Pengertian
Secara harfiah, istilah Suksesi Negara
(State Succession atau Succession of State) berarti “penggantian
atau pergantian negara”. Namun istilah
penggantian atau pergantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud
maupun kompleksitas persoalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state
succession itu. Memang sulit untuk
membuat suatu definisi yang mampu menggambarkan keseluruhan persoalan suksesi
negara. Tetapi untuk memberikan gambaran
sederhana, suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau
penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam “pergantian
negara” yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama
atau negara yang “digantikan” disebut dengan istilah Predecessor State,
sedangkan negara yang “menggantikan” disebut Successor State. Contohnya : sebuah wilayah yang tadinya
merupakan wilayah jajahan dari suatu negara kemudian memerdekakan diri.
Predecessor state-nya adalah negara
yang menguasai atau menjajah wilayah tersebut, sedangkan successor state-nya
adalah negara yang baru merdeka itu.
Contoh lain, suatu negara terpecah-pecah menjadi beberapa negara baru,
sedangkan negara yang lama lenyap. Predecessor
state-nya adalah negara yang hilang atau lenyap itu, sedangkan successor
state-nya adalah negara-negara baru hasil pecahan itu.
Yang menjadi masalah utama dalam
pembahasan mengenai suksesi negara adalah : apakah dengan terjadinya suksesi
negara itu keseluruhan hak dan kewajiban negara yang lama atau negara yang
digantikan (predecessor state) otomatis beralih kepada negara yang baru
atau negara yang menggantikan (sucessor state)? Sebagaimana yang dikatakan oleh Starke,
“... dalam masalah suksesi negara, yang dimasalahkan terutama
adalah mengenai pemindahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang
telah berubah atau kehilangan identitasnya kepada negara atau satuan lainnya
yang menggantikannya. Perubahan atau
hilangnya identitas itu disebabkan oleh perubahan seluruh atau sebagian dari
kedaulatan negara itu”.
Dalam hukum internasional positif,
masalah suksesi negara ini diatur dalam Konvensi Wina 1978, yaitu Konvensi Wina
mengenai Suksesi Negara dalam Hubungan dengan Perjanjian Internasional (Vienna
Convention on Succession of State in respect of Treaties).
Fokus Bahasan
Ada dua kelompok masalah penting yang
menjadi fokus bahasan dalam persoalan suksesi negara, yaitu :
·
Factual
State Succession,
yakni yang berkenaan dengan pertanyaan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa apa
sajakah yang menunjukkan telah terjadi suksesi negara?
·
Legal
State Succession,
yakni yang berbicara tentang apa akibat-akibat hukumnya jika terjadi suksesi
negara.
Dalam hubungannya dengan substansi
yang disebut terdahulu (Factual State Succession), kita akan melihat
pendapat para sarjana dan pengaturan dalam Konvensi Wina 1978 yang telah
disebutkan di atas.
Dalam pandangan para sarjana,
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dipandang sebagai suksesi
negara, yang bisa juga dikatakan sebagai bentuk-bentuk suksesi negara adalah:
1.
Penyerapan
(absorption), yaitu suatu negara diserap oleh negara lain. Jadi di sini terjadi penggabungan dua subjek
hukum internasional. Contohnya,
penyerapan Korea oleh Jepang tahun 1910.
2.
Pemecahan
(dismemberment), yaitu suatu negara terpecah-pecah menjadi beberapa
negara yang masing-masing berdiri sendiri.
Dalam hal ini bisa terjadi, negara yang lama lenyap sama sekali
(contohnya, lenyapnya Uni Soviet yang kini menjadi negara-negara yang
masing-masing berdiri sendiri) atau negara yang lama masih ada tetapi
wilayahnya berubah karena sebagian wilayahnya terpecah-pecah menjadi sejumlah
negara yang berdiri sendiri (contohnya, Yugoslavia).
3.
Kombinasi
dari pemecahan dan penyerapan, yaitu satu negara pecah menjadi beberapa bagian
dan kemudian bagian-bagian itu lalu diserap oleh negara atau negara-negara
lain. Contohnya, pecahnya Polandia tahun
1795 yang beberapa pecahannya masing-masing diserap oleh Rusia, Austria, dan
Prusia.
4.
Negara
merdeka baru (newly independent states). Maksudnya adalah beberapa
wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah negara lain atau berada
di bawah jajahan kemudian memerdekakan diri menjadi negara-negara yang
berdaulat.
5.
Bentuk-bentuk
lainnya yang pada dasarnya merupakan penggabungan dua atau lebih subjek hukum
internasional (dalam arti negara) atau pemecahan satu subjek hukum
internasional (dalam arti negara) menjadi beberapa negara.
Sementara itu, dalam perkembangannya,
dalam Konvensi Wina 1978 memerinci adanya lima bentuk suksesi negara, yaitu :
1.
Suatu
wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi
tanggung jawab negara itu kemudian berubah menjadi bagian dari wilayah negara
itu (Pasal 15).
2.
Negara
merdeka baru (newly independent state), yaitu bila negara pengganti yang
beberapa waktu sebelum terjadinya suksesi negara merupakan wilayah yang tidak
bebas yang dalam hubungan internasional berada di bawah tanggung jawab negara
negara yang digantikan (Pasal 2 Ayat 1f).
3.
Suksesi
negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih
menjadi satu negara merdeka.
4.
Suksesi
negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih
menjadi menjadi suatu negara serikat (Pasal 30 Ayat 1).
5.
Suksesi
negara yang terjadi sebagai akibat terpecah-pecahnya suatu negara negara
menjadi beberapa negara baru (Pasal 34 ayat 1).
Sementara itu, untuk persoalan legal
state succession, sebagaimana telah disebutkan tadi adalah berbicara
tentang akibat hukum yang ditimbulkan oleh terjadinya suksesi negara. Dalam
hubungan ini ada dua teori, yaitu teori yang dikenal sebagai Common Doctrine
dan teori tabula rasa (Clean State).
Menurut common doctrine, dalam
hal terjadinya suksesi negara, maka segala hak dan kewajiban negara yang lama
lenyap bersama dengan lenyapnya negara itu (predecessor state) dan
kemudian beralih kepada negara yang menggantikan (successor state). Sedangkan mereka yang berpegang pada teori tabula
rasa (clean state) menyatakan bahwa suatu negara yang baru lahir (successor
state) akan memulai hidupnya dengan hak-hak dan kewajiban yang sama sekali
baru. Dengan kata lain, tidak ada peralihan hak dan kewajiban dari negara yang
digantikan (predecessor state).
Sesungguhnya kedua pendirian ini sama
tidak realistisnya. Sebab praktik
menunjukkan ada hal-hal yang dianggap dapat beralih dari predecessor state
kepada successor state. Sebaliknya, ada hal-hal yang memang tidak
beralih, sebagaimana ditunjukkan oleh praktik negara-negara selama ini. Dengan kata lain, tidak mungkin dibuat
kriteria yang bersifat general dalam hubungan ini melainkan harus dilihat kasus
per kasus.
Kasus-kasus yang dimaksud, antara lain
:
q Bagaimanakah akibat hukum suksesi
negara terhadap kekayaan negara (public property)?
q Bagaimanakah akibat hukum suksesi
negara terhadap keberadaan kontrak-kontrak konsesional (concessionary
contracts) yang ada?
q Bagaimanakah akibat hukum suksesi
negara terhadap keberadaan hak-hak privat (private rights)?
q Bagaimanakah akibat hukum suksesi
negara dalam hubungan dengan tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum
(claims in tort or delict)?
q Bagaimanakah akibat hukum suksesi
negara terhadap pengakuan (recognition)?
q Bagaimanakah akibat hukum suksesi
negara terhadap keberadaan utang-utang negara (public debts)?
Suksesi negara dan kekayaan negara.
Dengan melihat praktik negara-negara
yang ada, para ahli pada umumnya sependapat bahwa, jika terjadi suksesi negara,
kekayaan negara, yang meliputi gedung-gedung dan tanah-tanah milik negara,
dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank, alat-alat transportasi milik
negara, pelabuhan-pelabuhan, dan sejenisnya, beralih kepada negara pengganti (successor
state).
Suksesi
negara dan kontrak-kontrak konsesional.
Yang menjadi persoalan dalam hubungan
ini adalah apakah negara pengganti (successor state) mempunyai kewajiban
untuk melanjutkan kontrak-kontrak konsesional yang dibuat oleh negara yang
digantikan (predecessor state) ataukah konrak-kontrak itu otomatis
berakhir dengan terjadinya suksesi negara.
Studi terhadap sejumlah kasus yang berkaitan dengan persoalan ini
menunjukkan bahwa pada dasarnya negara pengganti (successor state)
dianggap berkewajiban untuk menghormati kontrak-kontrak semacam itu yang dibuat
oleh negara yang digantikan (predecessor state) dengan pihak pemegang
konsesi (konsesionaris). Artinya,
kontrak-kontrak tersebut seharusnya dilanjutkan oleh negara pengganti (successor
state). Namun, bilamana demi
kepentingan kesejahteraan negara kontrak-kontrak tersebut dipandang perlu untuk
diakhiri maka pemegang konsesi harus diberikan hak untuk menuntut kompensasi
atau ganti kerugian.
Suksesi
negara dan hak-hak privat.
Yang menjadi persoalan di sini adalah,
bagaimanakah keberadaan hak-hak privat yang diperoleh berdasarkan hukum negara
yang digantikan (predecessor state) bilamana terjadi suksesi
negara? Dalam hal ini, para sarjana
berpendapat bahwa :
§
Pada
prinsipnya, successor state berkewajiban untuk menghormati hak-hak
privat yang dipperoleh berdasarkan hukum predecessor state.
§
Kelanjutan
dari hak-hak privat itu berlaku selama perundang-undangan baru dari successor
state tidak menyatakan lain (misalnya mengubah atau menghapusnya).
§
Pengubahan
atau penghapusan terhadap hak-hak privat yang diperoleh berdasarkan hukum predecessor
state itu tidak boleh bertentangan dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban
internasional dari successor state, terutama mengenai perlindungan
diplomatik.
§
Berhubung
hak-hak privat itu jenisnya bermacam-macam, maka prinsip-prinsip dasar
sebagaimana disebutkan di atas perlu dirumuskan secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain, pemecahannya bersifat
kasuistis.
Suksesi
negara dan tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum.
Persoalan utama dalam hubungan ini
adalah, apakah successor state wajib menerima tanggung jawab yang timbul
karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh predecessor state? Dalam kaitan ini para sarjana sependapat
bahwa successor state tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab
yang timbul akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh predecessor
state.
Suksesi
negara dan pengakuan.
Dalam hubungannya dengan pengakuan,
yang menjadi masalah adalah, apakah dalam hal terjadi suksesi negara pengakuan
yang pernah diberikan oleh suatu negara kepada negara yang mengalami suksesi
itu juga berakhir? Dalam hal ini, yang
menentukan adalah sifat atau jenis suksesi negara tersebut (lihat uraian di
bawah). Bilamana suksesi negara itu
bersifat universal, yang berarti hilangnya identitas internasional dari negara
yang bersangkutan, maka pengakuan itu otomatis gugur. Sedangkan bila suksesi
itu bersifat parsial, yang berarti negara yang lama (predecessor state)
tidak kehilangan identitas internasionalnya, maka dalam hal ini berlaku “asas
kontinyuitas negara” (continuity of state principle). Artinya, pengakuan
yang pernah diberikan itu tetap berlaku.
Namun, bilamana negara yang memberikan pengakuan tadi tidak lagi
memandang negara yang pernah diberi pengakuan itu memenuhi syarat negara
menurut hukum internasional, maka pengakuan itu dapat ditarik kembali. Pada umumnya, jika itu terjadi, penarikan kembali
pengakuan itu tidak dilakukan secara tegas.
Suksesi
negara dan utang-utang negara.
Yang menjadi masalah dalam hubungan
ini adalah apakah negara pengganti (successor state) berkewajiban untuk
menerima tanggung jawab atas utang-utang negara yang ditinggalkan oleh negara
yang digantikan (predecessor state).
Dalam hubungan ini tidak terdapat kesamaan pendapat di kalangan para
sarjana maupun praktik negara-negara dan sifatnya sangat kasuistis. Pedomannya adalah sebagai berikut :
- Jika utang-utang tersebut dipergunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan wilayah yang digantikannya, maka successor state dipandang berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang tersebut. Sebaliknya, jika manfaat utang-utang tersebut ternyata hanya dinikmati oleh golongan-golongan masyarakat tertentu yang memegang kekuasaan pada saat itu maka successor state tidak dianggap berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang tersebut.
- Successor state juga dipandang tidak bertanggung jawab atas utang-utang predecessor state yang digunakan untuk membiayai perang melawan successor state atau maksud-maksud yang bermusuhan dengan successor state sebelum terjadinya suksesi negara.
- Dalam hal suksesi negara itu berupa terpecah-pecahnya satu negara menjadi beberapa bagian yang kemudian bagian-bagian itu masing-masing menjadi negara yang berdiri sendiri, successor states dipandang berkewajiban untuk bertanggung jawab atas utang-utang itu secara proporsional menurut suatu metode distribusi yang adil.
- Dalam hal suksesi negara itu bersifat parsial, maka successor state yang menggantikan wilayah yang terlepas itu dipandang berkewajiban untuk menanggung utang-utang lokal atas wilayah yang bersangkutan.
Cara Terjadinya Suksesi Negara
Ada dua cara terjadinya suksesi negara,
yakni :
1.
Tanpa
kekerasan. Dalam hal ini yang terjadi
adalah perubahan wilayah secara damai.
Misalnya beberapa negara secara sukarela menyatakan bergabung dengan
suatu negara lain dan menjadi bagian daripadanya. Atau sebaliknya, suatu negara tanpa melalui
kekerasan (misalnya perang saudara) secara sukarela memecah dirinya menjadi
beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri.
2.
Dengan
kekerasan. Cara terjadinya suksesi
negara yang melalui kekerasan dapat berupa perang ataupun revolusi.
Jenis-jenis Suksesi Negara
Ada dua macam atau jenis suksesi
negara, yaitu :
q Suksesi universal; dan
q Suksesi parsial.
Perbedaan dari kedua jenis suksesi
negara ini terletak pada bagian wilayah dari suatu negara yang digantikan
kedaulatannya. Bilamana suksesi itu terjadi
terhadap seluruh wilayah suatu negara (berarti negara yang lama atau predecessor
state lenyap) maka suksesi yang demikian dinamakan suksesi universal. Sedangkan bilamana suksesi negara itu hanya
meliputi bagian tertentu saja dari wilayah suatu negara (berarti predecessor
state masih ada hanya wilayahnya saja yang berubah), maka suksesi yang
demikian dinamakan suksesi parsial.
Dengan demikian, pada suksesi
universal, identitas internasional dari suatu negara lenyap sebagai akibat
lenyapnya seluruh wilayah negara itu. Di
sini, “kepribadian hukum internasional” (international legal personality)
dari negara itu hilang. Sedangkan pada suksesi parsial, identitas internasional
dari negara itu tidak hilang melainkan hanya luas wilayahnya saja yang berubah.
Dalam hubungan ini, negara itu tidak kehilangan kepribadian hukum
internasionalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar