Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

MAKALAH HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada perkembangannya dapat dipahami bahwa manusia cenderung untuk bersosialisasi atau bermasyarakat antara individu yang satu dengan individu yang lainnya[1], hal itu untuk dapat bertahan hidup dalam memenuhi kebutuhan  hidupnya.Dalam hal ini, manusia  membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini manusia disebut sebagai zoon politicon[2]. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu akibat. Di masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan yang sebagaimana telah diatur dalam KUHP.

Tindak Pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / KUHP. Prof.Mr. Simons mengartikan bahwa Tindak Pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubuungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab[3]. Dalam melakukan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana di dalam KUHP diatur pula tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana, hal ini diatur dalam KUHP Buku kesatu, Bab VIII mengenai aturan umum. Kewenangan menuntut pidana sendiri merupakan hak negara yang  dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya dalam hal ini adalah kejaksaan, Untuk itu maka dalam perkara pidana diberikan jangka waktu hal ini berkaitan dengan daluwarsa yang diatur dalam Pasal 76 sampai dengan pasal 85 KUHP. Hal ini berkaitan dengan daluwarsa terhadap penuntutan pidana dan daluwarsa terhadap penjalanan pidana.

B. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Tujuan Penulisan :
1.    Untuk mengetahui dan memahami BAB VIII KUHP yang mengatur tentang “hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana”.
2.    Untuk mengetahui bagaimana akibatnya apabila penuntutan pidana dan penjalanan pidana telah kadaluwarsa.

Manfaat Penulisan :
1.    Menambah ilmu pengetahuan tentang daluwarsa pada umumnya.
2.    Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi kadaluwarsa dalam penuntutan dan penjalanan pidana.

C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal itu, dalam penerapannya dapat dipahami bahwa penelitian makalah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasi hukum dengan cara meneliti aturan, norma-norma hukum[4].

D. Sistematika Penulisan
Sitematika penyusunan makalah ini tertuang dalam tiga (3) bagian yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan, dan di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran mengenai makalah ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara garis besar sebagai berikut:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan.
Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan atau teori yang terdiri dari pengertian-pengertian dan istilah yang berkaitan dengan penuntutan dan penjalanan pidana, serta hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan yuridis dalam penerapannya.
Bab III : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai penutup yang berisi kesimpulan.
Dan dilembar akhir disertai dengan daftar pustaka, yaitu untuk mengetahui pengambilan teori dalam makalah ini sesuai dengan literatur yang digunakan dalam penulisan makalah ini.

E. Identifikasi Masalah
ΓΌ  Bagaimanakah kaitan dan hubungan mengenai hapusnya kewenangan menuntut pidana dalam praktek


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA/TEORI

A.   Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
Kewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan-alasan sebagai berikut[5] :
1.    Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan.
Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja yang berhak mengadu dan tenggang waktu pengaduan. Namun ada pasal-pasal khusus mengenai delik aduan ini, yaitu Pasal 284 (perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istrinya, dan Pasal 332 (melarikan wanita) yang berhak mengadu adalah :
a)    jika belum cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu kawin
b)    jika sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.
2.    Ne bis in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)
Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 KUHP ini disyaratkan :
a)    telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
b)    orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c)    perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.
3.    Matinya terdakwa (Pasal 77)
4.    Daluwarsa
Pasal 78 mengatur tenggang waktu, yaitu :
a)    untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun.
b)    untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun, daluwarsanya sesudah 6 tahun.
c)    untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, daluwarsanya 12 tahun.
d)    untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Daluwarsa ini berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan kecuali hal-hal tertentu, seperti ditangguhkan karena ada perselisihan dalam hukum perdata. Sebagai contoh daluwarsa: A melakukan tindak pidana pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) pada tanggal 1 Januari 2004 yang diancam pidana maksimal 15 tahun penjara. Jika A kemudian menghilang dan tidak tertangkap polisi, maka kewenangan penuntutan terhadap A akan berakhir setelah waktu 12 tahun (1 Januari 2016).
5.    Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82). Ada abolisi atau amnesti Dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya putusan.


v  Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dalam Rancangan KUHP
1.    Aturan dalam Rancangan KUHP tentang gugurnya kewenangan menuntut pidana diatur dalam Pasal 137. Menurut Pasal 137 tersebut, kewenangan penuntutan gugur jika :
2.    terdakwa meninggal dunia
3.    Presiden memberikan amnesti atau abolisi
4.    maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II
5.    maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
6.    telah ada putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap
7.    telah kadaluwarsa
8.    tindak pidana aduan yang pengaduannya ditarik kembali.


v  Alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana karena kedaluwarsa dalam Rancangan KUHP berbeda dengan aturan dalam KUHP, yaitu disebut dalam Pasal 141 Rancangan KUHP:

1.    sesudah lampau waktu 1 tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
2.    sesudah lampau 2 tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun;
3.    sesudah lampau waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun;
4.    sesudah lampau waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun; dan
5.    sesudah lampau waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

B.   Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
Menurut KUHP, kewenangan menjalankan pidana dapat hapus karena beberapa hal, yaitu:
1.    Matinya terdakwa (Pasal 83)
2.    Daluwarsa (Pasal 84-85) Tenggang waktu daluwarsanya adalah sebagai berikut :
a)    semua pelanggaran daluwarsanya 2 tahun
b)    kejahatan percetakan daluwarsanya 5 tahun
c)    kejahatan lainnya daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan ditambah 1/3
d)    pidana mati tidak ada daluwarsa
Daluwarsa dihitung mulai keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan.Sebagai contoh, A melakukan tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. A kemudian disidangkan dan diputus pidana penjara 10 tahun oleh hakim pada tanggal 1 Januari 2004. Sebelum menjalankan pidana, A kemudian melarikan diri. Maka bagi A batas tenggang waktu dia untuk tidak menjalankan pidana penjara adalah daluwarsa penuntutan di tambah 1/3 (12 tahun + (1/3 X 12 tahun)). Sehingga A “bebas” dari menjalankan pidana penjara kalau dia “berhasil” melarikan diri selama 16 tahun atau setelah tanggal 1 Januari 2020.
3.    Grasi
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi. Oleh karena itu, grasi dapat berupa (a) tidak mengeksekusi seluruhnya, (b) hanya mengeksekusi sebagian, dan (c) mengganti jenis pidana/komutasi.[6]
Dalam Rancangan KUHP, alasan-alasan tersebut tidak ditambah namun hanya dipertegas lagi agar semua alasan-alasan yang dapat menghapuskan kewenangan menjalankan pidana masuk di dalam KUHP. Hanya saja terdapat perbedaan sedikit dalam alasan gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana karena daluwarsa.
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs, hanya menghapus/ mengurangi/meringankan pidana.
Grasi dapat berupa :
a)    peringanan atau perubahan jenis pidana;
b)    pengurangan jumlah pidana; atau
c)    penghapusan pelaksanaan pidana.
Kewenangan pelaksanann pidana gugur jika:[7]
1.    terpidana meninggal dunia.
2.    Presiden memberikan amnesti atau grasi yang berupa pembebasan terpidana dari kewajiban menjalankan pidana.
3.    kedaluwarsa.
Rancangan KUHP mengatur bahwa kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena kadaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut (Pasal 147 ayat (1)). Termasuk dalam hal ini pidana mati yang kemudian diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara. Sedangkan pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kadaluwarsa.


BAB III
ANALISIS MASALAH

KASUS GUGURNYA HAK MENUNTUT
Sudi Ahmad, salah seorang terdakwa kasus penyuapan Mahkamah Agung yang ditahan di Polda Metro Jaya, meninggal dunia. Sebelumnya, dia mengeluhkan sidang perkaranya yang terkatung-katung gara-gara hakimnya berseteru. Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengembuskan napas terakhir di RS Soekanto Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia dilarikan ke rumah sakit itu Jumat (19/5) pukul 18.00 karena sakit hernia. Sejak saat itu, staf Korpri unit MA tersebut dirawat secara intensif. Sebenarnya, terdakwa akan dioperasi, namun keburu meninggal dunia, kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Suyati, istri Sudi Ahmad, mengungkapkan, sejak Sabtu (20/5), perut suaminya membesar dan kembung. Penyakit suaminya itu sudah lama terjadi dan sering kambuh. Kami dapat menerima kematian Bapak. Ini sudah menjadi nasib Pak Sudi, ungkap ibu dari Farah Azri dan Dandi Akbar Darmawan itu sambil menangis. Jenazah Sudi diberangkatkan ke pemakaman Pondok Kelapa sekitar pukul 13.00 dari rumah kakak laki-lakinya, Nazirin, di Jalan Gandria, RT 07, RW 07, Kemayoran. Sudi adalah salah seorang di antara empat karyawan MA yang didakwa menerima suap dari Harini Wijoso, penasihat hukum Probosutedjo. Uang itu disebut-sebut akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan untuk membebaskan Probo dari hukuman korupsi dana reboisasi di tingkat kasasi. Kasusnya masih diproses di pengadilan. Kasus itu beberapa kali memicu pro-kontra mengenai pemeriksaan Bagir Manan, ketua majelis hakim kasasi perkara Probo. Terakhir, tiga hakim yang mengadili Harini walk out untuk memprotes ketua majelis yang tidak mau menghadirkan Bagir sebagai saksi ke sidang. Dua sidang kasus penyuapan itu selanjutnya terkatung-katung hingga kini. Mestinya, Rabu (24/5) jaksa penuntut umum akan membacakan tuntutan terhadap Sudi. Karena dia meninggal, KPK akan meminta majelis hakim yang mengadili perkaranya untuk menggugurkan tuntutan. Perkaranya gugur demi hukum. Sesuai pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berhak mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penuntutan. Yang berhak adalah majelis hakim karena perkara sudah bergulir ke pengadilan.
            Jadi menurut kelompok kami, bahwa terdakwa Sudi Ahmad tentang kasus penyupan gugur demi hukum karena Sudi sebagai terdakwa sudah meninggal dunia. Tetapi kalau kasus tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang maka prosesnya jalan terus, karena si terdakwa lainnya masih hidup, tetapi sebaliknya kalau semua terdakwa meninggal maka kasus tersebut ditutup karena batal demi hukum. Dengan gugurnya tuntutan tersebut Majelis Hakim harus membatalkan tuntutan dari jaksa penuntut dengan mengeluarkan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard).









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Jadi dapat kita simpulkan bahwa, Gugurnya hak menuntut dan menjalani pidana menurut hukum pidana Indonesia diatur dalam dua stesel hukum yang berbeda, yakni : (1) pada pasal 76 sampai dengan pasal 85 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP), dan (2) pada pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD'45). Pada stesel hukum pertama dimuat beberapa hal pokok berkaitan dengan Gugurnya Hak Menuntut dan Menjalani Pidana berupa : (1) Ne Bis Idem, (2) Meninggalnya si Terdakwa dan atau tersangka; (3) Kadaluarsa atau lewat waktu. Sedangkan pda stesel hukum kedua dimuat perihal : (1) Amnesti (2) Grasi, (3) Abolisi, dan (4) Rebabilitasi.

Gugurnya Hak Menuntut dan Menjalani Pidana telah menjadi bagian penting dalam Hukum Pidana maupun Hukum Acara Pidana karena menyangkut tahapan penting dalam menyelesaikan sebuah kasus pidana. Suatu tuntutan pidana yang diajukan Penuntut Umum menjadi berhenti atau ditunda suatu Putusan Hakim menjadi tidak dapat dilaksanakan(dieksekusi) oleh karena adanya hal-hal yang berhubungan dengan "Gugurnya Hak Menuntut Dan Menjalani Pidana".







Daftar Pustaka
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Pengantar Ilmu Hukum, Alumni , Bandung,  2000, hal 12.
R. Soeroso, S.H., ., Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika , Jakarta,  2001, hal 40.
Sofjan Sastrawidjaja,S.H., Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico , Bandung,  1995, hal 113.







[1] R. Soeroso, S.H., ., Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika , Jakarta,  2001, hal 40.
[2] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Pengantar Ilmu Hukum, Alumni , Bandung,  2000, hal 12.
[3] Sofjan Sastrawidjaja,S.H., Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico , Bandung,  1995, hal 113.
[4] Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132
[5] Mr. Drs. E. UTRECHT., HUKUM PIDANA II., PUSTAKA TINTA MAS., 1986., hal 214.
[6] Lihat UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai Grasi
[7] Lihat Pasal 145 Rancangan KUHP

1 komentar: