I. Perbedaan
bentuk penyertaan seperti KUHP Jerman antara pelaku (Tater ), penganjur ( Anstifter ) dan
pembantu ( Gehilfe ),
titik berat diletakkan pada sikap batin para peserta.
Dalam teori hukum pidana perbedaan
antara ketiga bentuk penyertaan yang dititik beratkan kepada sikap batin masing
–masing peserta dinamakan ajaran penyertaan yang subyektif ( subjectieve deelnemingsleer ).
Orang yang digolongkan sebagai Tater harus mempunyai Taterwille (niat) untuk
melakukan perbuatan sebagai perbuatan sendiri.
II. Terhadap orang penganjur,
berdasarkan pasal 55 ayat (2) KUHP, dapat dipertanggungjawabkan kepadanya hanya
perbuatan yang sengaja dianjurkan serta akibat perbuatan itu.
III. Menurut peraturan KUHP , bentuk
penganjuran itu terdapat 4 isi ketentuan sebagai syarat
yaitu :
- ada orang yang menggerakkan orang lain,
- ada orang yang dapat digerakkan,
- cara menggerakkan harus dengan salah satu upaya tertentu, dan
- orang yang digerakkan harus benar-benar melakukan perbuatan pidana.
IV. Ciri pokok
perbuatan menyuruhlakukan terletak pada alat yang dipakai berupa orang yang
disuruh tidak dapat dipertanggungjawabakan terhadap perbuatan pidana yang
dilakukan, sedangkan unsur lainnya harus ada alat yang dipakai berupa orang
lain yang berbuat dan tidak ditentukan daya upaya / cara-cara menyuruh
orang lain itu.
Pertanggungjawaban orang yang menyuruh
dibatasi yaitu:
- hanya sampai pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh, walaupun maksud orang yang menyuruh lebih jauh daripada perbuatan yang terjadi, dan
- bertanggungjawab tidak lebih dari yang memang disuruhlakukan pada orang lain, walaupun orang lain itu melakukan perbuatan lebih jauh.
Keadaan orang yang disuruh tidak dapat bertanngungjawab
itu, banyak kemungkinannya antara klain karena pasal 44, pasal 48, pasal 51
ayat (2) KUHP, unsur kwalitas orang yang disuruh sebagaimana disyaratkan delik
pasal 413, 419, 437 KUHP dan lain-lainnya.
V. Dalam doktrin tumbuh tiga pendapat
kemungkinan kerjasama untuk mewujudkan turut serta :
1) Mereka
bersama-sama melaksanakan perbuatan pidana, setidak-tidaknya memenuhi unsur
perbuatan pidana ;
2) Salah seorang
memenuhi rumusan unsur perbuatan pidana, sedangkan yang lain tidak memenuhi
unsur delik akan tetapi sangat penting untuk pelaksanaan perbuatan pidana ;
3) Masing-masing
tidak memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, selagi mereka bersama-sama
mewujudkan delik yang bersangkutan, sehubungan dalam praktik sukar untuk
membuat ukuran seberapa jauh sebagian pelaksanaan perbuatan tersebut.
Inti perbuatan turut serta melakukan
ditentukan oleh adanya “kerjasama
yang erat diantara peserta” sebagaimana
seharusnya secara phisik yang ternyata dari adanya kesepakatan perbuatan
pembagian hasil kejahatan.
VI. BENTUK PENGANJURAN (UITLOKING)
Sebagaimana telah disebutkan dimuka
bahwa penganjuran adalah perbuatan orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan perbuatan pidana dengan menggunakan upaya tertentu yang disebutkan
dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Perbuatan penganjuran terdapat pihak
yang menganjurkan orang lain (inteklektuale
dader) dan orang lain yang menjadi perantara untuk melakukan
perbuatan pidana (materiale
dader).
Perbuatan penganjuran seluruhnya harus
memenuhi 5 (lima) syarat :
Seorang Penganjur harus memenuhi 2
(dua)syarat :
1) ada kesengajaan
untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, dan
2) Cara menggerakkan
dengan upaya-upaya tertentu yang limitatif menurut undang-undang ;
Orang yang Dianjurkan harus memenuhi 3
(tiga) syarat :
1) Pembuat materiele harus
melakukan perbuatan pidana yang dianjurkan atau percobaan pidana yang
dianjurkan ;
2) Pembuat materiele harus dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dan
3) Pembuat materiele yang melakukan perbuatan
harus ada hubungan kausal dengan upaya-upaya tertentu yang dipergunakan oleh
pembuat intelektual ;
Berbagai daya upaya yang dilakukan
oleh penganjur ditentukan berupa :
1) Memberikan atau
menjanjikan sesuatu, maksudnya berupa barang, uang dan segala keuntungan yang
akan diterima oleh orang yang dianjurkan.
2) Menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, maksudnya pada saat dilakukannya perbuatan
sungguh-sungguh ada kekuasaan martabat yang berdasarkan hukum publik, maupun
hukum privat.
3) Memakai kekerasan
artinya orang yang dianjurkan tidak dapat berbuat lain seperti daya paksa.
4) Memakai ancaman
atau penyesatan, maksudnya dapat menimbulkan perasaan pada orang lain dalam
keadaan bahaya atau berbuat yang tidak semestinya.
5) Memberikan
kesempatan, sarana atau keterangan, maksudnya menyediakan kemudahan untuk
melakukan perbuatan pidana, alat-alat yang dapat diperguanakan dan
petunjuk-petunjuk untuk menggerakkan.
VII. Pertanggungjawaban terhadap si
penganjur,
hanya sebatas perbuatan yang sengaja dianjurkan saja beserta akibat-akibatnya.
Namun dalam kejadian yang nyata penentuan pertanggungjawaban itu tidak mudah,
berhubungan dengan adanya unsur kesengajaan atau kealfaan yang dilakukan oleh
orang yang dianjurkan.
VIII. Pengertian DOEN PLEGEN ( Menyuruh
Lakukan )
Seperti yang telah dikatakan diatas, doen plegen atau
menyuruh melakukan itu merupakan salah satu bentuk deelneming dari empat
bentuk deelneming yang
terdapat di dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP. Ketiga bentuk deelneming lainnya
adalah : 1) medeplegen, 2).uitlokken dan 3) medeplichtig yang akan
dibicarakan kemudian.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti
yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP itu, orang yang disuruh
melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu, yang menurut Profesor
SIMON syarat –syarat tersebut adalah :
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 44 KUHP;
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan;
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang –undang bagi tindak pidana tersebut;
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut di atas ;
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan ;
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberiakn perintah semacam itu ;
- apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang –undang, yakni sebagai suatu sifat yang dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Hal tersebut telah diputuskan oleh
HOGE RAAD di dalam arrest-nya tanggal 10 Juni 1912, W. 9355 yang telah
mengatakan antara lain :
“ menyuruh melakukan itu sifatnya
tidaklah terbatas, ditinjau dari cara bagaimana suatu perbuatan itu harus
dilakukan oleh orang yang disuruh melakuakan. Ia dapat berupa suatu perbuatan,
yang oleh orang yang telah disuruh melakukannya itu tidak diketahui, bahwa
perbuatan tersebut sebenarnya merupakan suatu tindak pidna. Dalam hal ini isteri
seorang penjual susu telah menambah sejumlah air kedalam susu yang telah
siap diantarkan kerumah-rumah para langganan suaminya, yang tidak mengetahui
bahwa susu tersebut telah dipalsukan “.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah
juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus
diberikan secara langsung oleh middellijke
dader kepada seorang materieele
dader, melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan
orang lain.
Demikian itu telah HOGE RAAD di daoam
arrrest-arrestnya masing –masing tanggal 15 Januari 1912, W.9278 dan tanggal 25
Juni 1917, N.J. 1917 halaman 818, 10145, di mana HOGE RAAD telah mengatakan
antara lain :
“ Pada
doen
plegen
itu, perintah untuk melakukan suatu perbuatan itu dapat diberikan kepada orang
yang disuruh melakukannya melalui seorang perantara “.
X. PENGERTIAN UITLOKKEN ATAU
MENGGERAKKAN ORANG LAIN UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Bentuk deelneming yang ketiga
yang disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2KUHP adalah apa yang disebut uitlokking atau perbuatan
menggerakkan orang
lain untuk
melakukan suatu tindak pidana.
Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan
uitlokking
itu ?
Profesor van HAMEL telah merumuskan uitlokking itu sebagai
suatu bentuk deelneming
atau keikutsertaan berupa :
“ het
opzettelijk bewegen, met door de wet aangedide middelen, van een
zelf-verantwoordelijk persoon tot een strafbaar feit, dat deze aldus bewogen,
opzettelijk pleegt”.
Yang artinya : “kesengajaan
menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri
untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara –cara yang telah
ditentukan oleh undang- undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian
telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”.
XI. Walaupun antara doen plegen dengan uitlokken itu terdapat suatu
kesamaan, akan tetapi di antara kedua bentuk deelneming tersebut juga
terdapat perbedaan –perbedaan, yaitu antara lain adalah :
- orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dalam doen plegen itu haruslah merupakan orang yang niet-toerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang orang yang telah digerakkan untuk melekukan suatu suatu tindak pidana dalam uitlokking itu haruslah merupakan orang yang sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, yaitu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar ;
- b. cara –cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu tidak ditentukan oleh undang-undang, sedang cara-cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana di dalam uitlokking itu cara-caranya telah ditentukan secara limitatif di dalam undang- undang.
Perlu dijelaskan disini, bahwa didalam doen plegen itu yang disyaratkan bukanlah bahwa orang yang
telah disuruh
melakukan suatu tindak pidana itu harus merupakan orang yang ontoerekeningsvatbaar,
artinya bahwa orang tersebut haruslah merupakan seseorang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti yang dimaksud di dalam Pasal 44
KUHP, melainkan bahwa perbuatan
orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Atau dengan perkataan lain,
perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu haruslah niet-toerekenbaar.
XII. Dari rurmusan di
dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP itu dapat diketahui, bahwa suatu
uitlokking itu harus dilakukan dengan sengaja atau secara opzettelijk.
Dari rumusannya di dalam Pasal 55 ayat
1 angka 2 KUHP tersebut juga dapat diketahui , bahwa opzet seorang uitlokker itu harus
ditujukan kepada feit-nya atau
kepada tindak pidananya , yakni tindak pidana yang ia harapkan akan
dilakukan oleh oarang yang telah ia gerakkan dengan mempergunakan salah satu
cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP tersebut.
Dengan demikian, apabila seorang uitlokker itu
menghendaki agar orang yang dianjurkan (de
uitlokte)
melakukan suatu pembunuhan seperti yang telah dilarang di dalam Pasal 338 KUHP,
maka opzet dari uitlokker tersebut
haruslah pula ditujukan kepada tindak pidana pembunuhan yang bersangkutan. Dan
ini berarti pula bahwa uitlokker
tersebut haruslah memenuhi semua unsur dari tindak pidana
pembunuhan seperti yang terdapat di dalam rumusan Pasal 338 KUHP.
XIII. Untuk adanya suatu uitlokker itu haruslah
dipenuhi 2 (dua) syarat objektif, yaitu 1. bahwa perbuatan yang telah
digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai,
atau menghasilkan suatu strafbare
poging atau suatu percobaan yang dapat dihukum dan;
2.bahwa tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh suatu uitlokking yang
dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah
disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.
Menurut Profesor van HAMEL antara
tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang yang tergerak oleh uitlokking-nya itu sendiri harus
terdapat suatu hubungan
kausal, yang harus dibuktikan. Walaupun beliau juga mengakui
bahwa untuk menyatakan terbuktinya hubungan kausal tersebut tidaklah mudah, dan
biasanya arang menganggap bahwa hubungan kausal tersebut sebagai cukup
terbukti, yaitu apabila secara nyata apa yang disebut “ orang yang tergerak “
itu telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang dikehendaki oleh
orang yang menggerakkan.
Di atas pernah dikatakan bahwa opzet dari seorang uitlokker itu harus
ditujukan kepada feit-nya atau kepada pihak tindak pidananya. Ini
berarti bahwa opzet-nya itu tidak
ditujukan kepada orang yang akan ia gerakkan untuk melakukan suatu tindak
pidana.
XIV. Dengan demikian, maka perbuatan menggerakkan
orang lain itu tidaklah perlu harus ditujukan kepada seseorang tertentu atau
kepada orang –orang tertentu saja, melainkan ia juga dapat dilakukan secara
umum, dalam arti ditujukan kepada orang banyak. Dan sudah barang tentu untuk
menggerakkan orang –orang tersebut harus pula dipergunakan salah satu cara yang
telah secara limitatif dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP. Sebab apabila tidak
demikian, maka perbuatan menggerakkan orang banyak itu bukannya menghasilkan
suatu uitlokking, melainkan ia akan menghasilkan suatu opruing atau suatu perbuatan
menghasut seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 160 KUHP, di mana poging tot uitlokking
atau percobaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana itu
telah dijadikan suatu kejahatan yang berdiri sendiri.
XV. Diatas pernah dikatakan yaitu agar
seseorang uitlokker itu dapat dihukum,
maka untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana itu, uitlokker tersebut
harus menggunakan salah satu cara seperti yang telah disebutkan di dalam
rumusan Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.
Di antara cara-cara yang harus
dipergunakan oleh seorang uitlokker
dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana
seperti dimaksudkan di atas, terdapat beberapa cara yang sangat perlu
mendapat perhatian, yaitu :
Yang pertama adalah pengguanaan
kekerasan atau ancaman dengan kekerasan. Penggunaan kekerasan atau ancaman
dengan kekerasan itu sifatnya tidaklah boleh sedemikian rupa sehingga orang
yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada didalam
keadaan yang demikian, maka perbuatan orang tersebut menjadi niet-toerekenbaar atau menjadi tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada dirinya, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi
berhadapan dengan suatu uitlokking
melainkan dengan suatu doen
plegen.
Yang kedua adalah perbuatan untuk
membuat orang yang digerakkan menjadi mempunyai pandangan yang keliru. Apabila
sebagai akibat pandangan yang keliru dari orang yang telah digerakkan itu,
orang tersebut menjadi tidak mempunyai suatu schuld terhadap salah satu unsur dari delik,
padahal undang –undang telah mensyaratkan tentang harus adanya unsur schuld (dolus dan culpa) pada pelakunya
terhadap unsur tersebut, maka perbuatan orang yang telah digerakkan untuk
melakukan suatu tindak pidana itu menjadi niet-toerekenbaar, sehingga dalam keadaan
semacam itu oarng tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan
dengan suatu doen plegen.
Yang Ketiga adalah yang disebut misbruik van gezag
atau penyalahgunaan kekuasaan. Dengan menunjuk arrest HODE RAAD tanggal 10
Oktober 1940 N.J. 1940 nomor : 815 yang antara lain mengatakan : “ Er is geen uitlokking van gezag
wanneer de materiele handeling is verricht de dienstbetrekking niet meer
bestond”.
Yang artinya : “Disitu tidak terdapat
suatu uitlokking dengan
cara menyalahgunakan kekuasaan, apabila perbuatan material itu telah dilakukan
orang, yaitu pada waktu hubungan kerja itu sudah tidak ada lagi”, Profesor
SIMONS mengatakan bahwa perkataan “ misbruik
van gezag ”
itu menunjukkan adanya sifat membawah dari orang yang digerakkan terhadap orang
yang telah digerakkan orang tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana.
Memang sifat membawah dari orang yang
digerakkan terhadap orang yang menggerakkan dirinya untuk melakukan suatu
tindak pidana itu secara tegas telah diputuskan oleh HOGE RAAD di dalam
arrest-arrest-nya, masing –masing tanggal 4 Mei 1903, W. 7922 dan tanggal 6
Juni 1910, W. 9045 yang antara lain telah mengatakan :
“ Het
misbruikte gezag kan zijn zowel ambtelijk gezag als dat van een meester over
een knecht”.
Yang artinya : “ Kekuasaan yang
disalahgunakan itu dapat berupa kekuasaan menurut jabatan ataupun kekuasaaan
seorang majikan terhadap pembantunya”.
XVI. Di dalam arrest-arrest-nya masing
–masing tanggal 25 Juni 1917, N.J. 1917 halaman 821,W. 102927 HOGE RAAD telah
memberikan putusannya yang antara lain berbunyi :
“ Uitlokking
wordt begaan, waar de belofte is gedaan ofde last gegeven ; niet waar het
uitgelokte feit wordt gepleegd”.
Yang artinya : “Suatu uitlokking itu
dilakukan ditempat dimana suatu janji itu telah diberikan atau di mana suatu
perintah itu telah diberikan, dan bukan di tempat dimana tindak pidana yang
telah digerakkan agar dilakukan oleh orang lain itu telah dilaksanakan”.
PEMAHAMAN PENYERTAAN DALAM KUHP
Bentuk perbuatan yang diatur dalam
pasal 55 KUHP antara lain, pembuat tindak pidana :
- Mereka yang
melakukan ( dader ) ;
- Meyuruh lakukan ( doen plegen ) ;
- Turut serta melakukan
( mede dader
) ;
Membujuk atau menganjurkan dengan cara
:
-
Memberi atau menjanjikan sesuatu ;
-
Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat ;
-
Memakai kekerasan ;
-
Memakai ancaman atau kekerasan ; atau
-
Dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan ;
Bahwa dalam praktik peradilan tidak
selalu mudah untuk menentukan bentuk perbuatan pelaku, apakah orang itu
melakukan, menyuruh lakukan, turut melakukan, membantu atau yang menganjurkan.
- a. Melakukan perbuatan
Biasanya orang yang melakukan
perbuatan disebut pembuat artinya orang yang melakukan delik yang memenuhi
unsur tindak pidana yang dilakukan itu.
- b. Menyuruh lakukan
Apabila orang yang disuruh lakukan
atau sipembuat materiil
( manus ministra ) tidak
dapat dipidana karena :
- Dipaksa,
- tidak mampu bertanggungjawab,
- Adanya perintah jabatan dan
- Tidak memenuhi unsur delik,
Maka pelaku adalah orang yang menyuruh
lakukan ( manus domina
). Pertanggungjawaban orang yang menyuruh lakukan dibatasi sampai apa yang
disuruhnya, apabila terjadi lebih daripada yang disuruhkan, perbuatan
dipertanggungjawabkan kepada pembuat materiil.
- c. Turut melakukan
Mereka yang turut melakukan tindak pidana adalah mereka
dengan sengaja bersama-sama melakukan tindak pidana, jadi dalam pelaksanaan ada
kerjasama yang erat antara mereka, maka untuk dapat menentukan apakah
pelaku turut serta melakukan atau tidak, kita tidak melihat kepada perbuatan
masing –masing pelaku secara satu per satu dan berdiri sendiri, melainkan kita
lihat semua sebagai kesatuan.
d. Menganjurkan
Menganjurkan melakukan tindak pidana
pelaksanaannya dilakukan dengan perantaraan orang lain. Dalam menyuruh lakukan
pembuat materiil tidak dapat dipidana, tetapi yang menganjurkan pembuat
materiil dapat dipidana dengan syarat :
- memberi atau menjanjikan sesuatu,
- menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
- memakai kekerasan,
- memakai ancaman atau penyesatan,
- memberi kesempatan ,saran atau keterangan.
Terhadap penganjur hanya perbuatan
yang sengaja dianjurkan yang dipertanggungjawabkan.
Dalam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.
Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
Ad.2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.
Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.
Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
Ad.2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.
Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar