Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Rabu, 27 Maret 2013

ANALISA PERANAN THE LENDER OF THE LAST RESORT (LOLR) TERHADAP PEREKONOMIAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berdasarkan sejarah bank sentral di dunia, fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LOLR) telah dikenal sejak akhir abad ke-19. Pada umumnya, peranan utama LOLR adalah untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik dalam suatu perekonomian. Sebagaimana sifat dari bank yang cenderung menghadapi risiko likuiditas sebagai konsekuensi dari usahanya menempatkan dana dalam bentuk kredit dengan jangka waktu lebih panjang dan menerima dana (simpanan) dengan jangka waktu lebih pendek. Dengan demikian krisis likuiditas akan menjadi meningkat jika deposan menarik dananya sehingga  dapat mengakibatkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (bank runs). Tanpa kehadiran bank sentral sebagai peminjam terakhir, bank run di salah satu bank dapat menjalar ke bank lainnya dan akhirnya terjadi kegagalan sistemik pada sistem perbankan secara keseluruhan.
Intervensi bank sentral secara langsung melalui kebijakan LOLR tersebut semakin penting sejak krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997-1998. Hubungan erat antara krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis sektor riil merupakan salah satu alasan mengenai pentingnya peranan LOLR. Pengalaman empiris pada krisis perbankan dan krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, seperti Thailand, Korea dan Indonesia, pada tahun 1997/1998 telah mengakibatkan terjadinya kontraksi yang tajam pada perekonomian negara-negara tersebut.
           
Menyadari akan dampak krisis perbankan yang dapat menimbulkan kegagalan sistemik dan pada lanjutannya mengakibatkan kontraksi ekonomi yang lebih dalam, maka pemerintah dan BI pada krisis perbankan tahun 1997/1998 memberikan LOLR kepada sebagian besar perbankan nasional. LOLR tersebut dalam praktek di Indonesia dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1.2.Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan  judul yang telah dikemukakan  maka permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.  Bagaimana relevansi penyaluran BLBI dalam  konteks krisis perbankan ?
2.   Bagaimana efektivitas BLBI dalam  mengatasi krisis likuiditas perbankan ?
3.  Seberapa besarkah  dampak  sosial penyaluran BLBI terutama terhadajumlah uang beredar, nilaitukar, inflasi, suku bunga dan output ?
      2. Batasan Masalah
Dalam pembahasan penulisan ini penulis akan membahas mengenai hal yang berhubungan dengan tema utama penelitian yakni mengenai analisa peranan The Lender of The Last Resort yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan  masalah yang dihadapi, maka tujuan penelitian dapat dinyatakan sebagai berikut :
1.        Mengkaji relevansi penyaluran BLBI dalam konteks krisis perbankan;
2.
   Mengkaji efektivitas BLBI dalam mengatasi krisis likuiditas perbankan;
3.
    Mengukur dampak sosial penyaluran BLBI terutama terhadap jumlah uang beredar, nilaitukar, inflasi, suku bunga dan output.
1.4. Manfaat Penelitian
         Melalui kegiatan penelitian ini, penulis berharap akan mendapatkan  banyak manfaat. Adapun manfaat-manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah :
1.       Manfaat Akademis
·           Menambah wawasan dan pengetahuan  mengenai Bank Indonesia.
·           Penulisan ini dapat dijadikan sumber informasi bagi penelitian lanjutan di bidang yang sama.
2.       Manfaat Praktis
·           Sebagai media untuk menyalurkan informasi yang efektif mengenai Bank Indonesia
1.5. Metode Penelitian
        Dalam penelitian tugas ini penulis memerlukan informasi yang akurat agar dapat dicapai suatu pembahasan yang rasional, untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penyusunan tugas ini menempuh cara dengan menggunakan metode :
1.5.1 Objek Penelitian
            Objek penelitian yang penulis amati ini adalah BANK INDONESIA terletak di Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Indonesia.
1.5.2 Metode Pengumpulan Data
            Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam menyusun tugas ini adalah sebagai berikut :
1.      Studi Pustaka
Adapun studi pustaka ini diperoleh dari beberapa literatur, baik berupa buku-buku perpustakaan dan artikel-artikel dari internet.
2.      Konsultasi dan Diskusi
Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten didalam bidang ini, sehingga secara konsep, kegiatan dalam tugas ini dapat dipertanggungjawabkan.



BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Kerangka Teori

2.1.1    Status dan Kedudukan Bank Indonesia

Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 67 dan 68, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lainnya. Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun terhadap kewajiban untuk menolak campur  tangan, diancam penjara minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun serta denda minimal Rp 2.000.000.000 dan maksimal Rp 5.000.000.000.

Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum  perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
2.1.2 Misi dan Visi Bank Indonesia
1. Misi Bank Indonesia
Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan.
2. Visi Bank Indonesia
Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
2.1.3 Sasaran Srategis Bank Indonesia
Untuk mewujudkan Misi, Visi dan Nilai-nilai Strategis tersebut, Bank Indonesia menetapkan sasaran strategis jangka menengah panjang, yaitu:
 1. Memelihara Kestabilan Moneter;
 2. Memelihara Kondisi Keuangan Bank Indonesia yang Sehat dan Akuntabel;
 3. Meningkatkan Efektivitas Manajemen Moneter;
 4. Meningkatkan Sistem Perbankan yang Sehat dan Efektif serta Sistem Keuangan yang Stabil;
 5. Memelihara Keamanan, Kehandalan, dan Efisiensi Sistem Pembayaran;
 6. Meningkatkan Efektivitas Pelaksanaan Good Governance;
7. Memperkuat Inst itusi Bank Indonesia melalui Penciptaan Sinergi antara SDM, Informasi Pengetahuan, dan Rancangan Organisasi dengan Strategi Bank Indonesia;
 8. Mengarahkan dan Memantau Efektivitas Perubahan Strategis Bank Indonesia.
2.1.4 Tujuan Bank Indonesia
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan  tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Pasal 7). Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu:
1.  Kestabilan nilai mata uang terhadap harga barang dan jasa yang dinyatakan dengan nilai inflasi;
2.  Kestabilan nilai mata uang terhadap mata uang negara lain yang dinyatakan dengan nilai kurs.
Perumusan  tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian,tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
2.1.5 Tugas Bank Indonesia
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan  tiga bidang tugasnya (Undang-Undang N0.23 Tahun 1996, Pasal 8), yaitu:
1.    Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
Tugas penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia (Undang-Undang No.23 Tahun 1999, Pasal 10) adalah sebagai berikut:
a.    BI menetapkan sasaran inflasi dengan memperhatikan perkembangan dan prospek ekonomi makro, terutama perkembangan harga
b.    Untuk mencapai sasaran laju inflasi tersebut, BI menetapkan sasaran besaran moneter atau likuiditas perekonomian
c.    Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, antara lain:
  • Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka merupakan cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan  Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
  • Penetapan cadangan wajib minimum
Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. 
·        Pengaturan kredit atau pembiayaan

Dengan status Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang independen, pemberian kredit program yang selama ini dilakukan selanjutnya berada di luar lingkup tugas Bank Indonesia.
Tugas pemberian kredit program akan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk Pemerintah. Pengalihan tugas ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat lebih memfokuskan perhatian pada pencapaian sasaran-sasaran moneter serta agar dapat tercipta pembagian tugas yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia. 
2.    Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan Sistem Pembayaran Nasional. Selain itu, Bank Indonesia juga memiliki kewenangan memberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas Sistem Penbayaran Nasional. Menyadari kelancaran Sistem Pembayaran Nasional yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas Bank Indonesia dalam Sistem Pembayaran Nasional misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga merupakan satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. Bank Indonesia juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, Bank Indonesia pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen Sistem Pembayaran Nasional ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. Bank Indonesia juga menentukan standar alat-alat pembayaran tersebut serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. Bank Indonesia juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya Bank Indonesia juga mesti menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) Sistem Pembayaran Nasional.
3. Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia
            Dalam hal tugas pengaturan dan pengawasan bank (Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Pasal 24), maka Bank Indonesia berwenang:
a.   Menetapkan peraturan di bidang perbankan
b.   Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan tertentu dari bank
c.   Melakukan pengawasan bank baik, langsung maupun tidak langsung
d.  Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengalihan tugas pengawasan bank akan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang akan dibentuk nantinya, yang dinamakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
2.1.6 Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga Lain
1.  Hubungan dengan Presiden sebagai Kepala Negara, yaitu mengusulkan dan mengangkat Gubernur dan Deputi Gubernur Senior, mengangkat Deputi Gubernur, dan memberikan persetujuan tertulis jika anggota Dewan Gubernur akan menjalani proses peradilan
2.   Hubungan dengan Mahkamah Agung dalam hal anggota Dewan Gubernur  mengucapkan sumpah/janji
3.  Hubungan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yaitu memeriksa laporan keuangan tahunan BI dan melakukan pemeriksaan khusus apabila diminta oleh DPR
4. Hubungan dengan Pemerintah dalam hal pemuatan PBI dalam lembaran Negara RI, pelaksanaan ketentuan larangan membawa uang rupiah keluar atau ke dalam wilayah pabean RI, hadir dalam Rapat Deputi Gubernur (RDG) bulanan untuk menetapkan kebijakan umum dibidang moneter dengan hak bicara tanpa hak suara, untuk dan atas nama pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, dan membantu pemerintah dalam penerbitan surat-surat utang negara
5. Hubungan internasional yaitu kerjasama dengan bank sentral negara lain, organisasi, dan lembaga internasional
6.  Hubungan dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan yang Independen jika lembaga pengawasan dimaksud telah dibentuk
2.1.7 Kebijakan Sistem Nilai Tukar Bank Indonesia
Sejak periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali,  yaitu:
1.    Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana lembaga otoritas moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun permintaan terhadap valuta asing yang terjadi.  Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar ke arah yang telah ditetapkan. Tindakan yang diambil oleh otoritas moneter bisa berupa pembelian ataupun penjualan valuta asing, bila tindakan ini tidak mampu mengatasinya, maka akan dilakukan penjatahan valuta asing.
Sistem nilai tukar tetap yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1964 dengan nilai tukar resmi Rp 250/US Dollar, sementara nilai tukar Rupiah terhadap mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar Rupiah per US Dollar di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional. Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu yang pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah ditetapkan kembali menjadi Rp 378/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi Rp 415/US Dollar dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625/US Dollar. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional.
2.    Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Nilai tukar mengambang terkendali, dimana pemerintah mempengaruhi tingkat nilai tukar melalui permintaan dan penawaran valuta asing, biasanya sistem ini diterapkan untuk menjaga stabilitas moneter dan neraca pembayaran.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread.
Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US Dollar. Nilai tukar Rupiah berubah-ubah antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar. Dengan perkataan lain, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak pasti.
3.    Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Nilai tukar mengambang bebas, dimana pemerintah tidak mencampuri tingkat nilai tukar sama sekali sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta asing. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk mencapai penyesuaian yang lebih berkesinambungan pada posisi keseimbangan eksternal (external equilibrium position). Tetapi kemudian timbul indikasi bahwa beberapa persoalan akibat dari kurs yang fluktuatif akan timbul, terutama karena karakteristik ekonomi dan struktur kelembagaan pada negara berkembang masih sederhana. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas ini diperlukan sistem perekonomian yang sudah mapan.
Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat.
Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.
2.1.8 Bank Indonesia Sebagai The Lender of The Last Resort
Fungsi bank sentral sebagai The Lender of The Last Resort (LOLR) telah dikenal sejak akhir abad ke-19 dan peranan tersebut semakin menonjol sejak perekonomian suatu negara menerapkan sistem fiat money khususnya lagi sejak runtuhnya sistem standar emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods pada tahun 1973. Pada dasarnya LOLR merupakan pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik. Mengingat resiko sistemik yang terjadi di perbankan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian, maka terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya krisis tersebut dengan intervensi langsung dari bank sentral/pemerintah dengan menyediakan fasilitas pinjaman (LOLR) kepada bank dalam rangka menutupi liquidity missmatch. Secara teoritis, intervensi bank sentral/pemerintah diperlukan dalam hal terjadi mekanisme pasar tidak sempurna khususnya dengan adanya market failure. Pada dasarnya terdapat 2 jenis market failure yang merupakan karakteristik dari sektor perbankan, yaitu kemungkinan terjadinya kesulitan likuiditas dan resiko sistemik kegagalan bayar suatu bank terhadap bank lainnya (systemic risk). Penyediaan likuiditas bank sentral/ pemerintah tersebut merupakan pilihan terakhir bagi bank setelah pasar uang tidak dapat memenuhi kebutuhan bank.
Kehadiran bank sentral dalam fungsinya menjalankan LOLR dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian karena dapat mengurangi terjadinya krisis keuangan yang parah dan mengurangi terjadinya fluktuasi dalam siklus ekonomi Miron (1986). Secara umum, fasilitas LOLR berfungsi untuk: (i) mencegah terjadinya bank run baik yang terjadi secara individual maupun yang bersifat sistemik dan (ii) mengatasi masalah kesulitan likuiditas yang terjadi secara temporer. Fungsi yang pertama adalah dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya panik diantara penabung. Jadi fungsi ini bersifat untuk selalu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Fungsi yang kedua adalah dimaksudkan untuk menghindari terjadinya interupsi dalam cash flow suatu bank akibat mismatch antara kewajiban dan kekayaan bank yang bersifat sangat jangka pendek (day to day basis). Interupsi dalam cash flow pada suatu bank dapat menjadi ancaman yang serius tidak hanya bagi bank itu sendiri tetapi bagi bank-bank lainnya juga.

Tabel 2.1
Institusi Bank Sentral Sebelum Tahun 1990
Bank
Didirikan
Lender of last resort
(dekade)
Sverige Riskbank
1668
1890
Bank of England
1694
1870
Banque the France
1800
1880
Bank of Finland
1811
1890
Nederlandsche Bank
1814
1870
Austrian National Bank
1816
1870
Norges Bank
1816
1890
Danmarks National Bank
1818
1880
Banco de Portugal
1846
1870
Belgian National Bank
1850
1850
Banco de Espana
1874
1810
Reichsbank
1876
1880
Bank of Japan
1882
1880
Banca D’Italia
1893
1880
Sumber : Juliette Healey (2001)
Berdasarkan fungsinya terdapat dua jenis LOLR, yaitu
1)        LOLR normal
Merupakan  pemberian bantuan likuiditas yang bersifat sementara oleh bank sentral/pemerintah kepada bank. Pemberian fasilitas LOLR ini harus didukung dengan jaminan (collateral) yang cukup dan berfungsi menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas moneter.
2)        LOLR krisis.
Merupakan pemberian bantuan likuiditas yang bersifat sementara oleh bank sentral/pemerintah kepada bank. Pemberian fasilitas LOLR ini harus didukung dengan jaminan (collateral) yang cukup dan berfungsi menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas moneter. Sementara LOLR krisis adalah pemberian fasilitas pinjaman likuiditas kepada bank dalam rangka menghindarkan resiko sistemik pada perbankan secara keseluruhan. Pemberian fasilitas ini dapat dimungkinkan diberikan kepada bank-bank yang kurang jaminan dan bank yang insolvent tetapi dengan jaminan pemerintah.




BAB III
METODE PENELITIAN

Metode Peneliti
           Untuk mendapatkan data yang diperlukan serta untuk melakukan analisis data dari objek yang diteliti, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tugas ini adalah sebagai berikut:


3.1.Objek Penelitian

            Objek dalam penulisan ilmiah ini adalah BANK INDONESIA terletak di Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Indonesia.



3.2.Metode Pengumpulan Data

            Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam menyusun tugas ini adalah sebagai berikut :

1.      Studi Pustaka

Adapun studi pustaka ini diperoleh dari beberapa literatur, baik berupa buku-buku perpustakaan dan artikel-artikel dari internet.
2.      Konsultasi dan Diskusi
Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten didalam bidang ini, sehingga secara konsep, kegiatan dalam tugas ini dapat dipertanggungjawabkan.






BAB IV
PEMBAHASAN





4.1. Data dan Profil Objek Penelitihan
1. Sejarah Singkat Bank Indonesia
Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh De Javasche Bank sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu pemerintah sebagai agen pembangunan yang mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang  No.23 Tahun 1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.
2. Dewan Gubernur










Gambar 4.1
      Bagan Organisasi Bank Indonesia
            
        Dewan Gubernur (Undang-Undang No.23 Tahun 1999, Pasal37) terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Senior sebagai wakil. Sesuai dengan independensi yang dimilikinya, maka Bank Indonesia tidak lagi memberikan laporan pertanggungjawabannya kepada Presiden sebagaimana Undang-Undang terdahulu, melainkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Gubernur Bank Indonesia bukan anggota kabinet.
            Pengangkatan Dewan Gubernur diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia adalah:
1.  Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh  Presiden, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2.    Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh Presiden, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
 3.      Anggota Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali dalam jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
4.      Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara
berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua) orang.
            Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik. Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti tindak pidana kejahatan, atau berhalangan tetap. Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden (Perlindungan Hukum Administratif).

Tabel 4.1
 Gubernur Bank Indonesia
Periode tahun 1953 – 2011
Tahun
Gubernur Bank Indonesia
2010 – sekarang
Darmin Nasution
2009 – 2010
Darmin Nasution (Pelaksana Tugas)
2009
Miranda Gultom (Pelaksana Tugas)
2008 – 2009
Boediono
2003 – 2008
Burhanuddin Abdullah
1998 – 2003
Syahril Sabirin
1993 – 1998
Sudrajat Djwandono
1988 – 1993
Adrianus Mooy
1983 – 1988
Arifin Siregar
1973 – 1983
Rachmat Saleh
1966 – 1973
Radius Prawiro
1963 – 1966
T. Jusuf Muda Dalam
1960 – 1963
Mr. Soemarno
1959 – 1960
Mr. Soetikno Slamet
1958 – 1959
Mr. Loekman Hakim
1953 – 1958
Mr. Sjafruddin Prawiranegara
3.    Transparansi dan Akuntabilitas
Bank Indonesia terus berupaya mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas baik dalam pelaksanaan tugas pokok maupun pengelolaan sumber daya.
Dalam rangka transparansi publik, Bank Indonesia menyediakan website www.bi.go.id dan menyelenggarakan konferensi pers atau mengirimkan siaran pers ke media massa. Masih dalam rangka transparansi, Bank Indonesia terus meningkatkan interaksi dan keterbukaan dengan pihak eksternal manakala mencari masukan untuk menetapkan kebijakan-kebijakannya. Bank Indonesia juga menerima kunjungan dari berbagai instansi dalam rangka diskusi mengenai kondisi perkenonomian terkini dan kebijakan Bank Indonesia. Gerainfo, Museum Bank Indonesia, dan Perpustakaan Bank Indonesia juga senantiasa terbuka melayani masyarakat yang ingin mencari informasi mengenai Bank Indonesia dan tugas-tugasnya.
Dalam rangka akuntabilitas, Dewan Gubernur senantiasa menempatkan forum rapat dengan DPR-RI sebagai sarana untuk memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta menerima masukan dari para wakil rakyat. Bank Indonesia juga menyampaikan laporan kepada DPR-RI yang menjelaskan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta rencana kebijakan, sasaran, dan langkah-langkah pelaksanaan tugas di tahun mendatang. Pada gilirannya, laporan dimaksud akan menjadi bahan pertimbangan DPR-RI dalam menilai kinerja Bank Indonesia dan Dewan Gubernur. Dalam rangka informasi, laporan yang sama juga disampaikan kepada Pemerintah dan dipublikasikan di media massa serta Berita Negara.
Guna membantu DPR-RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia, UU Bank Indonesia telah menetapkan pembentuan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). BSBI beranggotakan lima orang yang dipiliholeh DPR-RI dan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Tugas BSBI mencakup telaahan atas Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia,
anggaran operasional dan anggaran investasi, serta prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional di luar kebijakan moneter dan pengelolaan aset Bank Indonesia. BSBI menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada DPR-RI secara triwulanan atau setiap waktu diminta oleh DPR-RI.
Sementara itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban anggaran, Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan-RI serta Neraca Keuangan Mingguan dalam Berita Negara RI dan dipublikasikan di website Bank Indonesia.
4.2  Hasil Penelitian dan Analisis Pembahasan
  Secara teoritis pentingnya fungsi The Lender of The Last Resort (LOLR) dikemukakan oleh Diamond dan Dybvig (1983). Pada dasarnya argumen mereka dilandasi oleh kenyataan bahwa transaksi perbankan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.    Bank meminjam dana dari nasabah secara jangka pendek dalam bentuk tabungan dan deposito
2.    Bank menyalurkan kredit yang bersifat jangka panjang kepada debitur. Dari realitas tersebut ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, selama nasabah percaya bahwa dananya relatif aman serta ada kepastian bahwa mereka dapat menarik dana sesuai dengan kebutuhan, maka nasabah akan terus menyimpan dananya di bank. Kedua, jika nasabah tidak yakin bahwa dananya akan dikembalikan sepenuhnya oleh bank, maka akan terjadi bank run yaitu dimana sebagian besar atau seluruh nasabah menarik simpanannya secara serentak dari bank.
            Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hadori (2002) untuk kasus Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian LOLR atau BLBI oleh Bank Indonesia/ Pemerintah dapat mencegah terjadinya kontraksi perekonomian Indonesia yang lebih parah lagi jika dibandingkan tidak ada pemberian BLBI. Dengan mengasumsikan terjadinya “dooms day” maka tanpa adanya pemberian fasilitas LOLR/ BLBI kepada bank maka fungsi intermediasi perbankan terhambat dan sistem pembayaran dalam dan luar negeri terganggu sehingga secara keseluruhan ekonomi akan mengalami kontraksi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan perekonomian ekonomi dengan BLBI.
Untuk mencegah terjadinya bank run, Diamond dan Dybvig (1983) mengusulkan tiga solusi yaitu: lender the last resort (LLR), suspension of convertibility (SC), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Dengan adanya LLR dan LPS, nasabah menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu dapat dipenuhi oleh bank. Oleh karena itu tidak akan ada kekawatiran dari seorang nasabah mengenai kemampuan bank untuk memenuhi semua kewajibannya.
Diamond dan Dybvig memodelkan bank sebagai suatu agen yang memiliki teknologi untuk mentransformasikan aset jangka panjang menjadi liability jangka pendek. Selain itu, deposan dibagi menjadi dua tipe yaitu mereka yang cenderung melakukan investasi jangka pendek (satu periode transaksi) dan mereka yang melakukan investasi jangka panjang (dua periode transaksi). Kontrak bank dengan deposan memungkinkan kedua jenis deposan tersebut untuk menarik simpanan di bank kapan saja sesuai dengan keinginan mereka. Penarikan untuk periode pertama diberikan tingkat suku bunga yang lebih rendah dibanding penarikan pada periode kedua. Akan tetapi likuidation value dari aset-aset jangka panjang bank lebih rendah dibandingkan total kewajibannya pada periode yang pertama jika semua deposan menarik simpanannya di bank.
Panik dapat terjadi karena dalam esensinya bank menghadapi masalah a squential service constraint dimana pembayaran oleh bank kepada deposan tidak tergantung pada informasi tentang kesehatan bank di masa yang akan datang tetapi hanya tergantung pada posisi dan jumlah nasabah dalam antrian penarikan simpanan. Oleh karena itu jumlah uang yang dapat ditarik oleh nasabah sangat tergantung pada apakah seorang nasabah menarik lebih dulu dibanding nasabah lainnya. Karena likuidation value dari aset-aset perbankan jauh lebih rendah dibanding total kewajibannya, maka sejumlah nasabah yang terlambat melakukan penarikan tidak akan dapat memperoleh uangnya kembali. Dengan kata lain akan ada insentif bagi semua deposan untuk saling mendahului dalam antrian penarikan simpanan. Hal ini terjadi kalau seandainya terjadi panik diantara nasabah.
Salah satu cara untuk mengatasi panik adalah dengan cara memberlakukan suspension of convertibility (SC) atau penghentian pengkonversian dari simpanan menjadi uang cash. Dalam kasus seperti ini deposan hanya bisa menguangkan simpanan sesuai dengan kontrak simpanannya, dalam arti bahwa simpanan yang belum jatuh tempo tidak bisa ditarik.
Alternatif yang kedua untuk mencegah terjadinya panik adalah dengan mengadakan fasilitas LLR. Dengan adanya fasilitas ini, bank tidak harus melakukan likuidasi aset-asetnya untuk melayani terjadinya panik.
Oleh karena itu fasilitas LLR memiliki dua fungsi yaitu:
1.     Memberikan kemampuan pada bank untuk melayani seluruh penarikan
2.     Mencegah bank melakukan likuidasi aset-aset produktivnya
Akan tetapi fasilitas LLR memiliki tiga kelemahan sebagai berikut:
1.    Fasilitas ini relatif terbatas scope-nya untuk mengatasi masalah kesulitan likuiditas perbankan
2.    Fasilitas ini biasanya juga disertai dengan infusi jumlah uang yang beredar sehingga cenderung meningkatkan inflasi dan ketidakpastian dalam nilai tukar
3.    Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, tidak ada jaminan bahwa return on investment dari aset kredit perbankan akan mampu menutup semua kewajibannya terhadap otoritas penyedia LLR
Jadi, walaupun LLR dapat secara efektif mengurangi panik, fasilitas ini bisa merugikan pemerintah yang pada akhirnya kerugian ini dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk pajak yang lebih tinggi maupun terjadinya peningkatan inflasi (inflation taxs).
Social cost
Penyediaan fasilitas LLR sangat berkaitan dengan proses penciptaan uang, karena bantuan likuiditas terhadap bank merupakan bagian dari base money. Pada intinya base money dapat didekomposisi menjadi dua komponen yaitu NFA dan NDA. BLBI merupakan salah satu komponen dalam NDA, sehingga peningkatan jumlah BLBI akan secara otomatis meningkatkan jumlah uang yang beredar (base money) jika tidak disertai dengan upaya counter balance melalui penurunan NFA ataupun komponen NDA lainnya. Kalau hal ini terjadi maka dengan adanya BLBI, pencapaian target moneter menjadi lebih sulit untuk dipenuhi. Sebagaimana diungkapkan dalam bagian terdahulu ternyata pembengkakan penyaluran BLBI disertai dengan peningkatan jumlah uang yang beredar. Jadi, pada intinya social cost dari BLBI bisa dirunut melalui peningkatan jumlah uang yang beredar dan dampaknya terhadap ekonomi makro.
Dalam konteks ekonomi terbuka dan regim nilai tukar mengambang, Dornbusch (1976) mengusulkan suatu model overshooting yang pada intinya menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek akan mengalami overshooting terhadap keseimbangan jangka panjangnya. Artinya jika terjadi suatu shock moneter maka fluktuasi nilai tukar menjadi sangat sulit untuk diprediksi.
            Peningkatan jumlah BLBI yang disertai dengan peningkatan base money akan menyebabkan nilai tukar selain terdepresiasi secara tajam, fluktuasi jangka pendeknya menjadi sangat volatile. Oleh karena itu peningkatan BLBI dapat menyebabkan ketidakpastian nilai tukar atau peningkatan dalam exchange rate risk.
Dalam monetary approach to balance of payments, jumlah uang yang beredar dan nilai tukar pada gilirannya menyebabkan peningkatan inflasi. Walaupun pass through effect dari depresiasi nilai tukar tidak berdampak penuh terhadap inflasi dalam jangka pendek, inflasi bisa menjadi jauh di atas normal jika terjadi depresiasi dalam skala besar. Dengan demikian, peningkatan BLBI akan berasosiasi dengan:
1.    Peningkatan base money
2.    Depresiasi nilai tukar secara berlebihan
3.    Volatilitas nilai tukar
4.    Inflasi secara berlebihan
Metode Empiris
Manfaat sosial BLBI dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.    BLBI menghindarkan bank yang sehat menjadi bankrupt akibat dilanda rush
2.    Fungsi intermediasi bank dapat dipertahankan sehingga krisis sistemik dapat dihindarkan
3.    Bank-bank yang sehat dapat terhindar dari rush, sehingga kredit yang disalurkan kepada perusahaan tidak berhenti secara total.
            Biaya sosial BLBI dapat diidentifikasi melalui peningkatan jumlah uang yang beredar. Dampak dari hal ini akan menyebabkan tidak terkendalinya nilai tukar, meningkatnya inflasi, dan tingginya tingkat suku bunga. Pada gilirannya hal ini akan mengakibatkan kontraksi output dan ketidakpastian iklim ekonomi makro. Selain itu, perusahaan dan bank yang tadinya sehat dapat terkena imbas negatif dari penyeluran BLBI.




BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
            Dari uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis mencoba untuk menarik kesimpulan bahwa:
1. Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LOLR) telah dikenal sejak akhir abad ke-19. LOLR merupakan pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan simaksudkan untuk mencegah terjadinya krisis keuangan yang sistemik pada perbankan. Tidak berbeda dengan negara-negara lainnya, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan fasilitas LOLR yang diberikan BI/Pemerintah untuk mencegah terjadinya resiko sistemik pada perbankan nasional.
2. BLBI berdampak sangat signifikan dalam mencegah terjadinya kontraksi yang lebih besar terhadap perekonomian nasional pada masa krisis (tahun 1998). Dengan mengasumsikan terjadinya dooms day bila BLBI tidak diberikan maka fungsi intermediasi perbankan akan terganggu dan sistem pembayaran dalam dan luar negeri terhambat sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kontraksi perekonomian yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kontraksi perekonomian dengan adanya BLBI.
3. Berdasarkan hasil kajian penelitian ini terdapat beberapa temuan penting yang patut dicatat. Berbeda dengan penelitian sebelumnya dampak penyaluran BLBI terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan bersifat marjinal. BLBI dapat menghindarkan terjadinya penurunan tingkat output nasional. Krisis likuiditas yang dialami perbankan akan menciptakan ongkos yang lebih besar jika tanpa disertai dengan penyaluran BLBI.
4. Penyaluran BLBI ternyata juga memberikan dampak overshooting terhadap nilai tukar. Hal ini disebabkan oleh ekspansi moneter yang ditimbulkan oleh pencetakan uang untuk memenuhi permintaan likuiditas bank-bank. Overshooting ini pada gilirannya bisa mempertinggi tingkat risiko terjadinya krisis sistemik karena perusahaan dan bank mengalami kerugian akibat terjadinya depresiasi yang berlebihan. Oleh karenanya penyaluran BLBI tidak selamanya memiliki dampak positif.
5. Dampak sosial BLBI pada dasarnya sulit untuk diukur sehingga apapun hasil dari suatu simulasi atas suatu model perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Untuk periode krisis sangat sulit untuk mendapatkan hasil estimasi parameter secara akurat. Kalaupun parameter yang akurat bisa kita dapatkan, kita masih menghadapi masalah endogenisasi faktor risiko akibat terlalu banyaknya kejadian-kejadian luar biasa selama krisis. Secara ideal, risiko juga harus bersifat conditional terhadap opsi kebijakan. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena risiko itu sendiri sulit untuk didekomposisi.
5.2. Saran
1. Pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas harus tetap berlanjut, jangan sampai ditiadakan guna mencegah terjadinya krisis keuangan yang sistemik pada perbankan.
2. Krisis likuiditas yang dialami perbankan harus disertai dengan penyaluran BLBI agar tidak menciptakan biaya yang lebih besar lagi.
3. Minimalisir dampak overshooting yang disebabkan oleh penyaluran BLBI agar
resiko terjadinya krisis sistemik tidak terlalu besar.




DAFTAR PUSTAKA
1.        asaki89.blogspot.com, 29 September 2011
2.        http://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia, 29 September 2011
3.        http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_Moneter, 29 September 2011
4.        http://putracenter.net/2009/09/23/perkembangan-kebijakan-sistem-nilai-tukar-di-Indonesia  , 29 September 2011
5.   http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/pilar1.htm,  29 September 2011
6.        http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Organisasi, 29 September 2011
7.     Rodoni, Ahmad, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Kesatu, Penerbit Center for Social and Economics Studies (CSES) Press, Jakarta, 2006.
8.        www.bi.go.id/../dperanan1.pdf, 29 September 2011
9.    http://diniasariirna.blogspot.com/2011/12/analisa-peranan-lender-of-last-resort.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar