Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

kedudukan dan wewenang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial serta Hubungannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen UUD 1945



A.  PENDAHULUAN

Setelah terjadinya  masa  reformasi  pada  tahun  1998 telah banyak  membuat  perubahan  khususnya  dalam   sistem  Lembaga Negara. Perkembangan  proses  reformasi  terhadap  elemen  substantif  dan  struktural  telah  mengalami  proses  perubahan  yang  signifikan, yang  utamanya mengarah  pada  bidang-bidang  hokum  yang mengatur  elemen-elemen  strategis  dalam  kehidupan  demokrasi  seperti  perundang-undangan  di  bidang  politik .


Dalam  kekuasaan  dan  pelembagaan yudikatif  memunculkan  Mahkamah Konstitusi  dan komisi Yudisial  yang  memperkuat  kekuasaan  yudikatif  disamping  mahkamah Agung  beserta  badan-badan  peradilan  yang  bernaung  dibawahnya. Mahkamah Konstitusi  keberadaannya  di jamin  oleh  pasal  24 ayat  (2)  dan pasal 24 c  Undang-Undang  Dasar 1945  hasil  amandemen  dan  kemudian  diatur  dalam  Undang-Undang  Nomor  24 Tahun  2003  tentang  Mahkamah Konstitusi  sedangkan  Komisi  Yudisial  keberadaannya  dijamin oleh  pasal  24  b  undang-Undang  Dasar 1945  hasil amandemen  dan kemudian  diatur  dalam  Undang-Undang Nomor  22  Tahun  2004  tentang Komisi  Yudisial.

Dalam  ruang  lingkup  hubungan  antara  Mahkamah  Agung  dan  Komisi  Yudisial  memiliki  tendensi  yang  erat  dalam  menegakkan  sistem  hukum  yang  lebih  baik  terutama  dalam  bidang  Kekuasaan  Kehakiman, karena  dapat  diketahui  secara  umum  setelah  pasca  reformasi  lembaga –lembaga  hukum  di Indonesia  sangat  di soroti  secara  negative  oleh  masyarakat. Sejalan  dengan  ketentuan  tersebut  diatas  maka  salah  satu  prinsip  Negara  hukum  adalah  adanya  jaminan  penyelenggaraan  kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka, bebas  dari  pengaruh  kekuasaan  lainnya  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna  menegakkan  hukum  dan  keadilan.





Walaupun  dari  sejak  berdirinya, Indonesia  tidak  menganut  teori  pemisahan  kekuasaan,  akan  tetapi  dalam  konstitusi-konstitusi  yang  berlaku  dan  pernah  berlaku  telah  dianut  adanya  kekuasaan  kehakiman  yang  terpisah  dari  kekuasaan-kekuasaan lain. Seperti diketahui, sejak berdirinya  Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berlaku:

1.    UUD 1945
2.    Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
3.    UUD S 1950
4.    UUD 1945 Amandemen.

B.  RUMUSAN  MASALAH

1.    Bagaimanakah kedudukan dan wewenang Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
2.    Bagaimanakah Kedudukan Dan Fungsi Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar 1945?
3.    Bagaimanakah  Pola  Hubungan  Antara  Mahkamah  Agung  dengan  Komisi  Yudisial  Pasca Amandemen  Undang-Undang  Dasar  1945?

C.    PEMBAHASAN
a. Kekuasaan Kehakiman Oleh Mahkamah Agung Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah.


Pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Ajaran pemisahan kekuasaan oleh oleh Emmanuel Kant disebut sebagai doktrin Trias Politica (Tri = tiga, As = poros (pusat), Politica = kekuasaan) atau tiga pusat/poros kekuasaan negara sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois.
Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua) keberatan terhadap teori ini:
  1. Ajaran pemisahan kekuasaan dari trias politika membawa akibat tidak adanya pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Ketiga lembaga negara yang dikenal di dalamnya, hal mana menyebabkan Ketiga lembaga negara tersebut dapat bertindak sewenang-wenang, dan ini jelas bertentangan dengan tujuan dari teori trias politika itu sendiri;
  2. Hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare staat), untuk ini tidak memungkinkan lagi diadakan pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negaranya. Karena tujuannya itu, maka Pemerintah suatu “welfare staat”, disamping memiliki kekuasaan eksekutif juga harus mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya.
Menurut Muhammad Yamin Ketiga konstitusi Indonesia yang pernah berlaku, yaitu UUD 1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950, selalu disusun atas ajaran trias politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku.
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Kewenangan tersebut tercantum di dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.
Selanjutnya kewajiban Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Pertama) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. 
Keanggotaan Mahkamah Agung terdiri dari hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim) dan non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA.
Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.
Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.
Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain.
b. Kedudukan Dan Fungsi Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Kedudukan dari Komisi Yudisial diatur dalam ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
"Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.
Selanjutnya, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menegaskan bahwa "Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain".
Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim".
Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:
  1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
  2. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kedudukan Komisi Yudisial dalam UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), disamakan dengan lembaga-lembaga negara lain yang juga diatur dalam UUD 1945. Komisi ini ditentukan dan diatur tersendiri oleh UUD 1945, karena dianggap mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting dan strategis dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim di Indonesia. Kedudukan Komisi Yudisial sesuai dengan Bunyi pasal 24B Ayat (1), seharusnya menjadi lembaga yang benar-benar mandiri, dalam arti tidak berada di bawah kekuasaan manapun termasuk kekuasaan kehakiman. Sehingga Komisi Yudisial akan benar-benar independen.


Bahwa sesuai dengan UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), fungsi utama Komisi Yudisial adalah:
  1. mengusulkan pengangkatan hakim agung;
  2. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Jadi fungsi tersebut sekaligus merupakan kewenangan langsung (direct authority) yang diberikan oleh konstitusi kita. Dan pemberian fungsi langsung tersebut tidak lepas dari koridor reformasi di segala bidang, khususnya reformasi peradilan.
c. Menentukan Pola Hubungan MA Dan KY yang dianut UUD 1945 Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006.
Pengertian “pola hubungan” MA dengan KY dapat dirumuskan sebagai berikut:
Model/bentuk hubungan tata kerja antara MA dengan KY, pada saat kedua lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa”.

Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs).
Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim.
Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated).
KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri.
Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undang-undang yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Soal hubungan kekuasaan antara lembaga MA dan KY menurut penulis terjadi dalam 2 pola/model yaitu hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding) dan hubungan kemitraan (partnership).
·         Hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding)
·         Hubungan kemitraan (partnership)

Landasan Konstitusional
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Landasan Konstitusional
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
  1. Hubungan Kewibawaan Yang Formal (De Formele Gezagsverhouding)
    Hubungan kewibawaan formal adalah hubungan kelembagaan antara MA dan KY dalam menjalankan amanat Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
    Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) berbunyi:
    "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden".
    Mekanisme pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (pasal 13 huruf a UUKY). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang mengajukan calon Hakim Agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung? Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?
    Di dalam pasal 15 Ayat (2) UUKY jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain : Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: karir dan non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka seseorang dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (pasal 7 Ayat (2) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung).
    Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya sebagaimana tersebut di atas, memiliki waktu kerja paling lama 6 bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung (pasal 14 Ayat (3) UUKY). Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung untuk mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (pasal 15 Ayat (1) UUKY). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 hari berturut-turut. Selanjutnya Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung selama waktu tersebut.
    Setelah 15 hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lama 30 hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.
    Proses penyeleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/ menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat sepuluh hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap satu lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.


  1. Hubungan Kemitraan (partnership).
    Hubungan kemitraan (partnership).adalah hubungan kerjasama antara MA dan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
    Sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 Ayat (4) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Pasal 32 UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (UUMA), yang masing-masing berbunyi:

    • Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945:
    “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

    • Pasal 11 Ayat (4) UUKK:
    ”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang”;

    • Pasal 32 UUMA:
    (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
    (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.

(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”;
Berdasarkan Ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa secara melekat (inherent), MA mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi dari seluruh badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Ruang lingkup fungsi pengawasan dimaksud mencakup ruang lingkup bidang teknis justisial, administrasi, maupun perilaku hakim yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku;

a. Sistem Pengawasan Internal oleh Mahkamah Agung
Pasal 11 Ayat (4) UUKK menyebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Selanjutnya didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UUMA menguraikan bentuk-bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung berikut ini.
  1. Mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
  2. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
  3. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
  4. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dari ketentuan di atas terlihat bahwa yang harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechtsgang) dengan tujuan agar pengadilan-pengadilan menyelenggarakan proses peradilan dengan seksama dan sewajarnya.
Obyek pengawasan Mahkamah Agung meliputi tiga hal, yaitu bidang teknis peradilan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas putusan hakim, bidang administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan hukum kepada para pencari keadilan, dan bidang perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) yang bertujuan untuk meningkatkan pelaksanaan fungsi peradilan sesuai dengan kode etik profesi hakim.

i. Pengawasan Internal Bidang Teknis Peradilan
Yang dimaksud dengan teknis peradilan atau teknis yudtisial adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah peningkatan putusan hakim. Pelaksanaan pengawasan di bidang teknis peradilan terhadap hakim dilakukan melalui pemeriksaan perkara, antara lain melalui eksaminasi perkara untuk mengetahui seberapa jauh hakim telah menerapkan hukum acara dengan seksama dan sewajarnya dalam melakukan pemeriksaan perkara.

ii. Pengawasan Internal Bidang Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pada lembaga pengadilan (pengadilan tingkat pertama dan banding dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari Mahkamah Agung karena keterkaitannya yang amat erat terhadap teknis peradilan. Masalah administrasi peradilan tidak boleh diabaikan untuk menghindari ketidaksempurnaan suatu putusan pengadilan. Dengan berlakunya UUMA, maka administrasi umum (meliputi administrasi kepegawaian dan keuangan) yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia berubah menjadi kewenangan Mahkamah Agung.

iii. Pengawasan Internal Bidang Perilaku Pejabat Peradilan
Bidang pengawasan ini menjadikan tingkah laku dan perbuatan hakim atau pejabat peradilan sebagai obyek pengawasannya. Pelaksanaan pengawasan terhadap perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) dilakukan berdasarkan temuan-temuan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang berdasarkan laporan hasil pengawasan internal maupun yang berasal dari laporan masyarakat, media massa, dan pengawasan eksternal lainnya.

iv. Komisi Kehormatan Profesi Hakim
IKAHI sebagai satu-satunya wadah profesi hakim di Indonesia mengeluarkan salah satu keputusan dalam Musyawarah Nasional (Munas) XIII di Bandung untuk membentuk Komisi Kehormatan Hakim. Komisi yang di masa lalu bernama Majelis Kehormatan ini bertujuan untuk menegakkan kode etik hakim agar ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus mengawasi pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Komisi Kehormatan Hakim juga berwenang memberikan pertimbangan dan sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sebagai tindak lanjut fungsi pengawasan. Secara umum, tugas dari Komisi Kehormatan Hakim adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung tinggi kode etik. Bentuk-bentuk pembinaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, atau pendekatan-pendekatan lain yang meliputi aspek materiil dan spiritual.
  2. Meneliti dan memeriksa laporan atau pengaduan dari masyarakat atas tingkah laku dari para anggota IKAHI.
  3. Memberikan nasihat dan peringata kepada anggota dalam hal anggota yang bersangkutan menunjukkan indikasi melakukan pelanggaran kode etik.



Sementara itu, yang menjadi wewenang Komisi Kehormatan Hakim adalah sebagai berikut:
  1. Memanggil anggota untuk didengar keterangannya sehubungan dengan adanya pengaduan atau laporan.
  2. Memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dan merekomendasikan anggota yang tidak terbukti bersalah untuk direhabilitasi.
b. Sistem Pengawasan Eksternal Oleh Komisi Yudisial
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Rumusan yang terkandung di dalam ketentuan diatas, seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk memenuhi amanat Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945. Pengertian kata “dalam rangka” sebagai bagian wewenang pengawasan oleh KY menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang meliputi usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan kode etik.
Dari ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif.

Sehubungan dengan hal diatas, apabila dihubungkan dengan rumusan pasal 13 huruf b UUKY, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah oleh pembentuk undang-undang menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”, yang jika dielaborasi kembali maka cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas ”kejelasan rumusan” yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Melihat kembali apa yang tercantum di dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat didalam Pertimbangan Hukumnya menyatakan bahwa ruang lingkup pengawasan KY hanyalah sebagian saja, yakni yang menyangkut perilaku hakim. Pengertian Hakim disini adalah dalam pengertian sebagai individu di luar maupun di dalam kedinasan, dengan tujuan agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Pelaksanaan pengawasan yang demikian itu selain tidak dalam pengertian mengawasi badan peradilan, juga tidak meniadakan fungsi pengawasan yang sama yang dimiliki oleh MA. Fungsi demikian adalah berkait dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hal. 195-198 menjelaskan bahwa, Perbedaan antara code of ethics (kode etik) dan code of conduct (kode Perilaku) adalah; code of conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam maupun di luar dinas;
Hakim Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki kode etik, yang pertama dengan nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun 1966, yang kedua Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir Pedoman Perilaku Hakim yang disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Mei 2006.
Pedoman perilaku hakim tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim yang diperkenankan, yang dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau yang tidak dianjurkan, baik di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht) yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat menjadi benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Pedoman perilaku tersebut merupakan penjabaran aturan-aturan kode etik yang secara universal berlaku umum dan diterima sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang dianut orang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, dengan tujuan untuk mengenali apa yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku di antara sesama dalam kelompoknya. Kode etik profesi, sebagaimana dilihat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang berlaku di lingkungan Mahkamah Agung, memuat serangkaian prinsip-prinsip dasar sebagai nilai-nilai moralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasannya. Prinsip dan nilai tersebut kemudian dirinci dalam bentuk bagaimana perilaku hakim yang dipandang sesuai
dengan prinsip atau nilai tersebut. Misalnya, nilai berperilaku adil yang diterjemahkan sebagai prinsip berupa uraian apa yang dimaksud adil tersebut, dan kemudian dirinci bagaimana hal itu digambarkan dalam perilaku Hakim ketika melakukan tugas yustisial. Demikian juga ketika nilai atau prinsip integritas diadopsi sebagai bagian dari kode etik profesi, maka prinsip integritas tersebut telah diberi batasan, yang “merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan rohaniyah dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya”. Prinsip tersebut dalam penerapannya dapat diketahui misalnya bahwa hakim menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak, atau tindak tanduk dan perilaku hakim harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa peradilan. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus tampak dilaksanakan.
Pengawasan dan penegakan perilaku hakim  sudah tentu dilihat dari ukuran Code of Conduct dan Code of Ethics yang sudah ada yang dijadikan sebagai ukuran, dengan contoh prinsip dan penerapan yang telah diuraikan di atas, sehingga akan terhindar dari tumpang tindih dengan pengawasan lain yang berada di luar wilayah etik atau perilaku.
Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku juga dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, juga dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan oleh Komisi Yudisial dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan, penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada Mahkamah Agung.

Selanjutnya oleh karena Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan disemua Iingkungan peradilan menurut ketentuan Pasal 32 Ayat (1 s/d 4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UUMA, yang menegaskan bahwa "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan Peradilan disemua Iingkungan peradilan dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman“, dan menurut Pasal 11 Ayat (4) UUKK, yang menegaskan bahwa ”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-undang”, maka tidaklah mungkin Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, dan Hakim Agung tidak mungkin berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial fungsi pengawasan yang tertinggi yang dimiliki oleh Mahkamah Agung, semakin menjadi strategi dan sangat relevan setelah Mahkamah Agung melaksanakan sistim satu atap (one roof sistem).
KY merupakan  organ  yang  pengaturannya  ditempatkan  dalam  Bab  IX  Kekuasaan Kehakiman,  dengan  mana  terlihat  bahwa  MA  diatur  dalam  Pasal  24A, KY  diatur  dalam  Pasal  24A  Ayat (3)  dan Pasal  24B,  dan  MK  diatur  dalam  Pasal 24C. Pengaturan  yang demikian  sekaligus  menunjukkan  bahwa  menurut  UUD 1945  KY  berada  dalam  ruang lingkup  kekuasaan  kehakiman, meskipun  bukan  pelaku  kekuasaan  kehakiman. Pasal  24A Ayat (3) UUD 1945  berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan  yang  demikian  menunjukkan  keberadaan  KY  dalam  sistem ketatanegaraan adalah terkait  dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24  Ayat  (2) UUD 1945  telah menegaskan  bahwa  KY  bukan merupakan  pelaksana  kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances  tidak  benar  jika  diterapkan  dalam  pola hubungan  internal  kekuasaan  kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana  kekuasaan kehakiman, melainkan  sebagai supporting  element  dalam  rangka  mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun  untuk  melaksanakan  tugasnya tersebut, KY  sendiri  pun  bersifat   mandiri.

Dalam  perspektif  yang demikian, hubungan  antara  KY s ebagai  supporting organ dan  MA sebagai main organ dalam bidang  pengawasan  perilaku  hakim  seharusnya  lebih  tepa t dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undang-undang yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan   wewenang   tersebut  Komisi   Yudisial   mempunyai  tugas  melakukan  pengawasan terhadap  perilaku hakim dalam  rangka  menegakkan  kehormatan  dan  keluhuran  martabat  serta menjaga  perilaku  hakim.



·          Sistem  pengawasan  secara  internal  yang  menjadi  kewenangan   Mahkamah Agung :
1.  Mengawasi penyelenggaraan  peradilan  di  semua  lingkungan  peradilan  dalam  menjalankan  kekuasaan  kehakiman.
2.  Mengawasi  tingkah  laku  dan  perbuatan  para  hakim  di  semua  linkungan  peradilan   dalam  enjalankan  tugasnya.
3.  Meminta keterangan  tentang hal-hal  yang  bersangkutan  dengan  tekhnis  peradilan  dari  semua  lingkungan  peradilan.
4.  Memberi  petunjuk, teguran  atau  peringatan  yang  dipandang  perlu  kepada  pengadilan  di  semua  lingkingan  peradilan.

·         Sistem  pengawasan  secara  eksternal  yang  menjadi  tanggung  jawab  Komisi  Yudisial :
1.     Menerima  laporan  masyarakat  tentang  perilaku  hakim;
2.     Meminta  laporan  secara  berkala  kepada  badan  peradilan  berkaitan  dengan  perilaku  hakim;
3.     Melakukan  pemeriksaan  terhadap  dugaan  pelanggaran  perilaku  hakim;
4.     Memanggil  dan  meminta  keterangan  dari  hakim  yang  diduga  melanggar  kode  etik  perilaku  hakim;




D.   PENUTUP

Kebebasan  kekuasaan  kehakiman  dalam  konteks  mewujudkan  peradilan  mandiri  tidak  hanya  menyatu  pada  pembinaan  dan  pengawasan,  tapi juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris MA dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah.

Dikaitkan  dengan  fngsi  pengawasan  perilaku  hakim, kehadiran  Komisi Yudisial  yang  merupakan  lembaga  independen  dan terpisah dari Mahkamah Agung dapat memperjelas adanya institusi yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal. Pelaksanaan pengawasan secara eksternal dan internal harus dalam kerjasama yang erat, sehingga konsepsi checks and balances tidak dapat diterapkan dalam lingkup internal kekuasaan kehakiman. Selain itu, yang menjadi objek pengawasan eksternal adalah perilaku hakim dan bukan pengawasan terhadap MA dan badan-badan peradilan di bawahnya sebagai institusi. Justru antara MA dan KY harus bekerja secara erat dalam konsep kemitraan atau partnership.

Hubungan  kemitraan  atau  partnership  antara  MA  dan KY , Yaitu  untuk  merekrut  dan  mengusulkan  pengangkatan  hakim  agung, yang menurut Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.


3 komentar: