Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Sabtu, 27 April 2013

PRINSIP KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (UNIDROIT) DAN PEMBATASANNYA MELALUI HUKUM NASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Globalisasi terjadi hampir di semua bidang kehidupan masyarakat. Globalisasi di bidang ekonomi dapat digambarkan dengan adanya suatu situasi dimana terjadi hubungan saling ketergantungan diantara pihak dalam hal ini negara-negara di dunia sebagai subjek hukum internasional. Ketergantungan tersebut secara tidak langsung terbentuk sebagai akibat dari upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional tiap negara melalui perdagangan internasional. Berkembangnya perdagangan internasional saat ini memberikan dampak yang luas pada segala aspek kehidupan yang lain, antara lain perkembangan dalam pembuatan kontrak jual beli internasional.

Terdapat hubungan yang erat antara perdagangan internasional dengan kontrak internasional. Transaksi perdagangan internasional tertuang dan tertutup dalam kontrak internasional, karena itu perkembangan (hukum) kontrak internasional sedikit banyak bergantung kepada perkembangan transaksi perdagangan internasional berikut hukum yang mengaturnya.[1]
Kontrak dalam melakukan perdagangan internasional merupakan suatu bagian yang penting dalam transaksi internasional, oleh karena itu secara alamiah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penjualan telah lama menjadi perhatian. Keanekaragaman peraturan nasional tiap negara memberikan suatu kebutuhan tersendiri akan adanya suatu peraturan yang bersifat universal dan internasional.
Pembentukan suatu konvensi internasional pada dasarnya bertujuan agar terciptanya suatu harmonisasi hukum atau aturan-aturan dalam perdagangan internasional. Terdapat beberapa perjanjian yang terkait dengan kontrak internasional, antara lain konvensi tentang jual beli internasional, yaitu United Nation Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi CISG 1980) dan konvensi tentang prinsip-prinsip kontrak internasional, yaitu Principles of International Commercial Contracts dalam The International Institute for the Unification of Private Law (Konvensi UNIDROIT 1994). Seperti halnya konvensi CISG[2], UNIDROIT pun berupaya menciptakan suatu harmonisasi agar perbedaan hukum nasional tidak menjadi rintangan atau kendala bagi para pihak pembuat perjanjian dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.
Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), maka dapat dikatakan bahwa Indonesia mengakui adanya konvensi tersebut dan bersedia menjalankan ketentuan-ketentuan dalam konvensi dimaksud. Walaupun begitu, prinsip UNIDROIT pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Sarjana terkemukan yang merupakan pakar bidang hukum ini, yaitu Profesor Bonnel menyatakan prinsip UNIDROIT ini sekedar instrument yang memiliki kekuatan ‘pengaruh’ saja (persuasive value).[3]
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis akan membahas mengenai “Prinsip Dalam International Institute For The Unification Of Private Law (UNIDROIT) Dan Penerapannya Melalui Hukum Nasional”.


B.        Pokok-Pokok Permasalahan
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:
1.   Apa tujuan Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata)?
2.   Bagaimana pengaruh prinsip-prinsip dalam UNIDROIT terhadap hukum nasional?

C.        Metode Laporan

1.7.1 Tipe Laporan
Penulis menggunakan metode laporan yuridis normatif dalam melakukan penyusunan laporan. Laporan yuridis normatif merupakan laporan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.[4] Metode laporan yuridis normatif, yaitu berupa laporan hukum tentang asas-asas hukum yang dilakukan terhadap kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam bahan hukum primer dan yang berkembang melalui pembahasan dalam bahan hukum sekunder serta yang dapat ditemukan dalam bahan hukum tersier. Kajian hukum normatif akan menghasilkan laporan yang bersifat preskriptif, yaitu berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang ada. Pendekatan yang digunakan dalam laporan ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu bertujuan untuk memahami latar belakang dari suatu konsep hukum.


Penulis menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder sebagai acuan dalam penulisannya. Data sekunder, antara lain mencangkup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil laporan yang berwujud laporan.[5] Data sekunder yang digunakan terdiri dari:

1)         Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.[6] Adapun bahan hukum primer yang dimaksud adalah berupa kebijakan terutama yang berkaitan dengan ketentuan International Institute for The Unification of Private Law (UNIDROIT). Bahan hukum primer tersebut terdiri dari:
a)      UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts 1994;
b)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
c)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
d)     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
e)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan;
f)       Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata).

2)         Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer.[7] Sedangkan yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder dalam hal ini adalah bahan kepustakaan yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain majalah, jurnal ilmiah, Koran dan lain sebagainya. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari:
a)      Buku-buku tentang International Institute for The Unification of Private Law (UNIDROIT);
b)      Buku-buku tentang hukum internasional
c)      Buku-buku tentang perdagangan internasional;
d)     Buku-buku tentang perdata internasional;
e)      dan lain-lain.

3)         Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.[8] Bahan hukum tersier tersebut terdiri dari:
a)      Kamus umum Bahasa Indonesia;
b)      Kamus istilah hukum;
c)      Kamus hukum perdagangan internasional;
d)     Kamus Bahasa Inggris-Indonesia;
e)      Black’s Law Dictionary;
f)       www.unidroit.org
g)      www.google.com;
h)      dan lain-lain.

1.7.2 Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari laporan kepustakaan akan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif, yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif, yaitu metode analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari penelitin kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Cara yang digunakan dalam melakukan analisis adalah induktif, yaitu menyimpulkan hasil laporan dari hal yang bersifat khusus ke hal yang sifatnya umum.

1.7.3 Tahap Laporan
Langkah-langkah yang ditempuh dalam laporan ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap, sebagai berikut:
1)      Tahap Persiapan, yaitu dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan laporan dalam bentuk proposal makalah, lalu dilakukan konsultasi demi penyempurnaan;
2)         Tahap Pelaksanaan, dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
a)      Tahap laporan kepustakaan, dilakukan pengumpulan data sekunder dengan cara studi dokumen;
b)      Tahap penyelesaian, dilakukan berbagai kegiatan, antara lain melakukan analisa terhadap bahan-bahan kepustakaan yang ada, mencari korelasi antara bahan-bahan kepustakaan, penulisan laporan, dan konsultasi. Setelah itu dilakukan penyusunan laporan akhir.

D.       Kerangka Landasan Teori
Sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional, Schmitthoff berpendapat bahwa otonomi (kebebasan) para pihak adalah dasar bagi hukum perdagangan internasional:[9]
“the outonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be build. The national sovereign has, as we have seen, no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, …”



Ada tiga alasan mengapa prinsip ini signifikan:[10]
1.   Aturan ini merupakan dasar yang hakiki bagi para pihak untuk dapat membuat atau menandatangani suatu kontrak. Dengan aturan dasar ini pula memungkinkan para pihak untuk membuat atau merancang muatan-muatan kontrak yang belum ada sebelumnya;
2.   Prinsip ini penting untuk menciptakan suatu kebutuhan akan kepastian di dalam hubungan-hubungan dagang;
3.   Prinsip party autonomy dibutuhkan dan relevan karena prinsip ini berfungsi pula untuk melindungi keinginan atau harapan-harapan para pihak di dalam melangsungkan usaha dagangnya.
Dengan tepat Clive M. Schmitthoff menegaskan bahwa dengan prinsip otonomi ini pula para pihak dapat mengembangkan, menginovasi atau menciptakan bentuk-bentuk kontrak baru yang mereka inginkan dan sepakati. Pengakuan terhadap kebebasan berkontrak ini telah mengembangkan, memperluas, bahkan menciptakan bentuk-bentuk baru di bidang kontrak. Schmitthoff mengemukakannya sebagai berikut:[11]
“…the area of contract law is, subject to exception and restriction, governed by optional law. Founded in the principle of the autonomy of the parties’ will. This is the area in which a transnational law of international trade has developed and can be furter evolved. This law is essentially founded on a parallelism of acion in the various legal systems, in an area in which we have seen, the sovereign national state in not essential interested. The aim of this parallelism of action is to facilitate the conduct of international trade by establishing uniform rules of law for it. In some international activities the need for such rules is stronger than others.”
Perlu dikemukakan bahwa kebebasan berkontrak sifatnya adalah tidak mutlak. Ada batas-batas yang memagarinya. Batas-batas tersebut, antara lain adalah tidak boleh disimpanginya aturan-aturan hukum nasional (yang sifatnya publik). Batas ini dikenal dalam hukum latin yang berbunyi pacta privata juri publico derogare non possunt.[12]
Pembatasan kepentingan umum terhadap prinsip ini dikemukakan pula oleh Professor Yntema, sebagai berikut:[13]
“…the principle of party autonomy in the law of contract is subject to various restriction in the different municipal laws and is not interpreted elsewhere in the same manner; these restriction are mainly imposed for reasons of public policy or in the public interest.”
Prinsip ini sebenarnya lahir dari pemikiran hukum alam dengan pemukanya Hugo Grotius. Menurut Grotius, prinsip ini disebut juga dengan teori kekuatan moral dari suatu janji (the theory of the inherent moral force of a promise). Berdasarkan teori ini, suatu janji secara moral adalah mengikat.[14]
Prinsip ini termuat juga dalam Pasal 25 AB (Algemene Bepalingen Van Wegeving). Pasal ini menyatakan bahwa ‘orang dengan perbuatan atau perjanjiannya tidak boleh menghilangkan kekuatan dari peraturan-peraturan hukum dari ketentuan umum atau kesusilaan.[15]
Pada hakikatnya pembuatan kontrak merupakan salah satu sistem pembuatan hukum dalam hubungan keperdataan. Kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.[16] Pada pembuatan kontrak terdapat unsur proses seperti terdapat dalam pembuatan undang-undang.[17] L.J Van Apeldoorn menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak dikelompokkan ke dalam faktor yang membantu pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal tertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan perjanjian atau kontrak karena keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu mengikat. Hingga batas-batas tertentu para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak bertindak seperti pembentuk undang-undang, yaitu untuk mengikatkan diri diantara mereka sendiri.[18]
Pembuatan kontrak walaupun menganut prinsip kebebasan berkontrak tetapi terdapat suatu pembatasan-pembatasan tertentu dalam pembuatan kontrak tersebut. Pembatasan ini antara lain demi kapentingan nasional atau kepentingan negara. Teori kepentingan negara atau disebut juga teori governmental interest analysis dipelopori oleh Prof. Brainerd Currie.
Yang dimaksud dengan interest (kepentingan) dalam teori ini sebenarnya adalah kepentingan dari negara (governmental interest) yang sistem hukumnya relevan dengan pokok perkara untuk memberlakukan hukumnya dalam penyelesaian pokok perkara yang sedang dihadapi yang dapat disimpulkan dari kebijakan hukum (policies) di dalam kaedah hukum lokal yang bersangkutan. Adanya kebijakan-kebijakan tertentu yang melatarbelakangi pemberlakuan suatu kaidah hukum lokal atau domestik itulah yang mendasari kepentingan dari negara yang bersangkutan untuk memberlakukan hukumnya dalam perkara.[19]

E.        Kerangka Konsepsional
Untuk menghindarkan perbedaan pengertian terhadap istilah-istilah yang dipergunakan dalam laporan ini, berikut ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut.
Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi ( accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan ( ap-proval). (Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. (Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. (Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. (Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
Industri Dalam Negeri adalah keseluruhan produsen dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis dengan barang terselidik dan atau barang yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, atau produsen yang secara kolektif menghasilkan bagian terbesar dari total produksi barang sejenis dalam negeri. (Pasal 1 Angka 4 Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor).

F.         Sistematika Penulisan
Dalam laporan ini, penulis membagi ke dalam empat bab yang terdiri dari:
1.      Bab I, yang merupakan pendahuluan, menguraikan latar belakang pemilihan judul, pokok-pokok permasalahan, metode penelitian, kerangka landasan, kerangka konsepsional, dan sistematika penulisan yang dipergunakan.
2.      Bab II, akan membahas mengenai International Institute For The Unification Of Private Law (Unidroit) Secara Umum, yaitu Sejarah UNIDROIT dan Prinsip dalam UNIDROIT.
3.      Bab III, akan membahas Penerapan Prinsip UNIDROIT Melalui Hukum Nasional Indonesia, yaitu Tujuan Hukum Perdagangan Internasional dan Mandatory Rules dalam Hukum Nasional dikaitkan dengan peraturan-peraturan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
4.      Bab IV, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran atas laporan ini.  





BAB II
INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (UNIDROIT) SECARA UMUM

A.    Sejarah UNIDROIT
The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. UNIDROIT dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.[20] Prinsip-prinsip hukum UNIDROIT merupakan prinsip-prinsip umum bagi kontrak komersial international yang bisa diterapkan kedalam aturan nasional, atau dapat dipakai oleh pembuat kontrak untuk mengatur transaksi-transaksi komersial international sebagai pilihan hukum.
 Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau di antara sekelompok negara. Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.[21]
Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu, prinsip–prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan dalam menafsirkan ketentuan hukum kontrak yang tidak jelas. Dari segi formal, prinsip ini menghindari penggunaan terminologi khusus yang digunakan dalam sistem hukum tertentu. Cara penyusunan prinsip-prinsip UNIDROIT menggunakan model dari Restatement of the Law of Contracts (RLOC) yang dibuat oleh American Law Institute (ALI), yang didirikan pada tahun 1923.
Memang ada kalanya berlaku suatu prinsip hukum umum, prinsip hukum ini diketahui melalui suatu tinjauan maupun inventarisasi atas berbagai hukum nasional untuk menemukan prinsip yang secara umum berlaku di berbagai negara. Salah satu contoh prinsip hukum umum adalah pacta sunt servanda, yaitu suatu prinsip yang menentukan bahwa persetujuan mengikat para pihak dan harus dihormati. Namun, dalam praktik kerap timbul kesulitan dalam penggunaan prinsip hukum umum sebagai sumber lex mercatoria.[22]
Pada kepustakaan hukum komersial, hukum kebiasaan internasional yang berkembang dalam praktik dan telah diadopsi ke dalam konvensi internasional, dapat dikategorikan ke dalam lex mercatoria.[23] Dalam pengertian secara linguistik lex mercatoria diambil dari bahasa Latin, yang berarti hukum perniagaan atau komersial.[24] Pada umumnya di dalam beberapa kepustakaan istilah lex mercatoria diberikan pengertian sebagai hukum yang seragam[25] (uniform law) yang keberadaanya diterima oleh komunitas komesial di berbagai negara.
Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional. Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.[26]
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.[27]
Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang bersangkutan. Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.[28]
Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum). Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal rules).[29]
Pada hakikatnya pembuatan kontrak merupakan salah satu sistem pembuatan hukum dalam hubungan keperdataan. Kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, pada pembuatan kontrak terdapat unsur proses seperti pada pembuatan undang-undang. L.J. van Apeldoorn[30] menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak dikelompokkan ke dalam faktor yang membantu pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal tertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan perjanjian atau kontrak karena keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu mengikat. Sampai dengan batasan tertentu, para pihak dalam perjanjian atau kontrak bertindak sebagai pembentuk undang-undang. Perbedaanya adalah apabila perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya sedangkan undang-undang mengikat bagi semua warga Negara.
Sebagaimana arti lex mercatoria yang telah dijelaskan di atas yakni hukum komersial, oleh karena itu doktrin ini berkaitan dengan hukum kontrak komersial, yaitu hukum kebisaan dalam masyarakat bisnis dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kontrak bisnis. Dilihat dari tahapannya, kontrak dibuat dengan 3 (tiga) tahap, yaitu tahap negosiasi, tahap pembuatan kontrak, dan tahap pelaksanaan kontrak.
Sebelum melakukan negosiasi, kedua belah pihak harus memenuhi syarat untuk menjamin keabsahan dalam menutup suatu kontrak. Namun, UNIDROIT tidak mengatur ketentuan yang membatasi validitas kontrak seperti masalah kedewasaan, immoralitas, dan kepentingan umum, karena hal itu dianggap sebagai bagian dari hukum nasional masing-masing negara.Melalui penelitian dan upaya yang cukup lama, pada tahun 1971 UNIDROIT berusaha menelaah prinsip lex mercatoria agar dapat dihimpun menjadi dokumen autentik. Baru pada tahun 1994 berhasil disusun prinsip-prinsip umum yang dikenal dengan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs), yang kemudian oleh para pakar dikategorikan ke dalam the New Lex Mercatoria.
Melihat tujuan utama UNIDROIT yaitu mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang penting mengingat perkembangan teknologi baru dalam praktek-praktek perdagangan yang memerlukan aturan hukum baru. Biasanya aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karena itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar perdagangan internasional. [31]
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk mau menerimanya. Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai organisasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNIDROIT menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.[32]
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).[33]
Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai perjanjian atau konvensi internasional, antara lain sebagai berikut:[34]
  • Convention relating to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the International Sale of Goods (The Hague 1964);
  • Convention relating to a Uniform Law on the International Sale of Goods (The Hague, 1964);
  • International Convention on the Travel Contract (Brussels, 1970);
  • Convention providing a Uniform Law on the Form of an International Will (Washington, 1973);
  • Convention on Agency in the International Sale of Goods (Geneva, 1983);
  • UNIDROIT Convention on International Financial Leasing (Ottawa, 1988);
  • UNIDROIT Convention on International Factoring (Ottawa, 1988);
  • UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Rome, 1995);
  • Convention on International Interests in Mobile Equipment (Cape Town, 2001);
  • Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).

B.       Prinsip dalam UNIDROIT
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNIDROIT 2004 (UNIDROIT Principles) terdiri dari 10 Chapter dan 184 Articles. Sistematika UNIDROIT Principles terdiri dari Preamble (Pembukaan), Chapter 1 : General Provision (Ketentuan-ketentuan Umum)[35] dan Chapter 2 : Formation and Authority of Agents  (Pembentukan Perjanjian dan Kewenangan Agen), Chapter 3  : Validity (Validitas/Keabsahan Perjanjian), Chapter 4  : Interpretation (Penafsiran Persyaratan Perjanjian), Chapter 5  : Content and Third Party Right (Isi Perjanjian dan Hak Pihak Ketiga), Chapter 6  : Performance (Pelaksanaan Perjanjian), Chapter 7 : Non – Performance (Wanprestasi dan akibat-akibatnya), Chapter 8 : Set – Off (Penjumpaan Hutang), Chapter 9 : Assigment of Right, Transfer of Obligation, Assigment of Contract (Pengalihan Hak, Pengalihan Kewajiban dan Pengalihan Perjanjian), Chapter 10: Limitation Periods (Tenggang Waktu Daluarsa).
Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini. Beliau menyatakan:[36]
The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”
Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.[37]
Prinsip utama UNIDROIT Principles, selain mewarnai pemberlakuan hampir seluruh asas yang ada di UNIDROIT Principles, juga dianggap sebagai salah satu tiang utama dari suatu tata ekonomi internasional yang terbuka, berorientasi pasar, dan kompetitif adalah bahwa para pelaku bisnis bebas untuk menentukan kepada siapa mereka akan menawarkan atau dari siapa mereka akan memperoleh pemasokan barang atau jasanya dan bagi mereka terbuka kemungkinan untuk secara bebas bersepakat tentang persyaratan-persyaratan  setiap transaksi yang mereka adakan.
Pasal selanjutnya adalah mengenai Binding Character of Contract dalam Pasal 1.3 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:
A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be modified or terminated in accordance with its term or by agreement or as otherwise provided in these Principles.”
Perjanjian yang sah adalah mengikat para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau diakhiri sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan atau ditentukan sebaliknya dalam UNIDROIT Principles.
Pasal ini mencerminkan asas Pacta Sunt Servanda yang menetapkan bahwa “perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Asas ini baru mengikat apabila:
·      Persetujuan telah dicapai oleh  para pihak (sesuai Chapter 2 UNIDROIT Principles[38]) dan tidak melanggar syarat-syarat sahnya kontrak (sesuai Chapter 3 UNIDROIT Principles[39]);
·      Telah memenuhi persyaratan- persyaratan sahnya kontrak yang ditetapkan di dalam kaidah-kaidah memaksa untuk sahnya kontrak yang berlaku pada hukum nasional atau hukum internasional.
Inti dari Pacta Sunt Servanda dalam Pasal 1.3. UNIDROIT Principles adalah sebuah kontrak dapat dirubah atau diakhiri kapanpun para pihak menyepakatinya. Jadi artinya, modifikasi atau pengakhiran kontrak tanpa ada kesepakatan hanya dapat diajukan sebagai alasan yang  sah apabila sesuai dengan persyaratan kontrak, atau bila secara tegas dimungkinkan di dalam prinsip-prinsip UNIDROIT Principles.
Walaupun Pasal 1.3 pada dasarnya berprinsip bahwa “Sebuah kontrak hanya mengikat para pihak pembuatnya”, namun UNIDROIT Principles mengakui adanya situasi-situasi tertentu di mana kaidah hukum nasional menentukan bahwa kontrak dapat membawa akibat hukum pada pihak ke-3.
Pada dasarnya prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT tidak secara tegas mencantumkan jual beli internasional sebagai objek dasar pengaturan. Hal ini dapat dilihat dari Purpose of the Principles yang terdapat dalam preamble UNDROIT, sebagai berikut:[40]
·      Berupaya untuk menciptakan suatu aturan yang berimbang. Dengan adanya aturan yang berimbang tersebut diharapkan para pihak yang terlibat dalam perdagangan internasonal yang berlatar belakang tingkat ekonomi dan sistem politik, bahkan sistem hukum yang berbeda dapat menggunakannya;
·      Tujuan lainnya yang juga penting adalah bahwa sistem UNIDROIT ini dapat digunakan oleh para pihak manakala mereka menemukan jalan buntu dalam menentukan hukum mana yang akan dipilih terhadap kontrak mereka. Kebuntuan ini karenanya dapat diselesaikan dengan kesepakatan para pihak untuk memilih prinsip kontrak UNIDROIT ini;
·      Adalah bahwa prinsip UNIDROIT dapat digunakan oleh para pihak untuk menafsirkan sesuatu hal (klausul) dalam kontrak yang menimbulkan sengketa karena adanya perbedaan penafsiran diantara para pihak;
·      Fungsi lainnya dari prinsip UNIDROIT ini adalah bahwa prinsip-prinsip hukum kontrak yang terdapat di dalamnya dapat dimanfaatkan sebagai pegangan bagi para pihak perancang hukum di negara-negara di dunia dalam merancang hukum kontraknya. Bahkan dalam preamble juga dinyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan perjanjian internasional lainnya yang dibuat setelah adanya prinsip UNIDROIT, untuk mengacu kepada prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT.
Tujuan dibuatnya prinsip-prinsip UNIDROIT adalah untuk menentukan aturan umum bagi kontrak komersial internasional. Prinsip ini berlaku apabila para pihak telah sepakat bahwa kontrak mereka tunduk pada prinsip tersebut dan pada prinsip hukum umum (general principles of law), lex mecantoria[41], dan sejenisnya.[42]
Prinsip-Prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang relevan dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu, prinsip-prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan dalam menafsirkan hukum kontrak yang tidak jelas. Apabila tidak ditemukan aturannya dalam hukum yang berlaku (governing law), maka prinsip-prinsip UNIDROIT dapat digunakan sebagai solusi, sehingga menjadi instrumen hukum tambahan karena prinsip-prinsipnya diambil dari kebiasaan dan praktik yang seragan dalam hukum internasional.[43]
Agar orang dapat memahami prinsip-prinsip UNIDROIT, maka para pembuatnya mengemukakan beberapa hal berikut ini[44]:
·      Tujuan pembuatan UNIDROIT Principles, adalah membentuk seperangkat aturan-aturan yang seimbang dan dapat digunakan di seluruh dunia, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan dalam tradisi hukum, dan kondisi ekonomi dan politik dari negara-negara yang menerapkannya;
·      Dikaitkan dengan substansinya UNIDROIT Principles umumnya bersifat fleksibel, mengikuti perkembangan-perkembangan ekonomi dan teknologi yang dapat mempengaruhi praktek perdagangan transnasional;
·      Dari segi bentuk formalnya, UNIDROIT Principles menghindarkan diri dari penggunaan terminologi yang dikenal di dalam beberapa sistem hukum tertentu saja;
·      Dari segi penegakannya UNIDROIT Principles sebagai suatu pranata yang tidak melibatkan persetujuan pemerintah negara-negara nasional, bukanlah merupakan suatu pranata yang mengikat (binding instrument), dan karena itu daya mengikatnya tergantung pada kewenangan persuasif yang ada di negara-negara tersebut. 
Terdapat prinsip-prinsip utama dalam UNIDROIT, yaitu prinsip kebebasan berkontrak, prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing), prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat, prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) atau melalui tindakan, prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk, prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan, prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku, prinsip syarat sahnya kontrak, prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity), prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku, prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship), prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur).[45]

1.   Prinsip kebebasan berkontrak
Prinsip kebebasan berkontrak begitu tercermin dalam pernyataan Pasal 1.1 UNIDROIT Principles yang merupakan dasar dari prinsip kebebasan berkontrak, sebagai berikut:
“The parties are free to enter into a contract and to determine its content”.
Prinsip ini ditekankan sebagai dasar dari prinsip perdagangan internasional.  Kebebasan disini adalah bebas untuk menyatakan dengan siapa pihak tersebut akan membuat kontrak, bebas menentukan barang yang akan diperdagangakan, bebas untuk melakukan negosiasi, bebas untuk memilih forum (choice of forum) maupun memilih hukum (choice of law) yang akan dipergunakan dalam kontrak.
Prinsip kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1.1 UNIDROIT Principles ini pada dasarnya menegaskan adanya kebebasan para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, sedangkan pengaturan di Indonesia tentang prinsip kebebasan berkontrak terdapat dalam ketentuan Pasal 1338  BW yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian di Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.[46]
Asas konsensualisme juga duanut oleh prinsip-prinsip UNIDROIT, sebagai prinsip dasar kontrak internasional. Kontrak internasional memang harus menganut asas konsensual karena dalam hubungan transaksi bisnis internasional para pihak tidak langsung bertemu secara fisik tetapi menggunakan berbagai sarana telekomunikasi. Dewasa ini berkembang berbagai sarana hukum kontrak yang memperjanjikan jual beli barang, yang barangnya sendiri belum ada tetapi harganya telah disepakati, bahkan sudah dibayar.[47]
Prinsip UNIDROIT bertujuan untuk mengharmonisasi hukum kontrak komersial di Negara-negara yang menerapkannya, sehingga materi terfokus pada persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian ruang lingkup yang diatur oleh Prinsip UNIDROIT adalah kebebasan berkontrak.[48] Dasar pemikirannya adalah bahwa apabila kebebasan berkontrak tidak diatur maka dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, maka akan hilanglah makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri.
Oleh karena itu UNIDROIT berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan hukum dan kepentingan ekonomi lainnya. Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam lima bentuk prinsip hukum, yaitu:

a.    Kebebasan menentukan isi kontrak;
Selain bebas untuk menentukan pihak dalam membuat kontrak, kebebasan berkontrak juga memperbolehkan pihak-pihak tersebut untuk memilih hukum yang akan mereka gunakan. Tidak adanya suatu paksaan dalam UNIDROIT untuk menggunakan hukum tersebut dalam setiap kontrak internasional yang dibuat, prinsip UNIDROIT pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun.[49]
Dari bentuknya, pilihan hukum dapat berupa pilihan secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu klausul kontrak, pilihan secara diam-diam atau tersirat, kesepakatan para pihak untuk menyerahkan pilihan hukum kepada pengadilan, dan ketetapan para pihak untuk tidak memilih atau membuat klausul pilihan hukum.[50]
Klausul pilihan forum (choice of forum) merupakan salah satu klausul yang cukup penting dalam pembuatan suatu kontrak, walaupun terkadang klausul ini sering tidak dicantumkan oleh para pembuat kontrak. Seperti halnya inti dari prinsip kebebasan berkontrak, penempatan klausul ini tergantung dari kesepakatan para pihak apakah akan menggunakan klausul tersebut dalam kontrak mereka.

b.   Kebebasan menentukan bentuk kontrak;
Prinsip-prinsip UNIDROIT menentukan kesederhanaan dalam pembuatan kontrak dengan menegaskan bahwa kontrak tidak perlu tertulis. Hal ini tercantum dalam Pasal 1.2 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:
“Nothing in these Principles requires a contract, statement or any other act to be made in or evidenced by a particular form. It may be proved by any means, including witnesses”.
Ketentuan yang menyatakan bahwa pembuatan kontrak ini dapat dilakukan secara tidak tertulis bisa terjadi karena berdasarkan sejarah adanya hukum perdagangan internasional yang disebabkan oleh hukum para pedagang yang sifatnya hukum kebiasaan atau lex mercatoria.
Kalimat pertama dari Pasal  1.2 UNIDROIT Principles tersebut memberi perhatian pada adanya sistem hukum nasional yang mewajibkan persyaratan formal untuk substansi kontrak atau untuk pembuktian adanya kontrak. Kalimat kedua menetapkan berlakunya kebebasan para pihak untuk menggunakan segala upaya untuk membuktikan adanya kontrak (termasuk  bukti lisan). Pembatasan terhadap Kebebasan Mengenai Bentuk Perjanjian :
·      Kebebasan para pihak dalam menentukan bentuk perjanjian dibatasi oleh hukum  yang seharusnya berlaku;
·      Artinya hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan Hukum Perdata Internasional (HPI) dapat menetapkan persyaratan tentang bentuk, baik yang menyangkut perjanjiannya atau pasal-pasal tertentu (kaitkan dengan Pasal 1.4.). Para pihak juga bebas untuk menentukan bentuk tertentu untuk penutupan, perubahan atau pengakhiran perjanjian.

Dalam masa ini, para pedagang sendiri yang menentukan bentuk dan isi kontrak yang mereka sepakati, karenanya lex mercatoria sebenarnya adalah lembaga hukum yang tumbuh karena adanya kebutuhan para pedagang guna menuangkan kesepakatan yang telah dicapai diantara mereka. Hannu Honka[51] menggambarkan kehadiran lembaga hukum ini dengan uraian, sebagai berikut:
“Lex Mercatoria does not devire its authority from formal legislative activities, such as conventions, but rather from acceptance of the need for a basic international order in contract law. It includes general principles of contract law”
Seiring dengan perkembangan waktu yang menyebabkan berkembangnya pula transaksi di bidang perdagangan internasional memberi dampak terhadap bentuk kontrak perdagangan. Banyaknya hal-hal yang harus diatur dan pembatasan-pembatasan yang disepakati oleh para pihak menyebabkan bentuk kontrak secara tidak tertulis menjadi mustahil untuk digunakan.
Adanya prinsip kebebasan para pihak untuk berkontrak (party autonomy) didukung oleh kemajuan teknologi memberikan peluang semakin berkembangnya bentuk kontrak yang digunakan oleh para pihak. Prinsip kebebasan berkontrak ini adalah prinsip yang dapat menembus formalitas-formalitas dan dengan prinsip inilah hukum kontrak internasional berkembang dengan pesat dan member peluang untuk para pihak secara kreatif menemukan bentuk kontrak kontrak dengan berbagai variannya.
Secara umum dari segi bentuknya, kontrak internasional dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikut:[52]
·      kontrak awal (pra kontrak atau Memorandum of Understanding-MoU);
·      kontrak di bidang jual beli barang dan jasa;
·      kontrak di bidang perwakilan (Agency and Distributorship Agreement);
·      kontrak di bidang waralaba;
·      kontrak di bidang lisensi dan alih teknologi;
·      kontrak di bidang usaha patungan (Joint Ventures Contract);
·      kontrak di bidang pembangunan ekonomi (Economic Development Agreement).

c.    Kontrak mengikat sebagai undang-undang;
Perjanjian yang sah adalah mengikat para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau diakhiri sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan atau ditentukan sebaliknya dalam, hal ini tertuang dalam Pasal 1.3 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:
A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be modified or terminated in accordance with its terms or by agreement or as otherwise provided in these Principles”.
Dalam melakukan analisa terhadap pelaksanaan kontrak (performance of contract), sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) masalah hukum, sebagai berikut:[53]
·      Apakah telah dilakukan pelaksanaan kontrak sepenuhnya. Hal ini tergantung dari apakah sudah dilaksanakan syarat kontrak. Jika terpenuhi, berarti kontrak telah sukses dan selesai;
·      Adakalanya terjadi ingkar janji oleh dalah satu pihak, maka perlu dilihat apakah ingkar janji itu ada alasan pemaafnya. Alasan pemaaf dapat berupa karena berlakunya klausul eksemsi (effect of exception clauses), terjadinya perubahan atau pengakhiran kontrak dengan persetujuan (variation or termination by agreement), dan pengakhiran kontrak karena kegagalan;
·      Apakah telah terjadi pelanggaran kontrak. Hal ini perlu dilihat dari syarat kontrak, pelaksanaannya, penyelesaian perselisihan, dan anti rugi bagi pihak yang tak bersalah.
Kebanyakan sistem hukum mengakui bahwa konsekuensi dari prinsip kebebasan berkontrak berarti para pihak bebas untuk memasukan klausul yang mewajibkan mereka melakukan renegosiasi kontrak apabila terjadi perubahan keadaan yang mengakibatkan kesulitan. Keberatan sementara orang terhadap klausul itu karena menimbulkan ketidakpastian hukum.[54]
Jika para pihak sepakat untuk mengadakan renegosiasi maka dapat terjadi 3 (tiga) kemungkinan. Pertama, mereka mungkin sepakat bahwa kontrak yang ada dikesampingkan dan kemudian menegosiasi kesepakatan yang seluruhnya baru. Kedua, mereka membatalkan persyaratan kontrak yang lama dan menggantinya dengan yang baru, cara ini dikenal dengan istilah novasi (novation). Ketiga, mereka membiarkan kontrak yang ada tetapi mengubah beberapa syaratnya yang disebut variation dari kontrak asli.[55]
Hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:[56]
·      Hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya;
·      Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.

d.   Aturan memaksa sebagai pengecualian
Walaupun sesuai dengan Pasal 1.1 UNIDROIT Principles dan Pasal 1338 BW ditegaskan adanya jaminan atas kebebasan berkontrak, tetapi untuk tetap menjamin ketertiban umum dan kepentingan nasional, tidak boleh dilupakan pula aturan memaksa sebagai pengecualian. Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan tempat bagi aturan yang memaksa (mandatory rules) baik yang berasal dari hukum domestik, maupun dari hukum internasional yang dapat menghalangi kebebasan berkontrak,[57] hal ini terdapat dalam Pasal 1.4 UNIDROIT Principles:
“Nothing in these Principles shall restrict the application of mandatory rules, whether of national, international or supranational origin, which are applicable in accordance with the relevant rules of private international law”.
Tidak ada satu ketentuan pun dalam UNIDROIT Principles yang dapat menghalangi penerapan aturan-aturan memaksa, baik berasal dari national, internasional maupun supranasional, yang dipakai sesuai dengan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang relevan. Kaidah-kaidah hukum memaksa (mandatory  rules)  yang diberlakukan oleh negara dalam hukum nasionalnya, atau untuk melaksanakan suatu konvensi internasional, atau yang digunakan oleh sebuah organisasi internasional, tidak dapat dikesampingkan oleh asas-asas UNIDROIT Principles.
Bila para pihak memasukkan prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai syarat dalam kontrak maka syarat-syarat itu tidak dapat mengesampingkan kaidah memaksa dari lex cause  atau lex fori  atau negara ketiga yang memiliki kaitan yang erat dengan kontrak. Bila (khususnya dalam proses pengadilan dan/atau arbitrase) asas-asas UNIDROIT Principles diberlakukan sebagai hukum yang berlaku, maka UNIDROIT Principles tidak dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa dari sistem hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan pendekatan HPI.
Ada beberapa kategori aturan yang dianggap sebagai hukum yang memaksa oleh prinsip-prinsip UNIDROIT, yaitu:[58]
·      Aturan hukum memaksa yang berlaku dalam prinsip-prinsip UNIDROIT sendiri;
·      Aturan memaksa yang berlaku apabila prinsip-prinsip UNIDROIT dipilih sebagai hukum yang mengatur kontrak;
·      Aturan memaksa berdasarkan HPI yang relevan.
Dalam Pasal 1.5 UNIDROIT Principles menyatakan:
“The parties may exclude the application of these Principles or derogate from or vary the effect of any of their provisions, except as otherwise provided in the Principles”
Dari ketentuan di atas dapat ditarik tiga unsur pokok, yaitu:
·      Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai pilihan hukum dan tidak bersifat memaksa;
·      Penggunaan prinsip-prinsip UNIDROIT dapat dikesampingkan atau dimodifikasi baik secara tegas, atau diam-diam;
·      Apabila para pihak sudah menundukan diri pada prinsip-prinsip UNIDROIT, maka mereka harus tunduk pada aturan yang memaksa dari prinsip-prinsip hukumnya.

e.    Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran kontrak, yaitu:[59]
·      Penafsiran prinsip-prinsip UNIDROIT berbeda dengan penafsiran terhadap kontraknya;
·      Dalam menafsirkan prinsip-prinsip UNIDROIT harus memperhatikan sifat internasional dan tujuannya;
·      Dimungkinkan adanya penambahan terhadap ketentuan dari prinsip-prinsip UNIDROIT.
 Karena tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dalam rangka upaya harmonisasi, maka ketika melakukan penafsiran harus memperhatikan sifat internasional, sehingga dalam memahami istilah dan konsep yang dipakai haruslah dilihat secara otonom, misalnya tidak menggunakan terminologi yang digunakan dalam hukum domestik tertentu. Sebab prinsip-prinsip UNIDROIT merupakan hasil studi komparatif dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum dan budaya yang berbeda, sehingga substansinya merupakan hasil kompromi dari berbagai sistem hukum. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal 1.6 ayat (1) UNIDROIT Principles, sebagai berikut:
“In the interpretation of these Principles, regard is to be had to their international character and to their purposes including the need to promote uniformity in their application”

2.   Prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
Walaupun dinyatakan bebas untuk menentukan isi kontrak, tetapi segala hal yang dicantumkan di dalam kontak tersebut harus berdasarkan dengan prinsip bonafide. Berdasarkan prinsip ini, apa yang telah disepakati para pihak, maka kesepakatan itu harus dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik.[60] Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT Principles mengenai Good Faith and Fair Dealing, sebagai berikut:
“(1) Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade; (2)The parties may not exclude or limit this duty.”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT Principles tersebut, ada tiga unsur itikad baik dan transaksi jujur, yaitu:
1.   Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak;
2.   Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UNIDROIT ditekankan pada praktek perdagangan internasional;
3.   Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.
Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing, contohnya :[61]
·         seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;
·         suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
·         apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.

3.      Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat
Dalam hal ini, UNIDROIT memberikan pedoman bagaimana hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam Pasal 1.8 UNIDROIT Principles:
“A party cannot act inconsistently with an understanding it has caused the other party to have and upon which that other party reasonably has acted in reliance to its detriment”
Ketentuan di atas mengandung hal-hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa:
·      Praktek kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;
·      Praktek kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;
·      Praktek kebiasaan yang disepakati;
·      Praktek kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;
·      Praktek kebiasaan yang tidak benar;
·      Praktek kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum.
Apabila praktek kebiasaan telah disepakati untuk diberlakukan terhadap suatu transaksi, maka hukum kebiasaan akan mengesampingkan ketentuan umum yang bertentangan dengan kebiasaan itu. Alasannya adalah karena hukum kebiasaan setempat mengikat para pihak sebagai syarat-syarat yang mengatur kontrak secara keseluruhan. Pengecualian diberikan hanya terhadap ketentuan yang bersifat memaksa.[62]

4.      Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
Hal ini tertuang dalam Pasal 2.1.1 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:
“A contract may be concluded either by the acceptance of an offer or by conduct of the parties that is sufficient to show agreement”
Inti dari ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:
·      penawaran dan penerimaan;
·      perilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dengan tercapainya kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan kontrak. Konsep tentang penawaran dan penerimaan digunakan untuk menentukan apakah dan kapankah para pihak telah mencapai kata sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi yang cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan penerimaannya, sehingga sulit untuk menentukan kapan kata sepakat itu terjadi.[63]

5.      Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
Larangan untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk dalam Pasal 2.15 UNIDROIT Principles tentang Negotiation in Bad Faith, sebagai berikut:
“(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement; (2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the other party; (3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party”.
Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :[64]
·      Kebebasan negosiasi;
·      Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
·      Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

6.      Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan
Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada kemungkinan mereka memanfaatkan rahasia tersebut untuk keuntungannya. Pasal 2.1.16 UNIDROIT Principles mengatur kewajiban menjaga kerahasiaan:
“Where information is given as confidential by one party in the course of negotiations, the other party is under a duty not to disclose that information or to use it improperly for its own purposes, whether or not a contract is subsequently concluded. Where appropriate, the remedy for breach of that duty may include compensation based on the benefit received by the other party”
Dari ketentuan dia atas, dapat disimpulkan bahwa para pihak pada dasarnya tidak wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada informasi yang memiliki sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan dimungkinkan adanya kerugian yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan bahwa  informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan kata lain, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan informasi mana yang bersifat rahasia dan tidak.



7.      Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku
Praktek menggunakan kontrak baku dapat dilihat dalam Pasal 2.1.19  UNIDROIT Principles, yaitu:
“(1) Where one party or both parties use standard terms in concluding a contract, the general rules on formation apply, subject to Articles 2.1.20 - 2.1.22. (2) Standard terms are provisions which are prepared in advance for general and repeated use by one party and which are actually used without negotiation with the other party”
Pasal dia atas mengandung ketentuan, sebagai berikut:
·         Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat baku, maka berlaku aturan umum tentang pembentukan kotrak dengan tunduk pada UNIDROIT Principles Pasal 2.1.20 sampai 2.1.22[65];
·         Syarat baku merupakan aturan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak yang secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lain.

8.      Prinsip syarat sahnya kontrak
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3.1 UNIDROIT Principles, yaitu:
“These Principles do not deal with invalidity arising from (a) lack of capacity; (b) immorality or illegality”
 Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip UNIDROIT tidak mengatur ketidakabsahan yang timbul dari tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki kewenangan, amoralitas dan ilegalitas.
Tidak mungkin semua dasar syarat sahnya kontrak yang ditemukan dalam berbagai sistem hukum nasional dipakai dalam ruang lingkup prinsip UNIDROIT. Alasan pengecualian ini mengingat baik karena kompleksitas yang melekat pada masalah status, kewenangan, dan kebijaksanaan publik serta perbedaan yang ekstrem mengenai bagaimana hal itu diberlakukan dalam hukum domestik.[66]

9.      Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity)
Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) serta prinsip keseimbangan dan keadilan. Hal ini dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya sistem aturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Prinsip-prinsip UNIDROIT mengaturnya dalam Pasal 3.10 UNIDROIT Principles:
“(1) A party may avoid the contract or an individual term of it if, at the time of the conclusion of the contract, the contract or term unjustifiably gave the other party an excessive advantage. Regard is to be had, among other factors, to (a) the fact that the other party has taken unfair advantage of the first party’s dependence, economic distress or urgent needs, or of its improvidence, ignorance, inexperience or lack of bargaining skill, and (b) the nature and purpose of the contract.
(2) Upon the request of the party entitled to avoidance, a court may adapt the
contract or term in order to make it accord with reasonable commercial standards of fair dealing.
(3) A court may also adapt the contract or term upon the request of the party
receiving notice of avoidance, provided that that party informs the other party of its request promptly after receiving such notice and before the other party has reasonably acted in reliance on it. The provisions of Article 3.13(2) apply accordingly”
Salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan berlebihan dan secara tidak sah kepada salah satu pihak. Keadaan demikian didasarkan pada:
·      Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau dari keborosan, ketidaktahuan, kekurangpahaman atau kekurangahlian dalam tawar menawar;
·      Sifat dan tujuan dari kontrak.
Atas permintaan pembatalan kontrak oleh pihak yang berhak, pengadilan dapat mengubah kontrak atau syarat tersebut agar sesuai dengan standar komersial yang wajar dari transaksi yang jujur. Pengadilan dapat juga mengubah seluruh kontrak atau sebagian syaratnya atas permintaan pihak yang menerima pemberitahuan pembatalan. Pemohon harus memberitahu pihak lain tentang permohonannya tersebut.[67]
Adanya perbedaan yang besar mengenai keuntungan yang tidak dibenarkan, hal ini disebabkan oleh posisi tawar yang seimbang, sifat dan tujuan dari kontrak, dan faktor-foktor lain sehingga menimbulkan hak untuk membatalkan atau mengubah kontrak tersebut.

10.  Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku
Pengaturan penafsiran kontrak diatur dalam UNIDROIT Principles Chapter 4 dengan delapan pasal (Pasal 4.1 sampai dengan 4.8). Pasal 4.6 menyatakan:
“If contract terms supplied by one party are unclear, an interpretation against that party is preferred”
Ketentuan ini menyatakan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas, maka penafsiran yang berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan.
Para pihak harus bertanggung jawab atas rumusan syarat kontrak, baik kontrak yang dirancang sendiri maupun karena adanya pengajuan syarat-syarat terhadap kontrak tersebut. Misalnya dengan menggunakan syarat baku yang dipersiapkan terlebih dahulu, terkadang pihak pembuat diharuskan menanggung resiko atas ketidakjelasan rumusan yang dibuatnya.
Hal ini merupakan alasan mengapa pasal tersebut menentukan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas. Maka diberikan preferensi penafsiran yang berlawanan dengan pembuat syarat baku tersebut. Cara pemberlakuan aturan ini akan bergantung pada hal-hal sebagai berikut:[68]
·      Keadaan dari kasus yang dihadapi;
·      Sifat kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi lebih lanjut  antara para pihak;
·      Pembenaran untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat klausul baku tersebut.
Kontrak komersial internasional sering dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang dapat mempertemukan butir-butir tertentu. Terkadang para pihak menentukan versi mana yang dapat diberlakukan jika terjadinya perbedaan penafsiran. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal 4.7[69] UNIDROIT Principles mengenai linguistic discrepancies yang menentukan bahwa apabila kontrak dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang semuanya berlaku, jika terjadi pertentangan diantaranya maka prioritas penafsiran digunakan menurut versi asli dari kontrak itu.
Selanjutnya dalam Pasal 4.8 UNIDROIT Principles mengenai supplying an omitted term menyatakan bahwa apabila para pihak dalam kontrak tidak sepakat atas suatu syarat yang penting dalam menentukan hak dan kewajiban mereka, maka harus dipilih syarat yang paling tepat dengan keadaan tersebut. Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menentukan syarat-syarat yang tepat, sebagai berikut:
·      Kehendak para pihak;
·      Sifat dan tujuan dari kontrak;
·      Itikad baik dan transaksi wajar;
·      Kelayakan.
Jika keinginan para pihak tidak ditentukan secara jelas, syarat yang diajukan dapat ditentukan sesuai dengan sifat dan tujuan dari kontrak tersebut. Hal ini dengan tetap memperhatikan prinsip itikad baik dan transaksi jujur serta kewajaran.

11.  Prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship)
Ketentuan tentang hardship dibedakan dengan ketentuan tentang force majeur. Ketentuan tentang hardship ini tertuang dalam Section 2, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal.[70] Dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT Principles menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan tentang hardship. Ketentuan ini menentukan dua hal pokok, yaitu sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum dan perubahan keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.[71]
Prinsip mengikatnya kontrak bagaimana pun juga bukan suatu yang absolut. Apabila terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan yang dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship.
Pasal 6.2.2 UNIDROIT Principles memberikan definisi tentang peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hardship, yaitu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu:
·      Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;
·      Peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;
·      Peristiwa terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
·      Resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
Unsur hardship tertuang dalam Pasal 6.2.2 (a) sampai dengan (d) UNIDROIT Principles, yaitu perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental, meningkatnya ongkos pelaksanaan kontrak, dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang harus diterima oleh salah satu pihak.
Menurut prinsip umum, adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak, oleh karena itu adanya hardship tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.[72]
Definisi hardship dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT Principles lebih bersifat umum, sedangkan kontrak komersial internasional seringkali memuat aturan yang konkret dan terperinci. Para pihak dapat saja merubah isi aturan kontrak dalam rangka menyesuaikannya dengan keadaan khusus dari transaksi. Akibat hukum dari peristiwa ini dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UNIDROIT Principles sebagai berikut:
·      Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukan dasar-dasarnya;
·      Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;
·      Apabila para pihak gagal untuk mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;
·      Apabila pengadilan membuktikan adanya hardship maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti, atau dapat pula mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.

12.  Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur)
Pembahasan tentang force majeur ini terdapat dalam Pasal 7.1.7 UNIDROIT Principles[73], pasal ini mengatur tentang keadaan memaksa dengan menyatakan antara lain, sebagai berikut:[74]
·      Force majeur yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dimaafkan apabila pihak tersebut dapat membuktikan bahwa force majeur tersebut disebabkan oleh suatu rintangan di luar pengawasannya dan hal itu secara wajar tidak diharapkan akan terjadi;
·      Apabila rintangan hanya bersifat sementara, maka pemberian maaf akan berakibat hukum atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari rintangan pelaksanaan kontrak tersebut;
·      Pihak yang gagal melaksanakan kontrak harus memberipemberitahuan kepada pihak lainnya tentang rintangan dan akibat terhadap kemampuannya untuk melaksanakan kontrak. Jika pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang wajar, setelah pihak yang gagal melaksanakan mengentahui atau seharusnya telah mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggung jawab atas kerugian akibat dari tidak diterimanya pemberitahuan tersebut;
·      Pasal ini tidak mencegah salah satu pihak untuk menggunakan haknya mengakhiri kontrak, menahan pelaksanaan kontrak, atau meminta pembayaran bunga atas uang yang telah jatuh tempo.



BAB III
PENERAPAN PRINSIP UNIDROIT MELALUI HUKUM NASIONAL INDONESIA

A.       Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk.[75]
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah:
·      untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya;
·      untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara; meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
·      meningkatkan lapangan tenaga kerja.
·      untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara;[76] dan
·      meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.[77]
Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.
Untuk memenuhi setiap keperluan dalam negaranya, tiap negara seringkali melakukan perdagangan (perdagangan internasional). Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:[78]
·      Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri;
·      Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri;
·      Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
·      Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
Era globalisasi membawa pengaruh dalam hukum internasional yakni semakin kuatnya kecenderungan kearah harmonisasi hukum. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melakukan reformasi hukum, termasuk di bidang hukum perdagangan. Pembaharuan hukum ini diharapkan dapat lebih mendorong investor dan pelaku bisnis asing melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia dan pada gilirannya dapat menggerakan perekonomian negara.[79]
Harmonisasi hukum dibidang perdagangan dan bisnis ini menjadi kebutuhan yang semakin mendesak, karena dalam era globalisasi transaksi bisnis international semakin meningkat intensitasnya maupun kompleksitasnya. Sehingga bagi pelaku bisnis internasional diperlukan pedoman yang dapat dijadikan sebagai pegangan yang pasti dalam transaksi-transaksinya.[80]
 Adapun peraturan-peraturan hukum yang berbeda antara satu negara dengan negara lain menimbulkan resiko-resiko tambahan tertentu dalam transaksi bisnis international. Disamping itu transaksi international berhadapan dengan berbagai peraturan pemerintah lebih dari satu negara, dan transaksi bisnis international tunduk pada lebih dari satu hukum yang berbeda. Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang kuat dalam batas-batas kemampuannya untuk selalu terbuka melakukan kerjasama baik dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi international termasuk UNIDROIT, dalam upaya mewujudkan suatu unifikasi dan harmonisasi  hukum, terutama dibidang hukum dan bisnis.[81]
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.[82]
Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.[83]
Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:[84]
"Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstacle to the development of world trade."
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka. Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.[85] Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional.[86]
Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistemsistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.[87]
Harmonisasi hukum tidak sedalam unifikasi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).[88]
Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya. Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya.Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.[89]
Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan perjanjian/konvensi internasional (international convention); penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam hukum seragam (uniform laws); dan aturan seragam (uniform rules). [90]
Dengan berjalannya pembangunan hukum secara bersama-sama, jika negara menggunakan prinsip yang seragam, diharapkan akan tercapai suatu harmonisasi di bidang hukum perdagangan internasional ini. Terdapat beberapa alasan perlunya memperhatikan hukum perdagangan internasional yang terdapat dalam UNIDROIT, antara lain:
·      Pertama, hampir semua negara di dunia (sampai sekarang jumlah negara yang melakukan ratifikasi terhadap Konvensi UNIDROIT berjumlah 63 negara) dalam melakukan pembaruan terhadap hukum kontraknya;
·      Kedua, prinsip-prinsip UNIDROIT telah memperhitungkan persoalan pembangunan yang sering dialami oleh negara-negara berkembang, hal ini dapat dilihat dari adanya gross disparity dan prinsip hardship. Hal ini sangat penting, khususnya bagi kontrak jangka panjang;
·       Ketiga, prinsip-prinsip UNIDROIT memperhatikan perlindungan pada pihak yang posisinya lemah dalam membuat kontrak. Hal ini terlihat dalam prinsip perlindungan pihak yang lemah dalam syarat-syarat baku dengan cara terdapat pembelaan diri bagi pihak yang bukan pembuat kontrak baku terhadap kontrak yang tidak seimbang;
·      Keempat, prinsip kebebasan berkontrak dibatasi dengan hukum yang memaksa (mandatory rules) demi kepentingan umum;
·      Kelima, prinsip-prinsip UNIDROIT bersifat praktis karena penyusunannya mengakomodasi kepentingan praktek yang dapat menjembatani berbagai kendala perbedaan sistem hukum;
·      Keenam, prinsip UNIDROIT mengatur tanggung jawab prakontrak, sehingga itikad baik harus sudah berlaku sejak saat dilakukannya proses negosiasi.

B.       Mandatory Rules dalam Hukum Nasional
Untuk melakukan hubungan internasional, diperlukan suatu perjanjian internasional. Cara mengikatkan diri suatu negara ke dalam suatu perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu negara. Terdapat dua  sistem, yaitu Civil Law system atau Common Law System. Di dalam sistem hukum Civil Law, penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self implementing legislation). Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum Common Law, penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional (self-implementing legislation). [91]
Bagi Indonesia yang masih menganut sistem hukum "Civil Law", pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. [92]
Peratifikasian suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar penerapannya di dalam praktik. Namun demikian dalam proses legislasi di Indonesia, peratifikasian tersebut diwujudkan dalam suatu "Undang-undang Pengesahan". Implementasi undang-undang ratifikasi (pengesahan) tersebut masih harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalam hal objek perjanjian internasional telah dimuat sebagian atau seluruhnya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasi tersebut akan melahirkan suatu undang-undang tentang Perubahan. Jika objek perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di sistem hukum nasional maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru.[93]
Seperti telah dikatakan sebelumnya, walaupun Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi UNIDROIT, tetapi penggunaan konvensi tersebut dalam hukum nasional merupakan pilihan dan negara masih memiliki kewenangannya untuk melakukan pembatasan terhadap perdagangan atau kerjasama yang dianggap memegang peranan penting terhadap negara. Hal ini tercermin dalam pembatasan terhadap Freedom of Contract, sebagai berikut:
·      Sektor ekonomi dimana tidak ada kompetisi
Di dalam sektor-sektor ekonomi di mana negara berwenang menetapkan kebijaksanaan yang mengecualikan sektor-sektor itu dari persaingan, demi kepentingan umum. Dalam beberapa kasus, barang dan jasa hanya dapat disediakan oleh supplier tertentu, yang biasanya badan publik;
·      Pembatasan oleh hukum yang memaksa (mandatory rules)
Hal ini dapat dilihat juga di dalam Pasal 1.4 UNIDROIT Principles.          
Mandatory rules yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mencerminkan bahwa sebagai negara yang telah menjadi anggota UNIDROIT, Indonesia tetap memiliki kedaulatannya untuk membuat suatu perundang-undangan sendiri. Beberapa ketentuan yang mencerminkan prinsip mandatory rules antara lain terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, sebagai berikut:

1.   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pada dasarnya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) dibuat untuk mewujudkan demokrasi dalam bidang ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Selain itu, undang-undang ini pula diharapkan dapat menciptakan situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.[94]
Hal inilah yang menjadi dasar adanya pembatasan prinsip kebebasan berkontrak. Pertimbangan tidak boleh dilakukannya monopoli[95] dan persaingan usaha tidak sehat[96] menjadikan pihak yang melakukan perjanjian tidak sepenuhnya bebas mengatur usaha mereka. Walaupun hal ini dirasakan membatasi kegiatan berusaha, tetapi dengan pertimbangan adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam perekonomian, pemerintah merasakan perlu untuk melakukan pembatasan ini. UU No. 5 Tahun 1999 mengakui adanya perjanjian[97] baik itu dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk tidak tertulis sesuai dengan ketentuan Pasal 1.2 UNIDROIT.
Pembatasan terhadap prinsip kebebasan berkontrak dalam UU No. 5 Tahun 1999 tercermin jelas dalam Bab III mengenai Perjanjian yang Dilarang dan Bab IV mengenai Kegiatan yang Dilarang. Bentuk perjanjian yang dilarang, yaitu oligopoli[98], penetapan harga[99], pembagian wilayah[100], pemboikotan[101], kartel[102], trust[103], oligopsoni[104], integrasi vertikal[105], perjanjian tertutup[106], dan perjanjian dengan pihak luar negeri[107]. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang, yaitu monopoli[108], monopsoni[109], penguasaan pasar[110], dan persekongkolan[111].
Jika diamati lebih jauh, pembatasan ini diciptakan antara lain untuk melindungi konsumen. Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui kontrak yang mereka buat akan berdampak pula pada konsumen dimana kontrak tersebut dijalankan. Mengingat pentingnya pelaksanaan perdagangan (usaha) yang baik, maka undang-undang ini pun mengamanatkan untuk membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Keberadaan KPPU di masyarakat diharapkan dapat menjamin hal-hal, antara lain konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker, adanya keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan, terjadinya fisiensi alokasi sumber daya alam, konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya yang lazim ditemui pada pasar monopoli, kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya, menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi, membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak, dan menciptakan inovasi dalam perusahaan.[112]

2.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Salah satu pembatasan prinsip kebebasan berkontrak terhadap pembuatan kontrak perdagangan yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) adalah mengenai klausula baku[113]. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.[114]
Pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku pada suatu dokumen dan/atau perjanjian apabila memuat hal-hal sebagai berikut:[115]
·      Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
·      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
·      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen, menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
·      Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
·      Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
·      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
·      Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

3.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 7 yang mengakui adanya perjanjian baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk tidak tertulis, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU No. 24 Tahun 2000) hanya mengakui perjanjian dalam bentuk tertulis.[116]Hal ini dikarenakan Indonesia menurut undang-undang ini menyatakan mengikat diri pada perjanjian internasional salah satunya melalui penandatangan, pengesahan, dan pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik.[117]
Perlu diperhatikan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Sesuai dengan pernyataan dalam Pasal 1 angka 2 mengenai pengesahan[118], Indonesia telah ikut meratifikasi Konvensi UNIDROIT, tetapi pengesahan tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), maka dapat dikatakan bahwa Indonesia harus mematuhi semua ketentuan yang terdapat dalam Konvensi UNIDROIT tersebut.
Walaupun sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia dituntut untuk dapat mematuhi semua peraturan internasional, tetapi dengan adanya prinsip reservasi[119],  Indonesia dapat menyatakan untuk mengecualikan suatu aturan yang dirasakan belum dapat dilakukan. Pernyataan ini tentunya harus langsung diutarakan pada saat akan menandatangani suatu perjanjian.
Persyaratan lain yang diutarakan dalam undang-undang ini adalah tentang pengesahan perjanjian. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[120]

4.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
Pada dasarnya pengaturan undang-undang ini bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.[121]
Hal yang akan dibahas sebagai mandatory rules dalam undang-undang ini adalah mengenai penggunaan bahasa dalam membuat kontrak perdagangan internasional. Dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi[122] negara,[123] termasuk dalam hal ini adalah surat perjanjian (kontrak perjanjian).
Selanjutnya diperjelas dalam Pasal 31 ayat (1) bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan bahwa Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Ketentuan lain yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak jual beli adalah pernyataan dalam Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.







BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan keterangan yang  telah diuraikan dalam laporan ini, maka dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1.      Pada dasarnya Indonesia melakukan ratifikasi Konvensi UNIDROIT melalui  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata) untuk mengakui adanya proses pengharmonisasian terhadap hukum perdata sebagai pengakuan Indonesia pada perdagangan internasional dan pentingnya hukum untuk menunjang perdagangan tersebut;
2.      Walaupun melalui Indonesia telah menyatakan meratifikasi dan bergabung dalam Konvensi UNIDROIT, tetapi hal ini tidak menyebabkan Indonesia kehilangan sebagian dari kedaulatannya, karena pada dasarnya ketentuan UNIDROIT Principles bersifat sukarela dan dalam UNIDROIT Principles tersebut juga menganut prinsip mandatory rules sebagai prinsip yang mengakui adanya kekuatan memaksa dari hukum nasional.

B.     Saran
1.      Perlu adanya pengharmonisasian peraturan di Indonesia agar dapat lebih menunjang kegiatan perdagangan dan mendukung kegiatan perdagangan internasional;
2.      Peraturan di Indonesia dalam pembuatannya harus mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan internasional yang seringkali digunakan atau tercantum dalam konvensi perdagangan internasional, hal ini bertujuan agar hukum Indonesia dapat mengimbangi hukum perdagangan internasional yang ada.



[1] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 9.
[2]Latar belakang dibuatnya konvensi semata-mata karena adanya beberapa faktor yang berpengaruh cukup penting terhadap pembentukan atau lahirnya CISG 1980. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Meningkatnya transaksi perdagangan internasional. Faktor atau perkembangan yang cukup penting adalah semakin meningkatnya transaksi perdagangan oleh masyarakat bangsa-bangsa, khususnya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perdagangan ini yang sifatnya lintas batas dirasa perlu sebagai ‘topik’ yang harus pertama-tama dibahas ‘dalam suatu konvensi yang menyeluruh. 2. Adanya perbedaan sistem hukum di dunia. Faktor kedua adalah karena adanya berbagai macam sistem hukum yang berbeda-beda yang mengatur kontrak perdagangan. Adanya pluralisme hukum kontrak ini dipandang tidak begitu kondusif bagi perdagangan internasional. Karenanya masyarakat internasional merasakan kebutuhan adanya suatu perangkat hukum kontrak yang harmonis (seragam). Pandangan ini yang menjadi latar belakang lahirnya Konvensi tersurat dalam preamble Konvensi. Preamble antara lain menyatakan: “Being of the opinion that the adoption of uniform rules which govern contracts for the international sale of goods and take into account the different social, economic and legal system would contribute to th removal of legal barriers in international trade and promote the development of international trade, ...”. 3. Kelemahan dua Konvensi Den Haad 1964. Ketiga adalah adanya kecaman terhadap 2 konvensi terdahulu tentang kontrak internasional yang telah dibuat sejak tahun 1964 (konverensi diplomatik di Den Haag) oleh the International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), yaitu: a. Konvensi tentang hukum yang berlaku terhadap jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law of the International Sales of Goods atau ULIS), dan b. Konvensi tentang pembentukan kontrak jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts for the International Sales of Goods).
[3] Huala Adolf, op. cit., hlm. 93.
[4]Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Laporan Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 295.
[5]Soerjono Soekanto, Pengantar Laporan Hukum, Cetakan Ketiga, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2007, hlm. 12.
[6]Bambang Sunggono, Metodologi Laporan Hukum, Cetakan Ketujuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Januari 2005, hlm. 113.
[7]Ibid., hlm. 144.
[8]Ibid.
[9] Huala Adolf, op.cit., hlm. 20.
[10] Ibid., hlm. 20.
[11] Ibid., hlm. 21.
[12] Ibid., hlm. 22.
[13] Ibid., hlm. 23.
[14] Ibid., hlm. 23.
[15] Ibid., hlm. 23.
[16] Pasal 1338 BW.
[17] Misalnya Pasal 1338 BW menyatakan bahwa Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pembuatnya yang berarti proses pembuatan kontrak dapat dianalogikan dengan proses pembuatan undang-undang walaupun dalam pengertian mikro.
[18] Taryana Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa  Bisnis Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 17.
[19] Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional: Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 214.
[20] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 41.
[21] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[22] Taryana Soenandar, op. cit., hlm. 24
[23] Ibid., hlm. 8
[24] Ibid., hlm. 15.
[25] Namun, kata “seragam” dikritik bahwa sulit untuk mewujudkan suatu hukum perdata yang seragam dan berlaku di berbagai Negara. Menurut Alan D. Rose mengatakan bahwa lebih tepat digunakan istilah “harmonisasi”. Lihat Alan D. Rose,The Chalenges for Uniform Law in the Twenty-First Century, Uniform Law Rview, NS-Vol.1, 1996, hlm. 9-25 . Sedangkan pakar lain, Berthold Goldman mendefinisikan lex mercatoria sebagai: a set of principles and customary rules spontaneously referred to or elaborated in a framework of international trade, without reference to a particular national system of law. Lihat Vanessa L.D Wilkinson, The New Lex Mercatoria, Reality or Academic Fantasy?, Journal of International Arbitration, Vol,2 No. 2, Juni, 1995 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

[26] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[27] Lihat Chia-Jui Cheng, dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op.cit.
[28] Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Raja Grafindo, Jakarta, 2003 hlm. 33.
[29] Lihat Katarina Pistor, dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op.cit.
[30]L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,1996, hlm. 155.
[31] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op. cit.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ketentuan-ketentuan Umum UNIDROT Principles terdiri dari 12 artikel: 1.1 Freedom Of Contract, 1.2 No Form Required, 1.3 Binding Character Of Contract, 1.4 Mandatory Rules, 1.5 Exclusion Or Modification By The Parties, 1.6 Interpretation And Supplementation Of The Principle, 1.7 Good Faith And Fair Dealing, 1.8 Inconsistent Behavior, 1.9 Usage And Practices, 1.10 Notice, 1.11 Definitions, 1.12 Computation Of Time Set By Parties.
[36] Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut“Commercial Law”)dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op. cit.
[37] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op. cit.
[38] Lihat Chapter 2 UNIDROIT Principles mengenai Formation And Authority Of Agents.
[39] Lihat Chapter 3 UNIDROIT Principles mengenai Validity.
[40] Ibid,. hlm. 88.
[41] Lex mercatoria atau disebut juga hukum pedagang dapat juga dijelaskan sebagai sistem prinsip dan peraturan nasional yang umumnya diterima dalam perdagangan internasional. Hal ini termasuk kebiasaan perdagangan secara internasional karena mereka sudah menjadi bagian dari kontrak perdagangan internasional baik karena implikasi maupun karena pencantuman. Dalam konteks yang sama, ketentuan kontrak yang standar jika secara konsisten digunakan dalam perdagangan tersebut, dapat dianggap sebagai limpahan dari lex mercatoria.
[42] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 10.
[43] Ibid., hlm. 10.
[44]Bayu Seto Hardjowahono, Kontrak-Kontrak Bisnis Transnasional dan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, Sebuah Pembuka Wawasan, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2006, hlm. 13-14.
[45] Ibid., hlm. 36.
[46] www.theceli.com/index.php?option=com_docman&task. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2009.
[47] Taryana Soenandar, op. cit.,  hlm. 102.
[48] Perkembangan prinsip-prinsip hukum komersial internasional (lex mercatoria) dikaitkan dengan beberapa aspek pembaruan hukum kontrak di Indonesia: suatu kajian terhadap prinsip-prinsip CISG dan UNIDROIT, Tesis Taryana Soenandar, 2001, hal 74
[49] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, op. cit., hlm.93.
[50] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, op. cit, hlm. 145.
[51] Hannu Honka, Harmonization of Contract Law through International Trade: A Nordic Perspective, Tulane Europe and Civil Law Forum, 1996, hlm. 154 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[52] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, op. cit., hlm. 106.
[53] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 121.
[54] Ibid., hlm. 122.
[55] Ibid., hlm. 122.
[56] Rafiqul Islam,International Trade Law, Sydney: LBC, 1999, hlm. 2-3 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[57] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 39.
[58] Ibid., hlm. 40.
[59] Ibid, hlm. 122.
[60] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, op. cit., hlm. 167.
[62] Hal ini diperkuat pula dengan ketentuan dalam Pasal 1.5 UNIDROIT.
[63] Lihat juga ketentuan dalam Pasal 4.1 mengenai Intention of the parties.
[65] Ketentuan UNIDROIT Principles Pasal 2.1.20 tentang Surprising terms (1) No term contained in standard terms which is of such a character that the other party could not reasonably have expected it, is effective unless it has been expressly accepted by that party. (2) In determining whether a term is of such a character regard shall be had to its content, language and presentation.”, Pasal 2.1.21 tentang Conflict between standard terms and non-standard terms “In case of conflict between a standard term and a term which is not a standard term the latter prevails”, Pasal 2.1.22 tentang Battle of forms “Where both parties use standard terms and reach agreement except on those terms, a contract is concluded on the basis of the agreed terms and of any standard terms which are common in substance unless one party clearly indicates in advance, or later and without undue delay informs the other party, that it does not intend to be bound by such a contract”.
[66] Taryana Sunandar, op.cit., hlm. 64.
[67] Ibid., hlm. 66.
[68] Ibid., hlm. 69.
[69]Lihat ketentuan Pasal 4.6 UNIDROIT PrinciplesWhere a contract is drawn up in two or more language versions which are equally authoritative there is, in case of discrepancy between the versions, a preference for the interpretation according to a version in which the contract was originally drawn up”.
[70] Lihat ketentuan mengenai hardship dalam UNIDROIT Principles, Pasal 6.2.1 tentang Contract to be observed “Where the performance of a contract becomes more onerous for one of the parties, that party is nevertheless bound to perform its obligations subject to the following provisions on hardship”. Pasal 6.2.2 tentang Definition of hardship There is hardship where the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium of the contract either because the cost of a party’s performance has increased or because the value of the performance a party receives has diminished, and (a) the events occur or become known to the disadvantaged party after the conclusion of the contract; (b) the events could not reasonably have been taken into account by the disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract; (c) the events are beyond the control of the disadvantaged party; and (d) the risk of the events was not assumed by the disadvantaged party”. Pasal 6.2.3 tentang Effects of hardship “(1) In case of hardship the disadvantaged party is entitled to request renegotiations. The request shall be made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is based. (2) The request for renegotiation does not in itself entitle the disadvantaged party to withhold performance. (3) Upon failure to reach agreement within a reasonable time either party may resort to the court. (4) If the court finds hardship it may, if reasonable, (a) terminate the contract at a date and on terms to be fixed, or (b) adapt the contract with a view to restoring its equilibrium”.
[71] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 71.

[72] Apa yang dimaksud dengan “fundamental” tentu saja akan sangat tergantung pada keadaan dari peristiwa tersebut. Jika yang dimaksud dengan pelaksanaan kontrak adalah suatu kemampuan yang dapat dihitung dengan syarat keuangan secara pasti. Maka perubahan yang bernilai 50 % (lima puluh persen) atau lebih dari biaya atau dari nilai pelaksanaan kontrak dianggap sebagai jumlah yang “fundamental”. Lihat Taryana Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa  Bisnis Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 73.

[73] Pasal 7.1.7 UNIDROIT Principles (1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the non performance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. (2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have effect for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract. (3) The party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such non receipt. (4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or request interest on money due”.
[74] Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 80-81.

[75] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, Hal. 1.
[76] Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander Goldštajn yang menyatakan: “only deliberate regulation on the international level will make it possible to do justice, on the basis of equality, to the interests and general welfare of all members of the international community” (Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 21-22.
[77] Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization).
[78] Manfaat Perdagangan Internasional, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional diakses pada tanggal 25 November 2009.
[80] Ibid.
[81] Ibid.
[82] Rafiqul Islam,International Trade Law, Sydney: LBC, 1999, hlm. 1 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[83] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op.cit.
[84] United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966, para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, para. 14 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[85] Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya (apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari. Lihat Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni Bandung, 1977, hlm. 26.
[86] United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966, para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, para. 15 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.
[87] Lihat Chia-Jui Cheng, Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang mengurus hukum perdagangan internasional menggambarkan perbedaan kedua kata tersebut: “While the terms are closely interrelated, "harmonization" may conceptually be thought of as the process through which domestic laws may modified to enhance predictability in crossborder commercial transactions; and "unification" may be seen as the adoption by States of a common legal standard governing particular aspects of international business transactions.” (http://www.uncitral.org/en-index.htm) diakses pada tanggal 20 November 2009.
[88] Ibid.
[89] Ibid.
[90] Ibid.
[91] Romli Atmasasmita, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi, www.parlemen.net diakses pada tanggal 25 November 2009.
[92] Ibid.
[93] Ibid.
[94] Hal ini dapat terlihat dari konsideran Menimbang huruf b dan huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[95] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”.
[96] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
[97] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.
[98] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 4 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
[99] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 5 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”. Pasal 6 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama”. Pasal 7 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 8 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
[100] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 9 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
[101] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 10 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan”.
[102] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 11”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
[103]Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 12 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
[104] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 13 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
[105] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 14 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
[106] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 15 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok”.
[107] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 16 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
[108] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
[109] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 18 (1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
[110] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 19 “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”.
[111] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 22 “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 24 “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan”.
[113] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 10 “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
[114] Ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[115] Ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[116] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 1 “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
[117] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 3 “Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut : a. Penandatangan; b. pengesahan; c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik; d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional”.
[118] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 2 “Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi( accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan ( ap-proval)”.
[119] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 5 “Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral”.
[120] Lihat ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
[121] Lihat ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
[122] Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Penjelasan Pasal 27 “Yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan”.
[123] Lihat ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar