A. PENDAHULUAN
Setelah terjadinya masa reformasi
pada tahun 1998 telah banyak membuat perubahan
khususnya dalam sistem Lembaga Negara.
Perkembangan proses reformasi terhadap elemen
substantif dan struktural telah mengalami
proses perubahan yang signifikan, yang utamanya
mengarah pada bidang-bidang hokum yang mengatur
elemen-elemen strategis dalam kehidupan demokrasi
seperti perundang-undangan di bidang politik .
Dalam kekuasaan dan pelembagaan
yudikatif memunculkan Mahkamah Konstitusi dan komisi
Yudisial yang memperkuat kekuasaan yudikatif
disamping mahkamah Agung beserta badan-badan
peradilan yang bernaung dibawahnya. Mahkamah Konstitusi
keberadaannya di jamin oleh pasal 24 ayat
(2) dan pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen dan kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sedangkan Komisi Yudisial
keberadaannya dijamin oleh pasal 24 b
undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dan kemudian
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial.
Dalam ruang lingkup hubungan
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
memiliki tendensi yang erat dalam
menegakkan sistem hukum yang lebih baik
terutama dalam bidang Kekuasaan Kehakiman, karena
dapat diketahui secara umum setelah pasca
reformasi lembaga –lembaga hukum di Indonesia
sangat di soroti secara negative oleh masyarakat.
Sejalan dengan ketentuan tersebut diatas
maka salah satu prinsip Negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Walaupun dari sejak berdirinya, Indonesia
tidak menganut teori pemisahan kekuasaan,
akan tetapi dalam konstitusi-konstitusi yang
berlaku dan pernah berlaku telah dianut
adanya kekuasaan kehakiman yang terpisah
dari kekuasaan-kekuasaan lain. Seperti diketahui, sejak berdirinya
Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berlaku:
1. UUD 1945
2. Konstitusi Republik Indonesia
Serikat 1949
3. UUD S 1950
4. UUD 1945 Amandemen.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kedudukan dan wewenang
Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
2. Bagaimanakah Kedudukan Dan Fungsi
Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar 1945?
3. Bagaimanakah Pola
Hubungan Antara Mahkamah Agung dengan
Komisi Yudisial Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar
1945?
C.
PEMBAHASAN
a.
Kekuasaan Kehakiman Oleh Mahkamah Agung Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah.
Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah.
Pada
taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power).
Ajaran pemisahan kekuasaan oleh oleh Emmanuel Kant disebut
sebagai doktrin Trias Politica (Tri = tiga, As = poros (pusat), Politica
= kekuasaan) atau tiga pusat/poros kekuasaan negara sebagaimana dikemukakan
oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’esprit des
Lois.
Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua) keberatan terhadap teori ini:
Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua) keberatan terhadap teori ini:
- Ajaran pemisahan kekuasaan dari trias politika membawa akibat tidak adanya pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Ketiga lembaga negara yang dikenal di dalamnya, hal mana menyebabkan Ketiga lembaga negara tersebut dapat bertindak sewenang-wenang, dan ini jelas bertentangan dengan tujuan dari teori trias politika itu sendiri;
- Hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare staat), untuk ini tidak memungkinkan lagi diadakan pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negaranya. Karena tujuannya itu, maka Pemerintah suatu “welfare staat”, disamping memiliki kekuasaan eksekutif juga harus mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya.
Menurut
Muhammad Yamin Ketiga konstitusi Indonesia yang pernah berlaku,
yaitu UUD 1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950, selalu disusun atas ajaran trias
politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku.
Pasal
24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan
Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan
Ketiga) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh Undang-Undang. Kewenangan tersebut tercantum di dalam Pasal 18
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni Mengajukan
3 orang anggota Hakim
Konstitusi.
Selanjutnya
kewajiban Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 (Hasil
Perubahan Pertama) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan
dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
Mahkamah
Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari
dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Keanggotaan
Mahkamah Agung terdiri dari hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim
agung dapat berasal dari sistem karier (hakim) dan non karier. Calon hakim
agung diusulkan oleh Komisi
Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat
persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tap
MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari
kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam
UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta
dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor
14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke
MA.
Mahkamah
Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan
Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945
merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari
‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat
fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi
pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan
pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut
dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam
penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua
pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung
dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar
para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan
pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.
Karena
itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks
kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut
pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus
diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian
inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa
kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman
yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak
Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa
proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air
juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya,
kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional
administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses
penyelesaian perkara keadilan.
Sebagai
badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan
Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam
melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain.
b. Kedudukan Dan Fungsi Komisi Yudisial Menurut
Undang-Undang Dasar 1945
Kedudukan
dari Komisi Yudisial diatur dalam ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
"Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.
"Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.
Selanjutnya,
menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menegaskan bahwa "Komisi
Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain".
Kemandirian
Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil
Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: "Komisi Yudisial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim".
Selanjutnya
mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita
temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945
(Hasil Perubahan Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22
Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:
- Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
- Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kedudukan
Komisi Yudisial dalam UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), disamakan dengan
lembaga-lembaga negara lain yang juga diatur dalam UUD 1945. Komisi ini
ditentukan dan diatur tersendiri oleh UUD 1945, karena dianggap mempunyai
kedudukan dan posisi yang sangat penting dan strategis dalam upaya menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim di Indonesia.
Kedudukan Komisi Yudisial sesuai dengan Bunyi pasal 24B Ayat (1), seharusnya
menjadi lembaga yang benar-benar mandiri, dalam arti tidak berada di bawah
kekuasaan manapun termasuk kekuasaan kehakiman. Sehingga Komisi Yudisial akan
benar-benar independen.
Bahwa
sesuai dengan UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), fungsi utama Komisi Yudisial
adalah:
- mengusulkan pengangkatan hakim agung;
- menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Jadi
fungsi tersebut sekaligus merupakan kewenangan langsung (direct authority) yang
diberikan oleh konstitusi kita. Dan pemberian fungsi langsung tersebut tidak
lepas dari koridor reformasi di segala bidang, khususnya reformasi peradilan.
c.
Menentukan Pola Hubungan MA Dan KY yang dianut UUD 1945 Sesudah Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006.
Pengertian
“pola hubungan” MA dengan KY dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Model/bentuk
hubungan tata kerja antara MA dengan KY, pada saat kedua lembaga negara
tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka
menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa”.
Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs).
Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs).
Lembaga-lembaga
negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan
fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal
state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula
yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs,
principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu
dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan
demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip
pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat
dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara,
seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial.
Oleh
karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks
and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation
of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi
peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances
dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya
pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim.
Kedudukan
Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang
bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan
undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak
berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang
kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan
adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan
antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent
but interrelated).
KY
merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan
Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur
dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C.
Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada
dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan
kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan
adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 telah
menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan
sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai
dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances
tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman.
Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA
sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY
bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element
dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa,
meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri.
Oleh
karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai
supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku
hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership)
tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam
undang-undang yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.
Soal
hubungan kekuasaan antara lembaga MA dan KY menurut penulis terjadi dalam 2
pola/model yaitu hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding)
dan hubungan kemitraan (partnership).
·
Hubungan
kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding)
·
Hubungan kemitraan (partnership)
Landasan
Konstitusional
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Landasan Konstitusional
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Landasan Konstitusional
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
- Hubungan Kewibawaan Yang Formal
(De Formele Gezagsverhouding)
Hubungan kewibawaan formal adalah hubungan kelembagaan antara MA dan KY dalam menjalankan amanat Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) berbunyi:
"Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden".
Mekanisme pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (pasal 13 huruf a UUKY). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang mengajukan calon Hakim Agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung? Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?
Di dalam pasal 15 Ayat (2) UUKY jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain : Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: karir dan non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka seseorang dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (pasal 7 Ayat (2) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung).
Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya sebagaimana tersebut di atas, memiliki waktu kerja paling lama 6 bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung (pasal 14 Ayat (3) UUKY). Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung untuk mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (pasal 15 Ayat (1) UUKY). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 hari berturut-turut. Selanjutnya Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung selama waktu tersebut.
Setelah 15 hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lama 30 hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.
Proses penyeleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/ menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat sepuluh hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap satu lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.
- Hubungan Kemitraan
(partnership).
Hubungan kemitraan (partnership).adalah hubungan kerjasama antara MA dan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
Sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 Ayat (4) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Pasal 32 UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (UUMA), yang masing-masing berbunyi:
• Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
• Pasal 11 Ayat (4) UUKK:
”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang”;
• Pasal 32 UUMA:
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”;
Berdasarkan
Ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa secara melekat (inherent), MA
mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi dari seluruh badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Ruang lingkup fungsi
pengawasan dimaksud mencakup ruang lingkup bidang teknis justisial,
administrasi, maupun perilaku hakim yang berkaitan dengan kode etik dan
perilaku;
a. Sistem Pengawasan Internal oleh Mahkamah Agung
Pasal 11 Ayat (4) UUKK menyebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Selanjutnya didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UUMA menguraikan bentuk-bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung berikut ini.
a. Sistem Pengawasan Internal oleh Mahkamah Agung
Pasal 11 Ayat (4) UUKK menyebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Selanjutnya didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UUMA menguraikan bentuk-bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung berikut ini.
- Mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
- Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
- Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
- Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pengawasan
dan kewenangan sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh mengurangi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dari ketentuan di atas terlihat
bahwa yang harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechtsgang)
dengan tujuan agar pengadilan-pengadilan menyelenggarakan proses peradilan
dengan seksama dan sewajarnya.
Obyek pengawasan Mahkamah Agung meliputi tiga hal, yaitu bidang teknis peradilan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas putusan hakim, bidang administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan hukum kepada para pencari keadilan, dan bidang perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) yang bertujuan untuk meningkatkan pelaksanaan fungsi peradilan sesuai dengan kode etik profesi hakim.
i. Pengawasan Internal Bidang Teknis Peradilan
Yang dimaksud dengan teknis peradilan atau teknis yudtisial adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah peningkatan putusan hakim. Pelaksanaan pengawasan di bidang teknis peradilan terhadap hakim dilakukan melalui pemeriksaan perkara, antara lain melalui eksaminasi perkara untuk mengetahui seberapa jauh hakim telah menerapkan hukum acara dengan seksama dan sewajarnya dalam melakukan pemeriksaan perkara.
ii. Pengawasan Internal Bidang Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pada lembaga pengadilan (pengadilan tingkat pertama dan banding dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari Mahkamah Agung karena keterkaitannya yang amat erat terhadap teknis peradilan. Masalah administrasi peradilan tidak boleh diabaikan untuk menghindari ketidaksempurnaan suatu putusan pengadilan. Dengan berlakunya UUMA, maka administrasi umum (meliputi administrasi kepegawaian dan keuangan) yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia berubah menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
iii. Pengawasan Internal Bidang Perilaku Pejabat Peradilan
Bidang pengawasan ini menjadikan tingkah laku dan perbuatan hakim atau pejabat peradilan sebagai obyek pengawasannya. Pelaksanaan pengawasan terhadap perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) dilakukan berdasarkan temuan-temuan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang berdasarkan laporan hasil pengawasan internal maupun yang berasal dari laporan masyarakat, media massa, dan pengawasan eksternal lainnya.
Obyek pengawasan Mahkamah Agung meliputi tiga hal, yaitu bidang teknis peradilan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas putusan hakim, bidang administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan hukum kepada para pencari keadilan, dan bidang perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) yang bertujuan untuk meningkatkan pelaksanaan fungsi peradilan sesuai dengan kode etik profesi hakim.
i. Pengawasan Internal Bidang Teknis Peradilan
Yang dimaksud dengan teknis peradilan atau teknis yudtisial adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah peningkatan putusan hakim. Pelaksanaan pengawasan di bidang teknis peradilan terhadap hakim dilakukan melalui pemeriksaan perkara, antara lain melalui eksaminasi perkara untuk mengetahui seberapa jauh hakim telah menerapkan hukum acara dengan seksama dan sewajarnya dalam melakukan pemeriksaan perkara.
ii. Pengawasan Internal Bidang Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pada lembaga pengadilan (pengadilan tingkat pertama dan banding dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari Mahkamah Agung karena keterkaitannya yang amat erat terhadap teknis peradilan. Masalah administrasi peradilan tidak boleh diabaikan untuk menghindari ketidaksempurnaan suatu putusan pengadilan. Dengan berlakunya UUMA, maka administrasi umum (meliputi administrasi kepegawaian dan keuangan) yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia berubah menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
iii. Pengawasan Internal Bidang Perilaku Pejabat Peradilan
Bidang pengawasan ini menjadikan tingkah laku dan perbuatan hakim atau pejabat peradilan sebagai obyek pengawasannya. Pelaksanaan pengawasan terhadap perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) dilakukan berdasarkan temuan-temuan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang berdasarkan laporan hasil pengawasan internal maupun yang berasal dari laporan masyarakat, media massa, dan pengawasan eksternal lainnya.
iv. Komisi Kehormatan Profesi Hakim
IKAHI sebagai satu-satunya wadah profesi hakim di Indonesia mengeluarkan salah satu keputusan dalam Musyawarah Nasional (Munas) XIII di Bandung untuk membentuk Komisi Kehormatan Hakim. Komisi yang di masa lalu bernama Majelis Kehormatan ini bertujuan untuk menegakkan kode etik hakim agar ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus mengawasi pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Komisi Kehormatan Hakim juga berwenang memberikan pertimbangan dan sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sebagai tindak lanjut fungsi pengawasan. Secara umum, tugas dari Komisi Kehormatan Hakim adalah sebagai berikut:
- Memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung tinggi kode etik. Bentuk-bentuk pembinaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, atau pendekatan-pendekatan lain yang meliputi aspek materiil dan spiritual.
- Meneliti dan memeriksa laporan atau pengaduan dari masyarakat atas tingkah laku dari para anggota IKAHI.
- Memberikan nasihat dan peringata kepada anggota dalam hal anggota yang bersangkutan menunjukkan indikasi melakukan pelanggaran kode etik.
Sementara
itu, yang menjadi wewenang Komisi Kehormatan Hakim adalah sebagai berikut:
- Memanggil anggota untuk didengar keterangannya sehubungan dengan adanya pengaduan atau laporan.
- Memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dan merekomendasikan anggota yang tidak terbukti bersalah untuk direhabilitasi.
b.
Sistem Pengawasan Eksternal Oleh Komisi Yudisial
Pasal
24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Rumusan yang terkandung di dalam ketentuan diatas, seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk memenuhi amanat Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945. Pengertian kata “dalam rangka” sebagai bagian wewenang pengawasan oleh KY menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang meliputi usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan kode etik.
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Rumusan yang terkandung di dalam ketentuan diatas, seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk memenuhi amanat Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945. Pengertian kata “dalam rangka” sebagai bagian wewenang pengawasan oleh KY menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang meliputi usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan kode etik.
Dari
ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) ini dapat
dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran
martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim;
(v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim.
Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif,
sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat
korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau
pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif.
Sehubungan
dengan hal diatas, apabila dihubungkan dengan rumusan pasal 13 huruf b UUKY,
rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah oleh pembentuk
undang-undang menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim”, yang jika dielaborasi kembali maka cakupannya menjadi
jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan
keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Hal ini menunjukkan
bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas ”kejelasan rumusan” yang
mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Melihat
kembali apa yang tercantum di dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi berpendapat didalam Pertimbangan Hukumnya menyatakan bahwa ruang
lingkup pengawasan KY hanyalah sebagian saja, yakni yang menyangkut perilaku
hakim. Pengertian Hakim disini adalah dalam pengertian sebagai individu di luar
maupun di dalam kedinasan, dengan tujuan agar hakim memiliki kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Pelaksanaan pengawasan yang
demikian itu selain tidak dalam pengertian mengawasi badan peradilan, juga
tidak meniadakan fungsi pengawasan yang sama yang dimiliki oleh MA. Fungsi
demikian adalah berkait dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan
mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945
dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Mahkamah
Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hal. 195-198
menjelaskan bahwa, Perbedaan antara code of ethics (kode etik) dan code of
conduct (kode Perilaku) adalah; code of conduct menetapkan tingkah laku atau
perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat
diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang
dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan
sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap hakim harus mengetahui
bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Etik berbeda
dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik
adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin
menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang
mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of
conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk dapat mengatakan
bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan hakim.
Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang akan memberi
motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik, lebih
efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi setelah
dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi,
mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa code of
conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi code of ethics merupakan
sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik,
sebagaimana kemudian dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian
dirumuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan
oleh hakim di dalam maupun di luar dinas;
Hakim
Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki kode etik, yang pertama dengan
nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun 1966, yang kedua Kode Etik Hakim
Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir Pedoman Perilaku Hakim yang
disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Mei 2006.
Pedoman
perilaku hakim tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim yang
diperkenankan, yang dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau yang
tidak dianjurkan, baik di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk hakim
sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht) yang
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat
menjadi benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Pedoman
perilaku tersebut merupakan penjabaran aturan-aturan kode etik yang secara
universal berlaku umum dan diterima sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral
yang dianut orang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, dengan
tujuan untuk mengenali apa yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku di
antara sesama dalam kelompoknya. Kode etik profesi, sebagaimana dilihat dalam
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Pedoman Perilaku Hakim Indonesia
yang berlaku di lingkungan Mahkamah Agung, memuat serangkaian prinsip-prinsip
dasar sebagai nilai-nilai moralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh hakim,
baik di dalam maupun di luar kedinasannya. Prinsip dan nilai tersebut kemudian
dirinci dalam bentuk bagaimana perilaku hakim yang dipandang sesuai
dengan
prinsip atau nilai tersebut. Misalnya, nilai berperilaku adil yang
diterjemahkan sebagai prinsip berupa uraian apa yang dimaksud adil tersebut,
dan kemudian dirinci bagaimana hal itu digambarkan dalam perilaku Hakim ketika
melakukan tugas yustisial. Demikian juga ketika nilai atau prinsip integritas
diadopsi sebagai bagian dari kode etik profesi, maka prinsip integritas
tersebut telah diberi batasan, yang “merupakan sikap batin yang mencerminkan
keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai
pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian
mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya,
disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan
jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Keseimbangan
kepribadian mencakup keseimbangan rohaniyah dan jasmaniyah, atau mental dan
fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional,
dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya”. Prinsip tersebut dalam
penerapannya dapat diketahui misalnya bahwa hakim menjamin agar perilakunya
tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak, atau tindak tanduk dan
perilaku hakim harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan
wibawa peradilan. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus tampak
dilaksanakan.
Pengawasan
dan penegakan perilaku hakim sudah tentu
dilihat dari ukuran Code of Conduct dan Code of Ethics yang sudah ada yang
dijadikan sebagai ukuran, dengan contoh prinsip dan penerapan yang telah
diuraikan di atas, sehingga akan terhindar dari tumpang tindih dengan
pengawasan lain yang berada di luar wilayah etik atau perilaku.
Penindakan
atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku juga dilakukan
oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dan
Perilaku selain dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, juga dapat dilakukan oleh
Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tanggung jawab
sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari
profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan oleh Komisi
Yudisial dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan,
pemeriksaan, penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada
Mahkamah Agung.
Selanjutnya
oleh karena Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan disemua Iingkungan peradilan menurut ketentuan Pasal 32 Ayat (1 s/d
4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UUMA, yang
menegaskan bahwa "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan Peradilan disemua Iingkungan peradilan dalam menjalankan
Kekuasaan Kehakiman“, dan menurut Pasal 11 Ayat (4) UUKK, yang menegaskan bahwa
”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan
Undang-undang”, maka tidaklah mungkin Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung,
dan Hakim Agung tidak mungkin berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial fungsi
pengawasan yang tertinggi yang dimiliki oleh Mahkamah Agung, semakin menjadi
strategi dan sangat relevan setelah Mahkamah Agung melaksanakan sistim satu
atap (one roof sistem).
KY merupakan organ
yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX
Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa
MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur
dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B,
dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang
demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD
1945 KY berada dalam ruang lingkup
kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku
kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi,
"Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian
menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan
adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD
1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan
pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau
state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit)
konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar
jika diterapkan dalam pola hubungan internal
kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances
tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY
sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan
kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam
rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan
berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut,
KY sendiri pun bersifat mandiri.
Dalam perspektif yang
demikian, hubungan antara KY s ebagai supporting organ
dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan
perilaku hakim seharusnya lebih tepa t dipahami sebagai
hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian
masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undang-undang yang sama,
dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang
tersebut Komisi Yudisial mempunyai
tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
·
Sistem pengawasan secara
internal yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung :
1. Mengawasi penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
2. Mengawasi tingkah
laku dan perbuatan para hakim di
semua linkungan peradilan
dalam enjalankan tugasnya.
3. Meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan tekhnis
peradilan dari semua lingkungan peradilan.
4. Memberi petunjuk,
teguran atau peringatan yang dipandang
perlu kepada pengadilan di semua lingkingan
peradilan.
·
Sistem
pengawasan secara eksternal yang menjadi
tanggung jawab Komisi Yudisial :
1.
Menerima
laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
2.
Meminta
laporan secara berkala kepada badan
peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
3.
Melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim;
4.
Memanggil
dan meminta keterangan dari hakim yang
diduga melanggar kode etik perilaku hakim;
D. PENUTUP
Kebebasan kekuasaan
kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan
mandiri tidak hanya menyatu pada pembinaan
dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan
lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris MA dan lingkungan peradilan
lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh
kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak
boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah.
Dikaitkan dengan fngsi
pengawasan perilaku hakim, kehadiran Komisi Yudisial
yang merupakan lembaga independen dan terpisah dari
Mahkamah Agung dapat memperjelas adanya institusi yang menjalankan fungsi
pengawasan eksternal. Pelaksanaan pengawasan secara eksternal dan internal
harus dalam kerjasama yang erat, sehingga konsepsi checks and balances tidak
dapat diterapkan dalam lingkup internal kekuasaan kehakiman. Selain itu, yang
menjadi objek pengawasan eksternal adalah perilaku hakim dan bukan pengawasan
terhadap MA dan badan-badan peradilan di bawahnya sebagai institusi. Justru
antara MA dan KY harus bekerja secara erat dalam konsep kemitraan atau
partnership.
Hubungan kemitraan
atau partnership antara MA dan KY , Yaitu
untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan
hakim agung, yang menurut Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Terimakasih ya atas teori nya
BalasHapussama", salam :)
Hapusyour welcome :D
BalasHapus