Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Selasa, 02 April 2013

HAK TANGGUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut dilakukan selambat – lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Namun pada prakteknya di masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara peraturan perundang – undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak tanggungan tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang – Undang Hak Tanggungan.

B. Identifikasi Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi masalah yang bisa ditarik adalah:
            1. Apakah akibat hukum dari hak tanggungan yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan?
            2. Apakah akibat dari pendaftaran hak tanggungan dilakukan melebihi jangka waktu yang ditentukan perundang – undangan?








BAB II
TINJAUAN UMUM HAK TANGGUNGAN

A. Dasar Hukum Hak Tanggungan
            Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan – ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu misalnya mengenai hak – hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas – asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.[1]
            Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya. Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
            Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996. Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan pengertian dari Hak Tanggungan.
                  "Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda  yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak  Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut atau  tidak berikut benda – benda lain  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya
            Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu  kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum  Perdata (KUH Perdata).
            Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda – benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.[2] Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

B. CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN
            Ciri Hak Tanggungan adalah:
            1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dan kreditor yang lain.
            2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
            3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.
            4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 kreditur diberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi. Hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanpreslasi), maka kreditor tidak perlu menempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya besar. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum.[3]
            Ciri-ciri tersebut selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa:[4]
            Ciri-ciri Hak Tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu Pasal yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:
            a. Hak jaminan;
            b. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang         merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;
            c. untuk pelunasan suatu hutang;
            d. memberikan kedudukan yang diutamakan
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.
            Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:
            a. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference) dinyatakan dalam pengertian Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996:
            Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”,
            Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:
            Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelengan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.
            b. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
            Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”,
dan juga di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
            Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan,yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.
            c. Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
            Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.[5]
            d. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir Hak Tanggungan menurut sifat accessoir dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa:
            Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya
            Lebih lanjut Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa:
            Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang tersebut”.
            Kemudian dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
            Perjanjian pembebanan Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan Hak Tanggungan adalah perjanjian accessoir.
            e. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang.
            Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
            Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.
            f. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
            Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
            Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.
            Dengan demikian Hak Tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek Hak Tanggungan itu berada pada pihak lain.
            g. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
            Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.”
            Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak Tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.[6]
            h. Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah.
            Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
            Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
            Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

C. SUBJEK DAN OBJEK HAK TANGGUNGAN
1. Subjek Hak Tanggungan
            Subjek hak tanggungan adalah:
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.[7]
            Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
            Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada pemberi hak tanggungan  pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.[8]
            Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan
b. Pemegang Hak Tanggungan
            Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.[9]
Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan. 
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

2. Obyek hak tanggungan
            Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:[10]
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang 
b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila  diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya
c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus  ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut  pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya.
d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.
Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:
            1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA) ;
            2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;
            3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA) ;
            4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan;
            5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

D. PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN
            Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
            1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
            2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.[11]
            Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
            Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini berarti  sertifikat  hak tanggungan merupakan bukti adanya hak  tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
            Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
            Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
            Untuk melindungi kepentingan kreditor, maka dapat saja sertifikat hak tanggungan tetap berada ditangan kreditor. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan kecuali jika diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

E. EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitor cidera janji  maka eksekusi  hak tanggungan dapat dilakukan berdasarkan:
1. Hak pemegang Hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT atau ;
2. Titel Eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
3. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan apabila jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak;
4. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu  1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan atau media masa  setempat, serta tidak ada pihak yang merasa keberatan;
5. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum;
6. Sampai pengumuman untuk lelang dikeluarkan penjualan lelang dapatdihindarkan dengan pelunasan hutang yang dijamin dengan hak  tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan
            Pasal 6 Undang - Undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
            Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan  menyebutkan apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuanUndang-Undang ini.







BAB III
PEMBAHASAN

1. Akibat Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan
            Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang - Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang.
            Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
            1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak  tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
            2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.
            Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
            Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
            Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
            Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
            Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan kepada Kantor Pertanahan selambat – lambatnya dalam jangka waktu 7 hari. Pendaftaran Hak Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya suatu hak tanggungan dan merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak didaftarkan hak tanggungan maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah berlaku. Namun tidak memenuhi unsur dari hak tanggungan. Sehingga kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki hak sebagai kreditur preferen sebagaimana kreditur hak tanggungan.
            Jika tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial karena memuat irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat yang memiliki irah – irah ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak – hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
            Sehingga suatu hak tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan asas dari hak tanggungan. Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai kreditur yang preferen melainkan sama seperti kedudukan kreditur konkuren. Selain itu dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat sertifikat hak tanggungan yang memberikan hak parate executie dan dapat menjadi bukti di pengadilan.

2. Pendaftaran Hak Tanggungan yang Melampaui Jangka Waktu Pendaftaran
             Pasal 13 Undang – Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
            Undang – Undang Hak Tanggungan memberi batasan pendaftaran Hak Tanggungan yaitu selama 7 hari setelah penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pendaftaran ini wajib dilaksanakan oleh PPAT. Setelah didaftarkan maka akan keluar Sertifikat Hak Tanggungan. Namun pada kenyataannya sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan melebihi waktu yang ditentukan, yaitu melewati jangka waktu 7 hari yang ditentukan undang – undang. Seharusnya pendaftaran hak tanggungan tersebut ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun dari sumber yang kami temukan, keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan tidak selalu menjadi penghalang dalam melakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Dalam Tesis yang dibuat oleh Mahasiswa Program Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro, keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal tidak menjadi persoalan. Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Begitu pula pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Berdasarkan skripsi dari mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia, ditemukan bahwa keterlambatan pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan di Kabupaten Bogor tidak menjadi penghalang bagi proses pendaftaran suatu hak tanggungan. Sanksi yang diberikan oleh Kantor Pertanahan terhadap pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanyalah berupa sanksi administratif yaitu berupa teguran lisan atau tertulis.
            Sehingga dapat disimpulkan meskipun peraturan perundang – undangan memberi batasan bahwa pendaftaran hak tanggungan hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 hari, namun terdapat perbedaan dalam prakteknya. Pendaftaran hak tanggungan tetap diproses oleh Kantor Pertanahan meskipun terjadi keterlambatan pendaftaran.  





BAB IV
PENUTUP

Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda  yang berkaitan dengan tanah. Hak  Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria berikut atau  tidak berikut benda-benda lain  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,  yang memberikan kedudukan  diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Lahirnya undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan suatu  kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta  benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai  jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum  Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan akta pemeberian hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain yang diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut terlambat didaftarkan, bukan suatu persoalan penting karena Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis.
Lain halnya apabila hak tanggungan tersebut tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan tidak didaftarkan, maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak – hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.












DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Harsono, Boedi. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok  Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan.

Masjehoen, Sri Soedewi. 1975.  Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta: Liberty.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada            Media.

Patrik ,Purwahid. 1986. Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian,   Semarang : Badan Penerbit UNDIP.

Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT Raja             Grafindo Persada.

Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak  Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya    Bakti.

Sudrajat, Sutardja. 1997. Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya,     Bandung: Mandar Maju.

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.


[1] Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta: Liberty, 1975), hal. 6
[2] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1986), hal. 52
[3] Purwahid Patrik, Op.cit hal. 53
[4] J. Satrio, Hukum Jaminan Hak  Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 278.
[5] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.26
[6] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta:Prenada Media, 2005), hal. 105
[7] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2)
[8] Purwahid Patrik, Op. Cit., hlm 62.
[9] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 9 Ayat (1)
[10] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok  Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. (Jakarta : Djambatan, 2000), hal.425
[11] Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm 54.

3 komentar: