Meskipun bantuan likuiditas untuk menghadapi masalah perbankan ini sudah ada dan dipergunakan sejak lama, istilah bantuan likuiditas BI atau BLBI baru digunakan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1998. Istilah ini muncul semenjak Indonesia menjalankan program pemulihan ekonomi dengan dukungan IMF yang menyebutkan berbagai fasilitas tadi sebagai liquidity supports. Untuk membedakan dengan KLBI yang lebih dikenal secara umum dan sebagai terjemahan dari liquidity support telah digunakan istilah bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI.
Pada dasarnya BLBI terdiri atas 5 jenis fasilitas sebagai berikut:
- Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistim pembayaran yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan, baik dalam jangka pendek disebut fasilitas diskonto atau fasdis I dan yang berjangka lebih panjang, disebut fasdis II.
- Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sjalan dengan program moneter dalam bentuk SBPU lelang maupun bilateral
- Fasilitas dalam rangka penyehatan (nursing atau rescue) bank dalam bentuk kredit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi (SOL)
- Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistim perbankan dan sistim pembayaran sehubungan dengan adanya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush) dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GWM) atau adanya saldo negatif atau saldo debet atau overdraft rekening bank di BI
- Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistim penjaminan (blanket guarantee).
Komponen terbesar dari BLBI adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan kepada bank-bank yang menghadapi masalah penarikan dana pada bank-bank oleh nasabah secara besar-besaran dan bersamaan, berkaitan dengan krisis yang melanda perekonomian nasional. Akan tetapi BLBI juga menyangkut berbagai fasilitas BI kepada bank-bank dalam bentuk lain sebagaimana secara rinci disebutkan di atas. Bantuan likuiditas yang dipertanyakan proses penyaluran dan pemanfaatannya serta dipersoalkan pembebanan pembiayaanya ini telah menjadi masalah yang banyak dipergunjingkan di masyarakat.
Masalah ini lebih mencuat lagi setelah diumumkannya hasil audit BPK terhadap Bank Indonesia yang memberikan suatu disclaimer, artinya BPK tidak bersedia memberikan pendapat karena berbagai hal, seperti lemahnya pengawasan intern dan pembukuan yang tidak beres. Audit BPK juga secara spesifik dilakukan terhadap BLBI. Dalam testimoni Gubernur BI dengan Komisi IX DPR telah disepakati untuk investigative audit tentang BLBI.
BLBI DALAM KEADAAN NORMAL
- Dalam keadaan
normal, suatu bank meskipun dalam keadaan
sehat dapat saja menghadapi masalah adanya
kesenjangan antar aliran dana yang harus
dibayarkan dengan yang diterima di dalam
menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan
dalam sistim pembayaran sebagai. Aliran dana itu
harus dilaksanakan sebagai pembiayaan transaksi
yang terjadi dalam perekonomian. Keadaan
likuiditas bank demikian disebut sebagai suatu mismatch,
artinya suatu kesenjangan yang timbul karena
tagihan terhadap bank tersebut (liabilities)
lebih besar dari hak untuk dibayar (assets) pada
hari dilakukan pencatatan.
- Hak menerima
bayaran dan kewajiban membayar harian yang
terjadi karena transaksi yang dibayar melalui
dokumen ( non-cash payments)
dengan perantaraan perbankan setiap hari kerja
dicocokkan melalui proses kliring, yang di
Indonesia dilaksanakan oleh lembaga kliring. Di
Indonensia kliring dilaksanakan oleh BI serta
dalam hal-hal tertentu oleh bank-bank yang
ditunjuk BI. Dalam sistim pembayaran nasional
pembayaran dilakukan selain melalui cara ini juga
melalui cara tunai, menggunakan uang.
- Setiap hari
bank-bank perserta kliring harus mencek bagaimana
posisinya pada waktu kliring. Suatu bank yang
pada waktu kliring, pencocokan hak dan kewajiban
bayar membayar tadi akan mengetahui apakah
posisinya positif atau negatif. Bagi suatu bank,
kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban
membayarnya menurut dokumen yang dimasukkan
proses kliring dikatakan mengalami kalah
kliring. Seperti di atas dikatakan suatu
bank, termasuk yang kondisinya sehat, suatu hari
bisa saja mengalami kalah kliring. Ini suatu
istilah yang banyak disalah artikan di
masyarakat, seolah-olah suatu bank yang kalah
kliring itu otomatis menghadapi masalah hidup
matinya bank. Ini tidak benar. Kalah kliring
adalah suatu hal yang biasa, karena posisi netto
dari hak dan kewajiban harian tadi tidak selalu
persis sama besar, tergantung dari transaksi yang
dilayani hari tersebut. Tentu saja kalau dalam
periode yang berkepanjangan bank terus menerus
mengalami kalah kliring, ini memang menandakan
adanya masalah yang lebih dalam dari posisi
likuiditas, mungkin secara struktural bank ini
bermasalah.
- Suatu bank yang menghadapi kalah kliring harian dalam keadaan normal akan mengatasinya dengan cara-cara sebagai berikut;
(i). Menutup kekalahan dengan menggunakan dananya sendiri, baik yang disimpan dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak tahun 1995, bersamaan dengan perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara menghitung jumlah minimal giro wajib bank atau giro wajib minimum (GWM), bank-bank diharuskan menyimpan giro wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya bank-bank biasanya mempunyai giro yang lebih besar dari kewajian minimumnya (5% dari dana pihak ketiga sejak 1996).
(ii) Menutup kekurangan tersebut dengan mencari pinjaman dari bank lain dalam pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Suku bunga pasar uang antar bank ini untuk bank-bank yang dianggap bonafide di Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta inter-bank offer rate). Untuk bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga lebih tinggi lagi. Semakin suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara mereka semakin tinggi suku bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank ini.
(iii) Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak diperoleh, apapun alasannya, maka jalan yang ditempuh adalah minta menggunakan fasilitas BI yang digunakan untuk menghadapi masalah ini. Fasilitas yang tersedia adalah yang disebutkan pertama di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang berbeda dalam jangka waktu dan persyaratannya.
- Dalam keadaan
normal bank sebenarnya tidak suka meminta BI
untuk menggunakan fasilitas diskonto.
Mengapa? Karena dalam keadaan normal hal ini
dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan
kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank
lain, bahwa bank tersebut tidak dipercaya
meminjam dana jangka pendek dari sesama bank. Ini
merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga
fasilitas diskonto ini lebih tinggi dari suku
bunga pasar antar bank, karena mengandung unsur
hukuman atau penalty, agar bank tidak mudah
menggunakan fasilitas ini. Ini menjaga timbulnya moral
hazard. Bisa dibayangkan kalau bank-bank
dapat memperoleh dana murah dari bank sentral,
tentu BLBI ini jumlahnya lebih besar lagi tanpa
terjadinya krisis. Jadi suku bunga BLBI itu lebih
mahal dari suku bunga pasar uang antar bank
(PUAB). Di sini nampaknya sering terdapat salah
pengertian di masyarakat. Seolah-olah BLBI ini
seperti kredit likuiditas BI untuk
program-program Pemerintah melalui KLBI yang suku
bunganya lebih rendah dari suku bunga pasar. Ini
tidak benar, karena suku bunga BLBI selalu lebih
tinggi dari suku bunga pasar antar bank.
- Jadi dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada pasar uang antar bank dengan suku bunga yang berlaku, JIBOR untuk bank-bank yang kondisinya baik dan dikenal baik sesama bank. Akan tetapi untuk bank-bank lain, bank-bank kecil, biasanya harus membayar bunga yang jauh lebih besar dari suku bunga yang berlaku bagi bank-bank besar yang tergabung dalam JIBOR ini. Karena pinjaman ini hanya untuk jangka waktu sangat pendek, suku bunga pinjaman antar bank ini lebih tinggi dari yang berlaku untuk pinjaman kepada nasabah biasa dari bank.
- Semenjak gejolak
moneter mengenai Indonesia pertengahan Juli 1997,
maka sebagai implikasi dari kebijakan moneter
yang ditempuh terjadi keketatan likuiditas
perekonomian. Ini terjadi terutama setelah
pengambangan rupiah medio Agustus 1997. Keketatan
likuiditas merupakan implikasi dari tindakan
mempertahankan nilai rupiah melalui kebijaksanaan
fiskal (menahan pengeluaran rutin), kebijakan
moneter (penghentian pembelian SBPU oleh BI akhir
Juli 1997 dan peningkatan suku bunga SBI sampai
lebih dari dua kali lipat minggu ketiga Agustus
1997), ditambah dengan suatu tindakan yang
merupakan gebrakan moneter (pengalihan deposito
berbagai BUMN dan Yayasan menjadi SBI). Ini
merupakan permulaan terjadinya dampak negatif
krisis terhadap sektor perbankan.
- Proses terjadinya
mismatch likuiditas perbankan dan jalan yang
ditempuh perbankan sampai terjadinya pemberian
BLBI mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: Semula,
terjadi proses pengalihan dana perbankan dari
bank yang satu ke yang lain. Bank-bank yang
mengalami penarikan dana nasabah secara
besar-besaran menghadapi masalah kekurangan
likuiditas ini dengan mencari pinjaman antar
bank. Setelah sumber ini menghilang,
bank akan menggunakan dana yang dimilikinya pada
BI. Giro bank yang bersangkutan pada BI berkurang
dengan penarikan ini, semula dari dana diluar
GWM, kemudian setelah dana ini hilang, kalau
penarikan masih berjalan dihadapi dengan
penyusutan GWM. Kalau penarikan berlanjut, bank
yang memang harus melayani penarikan dana nasabah
harus membiayainya dengan mengalami saldo
negatif atau saldo debet atau overdraft pada
rekening giro di BI.
- Pelanggaran GWM (kurang
dari 5% atas dana pihak ketiga bank) ini
mengandung penalti yang berat, kalau tidak
dibayar akan menjadi hutang bank kepada BI.
Jumlah bank yang melanggar ketentuan GWM ini
membengkak dengan berjalannya krisis. Sebagai
contoh pda bulan Agustus 1997, pelanggaran
ketentuan GWM, artinya giro bankbank pada BI yeng
menurun dibawah 5% dari dana pihak ketiga,
terjadi terhadap 14 bank pada tanggal pengumuman
pengambangan rupiah (14/8/97) dan menjadi 51 pada
akhir Agustus 1997. Setelah krisis terjadi memang
ada yang menyalahkan kebijakan Pemerintah
mengambangkan rupiah.
- Pasar uang antar
bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang
masih mempunyai kelebihan likuiditas harian tidak
bersedia melepas likuiditasnya di pasar uang
antar bank. Likuiditas yang berlebih hanya
dilepas kepada bank lain yang benar-benar
dikenalnya dengan suku bunga yang sangat tinggi.
Dalam proses penyelamatan oleh pemiliknya, dana
dikeluarkan oleh pemiliknya dari bank-bank yang
dipandang lemah (tidak memberi jaminan keamanan
dana) kepada bank-bank yang dianggap kuat atau
apa yang dikenal sebagai flights to safety,
bank-bank Pemerintah, bank-bank swasta besar dan
bank-bank asing yang dianggap aman memperoleh
tambahan likuiditas atas kerugian bank-bank yang
dianggap lemah.
- Adanya
kompartmentalisasi atau segmentasi pasar uang
antar bank ini menyulitkan pengelolaan likuiditas
maupun pengendalian sistim pembayaran oleh Bank
Indonesia. Suku bunga antar bank yang tidak
mengalami masalah likuiditas tidak terlampau
tinggi, sebaliknya dengan suku bunga antar bank
yang mengalami keketatan likuiditas. Dalam
keketatan likuiditas sekitar September 1997
sementara bank harus membayar suku bunga setinggi
200% per tahun, bahkan lebih tinggi lagi untuk
memperoleh dana guna menutup kekurangan
likuiditasnya. Akan tetapi suku bunga JIBOR tidak
terlampau tinggi meningkatnya. Ini menimbulkan
masalah dalam implemantasi program moneter antara
otoritas moneter dengan IMF pada akhir Nopember
dan selama Desember 1997. IMF mendesak
ditingkatkannya suku bunga karena yang diamati
adalah perkembagan suku bunga JIBOR yang tidak
banyak bergerak karena diantara bank-bank yang
dianggap aman oleh pemilik dana ini memang tidak
ada masalah likuiditas. Padahl untuk bank-bank
lain, bank-bank kecil dan menengah kebannyakan
mengalami masalah. Ini implikasi dari sekmentasi
atau kompartmentalisasi pasar uang antar bank.
- Sebagian bank tidak
dapat memperoleh akses likuiditas dari pasar,
padahal mengalami masalah mismatch likuiditas.
Bank-bank inilah pada dasarnya yang terpaksa lari
ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan
likuiditas. Bank-bank yang dalam posisi demikian
menjadi semakin banyak dengan berjalannya krisis
moneter yang terus belangsung.
- Setelah pelanggaran
ketentuan GWM, karena penarikan dana perbankan
berlanjut maka bank-bank mengalami saldo debet
atau saldo negatif pada rekening giro mereka
di BI. Bank yang mengalami saldo negatif pada
akhir 1997 tercatat sebanyak 29. Sebagaimana
digambarkan di atas, ini terjadi melalui proses
kliring yang menghitung segala tagihan dan
pembayaran yang setelah digabungkan atau
dinetokan (netting) maka suatu bank akan
mempunyai posisi kalah kliring atau sebaliknya,
atau saldonya nol kalau tagihan dan pembayaran
ternyata berimbang. Kalau sumber-sumber lain
untuk menutup kekalahan kliring tidak ada, maka
bank tersebut dapat mempunyai saldo negatif pada
rekening gironya di BI.
- Selain saldo
negatif pada rekening giro bank-bank di BI bentuk
BLBI lain adalah dana talangan yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran sebagai implikasi
dari janji Pemerintah memberi perlindungan pada
deposan kecil pada bank yang dicabut ijin
usahanya, sesuai Kebijakan Pemerintah 3 September
1997. Dalam rangka pencabutan ijin usaha 16 bank
bulan Nopember 1997 BI membiayai pengembalian
dana deposan sampai dengan Rp 20 juta untuk
masing-masing rekening, yang merupakan dana
talangan. Selain itu juga dilakukan pembayaran
kepada pemilik deposito dan tabungan diatas Rp 20
juta pada minggu ketiga Pebruari 1998.
- Setelah krisis
bekelanjutan bahkan lebih memburuk dalam arti
ancaman hilangnya sama sekali kepercayaan
terhadap perbankan, maka atas usul IMF dalam
kelanjutan dari negosiasi untuk LOI kedua,
Pemerintah pada akhir Januari 1998 menerapkan
suatu sistim yang memberi jaminan kepada bank
nasional Indonesia yang mencakup keseluruhan
kreditur dan deposito serta tabungan bank,
dikenal sebagai blanket guarantee. Dana
yang digunakan untuk kepentingan ini juga
merupakan bagian dari BLBI.
- Selain itu, dalam rangka kesepakatan Frankfurt bulan Juni 1998 mengenai pinjaman swasta, BI memberikan talangan untuk membayar pinjaman perbankan jangka pendek yang jatuh tempo waktu itu ( trade financing dan interbank detb arrears) dan untuk kelancaran pembukaan L/C diberikan jaminan pembiayaan perdagangan internasional.
Oleh : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
Sumber: http://www.pacific.net.id/pakar/sj/permasalahan_blbi.html
Rekomendasi yg bagus, bisa saudara kunjungi link nya. (y)
BalasHapus