BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada perkembangannya dapat dipahami bahwa manusia cenderung
untuk bersosialisasi atau bermasyarakat antara individu yang satu dengan
individu yang lainnya[1],
hal itu untuk dapat bertahan hidup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Dalam hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat
hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar
ini manusia disebut sebagai zoon
politicon[2].
Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang
menimbulkan suatu akibat. Di masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik
peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu
berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan
ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar aturan atau peraturan hukum
pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur
dan ketentuan-ketentuan yang sebagaimana telah diatur dalam KUHP.
Tindak Pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang
bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana / KUHP. Prof.Mr. Simons mengartikan bahwa Tindak
Pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum,
yang berhubuungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang
bertanggung jawab[3].
Dalam melakukan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana di dalam KUHP
diatur pula tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana,
hal ini diatur dalam KUHP Buku kesatu, Bab VIII mengenai aturan umum. Kewenangan
menuntut pidana sendiri merupakan hak negara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya
dalam hal ini adalah kejaksaan, Untuk itu maka dalam perkara pidana diberikan
jangka waktu hal ini berkaitan dengan daluwarsa yang diatur dalam Pasal 76
sampai dengan pasal 85 KUHP. Hal ini berkaitan dengan daluwarsa terhadap
penuntutan pidana dan daluwarsa terhadap penjalanan pidana.
B. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Tujuan Penulisan :
1. Untuk mengetahui dan memahami BAB VIII KUHP yang mengatur
tentang “hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana”.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibatnya apabila penuntutan
pidana dan penjalanan pidana telah kadaluwarsa.
Manfaat Penulisan :
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang daluwarsa pada umumnya.
2. Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan
memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi kadaluwarsa dalam penuntutan
dan penjalanan pidana.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai suatu
tujuan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal itu, dalam penerapannya dapat
dipahami bahwa penelitian makalah ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasi hukum
dengan cara meneliti aturan, norma-norma hukum[4].
D. Sistematika Penulisan
Sitematika penyusunan makalah ini tertuang dalam tiga (3)
bagian yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan,
dan di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran
mengenai makalah ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara
garis besar sebagai berikut:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara
lain memuat latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan,
sistematika penulisan.
Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan
kepustakaan atau teori yang terdiri dari pengertian-pengertian dan istilah yang
berkaitan dengan penuntutan dan penjalanan pidana, serta hal-hal yang berkaitan
dengan ketentuan yuridis dalam penerapannya.
Bab III : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai
penutup yang berisi kesimpulan.
Dan dilembar akhir disertai dengan daftar pustaka, yaitu
untuk mengetahui pengambilan teori dalam makalah ini sesuai dengan literatur
yang digunakan dalam penulisan makalah ini.
E. Identifikasi
Masalah
ΓΌ Bagaimanakah
kaitan dan hubungan mengenai hapusnya kewenangan menuntut pidana dalam praktek
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA/TEORI
A.
Alasan Hapusnya
Kewenangan Menuntut Pidana
Kewenangan menuntut
pidana dapat hapus dengan alasan-alasan sebagai berikut[5] :
1. Tidak
adanya pengaduan pada delik-delik aduan.
Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur
mengenai siapa saja yang berhak mengadu dan tenggang waktu pengaduan. Namun ada
pasal-pasal khusus mengenai delik aduan ini, yaitu Pasal 284 (perzinahan) yang
berhak mengadu adalah suami/istrinya, dan Pasal 332 (melarikan wanita) yang
berhak mengadu adalah :
a) jika
belum cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin
bila wanita itu kawin
b) jika
sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.
2. Ne
bis in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)
Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal
76 KUHP ini disyaratkan :
a) telah
ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
b) orang
terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c) perbuatan
yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.
3. Matinya
terdakwa (Pasal 77)
4. Daluwarsa
Pasal 78 mengatur tenggang waktu, yaitu
:
a) untuk
semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun.
b) untuk
kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun,
daluwarsanya sesudah 6 tahun.
c) untuk
kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, daluwarsanya 12
tahun.
d) untuk
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, daluwarsanya
sesudah 18 tahun.
Daluwarsa ini berlaku pada hari sesudah
perbuatan dilakukan kecuali hal-hal tertentu, seperti ditangguhkan karena ada
perselisihan dalam hukum perdata. Sebagai contoh daluwarsa: A melakukan tindak
pidana pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) pada tanggal 1 Januari 2004 yang
diancam pidana maksimal 15 tahun penjara. Jika A kemudian menghilang dan tidak
tertangkap polisi, maka kewenangan penuntutan terhadap A akan berakhir setelah
waktu 12 tahun (1 Januari 2016).
5. Telah
ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang
hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82). Ada abolisi atau amnesti Dengan
pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan
tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan
penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan
sebelum adanya putusan.
v Alasan Hapusnya Kewenangan
Menuntut Pidana dalam Rancangan KUHP
1. Aturan
dalam Rancangan KUHP tentang gugurnya kewenangan menuntut pidana diatur dalam
Pasal 137. Menurut Pasal 137 tersebut, kewenangan penuntutan gugur jika :
2. terdakwa
meninggal dunia
3. Presiden
memberikan amnesti atau abolisi
4. maksimum
denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam
dengan pidana denda paling banyak kategori II
5. maksimum
denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
6. telah
ada putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap
7. telah
kadaluwarsa
8. tindak
pidana aduan yang pengaduannya ditarik kembali.
v Alasan hapusnya kewenangan
menuntut pidana karena kedaluwarsa dalam Rancangan KUHP berbeda dengan aturan
dalam KUHP, yaitu disebut dalam Pasal 141 Rancangan KUHP:
1. sesudah
lampau waktu 1 tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
2. sesudah
lampau 2 tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan denda atau semua
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun;
3. sesudah
lampau waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun;
4. sesudah
lampau waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
lebih dari 3 tahun; dan
5. sesudah
lampau waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup.
B. Alasan Hapusnya Kewenangan
Menjalankan Pidana
Menurut KUHP,
kewenangan menjalankan pidana dapat hapus karena beberapa hal, yaitu:
1. Matinya
terdakwa (Pasal 83)
2. Daluwarsa
(Pasal 84-85) Tenggang waktu daluwarsanya adalah sebagai berikut :
a) semua
pelanggaran daluwarsanya 2 tahun
b) kejahatan
percetakan daluwarsanya 5 tahun
c) kejahatan
lainnya daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan ditambah 1/3
d) pidana
mati tidak ada daluwarsa
Daluwarsa dihitung
mulai keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan.Sebagai contoh, A
melakukan tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang diancam dengan pidana
penjara maksimal 12 tahun. A kemudian disidangkan dan diputus pidana penjara 10
tahun oleh hakim pada tanggal 1 Januari 2004. Sebelum menjalankan pidana, A
kemudian melarikan diri. Maka bagi A batas tenggang waktu dia untuk tidak
menjalankan pidana penjara adalah daluwarsa penuntutan di tambah 1/3 (12 tahun
+ (1/3 X 12 tahun)). Sehingga A “bebas” dari menjalankan pidana penjara kalau
dia “berhasil” melarikan diri selama 16 tahun atau setelah tanggal 1 Januari
2020.
3. Grasi
Grasi tidak
menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan, tetapi pelaksanaannya dihapuskan
atau dikurangi. Oleh karena itu, grasi dapat berupa (a) tidak mengeksekusi
seluruhnya, (b) hanya mengeksekusi sebagian, dan (c) mengganti jenis
pidana/komutasi.[6]
Dalam Rancangan KUHP,
alasan-alasan tersebut tidak ditambah namun hanya dipertegas lagi agar semua
alasan-alasan yang dapat menghapuskan kewenangan menjalankan pidana masuk di
dalam KUHP. Hanya saja terdapat perbedaan sedikit dalam alasan gugurnya kewenangan
pelaksanaan pidana karena daluwarsa.
Grasi tidak
menghilangkan putusan hakim ybs, hanya menghapus/ mengurangi/meringankan
pidana.
Grasi dapat berupa :
a) peringanan
atau perubahan jenis pidana;
b) pengurangan
jumlah pidana; atau
c) penghapusan
pelaksanaan pidana.
Kewenangan
pelaksanann pidana gugur jika:[7]
1. terpidana
meninggal dunia.
2. Presiden
memberikan amnesti atau grasi yang berupa pembebasan terpidana dari kewajiban
menjalankan pidana.
3. kedaluwarsa.
Rancangan
KUHP mengatur bahwa kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena
kadaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu
kedaluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 dari tenggang waktu kedaluwarsa
tersebut (Pasal 147 ayat (1)). Termasuk dalam hal ini pidana mati yang kemudian
diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara. Sedangkan pelaksanaan
pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kadaluwarsa.
BAB III
ANALISIS MASALAH
KASUS
GUGURNYA HAK MENUNTUT
Sudi Ahmad, salah seorang terdakwa kasus penyuapan
Mahkamah Agung yang ditahan di Polda Metro Jaya, meninggal dunia. Sebelumnya,
dia mengeluhkan sidang perkaranya yang terkatung-katung gara-gara hakimnya
berseteru. Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengembuskan
napas terakhir di RS Soekanto Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia
dilarikan ke rumah sakit itu Jumat (19/5) pukul 18.00 karena sakit hernia.
Sejak saat itu, staf Korpri unit MA tersebut dirawat secara intensif.
Sebenarnya, terdakwa akan dioperasi, namun keburu meninggal dunia, kata Wakil
Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Suyati, istri Sudi Ahmad,
mengungkapkan, sejak Sabtu (20/5), perut suaminya membesar dan kembung.
Penyakit suaminya itu sudah lama terjadi dan sering kambuh. Kami dapat menerima
kematian Bapak. Ini sudah menjadi nasib Pak Sudi, ungkap ibu dari Farah Azri
dan Dandi Akbar Darmawan itu sambil menangis. Jenazah Sudi diberangkatkan ke
pemakaman Pondok Kelapa sekitar pukul 13.00 dari rumah kakak laki-lakinya,
Nazirin, di Jalan Gandria, RT 07, RW 07, Kemayoran. Sudi adalah salah seorang
di antara empat karyawan MA yang didakwa menerima suap dari Harini Wijoso,
penasihat hukum Probosutedjo. Uang itu disebut-sebut akan diberikan kepada
Ketua MA Bagir Manan untuk membebaskan Probo dari hukuman korupsi dana
reboisasi di tingkat kasasi. Kasusnya masih diproses di pengadilan. Kasus itu
beberapa kali memicu pro-kontra mengenai pemeriksaan Bagir Manan, ketua majelis
hakim kasasi perkara Probo. Terakhir, tiga hakim yang mengadili Harini walk out
untuk memprotes ketua majelis yang tidak mau menghadirkan Bagir sebagai saksi
ke sidang. Dua sidang kasus penyuapan itu selanjutnya terkatung-katung hingga
kini. Mestinya, Rabu (24/5) jaksa penuntut umum akan membacakan tuntutan
terhadap Sudi. Karena dia meninggal, KPK akan meminta majelis hakim yang
mengadili perkaranya untuk menggugurkan tuntutan. Perkaranya gugur demi hukum.
Sesuai pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berhak
mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penuntutan. Yang berhak
adalah majelis hakim karena perkara sudah bergulir ke pengadilan.
Jadi
menurut kelompok kami, bahwa terdakwa Sudi Ahmad tentang kasus penyupan gugur
demi hukum karena Sudi sebagai terdakwa sudah meninggal dunia. Tetapi kalau
kasus tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang maka prosesnya jalan terus,
karena si terdakwa lainnya masih hidup, tetapi sebaliknya kalau semua terdakwa
meninggal maka kasus tersebut ditutup karena batal demi hukum. Dengan gugurnya
tuntutan tersebut Majelis Hakim harus membatalkan tuntutan dari jaksa penuntut
dengan mengeluarkan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi
dapat kita simpulkan bahwa, Gugurnya hak menuntut dan menjalani pidana menurut
hukum pidana Indonesia diatur dalam dua stesel hukum yang berbeda, yakni : (1)
pada pasal 76 sampai dengan pasal 85 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP),
dan (2) pada pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD'45). Pada stesel hukum
pertama dimuat beberapa hal pokok berkaitan dengan Gugurnya Hak Menuntut dan
Menjalani Pidana berupa : (1) Ne Bis Idem, (2) Meninggalnya si Terdakwa dan atau
tersangka; (3) Kadaluarsa atau lewat waktu. Sedangkan pda stesel hukum kedua
dimuat perihal : (1) Amnesti (2) Grasi, (3) Abolisi, dan (4) Rebabilitasi.
Gugurnya
Hak Menuntut dan Menjalani Pidana telah menjadi bagian penting dalam Hukum
Pidana maupun Hukum Acara Pidana karena menyangkut tahapan penting dalam
menyelesaikan sebuah kasus pidana. Suatu tuntutan pidana yang diajukan Penuntut
Umum menjadi berhenti atau ditunda suatu Putusan Hakim menjadi tidak dapat
dilaksanakan(dieksekusi) oleh karena adanya hal-hal yang berhubungan dengan
"Gugurnya Hak Menuntut Dan Menjalani Pidana".
Daftar Pustaka
Amiruddin
dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132
Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Pengantar
Ilmu Hukum, Alumni , Bandung, 2000,
hal 12.
R. Soeroso, S.H., ., Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika ,
Jakarta, 2001, hal 40.
Sofjan Sastrawidjaja,S.H., Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan
Peniadaan Pidana), Armico ,
Bandung, 1995, hal 113.
[1] R. Soeroso, S.H., ., Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika ,
Jakarta, 2001, hal 40.
[2] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., dan Dr. B. Arief Sidharta,
S.H., Pengantar Ilmu Hukum, Alumni , Bandung, 2000, hal 12.
[3] Sofjan Sastrawidjaja,S.H.,
Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan
Alasan Peniadaan Pidana), Armico ,
Bandung, 1995, hal 113.
[4] Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132
[5] Mr. Drs. E. UTRECHT., HUKUM PIDANA II., PUSTAKA TINTA MAS.,
1986., hal 214.
itu RUU Tahun brapa ?
BalasHapus