Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

DELIK PENYERTAAN DALAM THEORY DAN DALAM KUHP



I.     Perbedaan bentuk penyertaan seperti KUHP Jerman antara pelaku (Tater ), penganjur ( Anstifter ) dan pembantu ( Gehilfe ), titik berat diletakkan pada sikap batin para peserta.
Dalam teori hukum pidana perbedaan antara ketiga bentuk penyertaan yang dititik beratkan kepada sikap batin masing –masing peserta dinamakan ajaran penyertaan yang subyektif ( subjectieve deelnemingsleer ). Orang yang digolongkan sebagai Tater harus mempunyai Taterwille (niat) untuk melakukan perbuatan sebagai perbuatan sendiri.
II. Terhadap orang penganjur, berdasarkan pasal 55 ayat (2) KUHP, dapat dipertanggungjawabkan kepadanya hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan serta akibat perbuatan itu.
III. Menurut peraturan KUHP , bentuk penganjuran itu terdapat 4 isi ketentuan sebagai     syarat yaitu :

  1. ada orang yang menggerakkan orang lain,
  2. ada orang yang dapat digerakkan,
  3. cara menggerakkan harus dengan salah satu upaya tertentu, dan
  4. orang yang digerakkan harus benar-benar melakukan perbuatan pidana.
IV. Ciri pokok perbuatan menyuruhlakukan terletak pada alat yang dipakai berupa orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabakan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan, sedangkan unsur lainnya harus ada alat yang dipakai berupa orang lain yang berbuat dan tidak ditentukan daya upaya /  cara-cara menyuruh orang lain itu.
Pertanggungjawaban orang yang menyuruh dibatasi yaitu:
  1. hanya sampai pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh, walaupun maksud orang yang menyuruh lebih jauh daripada perbuatan yang terjadi, dan
  1. bertanggungjawab tidak lebih dari yang memang disuruhlakukan pada orang lain, walaupun orang lain itu melakukan perbuatan lebih jauh.
Keadaan orang yang disuruh tidak dapat bertanngungjawab itu, banyak kemungkinannya antara klain karena pasal 44, pasal 48, pasal 51 ayat (2) KUHP, unsur kwalitas orang yang disuruh sebagaimana disyaratkan delik pasal 413, 419, 437 KUHP dan lain-lainnya.
V. Dalam doktrin tumbuh tiga pendapat kemungkinan kerjasama untuk mewujudkan turut serta :
1)    Mereka bersama-sama melaksanakan perbuatan pidana, setidak-tidaknya memenuhi unsur perbuatan pidana ;
2)    Salah seorang memenuhi rumusan unsur perbuatan pidana, sedangkan yang lain tidak memenuhi unsur delik akan tetapi sangat penting untuk pelaksanaan perbuatan pidana ;
3)    Masing-masing tidak memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, selagi mereka bersama-sama mewujudkan delik yang bersangkutan, sehubungan dalam praktik sukar untuk membuat ukuran seberapa jauh sebagian pelaksanaan perbuatan tersebut.
Inti perbuatan turut serta melakukan ditentukan oleh adanya “kerjasama yang erat diantara peserta”   sebagaimana seharusnya secara phisik yang ternyata dari adanya kesepakatan perbuatan pembagian hasil kejahatan.
VI. BENTUK PENGANJURAN (UITLOKING)
Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa penganjuran adalah perbuatan orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana dengan menggunakan upaya tertentu yang disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Perbuatan penganjuran terdapat pihak yang menganjurkan orang lain (inteklektuale dader) dan orang lain yang menjadi perantara untuk melakukan perbuatan pidana (materiale dader).
Perbuatan penganjuran seluruhnya harus memenuhi 5 (lima) syarat :
Seorang Penganjur harus memenuhi 2 (dua)syarat :
1)    ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, dan
2)    Cara menggerakkan dengan upaya-upaya tertentu yang limitatif menurut undang-undang ;
Orang yang Dianjurkan harus memenuhi 3 (tiga) syarat :
1)    Pembuat materiele harus melakukan perbuatan pidana yang dianjurkan atau percobaan pidana yang dianjurkan ;
2)    Pembuat materiele harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dan
3)    Pembuat materiele yang melakukan perbuatan harus ada hubungan kausal dengan upaya-upaya tertentu yang dipergunakan oleh pembuat intelektual ;
Berbagai daya upaya yang dilakukan oleh penganjur ditentukan berupa :
1)    Memberikan atau menjanjikan sesuatu, maksudnya berupa barang, uang dan segala keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan.
2)    Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, maksudnya pada saat dilakukannya perbuatan sungguh-sungguh ada kekuasaan martabat yang berdasarkan hukum publik, maupun hukum privat.
3)    Memakai kekerasan artinya orang yang dianjurkan tidak dapat berbuat lain seperti daya paksa.
4)    Memakai ancaman atau penyesatan, maksudnya dapat menimbulkan perasaan pada orang lain dalam keadaan bahaya atau berbuat yang tidak semestinya.
5)    Memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, maksudnya menyediakan kemudahan untuk melakukan perbuatan pidana, alat-alat yang dapat diperguanakan dan petunjuk-petunjuk untuk menggerakkan.
VII. Pertanggungjawaban terhadap si penganjur, hanya sebatas perbuatan yang sengaja dianjurkan saja beserta akibat-akibatnya. Namun dalam kejadian yang nyata penentuan pertanggungjawaban itu tidak mudah, berhubungan dengan adanya unsur kesengajaan atau kealfaan yang dilakukan oleh orang yang dianjurkan.
VIII. Pengertian DOEN PLEGEN ( Menyuruh Lakukan )
Seperti yang telah dikatakan diatas, doen plegen atau menyuruh melakukan itu merupakan salah satu bentuk deelneming dari empat bentuk deelneming yang terdapat di dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP. Ketiga bentuk deelneming lainnya adalah : 1) medeplegen, 2).uitlokken dan 3) medeplichtig yang akan dibicarakan kemudian.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu, yang menurut Profesor SIMON syarat –syarat tersebut adalah :
  1. apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 44 KUHP;
  2. apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan;
  3. apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang –undang bagi tindak pidana tersebut;
  4. apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut di atas ;
  5. apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan ;
  6. apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberiakn perintah semacam itu ;
  7. apabila orang yang disuruh melakukan  suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang –undang, yakni sebagai suatu sifat yang dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Hal tersebut telah diputuskan oleh HOGE RAAD di dalam arrest-nya tanggal 10 Juni 1912, W. 9355 yang telah mengatakan antara lain :
“ menyuruh melakukan itu sifatnya tidaklah terbatas, ditinjau dari cara bagaimana suatu perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang disuruh melakuakan. Ia dapat berupa suatu perbuatan, yang oleh orang yang telah disuruh melakukannya itu tidak diketahui, bahwa perbuatan tersebut sebenarnya merupakan suatu tindak pidna. Dalam hal ini isteri seorang penjual susu telah menambah sejumlah air kedalam susu  yang telah siap diantarkan kerumah-rumah para langganan suaminya, yang tidak mengetahui bahwa susu tersebut telah dipalsukan “.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung oleh middellijke dader kepada seorang materieele dader, melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.
Demikian itu telah HOGE RAAD di daoam arrrest-arrestnya masing –masing tanggal 15 Januari 1912, W.9278 dan tanggal 25 Juni 1917, N.J. 1917 halaman 818, 10145, di mana HOGE RAAD telah mengatakan antara lain :
Pada doen plegen itu, perintah untuk melakukan suatu perbuatan itu dapat diberikan kepada orang yang disuruh melakukannya melalui seorang perantara “.
X. PENGERTIAN UITLOKKEN ATAU MENGGERAKKAN ORANG LAIN UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Bentuk deelneming yang  ketiga yang disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2KUHP adalah apa yang disebut uitlokking atau perbuatan menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan uitlokking itu ?
Profesor van HAMEL telah merumuskan uitlokking itu sebagai suatu bentuk deelneming atau keikutsertaan berupa :
het opzettelijk bewegen, met door de wet aangedide middelen, van een zelf-verantwoordelijk persoon tot een strafbaar feit, dat deze aldus bewogen, opzettelijk pleegt”.
Yang artinya : “kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara –cara yang telah ditentukan oleh undang- undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”.
XI. Walaupun antara doen plegen dengan uitlokken itu terdapat suatu kesamaan, akan tetapi di antara kedua bentuk deelneming tersebut juga terdapat perbedaan –perbedaan, yaitu antara lain adalah :
  1. orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dalam doen plegen itu haruslah merupakan orang yang niet-toerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang orang yang telah digerakkan untuk melekukan suatu suatu tindak pidana dalam uitlokking itu haruslah merupakan orang yang sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, yaitu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar ;
  2. b. cara –cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu tidak ditentukan oleh undang-undang, sedang cara-cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana di dalam uitlokking itu cara-caranya telah ditentukan secara limitatif di dalam undang- undang.
Perlu dijelaskan disini, bahwa didalam doen plegen itu yang disyaratkan bukanlah bahwa orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu harus merupakan orang yang ontoerekeningsvatbaar, artinya bahwa orang tersebut haruslah merupakan seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti yang dimaksud di dalam Pasal 44 KUHP, melainkan bahwa perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Atau dengan perkataan lain, perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu haruslah niet-toerekenbaar.
XII. Dari rurmusan di dalam  Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP itu dapat diketahui, bahwa suatu uitlokking itu harus dilakukan dengan sengaja atau secara opzettelijk.
Dari rumusannya di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP tersebut juga dapat diketahui , bahwa opzet seorang uitlokker itu harus ditujukan kepada feit-nya atau kepada tindak pidananya , yakni tindak pidana yang ia harapkan akan dilakukan oleh oarang yang telah ia gerakkan dengan mempergunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP tersebut.
Dengan demikian, apabila seorang uitlokker itu menghendaki agar orang yang dianjurkan (de uitlokte) melakukan suatu pembunuhan seperti yang telah dilarang di dalam Pasal 338 KUHP, maka opzet dari uitlokker tersebut haruslah pula ditujukan kepada tindak pidana pembunuhan yang bersangkutan. Dan ini berarti pula bahwa uitlokker tersebut haruslah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat di dalam rumusan Pasal 338 KUHP.
XIII. Untuk adanya suatu uitlokker itu haruslah dipenuhi 2 (dua) syarat objektif, yaitu 1. bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbare poging atau suatu percobaan yang dapat dihukum dan;
2.bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam  Pasal 55 ayat 1  angka 2 KUHP.
Menurut Profesor van HAMEL antara tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang yang tergerak oleh uitlokking-nya itu sendiri harus terdapat suatu hubungan  kausal, yang harus dibuktikan. Walaupun beliau juga mengakui bahwa untuk menyatakan terbuktinya hubungan kausal tersebut tidaklah mudah, dan biasanya arang menganggap bahwa hubungan kausal tersebut sebagai cukup terbukti, yaitu apabila secara nyata apa yang disebut “ orang yang tergerak “ itu telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang  dikehendaki oleh orang yang menggerakkan.
Di atas pernah dikatakan bahwa opzet dari seorang uitlokker itu harus ditujukan kepada feit-nya atau kepada pihak tindak pidananya. Ini berarti bahwa opzet-nya itu tidak ditujukan kepada orang yang akan ia gerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana.
XIV. Dengan demikian, maka perbuatan menggerakkan orang lain itu tidaklah perlu harus ditujukan kepada seseorang tertentu atau kepada orang –orang tertentu saja, melainkan ia juga dapat dilakukan secara umum, dalam arti ditujukan kepada orang banyak. Dan sudah barang tentu untuk menggerakkan orang –orang tersebut harus pula dipergunakan salah satu cara yang telah secara limitatif dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP. Sebab apabila tidak demikian, maka perbuatan menggerakkan orang banyak itu bukannya menghasilkan suatu uitlokking, melainkan ia akan menghasilkan suatu opruing atau suatu perbuatan menghasut seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 160 KUHP, di mana poging tot uitlokking atau percobaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana itu telah dijadikan suatu kejahatan yang berdiri sendiri.
XV. Diatas pernah dikatakan yaitu agar seseorang uitlokker itu dapat dihukum, maka untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana itu, uitlokker tersebut harus menggunakan salah satu cara seperti yang telah disebutkan di dalam rumusan Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.
Di antara cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana seperti dimaksudkan  di atas, terdapat beberapa cara yang sangat perlu mendapat perhatian, yaitu :
Yang pertama adalah pengguanaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan. Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan itu sifatnya tidaklah boleh sedemikian rupa sehingga orang yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada didalam keadaan  yang demikian, maka perbuatan orang tersebut menjadi niet-toerekenbaar atau menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen.
Yang kedua adalah perbuatan untuk membuat orang yang digerakkan menjadi mempunyai pandangan yang keliru. Apabila sebagai akibat pandangan yang keliru dari orang yang telah digerakkan itu, orang tersebut menjadi tidak mempunyai suatu schuld terhadap salah satu unsur dari delik, padahal undang –undang telah mensyaratkan tentang harus adanya unsur schuld (dolus dan culpa) pada pelakunya terhadap unsur tersebut, maka perbuatan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu menjadi niet-toerekenbaar, sehingga dalam keadaan semacam itu oarng tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen.
Yang Ketiga adalah yang disebut misbruik van gezag atau penyalahgunaan kekuasaan. Dengan menunjuk arrest HODE RAAD tanggal 10 Oktober 1940 N.J. 1940 nomor : 815 yang antara lain mengatakan : “ Er is geen uitlokking van gezag wanneer de materiele handeling is verricht de dienstbetrekking niet meer bestond”.
Yang artinya : “Disitu tidak terdapat suatu uitlokking dengan cara menyalahgunakan kekuasaan, apabila perbuatan material itu telah dilakukan orang, yaitu pada waktu hubungan kerja itu sudah tidak ada lagi”, Profesor SIMONS mengatakan bahwa perkataan “ misbruik van gezag itu menunjukkan adanya sifat membawah dari orang yang digerakkan terhadap orang yang telah digerakkan orang tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana.
Memang sifat membawah dari orang yang digerakkan terhadap orang yang menggerakkan dirinya untuk melakukan suatu tindak pidana itu secara tegas telah diputuskan oleh HOGE RAAD di dalam arrest-arrest-nya, masing –masing tanggal 4 Mei 1903, W. 7922 dan tanggal 6 Juni 1910, W. 9045 yang antara lain telah mengatakan :
Het misbruikte gezag kan zijn zowel ambtelijk gezag als dat van een meester over een knecht”.
Yang artinya : “ Kekuasaan yang disalahgunakan itu dapat berupa kekuasaan menurut jabatan ataupun kekuasaaan seorang majikan terhadap pembantunya”.
XVI. Di dalam arrest-arrest-nya masing –masing tanggal 25 Juni 1917, N.J. 1917 halaman 821,W. 102927 HOGE RAAD telah memberikan putusannya yang antara lain berbunyi :
Uitlokking wordt begaan, waar de belofte is gedaan ofde last gegeven ; niet waar het uitgelokte feit wordt gepleegd”.
Yang artinya : “Suatu uitlokking itu dilakukan ditempat dimana suatu janji itu telah diberikan atau di mana suatu perintah itu telah diberikan, dan bukan di tempat dimana tindak pidana yang telah digerakkan agar dilakukan oleh orang lain itu telah dilaksanakan”.
PEMAHAMAN PENYERTAAN DALAM KUHP
Bentuk perbuatan yang diatur dalam pasal 55 KUHP antara lain, pembuat tindak pidana :
-    Mereka yang melakukan ( dader ) ;
-    Meyuruh lakukan ( doen plegen ) ;
-     Turut serta melakukan ( mede dader ) ;
Membujuk atau menganjurkan dengan cara :
-          Memberi atau menjanjikan sesuatu ;
-          Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat ;
-          Memakai kekerasan ;
-          Memakai ancaman atau kekerasan ; atau
-          Dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan ;
Bahwa dalam praktik peradilan tidak selalu mudah untuk menentukan bentuk perbuatan pelaku, apakah orang itu melakukan, menyuruh lakukan, turut melakukan, membantu atau yang menganjurkan.
  1. a. Melakukan perbuatan
Biasanya orang yang melakukan perbuatan disebut pembuat artinya orang yang melakukan delik yang memenuhi unsur tindak pidana yang dilakukan itu.
  1. b. Menyuruh lakukan
Apabila orang yang disuruh lakukan atau sipembuat materiil            ( manus ministra ) tidak dapat dipidana karena :
  • Dipaksa,
  • tidak mampu bertanggungjawab,
  • Adanya perintah jabatan dan
  • Tidak memenuhi unsur delik,
Maka pelaku adalah orang yang menyuruh lakukan ( manus domina ). Pertanggungjawaban orang yang menyuruh lakukan dibatasi sampai apa yang disuruhnya, apabila terjadi lebih daripada yang disuruhkan, perbuatan dipertanggungjawabkan kepada pembuat materiil.
  1. c. Turut melakukan
Mereka yang turut melakukan tindak pidana adalah mereka dengan sengaja bersama-sama melakukan tindak pidana, jadi dalam pelaksanaan ada kerjasama yang erat antara mereka, maka untuk dapat menentukan apakah pelaku turut serta melakukan atau tidak, kita tidak melihat kepada perbuatan masing –masing pelaku secara satu per satu dan berdiri sendiri, melainkan kita lihat semua sebagai kesatuan.
d.   Menganjurkan
Menganjurkan melakukan tindak pidana pelaksanaannya dilakukan dengan perantaraan orang lain. Dalam menyuruh lakukan pembuat materiil tidak dapat dipidana, tetapi yang menganjurkan pembuat materiil dapat dipidana dengan syarat :
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu,
  2. menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
  3. memakai kekerasan,
  4. memakai ancaman atau penyesatan,
  5. memberi kesempatan ,saran atau keterangan.
Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan yang dipertanggungjawabkan.

Dalam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.

Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.

Ad.2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.

Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.

Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar