Disusun
dalam rangka Memenuhi Persyaratan
Tugas
Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perjanjian
OLEH :
SENDI
NUGRAHA
110110090144
FAKULTAH HUKUM
UNIVERSITAS
PADJAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arus globalisasi ekonomi dunia dan
kerjasama di bidang perdagangan dan
jasa berkembang sangat pesat dewasa ini, salah satu bentuknya adalah dengan adanya
perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba, atau dalam bahasa Inggris disebut franchise,
adalah pemberian hak oleh franchisor (pemberi waralaba) kepada franchisee
(penerima waralaba) untuk menggunakan kekhasan usaha atau ciri pengenal
bisnis di bidang perdagangan atau jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan
termasuk identitas perusahaan (logo, merek dan desain perusahaan, penggunaan
rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu atau jam
operasional, pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau ciri
pengenal bisnis dagang atau jasa milik franchisee sama dengan kekhasan
usaha atau bisnis dagang atau jasa milik franchisor.[1]
Waralaba merupakan salah satu metode
pengembangan usaha. Keegen mengatakan bahwa para pengusaha yang bermaksud
mengembangkan usahanya secara internasional dapat melakukan beberapa macam
metode, dari metode yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Secara
singkat dikatakan oleh Keegen bahwa ada lima macam metode pengembangan usaha,
yaitu:[2]
a. Melalui
perdagangan internasional dengan cara ekspor impor;
b. Dengan
pemberian lisensi;
c. Melakukan
franchising (pemberian waralaba);
d. Membentuk
perusahaan patungan (joint ventures);
e. Melakukan
penanaman modal langsung (foreign direct investment) dengan kepemilikan
yang menyeluruh, atau melalui merger, konsolidasi maupun akuisisi.
Waralaba pertama kali ditemukan di
Jerman pada abad ke-18 ketika sebuah perusahaan di Jerman memberikan lisensi
dan bantuan pengelolaan keuangan pada pemasaran eksklusif pada beberapa merek
beer.[3] Namun
demikian, waralaba mulai mengalami perkembangan yang sangat baik bersamaan
dengan dinamisnya perekonomian Amerika Serikat. Pada tahun 1863, perusahaan
mesin jahit Singer memperkenalkan untuk pertama kalinya bentuk waralaba modern.
Tahun 1890, industri minuman ringan dan
industri otomotif mengadopsi waralaba sebagai metode utama dalam distribusi,
yang kemudian diikuti oleh produsen-produsen minyak pada tahun 1930, dan Howard
Johnson mengembangkan jaringan restoran waralaba yang pertama kali pada tahun
1935. Industri waralaba mulai tumbuh pesat pada tahun 1950-an, dan booming pada
tahun 1990-an, pada bidang usaha restoran fastfood, bisnis jasa,
konstruksi, hotel dan motel, pariwisata, hiburan.[4]
Waralaba berkembang dengan pesat karena
sistem ini memiliki beberapa keunggulan yang layak untuk dipertimbangkan.
Waralaba merupakan konsep baru dalam perdagangan internasional yang sangat
efektif digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengembangkan usahanya ke
negara lain. Keunggulan yang lain adalah waralaba dapat dipakai oleh perusahaan
besar dalam pembiayaan perusahaan. Pada sisi yang lain waralaba memungkinkan
terjadinya transfer sumber daya dengan melintasi batas-batas negara.[5]
Seperti telah dikatakan di atas, bahwa
waralaba merupakan salah satu
metode
pengembangan usaha secara tanpa batas ke seluruh bagian dunia. Hal ini berarti
bahwa seorang pemberi waralaba (franchisor) harus mengetahui secara pasti
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di negara di mana waralaba akan diberikan
atau dikembangkan, agar nantinya penerima waralaba (franchisee) tidak beralih
wujud dari mitra usaha menjadi kompetitor.[6] Pada
sisi lain, seorang atau suatu pihak penerima waralaba (franchisee) yang
menjalankan kegiatan usaha sebagai mitra usaha pemberi waralaba (franchisor)
menurut ketentuan dan tata cara yang diberikan, juga memerlukan kepastian bahwa
kegiatan usaha yang sedang dijalankan olehnya tersebut memang sudah benar-benar
teruji dan merupakan suatu produk yang disukai oleh masyarakat, serta akan
dapat memberikan suatu manfaat (finansial) baginya. Ini berarti waralaba
sesungguhnya juga hanya memiliki satu aspek yang diharapkan baik oleh pengusaha
pemberi waralaba maupun mitra usaha penerima waralaba, yaitu masalah kepastian
dan perlindungan hukum.[7]
Di Indonesia, pada tahun 1997, untuk
pertama kalinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
1997 tentang Waralaba, yang diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Dalam peraturan
perundang-undangan tersebut ditegaskan bahwa waralaba (franchise) adalah
perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang
ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan
barang dan atau jasa.[8]
Dengan demikian, setiap perjanjian
waralaba harus merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam kedua peraturan
perundang-undangan tersebut. Hal ini perlu ditegaskan mengingat di samping
keunggulan keunggulan pada usaha waralaba, ditengarai ada hal-hal negatif yang
perlu dicegah, misalnya: pelarian modal ke luar negeri, pemborosan devisa negara,
dan juga masuknya tenaga kerja asing sebagai pesaing tenaga kerja Indonesia.[9]
Dalam rangka mengembangkan usaha
waralaba di Indonesia untuk lebih maju lagi, maka dikeluarkan Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Perubahan yang
mendasar pada peraturan ini adalah pengaturan jangka waktu perjanjian, yaitu
untuk jangka waktu perjanjian waralaba utama dan waralaba lanjutan.[10] Data
yang dikeluarkan Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia, sampai dengan
tahun 2007, jumlah waralaba lokal di Indonesia mencapai 360 buah dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 7% per tahun, sedangkan waralaba asing mencapai 240 buah
dengan tingkat pertumbuhan 15% per tahun.[11]
Memperhatikan perkembangan usaha
waralaba di Indonesia yang semakin meningkat tersebut, maka pemerintah
merencanakan mengatur masalah waralaba tersebut dalam Rancangan Undang-undang
Perdagangan.[12]
Saat ini, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba di atas
dirasakan sudah tidak memadai lagi untuk mengatur dinamika perkembangan usaha
waralaba di Indonesia terkait dengan persoalan hak kekayaan intelektual yang
menjadi salah satu obyek usaha waralaba. Untuk itu pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba untuk menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dengan harapan dapat lebih memberikan
kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi pemberi waralaba dan penerima
waralaba dalam memasarkan produknya, serta dalam rangka untuk lebih
meningkatkan tertib usaha melalui waralaba serta meningkatkan kesempatan usaha
nasional, terutama untuk mendorong pengusaha kecil dan menengah tumbuh sebagai
pemberi waralaba nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam maupun
di luar negeri.[13]
Di sini, pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha
pemberi waralaba guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat
dimanfaatkan secara optimal oleh penerima waralaba nasional.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba mengatur perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dan penerima waralaba?
2. Bagaimana
bentuk/contoh konkrit dari perjanjian waralaba dilihat dari segi perjanjian?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian
Waralaba
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba (PP Waralaba) yang saat ini menjadi dasar hukum bagi
usaha waralaba di Indonesia tidak memberikan pengertian perjanjian
waralaba. Maka untuk memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan perjanjian waralaba akan dilakukan dengan memberi pengertian apa
yang dimaksud dengan perjanjian kemudian menjelaskan apa yang dimaksud
dengan waralaba.
Perjanjian menurut rumusan Pasal 1313
KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[14]
Oleh karena itu sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi
dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya
yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan ini memberikan konsekuensi hukum
bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah
pihak yang wajib memberikan prestasi dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak
menerima prestasi tersebut, dan masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari
satu orang atau lebih.
Pasal 1314 KUH Perdata menentukan bahwa
suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu
perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban
adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian pada dasarnya perjanjian
dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang
wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak
saling berprestasi). Oleh karena itu waralaba merupakan suatu perjanjian yang
bertimbal balik karena baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba,
keduanya memiliki kewajiban untuk prestasi tertentu.
Van Dunne[15]
menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Definisi ini telah memuat perbuatan hukum meliputi pra kontraktual, tahap kontraktual
dan pos kontraktual. Menurut Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal[16]
mengatakan bahwa, kontrak atau perjanjian adalah suatu persetujuan antara
dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi secara
bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa
mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka. Pendapat ini selain
mengkaji definisi kontrak, tetapi juga menentukan unsur-unsur yang harus
dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak.
Black’s Law Dictionary mengatakan bahwa,
perjanjian atau kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau
lebih, yang menimbulkan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu hal tertentu.[17]
Menurut Abdul Rasyid Saliman, perjanjian adalah peristiwa dimana dua
orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan tertentu.[18]
Pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan berkewajiban untuk
menaati dan melakukannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan
hubungan hukum, dengan demikian perjanjian dapat menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian
perjanjian atau kontrak diatas maka perjanjian atau kontrak adalah
hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang
lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak
atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati.
Sehubungan dengan berwirausaha dengan
membeli bisnis yang sudah ada, dikenal istilah franchise yang
sudah diIndonesiakan menjadi waralaba. Waralaba berasal dari kata wara
artinya lebih dan laba artinya untung. Oleh karena itu dapat diketahui
bahwa waralaba merupakan usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa.
Pengertian waralaba menurut doktrin
sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharnoko[19]
bahwa waralaba pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode
pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. PP Waralaba dalam Pasal
1 menyebutkan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas
usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil
dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
dapat diketahui bahwa waralaba merupakan salah satu bentuk format bisnis
dimana pihak pertama yang disebut pemberi waralaba memberikan hak kepada
pihak kedua yang disebut penerima waralaba untuk mendistribusikan
barang/jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu
dengan mempergunakan merek, logo dan sistem operasi yang dimiliki dan
dikembangkan oleh pemberi waralaba yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh penerima waralaba. Pemberian hak ini dituangkan
dalam bentuk perjanjian waralaba. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
perjanjian waralaba adalah suatu bentuk persetujuan tentang hubungan hukum antara
subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain untuk mendistribusikan
barang/jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu
dengan mempergunakan merek, logo dan sistem operasi yang dimiliki dan dikembangkan
oleh pemberi waralaba dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi
dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya
sesuai dengan yang telah disepakati.
Perjanjian waralaba merupakan salah satu
aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan
pihak yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar
hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak.
Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak yang lain dapat menuntut
pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian
waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat
dan dikehendaki oleh pemberi waralaba bagi para penerima waralabanya.
Dalam perjanjian waralaba tercantum
ketentuan berkaitan dengan hak dan kewajiban penerima waralaba dan
pemberi waralaba, misalnya hak teritorial yang dimiliki penerima
waralaba, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan
oleh penerima waralaba kepada pemberi waralaba, ketentuan berkaitan dengan
lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya dan ketentuan lain yang mengatur
hubungan antara penerima waralaba dengan pemberi waralaba.
Bila dihubungkan pengertian perjanjian
dan waralaba maka dalam pengertian yang demikian seorang penerima
waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan
merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata
cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba.
Kewajiban untuk mempergunakan metode dan
tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba oleh
penerima waralaba membawa akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba
adalah usaha yang mandiri, yang tidak mungkin digabungkan dengan
kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba). Ini berarti pemberian
waralaba menuntut eksklusifitas dan bahkan dalam banyak hal mewajibkan
terjadinya non competition clause bagi penerima waralaba, bahkan setelah
perjanjian pemberian waralabanya berakhir. Jadi dalam hal ini jelas bahwa waralaba
melibatkan suatu kewajiban untuk menggunakan suatu sistem dan metode yang
ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak untuk mempergunakan
merek dagang. Pengertian waralaba (yang umum) ini dibedakan dari waralaba
nama dagang yang memang mengkhususkan diri pada perizinan penggunaan
nama dagang dalam rangka pemberian izin untuk melakukan penjualan produk
pemberi dalam suatu batas wilayah tertentu dalam suatu pasar yang bersifat non-kompetitif.
Makna yang terakhir ini menyatakan bahwa pemberian waralaba nama dagang
seringkali terikat dengan kewajiban untuk memenuhi persyaratan penentuan
harga yang telah ditetapkan dan digariskan oleh pemberi waralaba.
Ketentuan Pasal 3 PP Waralaba menentukan
waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki ciri khas
usaha; b. terbukti sudah memberikan keuntungan; c. memiliki standar atas
pelayanan dan barang dan/atau jasa; d. yang ditawarkan yang dibuat
secara tertulis; e. mudah diajarkan dan diaplikasikan; f. adanya
dukungan yang berkesinambungan; dan g. Hak Kekayaan Intelektual yang telah
terdaftar.
Dengan demikian rumusan pengertian dan
kriteria-kriteria usaha waralaba yang diberikan dalam PP Waralaba
tersebut memberikan gambaran bahwa pemberian waralaba adalah suatu
bentuk pemberian hak dan atau kewenangan dari suatu pihak tertentu
(pemberi waralaba) kepada pihak lainnya (penerima waralaba) untuk suatu
jangka waktu tertentu, menjalankan usaha, termasuk menjual atau memperdagangkan
produk-produk dalam bentuk barang dan jasa, dengan memanfaatkan atau
mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual, dengan imbalan dalam bentuk
pembayaran royalty, sebagaimana diatur dalam perjanjian waralaba tersebut.
Pemberian waralaba senantiasa terkait
pemberian hak untuk menggunakan dan atau memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual
tertentu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk:[20]
1.
Merek, baik yang
meliputi merek dagang maupun merek jasa ataupun indikasi asal (indication of
origin) tertentu; dan
2.
Suatu bentuk format,
formula, ciri khas, metode, tata cara, prosedur, sistem dan lain sebagainya
yang bersifat khas yang terkait dengan dan yang tidak dapat dipisahkan dari
setiap output atau produk yang dihasilkan dan selanjutnya dijual, diserahkan
atau diperdagangkan dengan mempergunakan merek dagang, merek jasa atau indikasi
asal tersebut diatas, yang dinamakan dengan rahasia dagang.
Kedua jenis Hak Kekayaan Intelektual
tersebut di atas selalu dan senantiasa terdapat unsur pembeda antara waralaba
yang satu dengan waralaba yang lainnya. Unsur pembeda tersebut terletak dalam
sifat, bentuk dan jenis Hak Kekayaan Intelektual yang diwaralabakan. Pemberian lisensi
merek sudah dengan tegas menyebutkan bahwa merek yang dilisensikan adalah merek
yang harus mempunyai perbedaan dengan merek-merek lainnya yang telah terdaftar
dan karenanya memperoleh perlindungan hukum. Merek-merek yang tidak terdaftar,
selama belum dilakukan pendaftaran oleh pihak lain masih dapat dipergunakan
secara bebas, namun dengan batasan bahwa segera setelah merek-merek tersebut
telah didaftarkan, maka tidak ada hak lagi bagi pihak lain untuk mempergunakan
merek tersebut selain pemilik terdaftar dan mereka yang memperoleh hak lebih
lanjut.
Selanjutnya dalam konteks pemberian hak
penggunaan rahasia dagang, maka rahasia dagang tersebut haruslah merupakan
sesuatu yang unik, yang berbeda dari bentuk-bentuk format, formula, ciri khas,
metode, tata cara, prosedur, sistem dan hal-hal yang bersifat khas lainnya,
serta memiliki nilai jual secara komersial. Rahasia dagang yang tidak memiliki
keunikan tertentu yang dapat dibedakan dari hal-hal sejenisnya atau hanya
terdiri dari serangkaian proses dari informasi yang telah tersedia untuk umum
dan dapat diselenggarakan, dilaksanakan oleh setiap orang tanpa perlu bantuan
atau bimbingan khusus jelas bukanlah rahasia dagang.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
waralaba dalam perspektif Hak Kekayaan Intelektual adalah juga suatu pemberian
lisensi atau hak untuk memanfaatkan, menggunakan secara bersama-sama dua jenis
Hak Kekayaan Intelektual tertentu, yaitu merek (termasuk merek dagang, merek
jasa dan indikasi asal) dan rahasia dagang. Hak pemanfaatan dan penggunaan
kedua jenis Hak Kekayaan Intelektual tersebut tidak dapat dipisahkan. Dalam hal
Hak Kekayaan Intelektual yang diberikan hanyalah hak untuk menjual atau
mendistribusikan produk barang atau jasa dengan menggunakan merek tertentu
saja, yang tidak disertai dengan kewenangan dan atau tindakan untuk melakukan
suatu hal tertentu baik dalam bentuk pengelolaan atau pengolahan lebih lanjut
yang memberikan tambahan nilai pada produk barang yang dijual tersebut, maka
hal yang demikian tidak jauh berbeda dari suatu bentuk pendistribusian barang.
Pandangan bahwa dalam waralaba juga
terkait dengan pemberian lisensi Hak Kekayaan Intelektual dalam bentuk merek
dan rahasia dagang, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kedua Hak Kekayaan Intelektual tersebut, termasuk pemberian lisensinya
sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut diperlukan untuk menciptakan dan
memberikan kepastian dalam berusaha tidak hanya bagi pemberi waralaba melainkan
juga penerima waralaba.
Perjanjian waralaba merupakan perjanjian
khusus karena tidak dijumpai dalam KUH Perdata. Perjanjian ini dapat diterima
dalam hukum karena di dalam KUH Perdata ditemui satu pasal yang mengatakan
adanya kebebasan berkontrak. Pasal itu mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal
1338 KUH Perdata). Hal ini pada pokoknya hendak merefleksikan bahwa kegiatan
waralaba adalah kegiatan yang berkesinambungan yang memerlukan dan menghasilkan
output yang secara terus menerus dapat dipertanggungjawabkan secara
bersama oleh penerima waralaba dan pemberi waralaba.
Tanpa adanya dukungan dan pemberian
bantuan secara terus menerus oleh pemberi waralaba, penerima waralaba dalam
pelaksanaan waralabanya mungkin saja menghasilkan output yang dari waktu
ke waktu dapat berbeda dengan harapan pemberi waralaba. Homogenitas dalam
seluruh rangkaian produksi, mulai dari bahan baku, bahan pembantu, sarana,
prasarana dan bentuk-bentuk masukan (input) lainnya, proses, prosedur,
keahlian sumber daya manusia yang sepadan hingga hasil akhir (output) berupa
produk barang dan atau jasa yang memberikan rasa kepuasan, kenikmatan dan hasil
yang sepadan, merupakan sasaran utama dari suatu pemberian waralaba.
Pada prinsipnya penyelenggaraan waralaba
tidak jauh berbeda dengan pembukaan kantor cabang. Hanya saja dalam pembukaan
kantor cabang segala sesuatu didanai dan dikerjakan sendiri, sedangkan pada
waralaba penyelenggaraan perluasan usaha tersebut didanai dan dikerjakan oleh
pihak lain yang dinamakan penerima waralaba atas resiko dan tanggung jawabnya
sendiri dalam bentuk usaha sendiri, namun sesuai dengan arahan dan instruksi
serta petunjuk pemberi waralaba.
Pada sisi lain waralaba juga tidak
berbeda jauh dari bentuk pendistribusian dalam kegiatan perdagangan barang dan
atau jasa. Keduanya mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual yang sama, milik
pemberi waralaba atau prinsipal (dalam bentuk kegiatan distribusi). Hanya saja
distributor menyelenggarakan sendiri kegiatan penjualannya, sedangkan dalam
pemberian waralaba, penerima waralaba melaksanakan segala sesuatunya
berdasarkan arahan atau petunjuk atau instruksi yang telah ditetapkan atau
digariskan oleh pemberi waralaba.
B. Bentuk dan Isi Perjanjian Waralaba
1. Bentuk Perjanjian Waralaba
Bentuk perjanjian/kontrak dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan.[21]
Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dalam wujud lisan.
Sehubungan dengan bentuk perjanjian
waralaba, Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba, menentukan bahwa waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba
dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Berdasarkan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba ini jelas dimengerti bahwa
apabila pemberi dan penerima waralaba telah sepakat maka perjanjian
waralaba harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
Salim HS[22]
menyebutkan ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:
1)
Perjanjian di bawah
tangan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.
2)
Perjanjian dengan saksi
notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.
3)
Perjanjian yang dibuat
dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.
Bila dihubungkan pendapat Salim HS
dengan ketentuan bentuk perjanjian waralaba dalam Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba
di atas maka bentuk perjanjian waralaba yang termaktub dalam PP Waralaba tidak
menjelaskan dengan tegas bagaimana bentuk perjanjian tertulis tersebut, dengan
keadaan seperti ini tentunya bentuk perjanjian waralaba yang ada dilapangan
dapat berbentuk 3 (tiga) macam yaitu perjanjian waralaba dengan bentuk
perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja, perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian yang disaksikan
notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak dan perjanjian waralaba
dengan bentuk perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk
akta notariel.
Namun ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) PP
Waralaba dapat berubah apabila dalam prakteknya, sarana komunikasi dan
instruksi yang dipergunakan antara para pihak dalam pembuatan perjanjian
bukanlah bahasa Indonesia, (contohnya bahasa Inggris), maka perjanjian tersebut
harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.Dalam hal ini, harus ada suatu
klausul yang secara eksplisit menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi dari perjanjian waralaba tersebut, bukan terjemahannya ke dalam
bahasa-bahasa lain. Pemberi waralaba asing harus memenuhi persyaratan keabsahan
di negara asalnya dan dokumen-dokumen yang berkaitan telah disahkan oleh
instansi yang berwenang di negaranya serta diketahui oleh Pejabat Perwakilan
Republik Indonesia di negara pemberi waralaba.
Sebelum para pihak terikat dalam suatu perjanjian
waralaba, pemberi waralaba wajib menyampaikan keterangan tertulis kepada
penerima waralaba mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi
laba selama 2 (dua) tahun terakhir, hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang menjadi obyek waralaba. Pemberi waralaba juga harus
merinci fasilitas-fasilitas atau bantuan-bantuan yang akan ditawarkan kepada
penerima waralaba, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima
waralaba, hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, cara-cara pengakhiran,
pembatalan dan perpanjangan perjanjian tersebut, serta hal-hal lain yang perlu
diketahui oleh penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.
2. Isi Perjanjian Waralaba
Peraturan Pemerintah tentang Waralaba
sebagai dasar hukum yang baru dalam mengatur bisnis waralaba di Indonesia telah
menentukan bahwa isi perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit:[23]
a. nama dan alamat para pihak; b. jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. kegiatan
usaha; d. hak dan kewajiban para pihak; e. bantuan, fasilitas, bimbingan
operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada
penerima waralaba; f. wilayah usaha; g. jangka waktu perjanjian; h. tata cara
pembayaran imbalan; i. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
j. penyelesaian sengketa; dan k. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan
pemutusan perjanjian.
Selain itu para pihak dalam perjanjian
waralaba juga diberikan kebebasan untuk mengatur ketentuan lain yang belum
diatur dalam PP Waralaba tersebut di atas sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. Misalnya suatu ketentuan yang memungkinkan
penerima waralaba untuk memberikan waralaba lanjutan kepada pihak lain dengan
ketentuan bahwa penerima waralaba tersebut harus mengoperasikan
sekurang-kurangnya 1 (satu) gerai waralaba dan perjanjian waralaba lanjutan
tersebut dibuat dengan sepengetahuan pemberi waralaba.
Dalam memberikan waralaba lanjutan,
penerima waralaba utama wajib membuktikan kepada penerima waralaba lanjutan
bahwa ia memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut dan juga hal-hal yang
dapat mengakibatkan pemutusan atau berakhirnya perjanjian waralaba.
Martin Mendelson[24]
menyebutkan ada 10 (sepuluh) hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan
kontrak dibuat secara terperinci, yang terdiri dari:
1) Perencanaan
dan identifikasi kepentingan pemberi waralaba sebagai pemilik, hal ini tentunya
akan menyangkut hal-hal seperti merek dagang, hak cipta dan sistem bisnis
pemberi waralaba beserta know how.
2) Sifat
serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada penerima waralaba, hal ini menyangkut
wilayah operasi dan pemberian hak-hak secara formal untuk menggunakan merek
dagang, nama dagang dan seterusnya.
3) Jangka
waktu perjanjian. Prinsip dasar dalam mengatur hal ini bahwa hubungan waralaba
harus dapat bertahan pada jangka waktu yang lama, atau setidaktidaknya selama
waktu 5 (lima) tahun dengan klausula kontrak waralaba dapat diperpanjang.
4) Sifat
dan luasnya jasa-jasa yang diberikan, baik pada masa-masa awal maupun selanjutnya.
Ini akan menyangkut jasa-jasa pendahuluan yang memungkinkan penerima waralaba
untuk memulai, ditraining dan dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan
bisnis. Pada masa selanjutnya, pemberi waralaba akan memberikan jasa-jasa
secara terperinci hendaknya diatur dalam kontrak dan juga diperkenankan untuk
memperkenalkan ide-ide baru.
5) Kewajiban-kewajiban
awal dan selanjutnya dari pnerima waralaba. Ini akan mengatur kewajiban untuk
menerima beban keuangan dalam mendirikan bisnis sesuai dengan persyaratan
pemberi waralaba serta melaksanakan sesuai dengan sistem operasi, akunting dan
administrasi lainnya untuk memastikan bahwa informasi yang penting tersedia
untuk kedua belah pihak. Sistem-sistem ini akan dikemukakan dalam petunjuk
operasional yang akan disampaikan kepada penerima waralaba selama pelatihan dan
akan terus tersedia sebagai pedoman/referensi setelah ia membuka bisnisnya.
6) Kontrol
operasional terhadap penerima waralaba. Kontrol-kontrol tersebut untuk memastikan
bahwa standar operasional dikontrol secara layak, karena kegagalan untuk
mempertahankan standar pada satu unit penerima waralaba akan mengganggu
keseluruhan jaringan waralaba.
7) Penjualan
bisnis. Salah satu kunci sukses dari waralaba adalah motivasi yang ditanamkannya
kepada penerima waralaba, disertai sifat kewirausahaan penerima waralaba, serta
insentif yang dihasilkan dari capital gain. Untuk alasan ini, bisnis diwaralabakan
harus dapat dijual. Seorang pemberi waralaba hendaknya sangat selektif ketika
mempertimbangkan lamaran dari penerima waralaba, terutama terhadap orang-orang
yang akan bergabung dengan jejaring dengan membeli bisnis dari waralaba yang
mapan.
8) Kematian
penerima waralaba. Untuk memberikan ketenangan bagi penerima waralaba, harus
dibuat ketentuan bahwa pemberi waalaba akan memberikan bantuan untuk
memungkinkan bisnis dipertahankan sebagai suatu aset yang perlu direalisir atau
jika tidak bisa diambil alih oleh ahli warisnya apabila ahli waris tersebut
memenuhi syarat sebagai penerima waralaba.
9) Arbitrase.
Dalam kontrak sebaiknya ditentukan mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin
timbul dengan melalui arbitrase, dengan harapan penyelesaiannya akan lebih
cepat, murah dan tidak terbuka sengketanya kepada umum.
10) Berakhirnya
kontrak dan akibat-akibatnya. Dalam kontrak harus selalu ada ketentuan yang
mengatur mengenai berakhirnya perjanjian. Perlu ditambahkan dalam kontrak,
penerima waralaba mempunyai kewajiban selama jangka waktu tertentu untuk tidak
bersaing dengan pemberi waralaba atau penerima waralaba lainnya, juga tidak
diperkenankan menggunakan sistem atau metode pemberi waralaba.
Jika dalam pembuatan perjanjian waralaba
para pihak dalam perjanjian waralaba membuat perjanjian dengan memperhatikan
hal-hal yang dikemukakan oleh Martin Mendelson dan PP Waralaba di atas, maka
sudah ada kejelasan dan ketegasan bagi penerima waralaba sehingga antara
pemberi dan penerima waralaba tidak terjadi kesalahpahaman dalam
pelaksanaannya.
C. Hak dan Kewajiban
Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2007 tentang Waralaba
Kemampuan untuk menghasilkan suatu
bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dalam jangka waktu panjang
merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan konsep bisnis
waralaba. Sebagai suatu konsep bisnis pemasaran, waralaba memiliki ciri
konsep bisnis total (total business concept) yang merupakan
kombinasi 4 (empat) P[25],
yaitu product, price, place/distribution dan promotion.
Konsep itu dikemas dalam suatu format bisnis atau paket usaha terpadu yang
memiliki standar dan mudah ditransferkan, serta dapat dijalankan secara universal
(dapat diterapkan oleh para calon wirausaha dari beragam kultur di berbagai tempat/mancanegara).
Khusus dalam sistem waralaba yang
disebut dengan business format franchise, pemberi waralaba
tidak hanya menggunakan penerima waralaba sebagai sarana pemasaran hasil
produksinya, melainkan lebih terfokus pada upaya mentransferkan
paket-paket usaha barang/jasa tertentu miliknya secara natural. Transfer
paket usaha tersebut selanjutnya disertai dengan adanya keharusan bagi pemberi
waralaba untuk selalu menjaga kelangsungan kerjasama dengan para pemakai
paket usaha (penerima waralaba) karena jika terjadi kegagalan pada usaha penerima
waralaba maka pada gilirannya akan dapat mengganggu kelangsungan usaha
pemberi waralaba, atau setidaknya akan dapat menjatuhkan citra/nama baik
pemberi waralaba.
Karakteristik dasar bisnis waralaba[26]
adalah sebagai berikut: Pertama, harus ada perjanjian yang disepakati
dan dibuat secara tertulis. Ikatan perjanjian ini merupakan aspek
terpenting yang mewakili kepentingan pemberi waralaba dan penerima
waralaba, terutama mengenai kondisi perusahaannya menyangkut masalah manajemen,
finansial, siapa pemilik sahamnya, apa bentuk/jenis kegiatan perusahaannya,
serta mengemukakan semua aspek bisnis yang diwaralabakan. Pemberian
informasi yang transparan itu akan mempermudah penerima waralaba dan pemberi
waralaba mengadakan kerjasama. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya
dilakukan oleh pemberi waralaba. Oleh karena itu, sebaiknya isi
perjanjian waralaba terlebih dahulu harus dinegosiasikan sebelum
kesepakatan diperoleh para pihak, walaupun dalam prakteknya negosiasi
terhadap isi perjanjian merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan
oleh penerima waralaba.
Kedua, pemberi waralaba wajib
memberikan bimbingan dan latihan kepada penerima waralaba dalam segala aspek
yang menyangkut bisnis yang akan dijalankan, terutama membantu penerima waralaba
pada saat persiapan awal mulai usaha.
Ketiga, transaksi antara penerima waralaba
dan pemberi waralaba bukan merupakan transaksi antar cabang perusahaan pemberi
waralaba dengan perusahaan pemberi waralaba, melainkan hanya merupakan transaksi
antara dua pemilik modal yang independen.
Keempat, penerima waralaba berhak
atas daerah pemasaran tertentu, karena penerima waralaba dan pemberi waralaba
adalah pemilik modal yang independen, maka tentang kesepakatan penguasaan
wilayah pemasaran oleh penerima waralaba perlu ditegaskan dalam perjanjian.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya unfair business practice.
Kelima, penerima waralaba mempunyai
kewajiban membayar royalti dan/atau fee.
Keenam, penerima waralaba dalam
menjalankan usahanya berhak menggunakan merek dagang/jasa, hak cipta, hak
paten, trade secrets dan know how, serta hak-hak lainnya yang
menyangkut ciri-ciri usaha waralaba milik pemberi waralaba.
Pada umumnya outlet yang dikelola
oleh penerima waralaba tidak ada investasi ataupun penyertaan modal (equity
participation) dari pemberi waralaba. Dalam hal pengadaan peralatan
yang dibutuhkan oleh penerima waralaba untuk keperluan operasional produksi,
biasanya pemberi waralaba menawarkan jasa untuk menyediakan peralatan tersebut.
Penerima waralaba dapat membelinya melalui fasilitas leasing (sewa-beli).
Walaupun demikian, ternyata peran pemberi waralaba cukup dominan terhadap usaha
penerima waralaba. Hal ini dapat dibuktikan bahwa untuk mendesain outlet
atau menatanya tetap ditentukan atau harus mendapatkan persetujuan dari
pemberi waralaba. Dari kondisi ini tampak bahwa posisi penerima waralaba dapat
dikatakan sebagai pihak pemilik modal saja. Untuk menjamin pelaksanaan hak dan
kewajiban, kesepakatan itu dituangkan ke dalam apa yang dinamakan perjanjian
waralaba.
Dalam perjanjian waralaba diatur antara
lain tentang hak dan kewajiban penerima waralaba dan pemberi waralaba, besarnya
fee maupun royalti yang harus dibayar oleh penerima waralaba kepada pemberi
waralaba, untuk bantuan yang akan diterima penerima waralaba dari pemberi waralaba,
pemutusan hubungan perjanjian dan berakhirnya perjanjian. Pembayaran royalti
atau fee merupakan suatu bentuk kompensasi atas hak yang diperoleh dari perjanjian
waralaba royalti ini biasanya dikeluarkan setiap bulan ataupun setiap tahun oleh
penerima waralaba dan besarnya ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak atau disesuaikan dengan nilai usaha yang diwaralabakan.
Adapun franchise fee merupakan
suatu bentuk beban (charge) yang umum dikenakan kepada penerima waralaba
yang dibayar hanya satu kali, yaitu pada saat kerjasama dimulai. Biaya ini
diasumsikan sebagai biaya pra-operasi dan dapat diterima kembali oleh penerima
waralaba dalam bentuk latihan/magang bagi karyawan dan pemberian konsultasi.
Kendati demikian, perlu dikemukakan di sini, ternyata tidak semua bentuk waralaba
menuntut adanya pembayaran fee. Ini dapat dilihat pada tipe waralaba distibusi
dan waralaba produsen karena pada hakikatnya dalam waralaba semacam ini yang
lebih dipentingkan oleh pemberi waralabanya adalah perluasan jaringan distribusi
hasil produksinya. Contohnya, pada waralaba distribusi kendaraan bermotor roda
empat dan sepeda motor beserta komponennya.
Bentuk bantuan yang diberikan oleh
pemberi waralaba kepada penerima waralaba adalah bantuan manajemen dan technical
assistance yang sifatnya berkesinambungan, terutama dalam hal penyusunan
rencana usaha (business plan) dan strategi pemasaran, pedoman
operasional usaha dan standarisasi produk, pengendalian kualitas produk,
latihan lanjutan, pemberian hasil riset dan pengembangan produk/jasa serta
promosi dagang.
Untuk mendukung keberhasilan sinergi
kerja dalam perjanjian waralaba ini ada beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan yaitu akses modal, akses pasar, skill dan teknologi (know-how dan
trade secret), akses merek dagang/jasa yang sudah teruji, manajemen dan
hubungan kemitraan. Perjanjian waralaba dapat berjalan lancar, pemberi waralaba
perlu menyampaikan semua informasi yang berhubungan dengan kegiatan usahanya
kepada penerima waralaba saat mempromosikan jenis usaha yang akan diwaralabakan.
Dengan demikian, penerima waralaba dapat mempertimbangkan atau memutuskan
apakah akan membuat perjanjian waralaba yang dimaksud atau tidak.
Sebagaimana telah diuraikan pada bab
terdahulu, bisnis waralaba ini telah berkembang pesat dalam dunia perdagangan
Indonesia. Hal yang melatarbelakangi perkembangannya tidak lain adalah karena
hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.[27]
Berdasarkan pasal itu, setiap orang dapat dan dibenarkan untuk membuat
perjanjian waralaba dengan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri, asalkan isi
perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Untuk itu setiap persetujuan hanya akan
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya dan sebaliknya persetujuan yang
telah dibuat tidak boleh merugikan pihak ketiga (Pasal 1340 KUH Perdata).
Kecuali jika perjanjian itu memang diperjanjikan untuknya. Berdasarkan Pasal
1337 dan Pasal 1340 KUH Perdata tersebut, walaupun para pihak (pemberi waralaba
dan penerima waralaba) diberi peluang secara bebas menentukan syarat perjanjian/kontrak
yang mereka inginkan, kesepakatan itu kemudian ditandai dengan penandatanganan
pada perjanjian. Namun undang-undang masih membatasi tindakan para pihak
tersebut, karena masih dipertanyakan apakah perjanjian yang dibuat itu telah
sesuai atau tidak bertentangan dengan kepatutan, keadilan, kebiasaan dan
undang-undang itu sendiri. Jadi kebebasan berkontrak yang dimaksud tidaklah dalam
pengertian bebas secara mutlak. Oleh karena itu, setiap perjanjian yang mengandung
unsur yang bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang oleh
pemerintah dapat dilarang diberlakukan. Apalagi jika kebebasan yang dimaksud
berkaitan dengan kegiatan bisnis, yaitu kebebasan atau kesewenang-wenangan yang
hanya bertujuan mengejar keuntungan ekonomi.
Eksistensi bisnis waralaba di Indonesia
sebenarnya telah dapat diakui sebab dalam bisnis waralaba terdapat kedua aspek
tersebut, yaitu aspek perjanjian/kontrak dan aspek lisensi, walaupun dalam
prakteknya perjanjian waralaba yang telah berjalan selama ini selalu dibuat
dalam bentuk perjanjian kontrak baku, artinya segala persyaratan dan isi
perjanjian telah ditentukan sepenuhnya oleh pemberi waralaba.
Beberapa klausula dalam perjanjian
waralaba adalah sebagai berikut:
1. Sifat
perjanjian dari waralaba sangat pribadi yang maksudnya adalah bahwa hak dan
kewajiban penerima waralaba tidak mudah dialihkan kepada pihak lain, baik dengan
cara jual beli, maupun karena pemindahan hak dan kewajiban penerima waralaba.
Kalaupun terjadi pemindahan hak dan kewajiban penerima waralaba kepada pihak
lain (penerima waralaba baru), maka pemindahan itu harus endapatkan persetujuan
dan penerima waralaba yang ditunjuk itu harus memenuhi persyaratan lain yang
ditentukan oleh pemberi waralaba, persyaratan tersebut adalah:
a. Penerima
waralaba baru yang diusulkan harus mempunyai pengalaman usaha baik reputasi
secara personal dan finansial, stabilitas personal maupun finansial, mempunyai
kemampuan dan kemauan untuk meluangkan waktu yang cukup menjalankan toko/outlet/gerai;
b. Penerima
waralaba yang baru harus menyetujui secara tertulis mengambil alih seluruh
tanggung jawab atau kewajiban penerima waralaba lama yang tertuang dalam
perjanjian waralaba dan harus dapat melaksanakan dengan baik, meskipun
bertujuan demikian dalam prakteknya, banyak perjanjian waralaba yang dapat
dialihkan kepada pihak lain.
Walaupun
pemindahan hak dan kewajiban penerima waralaba itu sifatnya terbatas. Misalnya,
hak usaha hanya dapat diberikan kepada salah satu anggota keluarga, terutama
bila pemegang waralaba adalah sebuah perusahaan berbadan hukum dan pemilik
modalnya adalah para anggota keluarga.
2. Posisi
pemberi waralaba lebih kuat karena dapat memutuskan perjanjian secara sepihak
atas dasar adanya pelanggaran atau kesalahan dari penerima waralaba dalam
menjalankan usahanya. Bila persyaratan semacam ini dilihat dari segi bisnis,
tindakan pemberi waralaba tersebut dapat merugikan pihak penerima waralaba dan
bersifat berat sebelah. Jika terjadi pemutusan hubungan perjanjian secara
sepihak, walaupun hal itu telah mendapatkan persetujuan dan disebutkan dalam
klausul perjanjian, maka secara hukum tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai
suatu tindakan melawan hukum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 1266 KUH
Perdata.
3. Pada
saat berakhirnya perjanjian atau bila perjanjian waralaba itu tidak diperpanjang
lagi, penerima waralaba diwajibkan mengembalikan dan menghentikan seluruh
penggunaan merek pemberi waralaba, nama dagang/jasa, trade secret, know-how,
termasuk juga pengembalian seluruh material yang berkaitan dengan identitas
pemberi waralaba seperti daftar menu, point of sale dan desain outlet
milik pemberi waralaba. Dalam kondisi seperti ini dapat disimpulkan
bahwa kedudukan penerima waralaba sebagai pemilik modal sangat lemah, sebab
dana yang telah diinvestasikan ke dalam usaha waralaba tersebut tidak dapat
dijalankan secara independen lagi secara hukum pun penerima waralaba tidak
mendapatkan perlindungan yang memadai.
4. Bila
ada perubahan atau penambahan pada outlet milik penerima waralaba yang dimintakan
oleh pemberi waralaba, yang mana menurut pemberi waralaba penambahan
atau perubahan tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka perbaikan mutu toko/outlet/gerai,
maka seluruh biaya yang diakibatkannya merupakan tanggung jawab pihak penerima
waralaba. Keadaan ini tentunya merupakan beban tambahan bagi penerima
waralaba.
5. Jika
toko/outlet/tempat usaha perlu direnovasi ataupun dipindahkan
berdasarkan atas keinginan pemberi waralaba setelah diadakan perpanjangan
perjanjian, maka kewajiban penerima waralaba adalah harus mengikuti kehendak
pemberi waralaba.
Berdasarkan uraian di atas, bila diamati
secara cermat, isi perjanjian waralaba tersebut tampak lebih banyak
menguntungkan pihak pemberi waralaba dan jelas terlihat adanya sifat tying
business yang dilakukan oleh pemberi waralaba, di lain pihak penerima
waralaba hanya berhadapan dengan pihak take it or leave it terhadap syarat
perjanjian yang dihadapkan kepadanya. Ditambah lagi peran pemberi waralaba sangat
dominan terhadap penerima waralaba. Oleh karena itu, hubungan penerima waralaba
dengan pemberi waralaba adalah semata-mata karena kebutuhan ekonomi. Sehingga
sudah sewajarnyalah bahwa sesuai dengan hukum alam, pihak pemilik hak (pemberi
waralaba) memiliki posisi atau kedudukan yang lebih kuat dan dapat berperan
besar terhadap penerima hak (penerima waralaba).
Pengaturan yang ada di dalam PP waralaba
menyangkut hak dan kewajiban para pihak baik pihak pemberi waralaba maupun
pihak penerima waralaba dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pemberi
waralaba wajib memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima
waralaba pada saat melakukan penawaran (Pasal 7 PP Waralaba).
2. Pemberi
waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan
operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima
waralaba secara berkesinambungan (Pasal 8 PP Waralaba).
3. Pemberi
waralaba dan penerima waralaba wajib mengutamakan penggunaan barang dan/atau
jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang
dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba (Pasal 9
ayat (1) PP Waralaba).
4. Pemberi
waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah
setempat sebagai penerima waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang
memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba (Pasal 9
ayat (2) PP Waralaba).
5. Pemberi
waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat
perjanjian waralaba dengan penerima waralaba (Pasal 10 PP Waralaba).
6. Penerima
waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba (Pasal 11 PP Waralaba).
Secara umum dapat dirumuskan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pemberi waralaba maupun penerima waralaba sebagai berikut:
1. Kewajiban
pemberi waralaba:
a. Memberikan
segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual,
penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi
objek waralaba, dalam rangka pelaksanaan waralaba yang diberikan tersebut;
b. Memberikan
bantuan pada penerima waralaba pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada
penerima waralaba.
2. Hak
pemberi waralaba:
a. Melakukan
pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba;
b. Memperoleh
laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha penerima waralaba;
c. Melaksanakan
inspeksi pada daerah kerja penerima waralaba guna memastikan bahwa waralaba
yang diberikan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya;
d. Sampai
batas tertentu mewajibkan penerima waralaba dalam hal-hal tertentu, untuk
membeli barang modal dan atau barang-barang tertentu lainnya dari pemberi
waralaba;
e. Mewajibkan
penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan Hak atas Kekayaan Intelektual,
penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi
objek waralaba;
f. Mewajibkan
agar penerima waralaba tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan
kegiatan usaha yang mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau
ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau
cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek
waralaba;
g. Menerima
pembayaran royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang dianggap layak olehnya;
h. Meminta
dilakukannya pendaftaran atas waralaba yang diberikan kepada penerima waralaba;
i.
Atas pengakhiran
waralaba, meminta kepada penerima waralaba untuk mengembalikan seluruh data,
informasi maupun keterangan yang diperoleh penerima waralaba selama masa
pelaksanaan waralaba;
j.
Atas pengakhiran
waralaba, melarang penerima waralaba untuk memanfaatkan lebih lanjut seluruh
data, informasi maupun keterangan yang iperoleh oleh penerima waralaba selama
masa pelaksanaan waralaba;
k. Atas
pengakhiran waralaba, melarang penerima waralaba untuk tetap melakukan kegiatan
yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menimbulkan persaingan dengan mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual,
penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi
objek waralaba;
l.
Pemberian waralaba,
kecuali yang bersifat eksklusif, tidak menghapuskan hak pemberi waralaba untuk
tetap memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan sendiri Hak atas Kekayaan
Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara
penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik
khusus yang menjadi objek waralaba.
3. Kewajiban
penerima waralaba:
a. Melaksanakan
seluruh instruksi yang diberikan oleh pemberi waralaba kepadanya guna
melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba;
b. Memberi
keleluasaan bagi pemberi waralaba untuk melakukan pengawasan maupun inspeksi
berkala maupun secara tiba-tiba, guna memastikan bahwa penerima waralaba telah
melaksanakan waralaba yang diberikan dengan baik;
c. Memberikan
laporan-laporan baik secara berkala maupun atas permintaan khusus dari pemberi
waralaba;
d. Sampai
batas tertentu membeli barang modal tertentu ataupun barang-barang tertentu
lainnya dalam rangka pelaksanaan waralaba dari pemberi waralaba;
e. Menjaga
kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba, baik selama
maupun setelah berakhirnya masa pemberian waralaba;
f. Melaporkan
segala pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba yang ditemukan
dalam praktik;
g. Tidak
memanfaatkan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba selain dengan
tujuan untuk melaksanakan waralaba yang diberikan;
h. Melakukan
pendaftaran waralaba;
i.
Tidak melakukan
kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan
Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau cirri khas usaha misalnya sistem
manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan
karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba;
j.
Melakukan pembayaran
royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah disepakati secara bersama;
k. Atas
pengakhiran waralaba, mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan
yang diperolehnya;
l.
Atas pengakhiran
waralaba, tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun
keterangan yang diperoleh oleh penerima waralaba selama masa pelaksanaan
waralaba;
m. Atas
pengakhiran waralaba, tidak lagi melakukan kegiatan sejenis, serupa, ataupun
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan
mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
4. Hak
penerima waralaba:
a. Memperoleh
segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual,
penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi
objek waralaba, yang diperlukan olehnya untuk melaksanakan waralaba yang
diberikan tersebut;
b. Memperoleh
bantuan dari pemberi waralaba atas segala macam cara pemanfaatan dan atau
penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual penemuan atau ciri khas usaha misalnya
sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
BAB III
ANALISIS
A. Contoh Perjanjian Waralaba
Perjanjian
Waralaba Nira Tela Fried Cassava
Pasal 1
Keterangan Pihak
(1). Pihak
pertama dengan ini menerangkan adalah pihak yang memiliki bahan baku dan merek
dagang Nira Tela Fried Cassava.
(2). Pihak
Kedua dengan ini menerangkan adalah pihak yang membeli bahan baku selanjutnya
menyewa merek dagang miliki pihak pertama dengan nama Nira Tela Fried Cassava.
(3). Wilayah
Kerja adalah wilayah tempat dimana pihak kedua melakukan penjualan
produk-produk pihak pertama yang telah ditetapkan secara bersama-sama.
Pasal 2
Pra Syarat Persiapan
(1) Pihak
Kedua sebelum menjual produk –produk pihak pertama sudah harus memiliki outlet
atau counter penjualan;
(2) Bentuk
dan karakter outlet atau counter ditentukan oleh pihak pertama sesuai dengan
kelayakan dalam penjualan makanan.
(3) Terhadap
penggunaan dan pelaksanaan perjanjian ini pihak pertama dapat menentukan uang
sewa merek dagang yang besarnya ditentukan bersama dan terhadapnya dibuatkan
tanda terima.
(4) Pihak
kedua bersedia untuk menggunakan gambar atau logo produk pihak pertama pada
outlet atau conter penjualan.
(5) Pihak
pertama akan melihat dan meninjau outlet atau counter yang disiapkan oleh pihak
kedua pada wilayah kerjanya.
Pasal 3
Obyek Perjanjian
(1) Adapun
yang menjadi objek dalam perjanjian ini adalah sewa merek disertai jual beli
bahan baku berupa ubi kayu hasil olahan pihak pertama, bumbu racikan dan
penggunaan kemasan (packing) milik pihak pertama serta penggunaan Merek Dagang Nira
Tela Fried Cassava yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
(2) Besarnya
nilai jual beli bahan baku berupa ubi kayu hasil olahan pihak pertama, bumbu
racikan pihak pertama dan penggunaan kemasan (packing) milik pihak pertama
ditentukan secara tersendiri dan pembayarannya disertai dengan bukti jual beli tertulis
tidak termasuk sewa atas penggunaan merek dagang Nira Tela Fried Cassava.
Pasal 4
Hak dan Kewajiban Pihak
Pertama
(1) Pihak
pertama berhak atas penjualan bahan-bahan baku kepada pihak kedua
(2) Penjualan
bahan-bahan baku pada pihak kedua hanya mengalihkan hak atas barang namun hak
atas merek tetap menjadi hak pihak pertama,
(3) Pihak
pertama berhak untuk membatasi besarnya permintaan pihak kedua dengan
memperhatikan potensi pasar di wilayah kerja pihak kedua.
(4) Pihak
pertama berhak untuk menghentikan dan/atau melayani permintaan pihak kedua atas
bahan baku jika pihak kedua telah dinilai pihak pertama melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan citra buruk atas merek Nira Tela Fried Cassava baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
(5) Pihak
pertama berhak untuk memeriksa outlet atau counter pihak kedua baik dengan atau
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
(6) Pihak
pertama berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi pihak kedua atas
dasar permintaan yang telah disetujui pihak pertama.
(7) Pihak
pertama wajib mendengar laporan keadaan baik menyangkut outlet atau counter
penjualan maupun mutu produk yang dijual pihak kedua kepada konsumen,
(8) Pihak
pertama wajib mendengar keluhan yang timbul dari konsumen yang telah
disampaikan pihak kedua.
Hak dan Kewajiban Pihak
Kedua
(1) Pihak
Kedua berhak atas bahan-bahan baku yang didapatnya secara sah dari pihak
pertama tidak termasuk merek,
(2) Pihak
kedua berhak untuk menjual langsung kepada konsumen produk pihak pertama yang
telah jadi (produk jadi dan siap makan) dan tidak dibenarkan untuk menjual
produk belum siap saji dan/atau prasaji kepada pihak manapun serta dalam bentuk
dan cara apapun.
(3) Pihak
kedua berhak untuk dilayani permintaannya oleh pihak pertama terhadap jumlah
dan besarnya bahan-bahan baku yang diperlukan sesuai dengan potensi beli
konsumen yang ada di wilayah kerjanya.
(4) Pihak
kedua mempunyai hak secara penuh terhadap penentuan orang-orang yang akan
dipekerjakan pada outlet atau counternya;
(5) Pihak
Kedua berhak penuh atas hasil penjualan produk pihak pertama yang dijualnya.
(6) Pihak
kedua berhak menyampaikan laporan menyangkut produk maupun penjualan kepada
pihak pertama baik diminta maupun tidak.
(7) Pihak
kedua berkewajiban untuk membayar dan melunasi secara tunai kepada pihak
pertama terhadap sewa merek dan barang bahan-bahan baku yang dibelinya sesuai
dengan jumlah dan besarnya bahan-bahan baku yang dipesannya.
(8) Pihak
kedua wajib menjaga citra merek pihak pertama baik secara langsung ataupun
tidak langsung
Pasal 5
Masa Berlaku Perjanjian
(1) Perjanjian
ini berlaku untuk jangka waktu 18 (delapan belajas bulan), terhitung sejak
ditandatanganinya perjanjian ini
(2) Pihak
kedua wajib memberitahukan masa berakhirnya perjanjian ini paling lama 15 (lima
belas) hari sebelum jatuh tempo berakhirnya perjanjian ini secara tertulis.
(3) Perjanjian
ini dianggap diperpanjang jika dalam tempo waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
surat pemberitahuan pihak kedua disampaikan kepada pihak pertama dan pihak
pertama menyetujui pejanjian ini diperpanjang jika tidak ada pemberitahuan
secara tertulis oleh pihak pertama.
Pasal 6
Larangan Bagi Para
Pihak
(1) Pihak
pertama dalam menjaga kelangsungan penjualan langsung pihak kedua kepada
konsumennya, tidak akan memberikan ijin kepada pihak lainnya untuk jarak
minimal 1 (satu) kilometer jika dipandang perlu pihak pertama akan meminta
pertimbangan pihak kedua jika akan membuka outlet atau counter pada wilayah kerja
yang berdampingan dengan wilayah kerja pihak kedua diatas jarak 1 (satu)
kilometer
(2) Pihak
kedua tidak dibenarkan untuk menjual produk sejenis serta membuka outlet atau
counter lain tanpa seijin dari pihak pertama.
(3) Pihak
kedua tidak dibenarkan untuk mengubah bahan baku yang telah diolah pihak
pertama, bumbu hasil racikan pihak pertama, logo merek dagang dan warna-warna
yang ada padanya.
(4) Pihak
kedua tidak dibenarkan untuk menjual dan/atau mengalihkan bahan-bahan baku yang
dibelinya dari pihak pertama kepada pihak lain dengan maksud dan tujuan untuk dijual
kembali
Pasal 7
Sanksi
(1) Pihak
kedua dapat mengajukan keberatan atas pembukaan outlet atau counter pada
wilayah kerja yang berdampingan dengan wilayah kerja pihak kedua yang kurang
dari jarak 1 (satu) kilometer
(2) Pihak
kedua akan dikenakan sanksi pencabutan ijin untuk menjual produk pihak pertama
disertai dengan penarikan peralatan yang digunakan (sesuai pernyataan, yang
merupakan satu kesatuan dengan perjanjian ini) jika diketahui menjual produk
sejenis atau membuka outlet atau counternya atau melakukan perbuatan mengubah
bahan baku yang telah diolah pihak pertama, mengubah bumbu hasil racikan pihak
pertama, logo merek dagang dan warna-warna yang ada padanya, serta pihak
pertama lepas dari tanggung jawab hukum yang timbul daripadanya.
(3) Terhadap
pihak kedua yang melanggar perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(4) seperti tersebut diatas, maka segala akibat hukum yang timbul daripadanya
menjadi tanggung jawab penuh pihak kedua yang tidak menghapus perbuatan pidana
baik bagi dirinya maupun pada pihak ketiga yang menerima pembelian tersebut.
Pasal 8
Penutup
Terhadap pelaksanaan perjanjian ini
terdapat kekurangan dan/atau terjadi perbedaan penafsiran, maka kedua belah
pihak sepakat untuk membicarakan secara musyawarah kekeluargaan
Demikian perjanjian ini dibuat oleh
kami para pihak dalam keadaan sehat wal afiat tanpa ada paksaan oleh siapapun
dan dalam bentuk apapun serta dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang masing-masing
di atas materai Rp. 6.000 (enam ribu) serta mempunyai kekuatan hukum yang sama
dan selanjutnya kami (para pihak) membubuhkan tanda tangan diatasnya
B. Analisis
Perjanjian Waralaba “Nira
Tela Fried Cassava”
Perjanjian
Waralaba berdasarkan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang
Waralaba, Perjanjian Waralaba setidaknya memuat:
i.
nama dan alamat para
pihak;
ii.
jenis Hak Kekayaan
Intelektual;
iii.
kegiatan usaha;
iv.
hak dan kewajiban para
pihak;
v.
bantuan, fasilitas,
bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba
kepada Penerima Waralaba;
vi.
wilayah usaha;
vii.
jangka waktu
perjanjian;
viii.
tata cara pembayaran
imbalan;
ix.
kepemilikan, perubahan
kepemilikan dan hak ahli waris;
x.
penyelesaian sengketa;
dan
xi.
tata cara perpanjangan,
pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Waralaba
Nira Tela Fried Cassava
Berdasarkan
ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba,
maka isi perjanjian waralaba Niratela Fried Cassava dapat dianalisis sebagai
berikut :
i.
Nama
dan Alamat Para Pihak
Dalam
perjanjian waralaba Nira Tela Fried Cassava terdapat dua pihak yaitu pihak
pertama selaku franchisor dan pihak kedua selaku franchisee. Pihak pertama
yaitu franchisor adalah pemilik waralaba niratela Fried Cassava Pontianak dan
pihak kedua yaitu franchisee selaku mitra usaha waralaba nira tela fried
cassava, klausula ini menerangkan kedudukan para pihak beserta alamat
masing-masing para pihak yang menandatangani perjanjian waralaba.
ii.
Jenis
Hak Kekayaan Intelektual
Dalam
perjanjian waralaba Nira Tela Fried Cassava jenis hak kekayaan intelektual
yaitu merek dagang, franchisee mendapatkan izin dari franchisor untuk
menggunakan merek dagang dan ciri khas yang dimiliki franchisor dalam
mendistribusikan produknya.
Klausula ini dapat kita
ketahui pada Pasal 1 ayat 1 dan 2 menyebutkan :
Pasal
1
(1).
Pihak
pertama dengan ini menerangkan adalah pihak yang memiliki bahan baku dan merek
dagang niratela Fried Cassava.
(2).
Pihak
Kedua dengan ini menerangkan adalah pihak yang membeli bahan baku selanjutnya
menyewa merek dagang milik pihak pertama dengan nama nira tela Fried Cassava.
iii.
Kegiatan
Usaha
Kegiatan
usaha waralaba Nira Tela Fried Cassava mendistribusikan produk, merek dagang
milik franchisor dengan cara menjual produk yang dilakukan oleh franchisee.
Klausula ini dapat kita ketahui pada Pasal 2 ayat 1 menyebutkan :
Pasal
2
(1).
Pihak
kedua sebelum menjual produk-produk pihak pertama sudah harus memiliki outlet
atau counter penjualan.
Klausula
tersebut, terlihat jelas bahwa kegiatan usaha yang dijalankan waralaba nira
tela Fried Cassava adalah pendistribusian produk nira tela Fried Cassava
melalui outlet-outlet yang dikelola oleh franchisee
iv.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak
Hak
dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba Nira Tela Fried Cassava
diatur dalam Pasal 4 mengenai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pihak
pertama yaitu franchisor menyebutkan:
Pasal
4
(1).
Pihak
pertama berhak atas penjualan bahan-bahan baku kepada pihak kedua.
(2).
Penjualan
bahan-bahan baku kepada pihak kedua hanya mengalihkan hak atas barang namun hak
atas merek tetap menjadi hak pihak pertama.
(3).
Pihak
pertama berhak untuk membatasi besarnya permintaan pihak kedua dengan
memperhatikan potensi pasar di wilayah kerja pihak kedua.
(4).
Pihak
pertama berhak untuk menghentikan dan/atau melayani permintaan pihak kedua atas
bahan baku jika pihak kedua telah dinilai pihak pertama melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan citra buruk atas merek niratela Fried Casava baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
(5).
Pihak
pertama berhak untuk memeriksa outlet atau counter pihak kedua baik dengan atau
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
(6).
Pihak
pertama berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi pihak kedua atas
dasar permintaan yang telah disetujui pihak pertama.
(7).
Pihak
pertama wajib mendengar laporan keadaan baik menyangkut outlet atau counter
penjualan maupun mutu produk yang dijual pihak kedua kepada konsumen.
(8).
Pihak
pertama wajib mendengar keluhan yang timbul dari konsumen yang telah
disampaikan pihak kedua.
Hak dan kewajiban pihak kedua yaitu
franchisee menyebutkan :
(1).
Pihak
kedua berhak atas bahan-bahan baku yang didapatnya secara sah dari pihak
pertama tidak termasuk merek.
(2).
Pihak
kedua berhak untuk menjual langsung kepada konsumen produk pihak pertama yang
telah jadi (produk jadi dan siap makan) dan tidak dibenarkan untuk menjual
produk belum siap saji dan/atau prasaji kepada pihak manapun serta dalam bentuk
dan cara apapun.
(3).
Pihak
kedua berhak untuk dilayani permintaannya oleh pihak pertama terhadap jumlah
dan besarnya bahan-bahan baku yang diperlukan sesuai dengan potensi beli
konsumen yang ada di wilayah kerjanya.
(4).
Pihak
kedua mempunyai hak secara penuh terhadap penentuan orang-orang yang akan
diperkerjakan pada outlet atau counternya.
(5).
Pihak
kedua berhak penuh atas hasil penjualan produk pihak pertama yang dijualnya.
(6).
Pihak
kedua berhak menyampaikan laporan menyangkut produk maupun penjualan kepada
pihak pertama baik diminta maupun tidak.
(7).
Pihak
kedua berkewajiban untuk membayar dan melunasi secara tunai kepada pihak
pertama terhadap sewa merek dan barang bahan-bahan baku yang dibelinya sesuai
dengan jumlah dan besarnya sesuai dengan jumlah dan besarnya bahan-bahan baku
yang dipesannya.
(8).
Pihak
kedua wajib menjaga citra merek pihak pertama baik secara langsung ataupun
tidak langsung.
v.
Bantuan,
Fasilitas, Bimbingan Operasional, Pelatihan dan Pemasaran yang Diberikan
Franchisor Kepada Franchisee.
Bisnis
waralaba, setiap franchisor memberikan bantuan serta fasilitas kepada
franchisee berkenaan dengan waralaba yang dijalani, akan tetapi dalam
perjanjian waralaba Nira Tela Fried Cassava tidak ada klausulanya menjelaskan
bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran kepada
franchisee, akan tetapi di surat pernyataan yang dibuat oleh franchsior untuk
frachisee mencantumkan pernyataan yang menyebutkan “bersedia mengembalikan
segala peralatan milik Nira Tela Fried Cassava atau saya tidak keberatan dan
tidak akan menghalangi penarikan segala peralatan yang saya gunakan dalam
menjual produk-produk Nira Tela Fried Cassava karena peralatan-peralatan
tersebut adalah milik manajemen Nira Tela Fried Cassava Pontianak.
Klausula
mengenai bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran
harus ada karena klausula ini mengandung maksud yang baik supaya franchisor
tidak melarikan diri dari tanggung jawabnya, karena sering kali franchisor
melalaikan tanggung jawabnya untuk membantu franchisee untuk mengembangkan
bisnisnya, padahal bisnis waralaba yang dijalankan franchisee adalah bisnisnya
juga, maka itu bantuan franchisor sangat diperlukan. oleh karena itu Pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun
2007 Tentang Waralaba mencantumkan
klausula bantuan fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran
sebagai salah satu klausula perjanjian waralaba.
vi.
Wilayah
Usaha
Wilayah
usaha penting dicantumkan karena untuk memudahkan franchisee untuk menentukan
tempat usahanya dan untuk memudahkan franchisor dalam mengawasi outlet-outlet
yang dimiliki franchisee. Adanya wilayah usaha berarti ada batasan, darimana
dan sampai mana franchisee boleh mendirikan outlet.
Klausula
ini dapat kita ketahui di Pasal 1 ayat 3, Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 ayat
1menyebutkan :
Pasal
1
(3)
Wilayah kerja adalah wilayah tempat dimana pihak kedua melakukan penjualan
produk-produk pihak pertama yang telah ditetapkan secara bersama-sama.
Pasal
6
(1).
Pihak
pertama dalam menjaga kelangsungan penjualan langsung pihak kedua, kepada
konsumennya, tidak akan memberikan ijin kepada pihak lainnya unuk jarak minimal
1 (satu) kilometer jika dipandang perlu pihak pertama akan meminta pertimbangan
pihak kedua jika akan membuka outlet atau counter pada wilayah.
Pasal
7
(1).
Pihak
kedua dapat mengajukan keberatan atas pembukaan outlet atau counter pada
wilayah kerja yang berdampingan dengan wilayah kerja pihak kedua yang kurang
dari jarak 1 (satu) kilometer.
vii.
Jangka
Waktu Perjanjian
Pasal
5 ayat 1 menyebutkan:
Pasal
5
(1).
Perjanjian
ini berlaku untuk jangka waktu 18 (delapan belas bulan) terhitung sejak
ditandatanganinya perjanjian ini.
viii.
Tata
Cara Pembayaran Imbalan
Tata cara pembayaran imbalan, dalam
klausula perjanjian waralaba Nira Tela Fried Cassava diatur dalam Pasal 2 ayat
3 dan Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan:
Pasal 2
(3) terhadap penggunaan dan pelaksanaan perjanjian
ini pihak pertama dapat menentukan uang sewa merek dagang yang besarnya
ditentukan bersama dan terhadapnya dibuatkan tanda terima.
Pasal 3
(2) Besarnya nilai jual beli bahan baku berupa ubi
kayu hasil olahan pihak pertama, bumbu racikan pihak pertama dan penggunaan
kemasan (packing) milik pihak perama ditentukan secara tersendiri dan
pembayarannya disertai dengan bukti jual beli tertulis tidak termasuk sewa atas
penggunaan merek dagang Nira Tela Fried Cassava.
Klausula dalam perjanjian ini tidak
menjelaskan berapa jumlah uang yang dibayarkan karena besar uang yang
dibayarkan ditentukan bersama.
ix.
Kepemilikan,
Perubahan Kepemilikan dan Hak Ahli Waris
Kepemilikan, perubahan kepemilikan
dan hak ahli waris, diperlukan pengaturan dalam suatu perjanjian tetapi didalam
perjanjian waralaba nira tela ini tidak ada pengaturannya, oleh sebab itu
bagaimana nanti terjadi suatu sengketa tentang kepemilikan, Perubahan
kepemilikan dan hak ahli waris bila tidak ada pengaturannya yang tegas.
x.
Penyelesaian
Sengketa
Penyelesaian sengketa dalam
perjanjian waralaba nira tela Fried Cassava terdapat di Pasal 8 bagian penutup
menyebutkan :
Pasal 8
Terhadap
pelaksanaan perjanjian ini terdapat kekurangan dan/atau terjadi perbedaan
penafsiran, maka kedua belah pihak sepakat untuk membicarakannya secara
musyawarah kekeluargaan.
Surat pernyataan yang dibuat oleh
franchisor untuk franchisee, mencantumkan salah satu isinya yang menyebutkan “saya bersedia dan siap menanggung segala
akibat hukum jika saya melanggar perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
ayat 4 antara saya dengan pihak nira tela Fried Cassava termasuk diproses secara
pidana”.
Berarti penyelesaian sengketa
antara franchisor dengan franchisee selain musyawarah dan juga di pengadilan
negeri.
xi.
Tata
Cara Perpanjangan, Pengakhiran dan Pemutusan Perjanjian.
Tata cara perpanjangan, pengakhiran
dan pemutus perjanjian dalam klausula ini disebutkan dalam Pasal 4 ayat 4 dan
Pasal 5 ayat 2 dan 3 menyebutkan :
Pasal 4
(4) Pihak
pertama berhak untuk menghentikan dan/atau melayani permintaan pihak kedua atas
bahan baku jika pihak kedua telah dinilai pihak pertama melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan citra buruk atas merek niratela fried cassava baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Pasal ini mengenai pemutusan
perjanjian yang dilakukan oleh franchisor kepada franchisee yang melanggar
ketentuan perjanjian.
Pasal 5
(2) Pihak kedua
wajib memberitahukan masa berakhirnya perjanjian ini paling lama 15 (lima
belas) hari sebelum jatuh tempo berakhirnya perjanjian ini secara tertulis.
(3) perjanjian
ini dianggap diperpanjang jika dalam tempo waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat
pemberitahuan pihak kedua disampaikan kepada pihak pertama dan pihak pertama
menyetujui perjanjian ini diperpanjang jika tidak ada pemberitahuan secara
tertulis oleh pihak pertama.
Pasal ini mengenai tata cara
perpanjangan yang dilakukan franchisee.
BAB IV
KESIMPULAN
Perjanjian waralaba, atau dalam bahasa Inggris
disebut franchise, adalah pemberian hak oleh franchisor (pemberi
waralaba) kepada franchisee (penerima waralaba) untuk menggunakan
kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis di bidang perdagangan atau jasa berupa
jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo,
merek dan desain perusahaan, penggunaan rencana pemasaran serta pemberian
bantuan yang luas, waktu atau jam operasional, pakaian dan penampilan karyawan)
sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang atau jasa milik franchisee
sama dengan kekhasan usaha atau bisnis dagang atau jasa milik franchisor. Waralaba merupakan
konsep baru dalam perdagangan internasional yang sangat efektif digunakan oleh
perusahaan multinasional untuk mengembangkan usahanya ke negara lain.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba (PP Waralaba) yang saat ini menjadi dasar hukum bagi
usaha waralaba di Indonesia tidak memberikan pengertian perjanjian
waralaba, akan tetapi PP Waralaba dalam Pasal 1 menyebutkan waralaba adalah hak
khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap
sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang
dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Ketentuan Pasal 3 PP
Waralaba menentukan waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
memiliki ciri khas usaha; b. terbukti sudah memberikan keuntungan; c.
memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa; d. yang ditawarkan
yang dibuat secara tertulis; e. mudah diajarkan dan diaplikasikan; f. adanya
dukungan yang berkesinambungan; dan g. Hak Kekayaan Intelektual yang telah
terdaftar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1)
PP Waralaba ini jelas dimengerti bahwa apabila pemberi dan penerima
waralaba telah sepakat maka perjanjian waralaba harus dibuat dalam
bentuk perjanjian tertulis. Peraturan Pemerintah tentang Waralaba sebagai
dasar hukum yang baru dalam mengatur bisnis waralaba di Indonesia telah
menentukan bahwa isi perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit: nama
dan alamat para pihak, jenis
Hak Kekayaan Intelektual, kegiatan
usaha;, hak dan kewajiban para
pihak, bantuan, fasilitas,
bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba
kepada penerima waralaba, wilayah
usaha, jangka waktu perjanjian, tata cara pembayaran
imbalan, kepemilikan, perubahan
kepemilikan dan hak ahli waris, penyelesaian
sengketa, tata cara perpanjangan,
pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Selain itu para pihak dalam perjanjian
waralaba juga diberikan kebebasan untuk mengatur ketentuan lain yang belum
diatur dalam PP Waralaba tersebut di atas sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. Pengaturan
yang ada di dalam PP waralaba menyangkut hak dan kewajiban para pihak baik
pihak pemberi waralaba maupun pihak penerima waralaba yaitu Pemberi waralaba wajib
memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba pada
saat melakukan penawaran (Pasal 7 PP Waralaba); Pemberi waralaba wajib memberikan
pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran,
penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan (Pasal
8 PP Waralaba); Pemberi
waralaba dan penerima waralaba wajib mengutamakan penggunaan barang dan/atau
jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang
dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba (Pasal 9
ayat (1) PP Waralaba); Pemberi
waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah
setempat sebagai penerima waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang
memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba (Pasal 9
ayat (2) PP Waralaba); Pemberi
waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat
perjanjian waralaba dengan penerima waralaba (Pasal 10 PP Waralaba); Penerima waralaba wajib
mendaftarkan perjanjian waralaba (Pasal 11 PP Waralaba).
[1] Ita
Gambiro, Laporan Akhir Tim Penyusunan
Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Usaha Waralaba (Franchise), Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, 1995, hlm. 1.
[2] Warren
J. Keegen, Global Marketing Management,
New York: Baron’s Educational Series
Inc, 1990, hlm. 73.
[3] Donald
W. Hackett, The International Expansion
of U.S. Franchise Systems:
Status and
Strategies, Durham:
Whittemore School of Bussiness, University of New Hampshire, 1976, hlm. 76.
[4] Ibid.
[5] Colin Barrow, Taking Up a Franchise, Kogan Page
Limited, London, 1992, hlm. 48.
[6] Gunawan Widjaja, Waralaba, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2003, hlm. 5.
[7] Ibid.
[8] Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 16 tahun 1997 tentang Waralaba.
[9] Gunawan Widjaja,
Waralaba (Seri Hukum Bisnis), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.32.
[10] Ita Gambiro, Usaha Waralaba, Jakarta: BPHN, 1995, hlm.
46.
[11] Harian Bisnis
Indonesia, Edisi 19 November, Jakarta, 2007, hlm. 3.
[12] Direktori Franchise
Indonesia, Asosiasi Franchise Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 89.
[13] Juajir
Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 33.
[14] Subekti,
Tjtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Cet. XXXIV, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 338.
[15] Salim
HS, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), PT. Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, hlm. 8.
[16] Ibid.
[17] IG Rai Widjaya, Merancang
Suatu Kontrak, Kesaint Blanc, Jakarta, 2007, hlm. 11.
[19] Ibid., hlm.
109.
[20] Gunawan
Widjaja, Franchise Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Rajawali Press,
Jakarta, 2007,
halaman 25.
[22] Ibid., halaman
33-34.
[23] Pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
[24] Martin
Mendelson, Franchising, Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, Pustaka
Binaman Pressindo,
Jakarta, 1997,
halaman 58-63.
[25] Amir
Karamoy, Sukses Usaha Lewat Waralaba, Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta, 1996,
halaman 97.
[27] Subekti,
Tjtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Cet. XXXIV, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 342.
Selamat malam bapak Sendi Nugraha, SH.,M.Kn.
BalasHapusSetelah saya baca tulisan bapak tentang waralaba ini, saya bisa mengetahui source asli untuk akta perjanjian waralaba dari Nira Tela Fried Cassava?
karena saya ingin mengkajinya lebih dalam.
tulisan dari bapak ini sungguh bermanfaat bagi saya.
terima kasih.
salam dari saya Arief
sami", semoga bermanfaat untuk semua. :)
Hapus