Industrial Palembang melakukannya
pada November 2006,
sebagaimana dikutip dari Kompilasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Terseleksi 2006-2007, majelis hakim yang diketuai Suba'ie Syarif, beranggotakan
Jilun dan Muljanto, sang pengadil yang
menjatuhkan putusan serta-merta itu.
Pada waktu itu, ketiga hakim tersebut sedang
mengadili perkara antara Eti Neni, Indah Farasanti dan Nurmeilah melawan Rumah
Sakit Islam Siti Khodijah, Palembang.
Eti, Indah dan Nurmeilah adalah kasir
dan perawat di Rumah Sakit Islam Palembang. Ketiganya
bekerja sebagai karyawan kontrak sejak tahun 2002. Sampai tahun 2006, rumah
sakit terus menerus memperpanjang kontrak mereka. Hingga akhirnya pada bulan Maret 2006,
rumah sakit memutuskan hubungan kerja (tanpa alasan jelas). Tidak puas
dengan perlakuan rumah sakit, Eti dkk menggugatnya ke pengadilan. Mereka
menuntut agar dipekerjakan kembali dengan status sebagai pegawai tetap.
Dalam putusannya, hakim menyatakan
bahwa jenis pekerjaan Eti dkk bersifat tetap dan terus menerus ada selama rumah
sakit berdiri. Selain itu, tindakan rumah sakit yang mengontrak Eti dkk selama 4 tahun, dinilai
melanggar undang-undang ketenagakerjaan.[10]
Alhasil, hakim menetapkan bahwa Eti dkk adalah pegawai tetap. Namun karena
perusahaan menghalang-halangi bekerja, hakim lebih memilih mem-PHK Eti dkk
dengan pesangon.
Hakim juga melihat fakta dan bukti
yang terungkap di persidangan yang menyatakan bahwa rumah sakit telah melakukan
PHK secara sewenang-wenang. Oleh karena itu mengacu pada Pasal 108 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), hakim
menyatakan putusan perkara Eti dkk ini dilakukan secara serta-merta.
Dari contoh perkara di atas, ada fakta yang dapat ditarik, yaitu
putusan serta merta dijatuhkan atas gugatan perselisihan PHK.
Mantan Ketua MA Prof. Bagir Manan,
meminta para hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta merta karena
putusan serta merta lebih banyak membawa masalah daripada manfaat. Menurut beliau putusan ini
sering menimbulkan masalah, karena bisa
jadi putusan bandingnya berkebalikan dengan putusan tingkat pertama. Ini justru
jadi bumerang bagi pengadilan karena nantinya pengadilan yang disalahkan.
Prof
Bagir juga mengatakan permintaan ini (putusan serta merta) sudah
sering diajukan ke pengadilan. Bahkan aturan mengenai putusan serta merta sudah
beberapa kali dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Juga
disinggung dalam Buku Kedua dari buku pedoman MA. Baiknya diputuskan saja untuk sekarang ini bahwa untuk
sementara waktu hakim jangan dulu mengeluarkan putusan serta merta, karena pada dasarnya
putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan kecuali dalam keadaan exceptional, yang dasar hukum atas
larangan tersebut
sudah jelas terdapat dalam Pasal 180 Ayat (1) HIR,
Pasal 191 Ayat (1) RBG,
Rv Pasal 54 dan 57, dan SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
bij voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4 tahun 2001 tentang
Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil.
Mengambil
Advokat Amir Syamsudin berpendapat bahwa hakim tak bisa sepenuhnya dilarang
untuk mengeluarkan putusan serta merta. Jadi Tergantung pada hakimnya. Kalau
hakim memutuskan putusan serta merta sebagaimana mestinya, tentunya itu tidak
bisa dihalangi, karena hukum acara memperkenankan adanya putusan serta merta. Contohnya pada perwalian
seorang anak yang harus segera dilakukan, karena anak itu berada di bawah
kekuasaan ibu atau ayah yang secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Amir
juga menilai bahwa putusan serta merta tidak bisa dihapus, kerana putusan serta
merta itu merupakan lembaga yang sudah baku dalam hukum acara. Putusan serta
merta itu perlu asal digunakan dengan patut dan layak. Jadi agak tidak tepat
jika lembaga putusan serta merta dihapuskan.
Amir menganggap bahwa pernyataan
Bagir Manan ini bertujuan untuk membatasi para hakim yang berkualitas buruk
agar tidak menjatuhkan putusan serta merta secara sembrono. Namun, kualitas
hakim yang buruk tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapuskan lembaga
putusan serta merta ini.
Pertimbangan lain bagi Amin dalam
mengajukan permohonan serta merta,ialah karena peradilan perdata di
Indonesia lama, padahal penggugat
ingin putusan dilaksanakan cepat. Jika ada orang misalnya menempati rumah sewa, tapi dia
belum membayar atas harga sewa rumah tersebut selama 3 tahun, atau jika ada
seseorang tidak membayar angsuran mobil selama 1 tahun, sedangkan orang
tersebut sudah mengakui di pengadilan bahwa dia belum membayar harga sewa atau
angsuran mobil, dalam hal
seperti itu, Amin akan mengajukan permohonan kepada hakim agar menjatuhkan
putusan serta merta. Sebab tidak mungkin bagi penggugat untuk menunggu putusan dari pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung, yang
putusannya bisa menunggu
4 sampai 5 tahun
kemudian.
Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andi
Samson Ngaro juga pernah
menjatuhkan putusan serta merta. Saat itu kasus yang ia tangani adalah kasus
kredit macet antara Bank BUMN sebagai penggugat dengan debitur yang melakukan wanprestasi. Alasan Andi
memutuskan kasus tersebut dengan putusan serta merta ialah
1. Ada perjanjian
yang sudah diakui oleh debitur,
2. Jumlah kredit
yang harus dibayar dan keadaan wanprestai itu sudah diakui oleh debitur.
3. Sudah ada
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa penggugat
berhak atas obyek sengketa.
Adapun
eksepsional/urgensi putusan serta merta atas kasus tersebut karena adanya
keuangan Negara yang harus dikembalikan untuk kemanfaatan masyarakat.
Mengenai
kemungkinan lembaga putusan serta merta dihapus, secara pribadi Andi mengatakan
tidak setuju jika putusan serta merta dihapus, sebab putusan serta merta masih
diperlukan sebagai solusi untuk memulihkan hak secara cepat, tepat dan
berkeadilan. Namun hakim dalam memutuskan serta merta harus cermat dalam
melihat syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, memperhatikan SEMA
yang berkaitan dengan putusan serta merta dan sifat eksepsionalnya.
Advokat senior Adnan Buyung pun
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap gagasan Prof. Bagir. Jika ada yang salah dengan
putusan serta merta yang harus diperbaiki adalah pelaksanaannya, bukan
hukumnya sendiri.
BAB IV
SIMPULAN DAN
SARAN
Setelah
melihat serta membaca berbagai data yang ada, baik itu fakta maupun beberapa
peraturan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, sampailah penulis pada suatu
kesimpulan, bahwa putusan serta merta yang memang selama ini sudah menjadi
bagian dari penetapan putusan-putusan yang berkenan untuk menyelesaikan
persoalan dengan cepat, tidaklah harus menjadi sebuah kewajiban. Hal ini
dikarenakan sangat sedikit hakim yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai
amanah serta keadilan, dan hal ini pula yang menyebabkan putusan serta merta
ini akan menjadi kontroversi di berbagai pengadilan negeri.
Setiap
pengambilan kebijakan/hakim yang berwenang di pengadilan negeri setempat
haruslah memahami dengan baik perihal
putusan serta merta ini, dan tidak menjadikannya objek untuk meraup keuntungan,
selain hal itu sangat dilarang dalam peradilan di Indonesia, dan hal itu juga
melanggar hukum dan bisa dikenakan pidana korupsi yang undang-undangnya sudah
disahkan.
Dan
hal lain yang tidak kalah penting adalah penerapan putusan serta merta memang
sulit. Pertama ialah mereka kalah langsung banding atau kasasi dan akhirnya
putusannya menjadi terbalik dari menang menjadi kalah, serta banyak
kekurangan-kekurangan lainnya yang membuat putusan serta merta ini diharapkan
tidak diterapkan.
LAMPIRAN
Diskusi
1.
Penanya :
Resky Danaya (090198)
Pertanyaan
: Mengapa ada putusan serta merta?
Jelaskan
2.
Penanya :
Stephan Reja (090166)
Pertanyaan : Bagaimana hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan putusan serta merta?
3.
Penanya :
Ridho Syaputra (090165)
Pertanyaan : Putusan serta merta dapat diajukan dalam
kasus apa saja? Apakah hakim dan jaksa juga bisa mengajukan putusan serta
merta?
4.
Penanya :
Olivia Griselda (090198)
Pertanyaan : Putusan serta merta apakah sama dengan
putusan provisionil? Apakah putusan serta merta ini merupakan putusan
akhir/sela?
5.
Penanya :
Pratiwi Patriana (090146)
Pertanyaan : Dalam eksekusi yang akan dilakukan
terhadap putusan serta merta, bagaimana jika barangnya tersebut sudah disita
oleh orang lain?
6.
Penanya :
Nancy Maria (090186)
Pertanyaan : SEMA No. 4 Tahun 2001, Apakah
gunanya/tujuannya membayar uang jaminan yang sama?
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1990, hlm. 1.
[2] Mengenai asas sederhada, cepat,
dan biaya ringan terdapat juga di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung.
[3] Ridwan Syahrani, Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.
127.
[4] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan I, Liberty,
Yogyakarta, 1988, hlm. 2.
[5] Ibid., hlm. 4.
[6] Pada umumnya majelis hakim
di tingkat pertama (pengadilan negeri) wajib menentukan fakta mana, antara yang
disampaikan para pihak, yang dapat diterima, kemudian menentukan dan menerapkan
ketentuan hukum terhadap fakta tersebut. Judex facti mengacu kepada peran
seorang hakim sebagai penentu fakta yang mana yang benar. Dalam sidang juri,
juri yang memainkan peran ini, bukan hakim. Di Indonesia, peran judex facti ini
dijalankan oleh hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
[7] Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Cet. VIII, Mandar Maju, Bandung. hlm. 433.
[8] Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2000.
[9] “Diperintahkan kepada Saudara
agar petunjuk ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, dan apabila ternyata
ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya,
maka Mahkamah Agung akan mengambil langkah tindakan terhadap Pejabat yang
bersangkutan.”
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)