BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berdasarkan
sejarah bank sentral di dunia, fungsi bank sentral sebagai lender of the
last resort (LOLR) telah dikenal sejak akhir abad ke-19. Pada umumnya, peranan
utama LOLR adalah untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik dalam suatu
perekonomian. Sebagaimana sifat dari bank yang cenderung menghadapi risiko
likuiditas sebagai konsekuensi dari usahanya menempatkan dana dalam
bentuk kredit dengan jangka waktu lebih panjang dan menerima dana (simpanan)
dengan jangka waktu lebih pendek. Dengan demikian krisis likuiditas akan
menjadi meningkat jika deposan menarik dananya sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (bank runs). Tanpa kehadiran
bank sentral sebagai peminjam terakhir, bank run di salah satu bank dapat
menjalar ke bank lainnya dan
akhirnya terjadi kegagalan sistemik pada sistem perbankan secara keseluruhan.
Intervensi bank sentral secara langsung melalui
kebijakan LOLR tersebut semakin penting sejak krisis keuangan yang terjadi pada
tahun 1997-1998. Hubungan erat antara krisis perbankan, krisis keuangan dan
krisis sektor riil merupakan salah satu alasan mengenai pentingnya peranan
LOLR. Pengalaman empiris pada krisis perbankan dan krisis keuangan yang terjadi
di negara-negara Asia, seperti Thailand, Korea dan Indonesia, pada tahun
1997/1998 telah mengakibatkan terjadinya kontraksi yang tajam pada perekonomian
negara-negara tersebut.
Menyadari akan dampak krisis perbankan yang dapat
menimbulkan kegagalan sistemik dan pada lanjutannya mengakibatkan kontraksi
ekonomi yang lebih dalam, maka pemerintah dan BI pada krisis perbankan tahun
1997/1998 memberikan
LOLR kepada sebagian besar perbankan nasional. LOLR tersebut dalam
praktek di Indonesia dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).
1.2.Rumusan
dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul yang telah dikemukakan maka permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana relevansi
penyaluran BLBI dalam konteks krisis
perbankan ?
2. Bagaimana
efektivitas BLBI dalam mengatasi
krisis likuiditas perbankan
?
3. Seberapa besarkah dampak sosial penyaluran BLBI terutama terhadap jumlah uang beredar, nilaitukar, inflasi, suku bunga
dan output ?
2. Batasan Masalah
Dalam
pembahasan penulisan ini penulis akan membahas mengenai hal yang berhubungan
dengan tema utama penelitian yakni mengenai analisa peranan The Lender of The
Last Resort yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang dihadapi, maka tujuan penelitian
dapat dinyatakan sebagai berikut :
1.
Mengkaji relevansi penyaluran BLBI
dalam konteks krisis perbankan;
2. Mengkaji efektivitas BLBI dalam mengatasi krisis likuiditas perbankan;
3. Mengukur dampak sosial penyaluran BLBI terutama terhadap jumlah uang beredar, nilaitukar, inflasi, suku bunga dan output.
2. Mengkaji efektivitas BLBI dalam mengatasi krisis likuiditas perbankan;
3. Mengukur dampak sosial penyaluran BLBI terutama terhadap jumlah uang beredar, nilaitukar, inflasi, suku bunga dan output.
1.4. Manfaat Penelitian
Melalui kegiatan penelitian ini, penulis berharap akan mendapatkan banyak manfaat. Adapun manfaat-manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah :
Melalui kegiatan penelitian ini, penulis berharap akan mendapatkan banyak manfaat. Adapun manfaat-manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah :
1. Manfaat
Akademis
·
Menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai Bank
Indonesia.
·
Penulisan
ini dapat dijadikan sumber informasi bagi penelitian lanjutan di bidang yang
sama.
2. Manfaat
Praktis
·
Sebagai
media untuk menyalurkan informasi yang efektif mengenai Bank Indonesia
1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian tugas ini penulis memerlukan informasi yang akurat agar dapat dicapai suatu pembahasan yang rasional, untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penyusunan tugas ini menempuh cara dengan menggunakan metode :
Dalam penelitian tugas ini penulis memerlukan informasi yang akurat agar dapat dicapai suatu pembahasan yang rasional, untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penyusunan tugas ini menempuh cara dengan menggunakan metode :
1.5.1 Objek Penelitian
Objek penelitian yang penulis amati
ini adalah BANK INDONESIA terletak di Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
Indonesia.
1.5.2 Metode Pengumpulan Data
Adapun
langkah-langkah yang penulis lakukan dalam menyusun tugas ini adalah sebagai
berikut :
1. Studi
Pustaka
Adapun studi pustaka ini diperoleh
dari beberapa literatur, baik berupa buku-buku perpustakaan dan artikel-artikel
dari internet.
2. Konsultasi
dan Diskusi
Langkah ini dilakukan untuk
mendapatkan tambahan pengetahuan dan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten
didalam bidang ini, sehingga secara konsep, kegiatan dalam tugas ini dapat
dipertanggungjawabkan.
Metode Peneliti
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1. Kerangka Teori
2.1.1 Status dan Kedudukan Bank
Indonesia
Babak baru dalam
sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai
ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia Pasal 67 dan 68, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999.
Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara
yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lainnya.
Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun terhadap kewajiban untuk
menolak campur tangan, diancam penjara
minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun serta denda minimal Rp 2.000.000.000 dan
maksimal Rp 5.000.000.000.
Sebagai suatu
lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam
merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk
menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun
juga. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih
efektif dan efisien.
Status Bank
Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan
dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang
menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari
undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan
wewenangnya. Sebagai badan hukum
perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di
dalam maupun di luar pengadilan.
2.1.2 Misi dan Visi Bank Indonesia
1. Misi Bank Indonesia
Mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas
sistem keuangan untuk pembangunan nasional
jangka panjang yang berkesinambungan.
2. Visi Bank Indonesia
Menjadi lembaga
bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun
internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta
pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
2.1.3 Sasaran Srategis Bank Indonesia
Untuk mewujudkan
Misi, Visi dan Nilai-nilai Strategis tersebut, Bank Indonesia menetapkan sasaran strategis jangka
menengah panjang, yaitu:
1.
Memelihara Kestabilan Moneter;
2.
Memelihara Kondisi Keuangan Bank Indonesia yang Sehat dan Akuntabel;
3. Meningkatkan Efektivitas Manajemen Moneter;
4. Meningkatkan Sistem Perbankan yang Sehat dan
Efektif serta Sistem Keuangan
yang Stabil;
5.
Memelihara Keamanan, Kehandalan, dan Efisiensi Sistem Pembayaran;
6.
Meningkatkan Efektivitas Pelaksanaan Good
Governance;
7.
Memperkuat Inst itusi Bank Indonesia melalui Penciptaan Sinergi antara SDM, Informasi
Pengetahuan, dan Rancangan Organisasi dengan Strategi Bank Indonesia;
8.
Mengarahkan dan Memantau Efektivitas Perubahan Strategis Bank Indonesia.
2.1.4 Tujuan Bank Indonesia
Dalam
kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah (Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Pasal 7). Kestabilan
nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu:
1. Kestabilan nilai mata uang terhadap
harga barang dan jasa yang dinyatakan dengan nilai inflasi;
2.
Kestabilan nilai mata uang terhadap mata uang negara lain yang
dinyatakan dengan nilai kurs.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk
memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas
tanggung jawabnya. Dengan demikian,tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia
ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
2.1.5 Tugas Bank Indonesia
Untuk mencapai
tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya (Undang-Undang N0.23
Tahun 1996, Pasal 8), yaitu:
1.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter
Tugas penetapan
dan pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia (Undang-Undang No.23 Tahun
1999, Pasal 10) adalah sebagai berikut:
a.
BI menetapkan
sasaran inflasi dengan memperhatikan perkembangan dan prospek ekonomi makro,
terutama perkembangan harga
b.
Untuk
mencapai sasaran laju inflasi tersebut, BI menetapkan sasaran besaran moneter
atau likuiditas perekonomian
c.
Pengendalian
moneter dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, antara lain:
- Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi
pasar terbuka merupakan cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual
atau membeli surat berharga pemerintah (government
securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan
membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar
berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada
masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU).
- Penetapan cadangan wajib minimum
Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan
sejumlah aktiva lancar. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro
Wajib Minimum (GWM) sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang
wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk
mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan,
dan demikian pula sebaliknya.
· Pengaturan
kredit atau pembiayaan
Dengan status Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter yang independen, pemberian
kredit program yang selama ini dilakukan selanjutnya berada di luar lingkup
tugas Bank Indonesia.
Tugas pemberian kredit program akan dilakukan oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk Pemerintah. Pengalihan tugas ini
dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat lebih memfokuskan perhatian pada
pencapaian sasaran-sasaran moneter serta agar dapat tercipta pembagian tugas
yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia.
2.
Mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berhak
menetapkan dan memberlakukan kebijakan Sistem Pembayaran Nasional. Selain itu,
Bank Indonesia juga memiliki kewenangan memberikan persetujuan dan perizinan
serta melakukan pengawasan (oversight) atas Sistem Penbayaran Nasional.
Menyadari kelancaran Sistem Pembayaran Nasional yang bersifat penting secara
sistem (systemically important), bank sentral
memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui
infrastruktur Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas Bank Indonesia dalam Sistem
Pembayaran Nasional misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring
antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga
merupakan satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai
seperti uang rupiah. Bank Indonesia juga berhak mencabut, menarik hingga
memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, Bank Indonesia pun
menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen Sistem Pembayaran Nasional ini.
Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia.
Bank Indonesia juga menentukan standar alat-alat pembayaran tersebut serta
pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran
tersebut. Bank Indonesia juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat
menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring
atau transfer dana, baik suatu
sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki
kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement.
Pada akhirnya Bank Indonesia juga mesti menetapkan kebijakan terkait
pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) Sistem Pembayaran Nasional.
3. Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia
Dalam hal tugas pengaturan dan
pengawasan bank (Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Pasal 24), maka Bank
Indonesia berwenang:
a. Menetapkan
peraturan di bidang perbankan
b. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan
dan kegiatan tertentu dari bank
c. Melakukan
pengawasan bank baik, langsung maupun tidak langsung
d. Mengenakan
sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengalihan
tugas pengawasan bank akan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang akan dibentuk nantinya, yang dinamakan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK)
2.1.6 Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga Lain
1. Hubungan
dengan Presiden sebagai Kepala Negara, yaitu mengusulkan dan mengangkat Gubernur dan Deputi Gubernur
Senior, mengangkat Deputi Gubernur, dan memberikan persetujuan tertulis jika
anggota Dewan Gubernur akan menjalani proses peradilan
2. Hubungan dengan Mahkamah Agung dalam
hal anggota Dewan Gubernur mengucapkan
sumpah/janji
3. Hubungan dengan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yaitu memeriksa laporan keuangan tahunan BI dan melakukan
pemeriksaan khusus apabila diminta oleh DPR
4. Hubungan dengan Pemerintah dalam hal
pemuatan PBI dalam lembaran Negara RI, pelaksanaan ketentuan larangan membawa
uang rupiah keluar atau ke dalam wilayah pabean RI, hadir dalam Rapat Deputi
Gubernur (RDG) bulanan untuk menetapkan kebijakan umum dibidang moneter dengan
hak bicara tanpa hak suara, untuk dan atas nama pemerintah dapat menerima
pinjaman luar negeri, dan membantu pemerintah dalam penerbitan surat-surat
utang negara
5. Hubungan internasional yaitu kerjasama
dengan bank sentral negara lain, organisasi, dan lembaga internasional
6. Hubungan
dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan yang Independen jika lembaga pengawasan
dimaksud telah dibentuk
2.1.7 Kebijakan Sistem Nilai Tukar Bank Indonesia
Sejak
periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia
telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, yaitu:
1.
Sistem
Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap (fixed
exchange rate) dimana
lembaga otoritas moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik
terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan
penawaran ataupun permintaan terhadap valuta asing yang terjadi. Bila
terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau permintaan lebih tinggi dari
yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan mengambil tindakan untuk
membawa tingkat nilai tukar ke arah yang telah ditetapkan. Tindakan yang diambil oleh otoritas moneter
bisa berupa pembelian ataupun penjualan valuta asing, bila tindakan ini tidak
mampu mengatasinya, maka akan dilakukan penjatahan valuta asing.
Sistem nilai tukar tetap
yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1964 dengan
nilai tukar resmi Rp 250/US Dollar, sementara nilai tukar Rupiah terhadap mata
uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar Rupiah per US Dollar di bursa
valuta asing Jakarta dan di pasar internasional. Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa
yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya
kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal
pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi
kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi
semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi permintaan
valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki
kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk
menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di
pasar valuta asing. Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu yang
pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah
ditetapkan kembali menjadi Rp 378/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan
pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi Rp 415/US Dollar dan yang ketiga pada
tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625/US Dollar. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena
nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi daya saing
produk-produk ekspor di pasar internasional.
2.
Sistem
Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Nilai tukar mengambang
terkendali, dimana pemerintah mempengaruhi tingkat nilai tukar melalui permintaan
dan penawaran valuta asing, biasanya
sistem ini diterapkan untuk menjaga stabilitas moneter dan neraca pembayaran.
Sistem nilai tukar
mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan
devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Dengan sistem tersebut, Bank
Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan
spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah,
maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas
atas atau batas bawah spread.
Pada saat sistem nilai tukar
mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah dari tahun ke
tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US Dollar. Nilai
tukar Rupiah berubah-ubah antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar.
Dengan perkataan lain, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak
pasti.
3.
Sistem
Nilai Tukar Mengambang Bebas
Nilai tukar mengambang
bebas, dimana pemerintah tidak mencampuri tingkat nilai tukar sama sekali
sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta asing. Penerapan
sistem ini dimaksudkan untuk mencapai penyesuaian yang lebih berkesinambungan
pada posisi keseimbangan eksternal (external
equilibrium position). Tetapi
kemudian timbul indikasi bahwa beberapa persoalan akibat dari kurs yang
fluktuatif akan timbul, terutama karena karakteristik ekonomi dan struktur
kelembagaan pada negara berkembang masih sederhana. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas ini diperlukan sistem
perekonomian yang sudah mapan.
Indonesia mulai menerapkan
sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah
mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap
US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil
yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank
Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot
exchange rate (kurs langsung) maupun forward
exchange rate (kurs berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai
tukar Rupiah. Namun untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah
semakin meningkat.
Oleh
karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada
tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang
intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.
2.1.8 Bank Indonesia Sebagai The
Lender of The Last Resort
Fungsi bank sentral sebagai The Lender of The Last Resort (LOLR) telah
dikenal sejak akhir abad
ke-19 dan peranan tersebut semakin menonjol sejak
perekonomian suatu negara
menerapkan sistem fiat money khususnya lagi sejak
runtuhnya sistem standar emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods pada
tahun 1973. Pada dasarnya LOLR merupakan pemberian
fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan
berfungsi untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik.
Mengingat resiko sistemik yang terjadi di perbankan
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian, maka terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan suatu mekanisme untuk mencegah
terjadinya krisis
tersebut dengan intervensi langsung dari bank
sentral/pemerintah dengan menyediakan fasilitas
pinjaman (LOLR) kepada bank dalam rangka menutupi liquidity missmatch.
Secara teoritis, intervensi bank sentral/pemerintah diperlukan dalam hal terjadi
mekanisme pasar
tidak sempurna khususnya dengan adanya market
failure. Pada dasarnya
terdapat 2 jenis market failure yang merupakan
karakteristik dari sektor perbankan, yaitu kemungkinan
terjadinya kesulitan likuiditas dan resiko sistemik kegagalan bayar suatu bank terhadap bank lainnya (systemic risk). Penyediaan likuiditas bank
sentral/ pemerintah tersebut
merupakan pilihan terakhir bagi bank setelah pasar
uang tidak dapat memenuhi kebutuhan bank.
Kehadiran bank sentral dalam
fungsinya menjalankan LOLR dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian
karena dapat mengurangi terjadinya krisis keuangan yang parah dan mengurangi
terjadinya fluktuasi dalam siklus ekonomi Miron (1986). Secara umum, fasilitas
LOLR berfungsi untuk: (i) mencegah terjadinya bank run baik yang terjadi
secara individual maupun yang bersifat sistemik dan (ii) mengatasi masalah
kesulitan likuiditas yang terjadi secara temporer. Fungsi yang pertama adalah
dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya panik diantara penabung. Jadi
fungsi ini bersifat untuk selalu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem
perbankan. Fungsi yang kedua adalah dimaksudkan untuk menghindari terjadinya interupsi
dalam cash flow suatu bank akibat mismatch antara kewajiban dan
kekayaan bank yang bersifat sangat jangka pendek (day to day basis). Interupsi
dalam cash flow pada suatu bank dapat menjadi ancaman yang serius tidak
hanya bagi bank itu sendiri tetapi bagi bank-bank lainnya juga.
Tabel 2.1
Institusi Bank Sentral Sebelum Tahun 1990
Bank
|
Didirikan
|
Lender of last resort
(dekade)
|
Sverige Riskbank
|
1668
|
1890
|
Bank of England
|
1694
|
1870
|
Banque the France
|
1800
|
1880
|
Bank of Finland
|
1811
|
1890
|
Nederlandsche Bank
|
1814
|
1870
|
Austrian National Bank
|
1816
|
1870
|
Norges Bank
|
1816
|
1890
|
Danmarks National Bank
|
1818
|
1880
|
Banco de Portugal
|
1846
|
1870
|
Belgian National Bank
|
1850
|
1850
|
Banco de Espana
|
1874
|
1810
|
Reichsbank
|
1876
|
1880
|
Bank of Japan
|
1882
|
1880
|
Banca D’Italia
|
1893
|
1880
|
Sumber :
Juliette Healey (2001)
Berdasarkan fungsinya terdapat dua jenis LOLR, yaitu
1)
LOLR normal
Merupakan pemberian bantuan likuiditas yang bersifat
sementara oleh bank sentral/pemerintah kepada bank. Pemberian fasilitas LOLR
ini harus didukung dengan jaminan (collateral) yang cukup dan berfungsi
menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas moneter.
2)
LOLR krisis.
Merupakan pemberian bantuan
likuiditas yang bersifat sementara oleh bank sentral/pemerintah kepada bank.
Pemberian fasilitas LOLR ini harus didukung dengan jaminan (collateral)
yang cukup dan berfungsi menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas
moneter. Sementara LOLR krisis adalah pemberian fasilitas pinjaman likuiditas
kepada bank dalam rangka menghindarkan resiko sistemik pada perbankan secara
keseluruhan. Pemberian fasilitas ini dapat dimungkinkan diberikan kepada
bank-bank yang kurang jaminan dan bank yang insolvent tetapi dengan jaminan
pemerintah.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
Untuk mendapatkan data yang
diperlukan serta untuk melakukan analisis data dari objek yang diteliti, maka
metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tugas ini adalah sebagai
berikut:
3.1.Objek Penelitian
Objek dalam penulisan ilmiah ini
adalah BANK INDONESIA terletak di Jl. M. H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Indonesia.
3.2.Metode
Pengumpulan Data
Adapun
langkah-langkah yang penulis lakukan dalam menyusun tugas ini adalah sebagai
berikut :
1. Studi
Pustaka
Adapun studi pustaka ini diperoleh
dari beberapa literatur, baik berupa buku-buku perpustakaan dan artikel-artikel
dari internet.
2. Konsultasi
dan Diskusi
Langkah ini dilakukan untuk
mendapatkan tambahan pengetahuan dan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten
didalam bidang ini, sehingga secara konsep, kegiatan dalam tugas ini dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1. Data dan Profil Objek Penelitihan
1. Sejarah Singkat Bank Indonesia
Pada 1828 De
Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank
sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia
menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral,
dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di
samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan
Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh De Javasche Bank sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral
yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah
dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok
bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu pemerintah
sebagai agen pembangunan yang
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas
kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan
Undang-Undang No.23 Tahun 1999 yang menetapkan tujuan tunggal
Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia
diamandemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada
tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem
keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional
dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.
2. Dewan Gubernur
Gambar 4.1
Bagan
Organisasi Bank Indonesia
Dewan Gubernur (Undang-Undang No.23 Tahun 1999, Pasal37) terdiri atas
seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4
(empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur. Dewan
Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Senior sebagai wakil. Sesuai
dengan independensi yang dimilikinya, maka Bank Indonesia tidak lagi memberikan
laporan pertanggungjawabannya kepada Presiden sebagaimana Undang-Undang
terdahulu, melainkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Gubernur Bank Indonesia
bukan anggota kabinet.
Pengangkatan Dewan
Gubernur diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia adalah:
1. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat
oleh Presiden, dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
2.
Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh
Presiden, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
3.
Anggota Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat
kembali dalam jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.
4.
Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara
berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua)
orang.
Gubernur, Deputi Gubernur
Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum
karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan
wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan
dengan itikad baik. Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti tindak
pidana kejahatan, atau berhalangan tetap. Dalam hal anggota Dewan Gubernur
patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan,
dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari
Presiden (Perlindungan Hukum Administratif).
Tabel 4.1
Gubernur Bank Indonesia
Periode tahun 1953 – 2011
Tahun
|
Gubernur
Bank Indonesia
|
2010
– sekarang
|
Darmin
Nasution
|
2009
– 2010
|
Darmin
Nasution (Pelaksana Tugas)
|
2009
|
Miranda
Gultom (Pelaksana Tugas)
|
2008
– 2009
|
Boediono
|
2003
– 2008
|
Burhanuddin
Abdullah
|
1998
– 2003
|
Syahril
Sabirin
|
1993
– 1998
|
Sudrajat
Djwandono
|
1988
– 1993
|
Adrianus
Mooy
|
1983
– 1988
|
Arifin
Siregar
|
1973
– 1983
|
Rachmat
Saleh
|
1966
– 1973
|
Radius
Prawiro
|
1963
– 1966
|
T.
Jusuf Muda Dalam
|
1960
– 1963
|
Mr.
Soemarno
|
1959
– 1960
|
Mr.
Soetikno Slamet
|
1958
– 1959
|
Mr.
Loekman Hakim
|
1953
– 1958
|
Mr.
Sjafruddin Prawiranegara
|
3.
Transparansi dan
Akuntabilitas
Bank Indonesia terus
berupaya mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas baik dalam
pelaksanaan tugas pokok maupun pengelolaan sumber daya.
Dalam rangka transparansi
publik, Bank Indonesia menyediakan website www.bi.go.id
dan menyelenggarakan konferensi pers atau mengirimkan siaran pers ke media
massa. Masih dalam rangka transparansi, Bank Indonesia terus meningkatkan
interaksi dan keterbukaan dengan pihak eksternal manakala mencari masukan untuk
menetapkan kebijakan-kebijakannya. Bank Indonesia juga menerima kunjungan dari
berbagai instansi dalam rangka diskusi mengenai kondisi perkenonomian terkini
dan kebijakan Bank Indonesia. Gerainfo, Museum Bank Indonesia, dan Perpustakaan
Bank Indonesia juga senantiasa terbuka melayani masyarakat yang ingin mencari informasi
mengenai Bank Indonesia dan tugas-tugasnya.
Dalam rangka akuntabilitas,
Dewan Gubernur senantiasa menempatkan forum rapat dengan DPR-RI sebagai sarana
untuk memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
Indonesia serta menerima masukan dari para wakil rakyat. Bank Indonesia juga menyampaikan
laporan kepada DPR-RI yang menjelaskan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
Indonesia serta rencana kebijakan, sasaran, dan langkah-langkah pelaksanaan
tugas di tahun mendatang. Pada gilirannya, laporan dimaksud akan menjadi bahan pertimbangan
DPR-RI dalam menilai kinerja Bank Indonesia dan Dewan Gubernur. Dalam rangka
informasi, laporan yang sama juga disampaikan kepada Pemerintah dan
dipublikasikan di media massa serta Berita Negara.
Guna membantu DPR-RI dalam melaksanakan
fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia, UU Bank Indonesia
telah menetapkan pembentuan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). BSBI beranggotakan
lima orang yang dipiliholeh DPR-RI dan diangkat oleh Presiden untuk masa
jabatan tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
berikutnya. Tugas BSBI mencakup telaahan atas Laporan Keuangan Tahunan Bank
Indonesia,
anggaran operasional dan anggaran investasi, serta
prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional di luar kebijakan moneter
dan pengelolaan aset Bank Indonesia. BSBI menyampaikan laporan pelaksanaan
tugasnya kepada DPR-RI secara triwulanan atau setiap waktu diminta oleh DPR-RI.
Sementara itu, sebagai
bentuk pertanggungjawaban anggaran, Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan
Tahunan Bank Indonesia yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan-RI serta
Neraca Keuangan Mingguan dalam Berita Negara RI dan dipublikasikan di website
Bank Indonesia.
4.2
Hasil Penelitian dan
Analisis Pembahasan
Secara
teoritis pentingnya fungsi The Lender of The Last Resort (LOLR) dikemukakan oleh Diamond dan
Dybvig (1983). Pada dasarnya argumen mereka dilandasi oleh kenyataan bahwa
transaksi perbankan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Bank
meminjam dana dari nasabah secara jangka pendek dalam bentuk tabungan dan
deposito
2.
Bank
menyalurkan kredit yang bersifat jangka panjang kepada debitur. Dari realitas
tersebut ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, selama nasabah percaya
bahwa dananya relatif aman serta ada kepastian bahwa mereka dapat menarik dana
sesuai dengan kebutuhan, maka nasabah akan terus menyimpan dananya di bank.
Kedua, jika nasabah tidak yakin bahwa dananya akan dikembalikan sepenuhnya oleh
bank, maka akan terjadi bank run yaitu dimana sebagian besar atau seluruh
nasabah menarik simpanannya secara serentak dari bank.
Kondisi tersebut sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan Hadori (2002) untuk kasus Indonesia. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian LOLR atau BLBI oleh Bank Indonesia/
Pemerintah dapat mencegah terjadinya kontraksi perekonomian Indonesia yang
lebih parah lagi jika dibandingkan tidak ada pemberian BLBI. Dengan
mengasumsikan terjadinya “dooms day”
maka tanpa adanya pemberian fasilitas LOLR/ BLBI kepada bank maka fungsi
intermediasi perbankan terhambat dan sistem pembayaran dalam dan luar negeri
terganggu sehingga secara keseluruhan ekonomi akan mengalami kontraksi yang
jauh lebih buruk dibandingkan dengan perekonomian ekonomi dengan BLBI.
Untuk mencegah terjadinya bank run, Diamond dan Dybvig
(1983) mengusulkan tiga solusi yaitu: lender
the last resort (LLR), suspension of
convertibility (SC), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Dengan adanya LLR
dan LPS, nasabah menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu dapat
dipenuhi oleh bank. Oleh karena itu tidak akan ada kekawatiran dari seorang
nasabah mengenai kemampuan bank untuk memenuhi semua kewajibannya.
Diamond dan Dybvig
memodelkan bank sebagai suatu agen yang memiliki teknologi untuk
mentransformasikan aset jangka panjang menjadi liability jangka pendek. Selain
itu, deposan dibagi menjadi dua tipe yaitu mereka yang cenderung melakukan
investasi jangka pendek (satu periode transaksi) dan mereka yang melakukan
investasi jangka panjang (dua periode transaksi). Kontrak bank dengan deposan
memungkinkan kedua jenis deposan tersebut untuk menarik simpanan di bank kapan
saja sesuai dengan keinginan mereka. Penarikan untuk periode pertama diberikan
tingkat suku bunga yang lebih rendah dibanding penarikan pada periode kedua.
Akan tetapi likuidation value dari
aset-aset jangka panjang bank lebih rendah dibandingkan total kewajibannya pada
periode yang pertama jika semua deposan menarik simpanannya di bank.
Panik dapat terjadi karena
dalam esensinya bank menghadapi masalah a squential service constraint dimana
pembayaran oleh bank kepada deposan tidak tergantung pada informasi
tentang kesehatan bank di masa yang akan datang tetapi hanya tergantung pada
posisi dan jumlah nasabah dalam antrian penarikan simpanan. Oleh karena itu
jumlah uang yang dapat ditarik oleh nasabah sangat tergantung pada
apakah seorang nasabah menarik lebih dulu dibanding nasabah lainnya.
Karena likuidation value dari aset-aset perbankan jauh lebih
rendah dibanding total kewajibannya, maka sejumlah nasabah yang terlambat
melakukan penarikan tidak akan dapat memperoleh uangnya kembali. Dengan kata
lain akan ada insentif bagi semua deposan untuk saling mendahului dalam antrian
penarikan simpanan. Hal ini terjadi kalau seandainya terjadi panik diantara
nasabah.
Salah satu
cara untuk mengatasi panik adalah dengan cara memberlakukan suspension of convertibility (SC) atau
penghentian pengkonversian dari simpanan menjadi uang cash. Dalam kasus seperti
ini deposan hanya bisa menguangkan simpanan sesuai dengan kontrak simpanannya,
dalam arti bahwa simpanan yang belum jatuh tempo tidak bisa ditarik.
Alternatif
yang kedua untuk mencegah terjadinya panik adalah dengan mengadakan fasilitas
LLR. Dengan adanya fasilitas ini, bank tidak harus melakukan likuidasi
aset-asetnya untuk melayani terjadinya panik.
Oleh karena itu fasilitas LLR
memiliki dua fungsi yaitu:
1.
Memberikan kemampuan pada bank untuk melayani
seluruh penarikan
2.
Mencegah bank melakukan likuidasi aset-aset
produktivnya
Akan
tetapi fasilitas LLR memiliki tiga kelemahan sebagai berikut:
1. Fasilitas ini relatif terbatas scope-nya untuk mengatasi masalah kesulitan
likuiditas perbankan
2. Fasilitas ini biasanya juga disertai
dengan infusi jumlah uang yang beredar sehingga cenderung meningkatkan inflasi
dan ketidakpastian dalam nilai tukar
3. Dalam dunia yang penuh dengan
ketidakpastian, tidak ada jaminan bahwa return on investment dari aset kredit
perbankan akan mampu menutup semua kewajibannya terhadap otoritas penyedia LLR
Jadi, walaupun LLR dapat
secara efektif mengurangi panik, fasilitas ini bisa merugikan pemerintah yang
pada akhirnya kerugian ini dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk pajak yang
lebih tinggi maupun terjadinya peningkatan inflasi (inflation taxs).
Social
cost
Penyediaan
fasilitas LLR sangat berkaitan dengan proses penciptaan uang, karena bantuan
likuiditas terhadap bank merupakan bagian dari base money. Pada intinya base
money dapat didekomposisi menjadi dua komponen yaitu NFA dan NDA. BLBI
merupakan salah satu komponen dalam NDA, sehingga peningkatan jumlah BLBI akan
secara otomatis meningkatkan jumlah uang yang beredar (base money) jika tidak
disertai dengan upaya counter balance
melalui penurunan NFA ataupun komponen NDA lainnya. Kalau hal ini terjadi maka
dengan adanya BLBI, pencapaian target moneter menjadi lebih sulit untuk
dipenuhi. Sebagaimana diungkapkan dalam bagian terdahulu ternyata pembengkakan
penyaluran BLBI disertai dengan peningkatan jumlah uang yang beredar. Jadi,
pada intinya social cost dari BLBI
bisa dirunut melalui peningkatan jumlah uang yang beredar dan dampaknya
terhadap ekonomi makro.
Dalam
konteks ekonomi terbuka dan regim nilai tukar mengambang, Dornbusch (1976)
mengusulkan suatu model overshooting
yang pada intinya menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek
akan mengalami overshooting terhadap
keseimbangan jangka panjangnya. Artinya jika terjadi suatu shock moneter maka fluktuasi nilai tukar menjadi sangat sulit untuk
diprediksi.
Peningkatan jumlah BLBI yang disertai dengan peningkatan base money akan menyebabkan nilai tukar selain terdepresiasi secara tajam, fluktuasi jangka pendeknya menjadi sangat volatile. Oleh karena itu peningkatan BLBI dapat menyebabkan ketidakpastian nilai tukar atau peningkatan dalam exchange rate risk.
Peningkatan jumlah BLBI yang disertai dengan peningkatan base money akan menyebabkan nilai tukar selain terdepresiasi secara tajam, fluktuasi jangka pendeknya menjadi sangat volatile. Oleh karena itu peningkatan BLBI dapat menyebabkan ketidakpastian nilai tukar atau peningkatan dalam exchange rate risk.
Dalam monetary approach to balance of payments,
jumlah uang yang beredar dan nilai tukar pada gilirannya menyebabkan
peningkatan inflasi. Walaupun pass
through effect dari depresiasi nilai tukar tidak berdampak penuh terhadap
inflasi dalam jangka pendek, inflasi bisa menjadi jauh di atas normal jika
terjadi depresiasi dalam skala besar. Dengan demikian, peningkatan BLBI akan
berasosiasi dengan:
1.
Peningkatan
base money
2.
Depresiasi
nilai tukar secara berlebihan
3.
Volatilitas
nilai tukar
4.
Inflasi
secara berlebihan
Metode
Empiris
Manfaat
sosial BLBI dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. BLBI menghindarkan bank yang sehat
menjadi bankrupt akibat dilanda rush
2. Fungsi intermediasi bank dapat
dipertahankan sehingga krisis sistemik dapat dihindarkan
3. Bank-bank yang sehat dapat terhindar
dari rush, sehingga kredit yang disalurkan kepada perusahaan tidak berhenti
secara total.
Biaya sosial BLBI dapat
diidentifikasi melalui peningkatan jumlah uang yang beredar. Dampak dari hal
ini akan menyebabkan tidak terkendalinya nilai tukar, meningkatnya inflasi, dan
tingginya tingkat suku bunga. Pada gilirannya hal ini akan mengakibatkan
kontraksi output dan ketidakpastian
iklim ekonomi makro. Selain itu, perusahaan dan bank yang tadinya sehat dapat
terkena imbas negatif dari penyeluran BLBI.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari uraian-uraian pada bab-bab
sebelumnya, penulis mencoba untuk menarik kesimpulan bahwa:
1. Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LOLR) telah
dikenal sejak akhir abad ke-19. LOLR merupakan pemberian fasilitas pinjaman
kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan simaksudkan untuk mencegah
terjadinya krisis keuangan yang sistemik pada perbankan. Tidak berbeda dengan
negara-negara lainnya, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan
fasilitas LOLR yang diberikan BI/Pemerintah untuk mencegah terjadinya resiko
sistemik pada perbankan nasional.
2. BLBI berdampak sangat signifikan dalam mencegah
terjadinya kontraksi yang lebih besar terhadap perekonomian nasional pada masa
krisis (tahun 1998). Dengan mengasumsikan terjadinya dooms day bila BLBI tidak diberikan
maka fungsi intermediasi perbankan akan terganggu dan sistem pembayaran dalam
dan luar negeri terhambat sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kontraksi perekonomian
yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kontraksi perekonomian dengan
adanya BLBI.
3. Berdasarkan hasil kajian penelitian ini terdapat
beberapa temuan penting yang patut dicatat. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya dampak penyaluran BLBI terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan
bersifat marjinal. BLBI dapat menghindarkan terjadinya penurunan tingkat output
nasional. Krisis likuiditas yang dialami perbankan akan menciptakan ongkos yang
lebih besar jika tanpa disertai dengan penyaluran BLBI.
4. Penyaluran BLBI ternyata juga memberikan dampak
overshooting terhadap nilai tukar. Hal ini disebabkan oleh ekspansi moneter
yang ditimbulkan oleh pencetakan uang untuk memenuhi permintaan likuiditas
bank-bank. Overshooting ini pada gilirannya bisa mempertinggi tingkat risiko
terjadinya krisis sistemik karena perusahaan dan bank mengalami kerugian akibat
terjadinya depresiasi yang berlebihan. Oleh karenanya penyaluran BLBI tidak
selamanya memiliki dampak positif.
5. Dampak sosial BLBI pada dasarnya sulit untuk diukur
sehingga apapun hasil dari suatu simulasi atas suatu model perlu
diinterpretasikan secara hati-hati. Untuk periode krisis sangat sulit untuk
mendapatkan hasil estimasi parameter secara akurat. Kalaupun parameter yang
akurat bisa kita dapatkan, kita masih menghadapi masalah endogenisasi faktor
risiko akibat terlalu banyaknya kejadian-kejadian luar biasa selama krisis.
Secara ideal, risiko juga harus bersifat conditional terhadap opsi kebijakan.
Akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena risiko itu sendiri sulit untuk
didekomposisi.
5.2. Saran
1. Pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas
harus tetap berlanjut, jangan sampai ditiadakan guna mencegah terjadinya krisis
keuangan yang sistemik pada perbankan.
2. Krisis likuiditas yang dialami perbankan harus
disertai dengan penyaluran BLBI agar tidak menciptakan biaya yang lebih besar
lagi.
3. Minimalisir dampak overshooting yang disebabkan
oleh penyaluran BLBI agar
resiko terjadinya krisis sistemik tidak terlalu besar.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
asaki89.blogspot.com, 29 September 2011
2.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia,
29 September 2011
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_Moneter,
29 September 2011
4. http://putracenter.net/2009/09/23/perkembangan-kebijakan-sistem-nilai-tukar-di-Indonesia ,
29 September 2011
5. http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/pilar1.htm, 29 September 2011
6.
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Organisasi,
29 September 2011
7. Rodoni, Ahmad, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Kesatu, Penerbit Center
for Social and Economics Studies (CSES) Press, Jakarta, 2006.
8.
www.bi.go.id/../dperanan1.pdf,
29 September 2011
9. http://diniasariirna.blogspot.com/2011/12/analisa-peranan-lender-of-last-resort.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar