Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Jumat, 29 Maret 2013

Perkembangan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional

Disusun dalam rangka Memenuhi Persyaratan
Tugas Mata Kuliah Sistem Hukum Nasional

OLEH :
SENDI NUGRAHA
110110090144

FAKULTAH HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2012 
BAB I
PENDAHULUAN

A.   URGENSI TEORI SISTEM HUKUM
Perkembangan filsafat ilmu dan perkembangan ilmu pengetahuan modern merupakan cerminan penting pada pertengahan abad kedua puluh, karena pada masa ini ditandai dengan bangkitnya kesadaran manusia terhadap berbagai kelemahan yang terkandung dalam formulasi sains modern. Filsafat pengetahuan Cartes ( Cartesian) memang telah memberikan dasar dan pengukuhan eksistensial terhadap ilmu pengetahuan, sehingga disamping membawa pengaruh positif terhadap eksistensi dan perkembangan sains, filsafat cartes juga telah mengakibatkan pengaburan terhadap karakteristik  sains global. Reaksi atas hal itu menimbulkan suatu metode organis yang kemudian lebih dikenal dengan “Metodologi Sistem”.

Alasan utama penghadiran pendekatan ini adalah:
1). Pendekatan sistem merupakan metode semi-metafisika, yaitu di samping memiliki kemampuan untuk menggambarkan keutuhan karakteristik objek, juga memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap setiap komponen objek.
2). Pendekatan sistem senantiasa mempertimbangkan faktor keberhubungan suatu objek secara internal dan eksternal.
3). Pendekatan ini lebih representative untuk ontology,epistemology,dan aksiologi ilmu pengetahuan, sesuai dengan karakteristik esensialnya. Karena kapasitas pendekatan sistem terletak pada kemampuannya untuk menembus kelemahan-kelemahan karakteristik sains modern (Cartesian).
Sebagai bagian dari sains global, ilmu hukum tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh perkembangan pemikiran itu. Salah satu pengaruh yang paling menonjol dari perkembangan itu adalah menonjolnya dominasi pendekatan mekanis analistis dalam epistemology ilmu hukum. Akibat yang paling menonjol dari pengaruh ini adalah dominannya teori-teori hukum normative di dalam khasanah ilmu hukum.

Pada satu sisi, dominasi teori ini telah mempertegas makna hukum. Tetapi pada sisi lainnya, ketegasan makna itu justru telah mengakibatkan kekaburan keutuhan makna hukum global. Banyak orang hanya memandang hukum sekedar sebagai sistem norma belaka. Pada dimensi ilmu hukum, pereduksian hukum ke dalam perspektif normative ini telah mengakibatkan hal-hal serius yang senada dengan persoalan yang dihadapi oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan modern lainnya. Keberadaan ontology hukum menjadi kabur, metodologinya beraneka ragam dan tanpa ketegasan, dan akhirnya ilmu hukum gagal untuk menjawab persoalan-persoalan hukum praktis yang cenderung bersifat dinamis dan progresif.
Kompleksitas permasalahan ini akan sangat sulit untuk ditelaah melalui pendekatan yang bersifat otonomi dan karenanya urgensi pendekatan sistem dalam rangka pemulihan hukum kearah karakteristik esensialnya menjadi jelas. Dalam rangka pemulihan ini,pendekatan yang relevan sangatlah penting.

B.   DASAR PENDEKATAN
Gagalnya suatu paradigma untuk menjawab masalah tertentu, dari suatu kurun waktu tertentu, bukanlah alas an penyebab yang dapat mengakibatkan tersingkirnya suatu paradigma dari totalitas konstelasi ilmu dan kehidupan manusia. Hukum alam tetap hidup dan menjalankan fungsinya. Dalam perspektif pemahaman esensi hukum, polarisasi itu akan sangat berguna bagi pemahaman terhadap keberadaan “reduksi hukum normatif” sebagai suatu gejala kekinian yang tentu saja merupakan akibat dari suatu rangkaian perkembangan kondisi,gejala,dan paradigma pendahulunya. Berdasarkan polarisasi perkembangan sains ini, pemahaman terhadap “reduksi hukum normatif” akan dilakukan melalui penelusuran terhadap kondisi dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta perkembangan paradigma hukum pada khususnya.

Urgensi dan validitas pemahaman terhadap “reduksi hukum normatif” ini terletak pada beberapa alasan yang bersifat factual dan teoritis, antara lain ;
1). Reduksi terhadap hukum (sebagai objek ilmu hukum) secara demikian itu telah mengakibatkan pengaburan batas-batas ruang lingkup kajian terhadap hukum sebagai suatu objek ilmu (hukum) yang utuh.
2). Reduksi terhadap hukum secara demikian itu telah mengakibatkan keterputusan antara norma hukum dengan unsur-unsur hukum lainnya yang secara nyata merupakan bagian tak terpisahkan dari (proses) hukum sebagai suatu keutuhan.
3). Pemutusan norma hukum secara demikian itu telah mengakibatkan menyempitnya dan terbatasnya ruang lingkup kajian ilmu hukum.
4). Reduksi secara demikian itu telah merusak polarisasi pemahaman hukum sebagai sains maupun sebagai gejala praktis.
5). Reduksi secara demikian itu telah memerosotkan daya dukung ilmu hukum terhadap tuntutan kebutuhan praktis.
6). Akibat-akibat reduksi hukum normatif yang semakin bersifat multi-aspek (teori,praktik,dan proses) ini mencerminkan suatu tuntutan kebutuhan yang sangat serius terhadap suatu paradigma yang mampu menggambarkan hukum dan proses hukum secara utuh.Gejala kebutuhan ini akan semakin menguat,jika kebutuhan itu dikaitkan dengan keajegan ilmu hukum sebagai suatu sistem yang akan menentukan keajegan ontologism,epistemologis,dan aksiologisnya dalam perspektif statusnya sebagai desain ilmu yang diharapkan mampu meningkatkan sifat manusiawi dari manusia(humaniora).
7). Hanya mendasarkan pemahaman polaritas terhadap perkembangan itulah dapat disusun suatu pendekatan dan desain sistem hukum yang mampu secara benar dan (logis) dan sistematis menggambarkan hukum sebagai objek ilmu hukum tersebut secara utuh.
Dalam menyusun sistem hukum, cara-cara mengatasi kelemahan metode analistis-mekanis ini akan menjadi bahan analisis menarik. Karenanya, untuk mengatasinya haruslah ditemukan suatu metode analisis yang mampu berperan ganda,yaitu; pertama,mampu mengatasi kelemahan-kelemahan metode analisis-mekanis itu,dan kedua, bersamaan dengan itu ia juga harus mampu mempertahankan kelebihan dari pendekatan analisis-mekanis itu.

Metode yang sekaligus dapat melangsungkan peran itu adalah metode pendekatan sistem, karena:
a). Metode ini merupakan induk yang melahirkan metode analistis-mekanis (merupakan alasan historis).
b). Metode ini member perhatian sama kuatnya antara pentingnya keseluruhan dan pentingnya analisis detail yang tajam terhadap setiap bagian dari suatu objek pengetahuan. Metode ini merupakan metode semi metafisika yang memiliki kemampuan untuk menembus keterbatasan metode mekanis-analistis,dan sekaligus mempertahan kelebihan metode itu.
c). Metode ini memiliki sifat sains dalam pengertian modern, dan juga sifat sains dalam pengertian filosofis. Sehingga, kapasitas pendekatan ini dipastikan melampaui keterbatasan kapasitas pendekatan analistis-mekanis.

C.   PENDEKATAN YANG RELEVAN
Ada 3 pendekatan utama yang digunakan untuk mengkaji perkembangan hukum saat ini, yaitu;
1). Pendekatan filsafat ilmu, digunakan untuk menggambarkan tempat pengetahuan hukum dalam perspektif filsafat ilmu, yaitu untuk menggambarkan perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmu hukum dalam perspektif itu, pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan global terhadap ilmu hukum, dan munculnya kebutuhan baru terhadap pendekatan yang relevan dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan ilmu hukum, baik dari segi ontology, epistemology,ataupun aksiologi,akibat dari perkembangan itu.
2). Pendekatan filsafat hukum, digunakan menggambarkan perkembangan teori-teori hukum yang berjalan parallel dengan perkembangan ide manusia tentang pengetahuan pada umumnya.Pendekatan ini digunakan untuk menegaskan influensi perkembangan ilmu pengetahuan global terhadap ilmu hukum, baik dari segi ontology,epistemology,maupun secara eksiologinya.
3). Pendekatan ilmu hukum digunakan untuk melihat tingkat perkembangan ilmu hukum dalam perspektif perkembangan sains global. Sehingga pendekatan ini berfungsi untuk menegaskan perkembangan ilmu hukum dan akhirnya urgensi metodologi sistem bagi pengembangan ilmu hukum dan pembangunan hukum.

Dari uraian diatas,ketiga pendekatan ini digunakan untuk menegaskan urgensi pendekatan sistem bagi ilmu hukum pascamodern dan memformulasikan teori hukum baru yang mampu menggambarkan hukum secara keseluruhan, yaitu teori hukum yang didasarkan pada konsep-konsep sistem.





D.   DESAIN PEMBAHASAN
Pertama   : Penelusuran terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan dan keutuhan formulasi hukum adat dalam perkembangannya. Setelah diteliti, terdapat faktor-faktor penting yang mengakibatkan terjadinya pereduksian terhadap hukum adat yang lama.
Kedua      : Setelah mendapatkan pemahaman yang utuh tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reduksi hukum normatif dalam hukum adat, yang merupakan dasar kebutuhan terhadap kehadiran teori sistem hukum dalam rangka rehabilitasi objektivitas hukum.
Ketiga       : Penyusunan teori yang didasarkan pada prinsip transformasi, yaitu seleksi dan pemahaman terhadap msing-masing unsur  dan teori dengan dasar pertimbangan pada validitasnya, dan unsur-unsur itu yang kemudian dibandingkan dengan kenyataan keberadaan hukum itu sendiri.



BAB II
LATAR BELAKANG
Seiring dan sejalan dengan perkembangan jaman, terjadi banyak gejala sosial terhadap perubahan-perubahan yang menimbulkan banyaknya kebutuhan yang terus menerus bertambah membuat cara berpikir manusia menjadi kompelks. Pada ilmu hukum, dalam perkembangannya lahirlah beberapa cabang ilmu hukum yang baru. Perkembangan yang sangat pesat tersebut berdampak pada ilmu hukum yang lama untuk menyesuaikan perkembangan jaman dengan kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai objek sekaligus subjek dari ilmu hukum itu sendiri.
Dalam makalah ini, saya menguraikan tentang perkembangan hukum adat di Indonesia. Dengan mengacu pada beberapa literatur,dalam perkembangannya hukum adat mengalami proses yang cukup panjang dengan memperhatikan cabang-cabang ilmu hukum lain. Keseimbangan antara hukum adat dengan masyarakat menunjukkan betapa besar peranan hukum adat itu sendiri sehingga di taati sebagai suatu kaidah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Untuk menyelaraskan akan hal itu, pemerintah ikut campur tangan sebagai wujud peran aktif memberlakukan hukum untuk mengontrol dan menciptakan keadaan yang ditentukan sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah sosial akibat dari perubahan masyarakat agar tidak mengganggu keteriban dan keamanan dalam masyarakat tersebut.
Peran pemerintah inilah memberikan warna baru dalam muka hukum adat di Indonesia mulai dari di keluarkannya UU No.1 tahun 1974 tentang pokok perkawinan dan lain sebagainya, sehingga diharapkan mampu memperbaharui hukum yang sudah tidak layak diterapkan karena perkembangan jaman yang kompleks maupun menspesifikasikan hukum terhadap aturan-aturan yang belum mampu disentuh atau secara tegas diatur dalam hukum adat sebelumnya.

                                                BAB III
                                              ANALISIS

Hukum adat dalam perkembangannya meliputi hukum perorangan, hukum keluarga, hukum benda, hukum tanah, hukum perkawinan, hukum waris. Dalam hal ini akan diuraikan pokok-pokok perkembangan jaman yang berpengaruh pada sistem hukum adat yang terdahulu guna melengkapi, mengeksistensi, mendinamisasikan, mengharmonisasi serta menyelaraskan hukum itu dengan perubahan di masyarakat.

A.   HUKUM PERORANGAN
Pengertian Dewasa,  dalam perkembangan selanjutnya, yaitu dengan keluarnya keputusan MA No.53 K/SIP/1952 tanggal 1 Juli 1955: 15 tahun adalah suatu umur yang umum di Indonesia menurut Hukum Adat dianggap sudah dewasa.
Keputusan MA No.216 K/SIP/1958 tanggal 3 September 1958; menurut hukum adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayai kehidupan dan pendidikan seorang anak sebelum dewasa tidak semata-mata dibebankan pada ayah anak tersebut tetapi kewajibannya itu juga di tugaskan pada ibunya.
Pasal 29 KUH-Perdata;  untuk laki-laki adalah 18 tahun sedangkan untuk wanita adalah 15 tahun.UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP); Laki-laki 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun.
Pasal 47 Undang Undang pokok Perkawinan;
1). Anak yang belum mencapai umur 18 tahun/belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Kedudukan anak
*Pasal-pasal dalam Undang Undang pokok Perkawinan menyangkut kedudukan anak;
pasal 42: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam  atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43: “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam PP.
Pasal 44: “ Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat perzinaan tersebut.”

Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. KUH-Perdata pasal 29: “Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sepertipun seorang gadis yang belum mencapai 15 tahun, tidak diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan. Sementara itu dalam hal adanya alasan-alasan yang penting.Presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi.

B.   HUKUM KELUARGA
Dasar pengaturan hak anak diawali dengan UUP. Pasal 42 UUP, disebutkan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. (Pasal 45 , 46 UUP).  Ketentuan UUP itu lebih lanjut menjadi salah satu dasar pengaturan perlindungan anak, sehingga melahirkan beberapa undang-undang yaitu UU No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Pasal 49 UUP;
(1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Pengangkatan anak
Tertib administrasi; Bahwa anak angkat adalah sah apabila telah disahkan oleh penetapan dari pengadilan: kepastian hukum memperoleh kekuatan pembuktian.Tetapi pernyataan pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat adalah sah.
Syarat-syarat bagi orang tua antar WNI yang harus dipenuhi:
1). Pengangkatan anak yang dilangsungkan antar orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.
2).Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat oleh perkawinan sah atau belum nikah (single parent adoption) diperbolehkan.
Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat:
1)    Anak tersebut berada dalam yayasan sosial dan dilampirkan surat izin tertulis Departemen Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak.
2)    Izin tertulis dari Departemen Sosial, pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Tentang permohonan pengesahan pengangkatan anak WNA oleh orang tua WNI (intern country adoption). Surat permohonan harus dijartuhkan tertulis ke Pengadilan Negeri.
1). Pengangkatan anak harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial. Pengangkatan anak langsung antara orang tua kandung WNA dengan calon orang tua WNI (private adoption) tidak diperbolehkan.
2). Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.
Syarat-syarat calon anak WNA yang diangkat:
1). Usia anak angkat belum mencapai 5 tahun
2). Penjelasan tertulis dari Departemen Sosial bahwa anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua angkat WNI yang bersangkutan.
Tentang permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang tua WNA. Syarat-syarat calon orang tua WNA:
1)     Berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 tahun.
2)    Izin tertulis dari Departemen Sosial
3)    Pengangkatan anak WNI tersebut harus dilakukan melalui panitia/yayasan sosial: disini (private adoption) tidak diperbolehkan.
4)    Pengangkatan anak WNI oleh WNA yang tidak terikat oleh perkawinan tidak diperbolehkan.
Keputusan Menteri Sosial RI No.41/HUK/F/VII tahun 1984;
Ini berlaku untuk panti asuhan yang ditujukan oleh SK tersebut, Pemerintah telah menunjuk beberapa panti asuhan yang boleh mengadakan pengangkatan anak, tetapi prakteknya pengangkatan anak atau yayasan yang tidak secara resmi ditunjuk.
Secara umum;
1). Pengangkatan anak berdasarkan UU No.4 tahun1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Adalah salah satu usaha dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak yang peraturan pelaksanaannya belum terwujud.
2). SEMA No.6 Tahun 1983

C.   HUKUM BENDA
Hukum Benda dan Hukum Perjanjian merupakan hukum yang bersifat netral artinya tidak perlu ada hal-hal yang bersifat spiritual.Syarat perjanjian; dalam hukum adat dikenal dengan kontan dan kongkrit, sedangkan dalam KUHPdt dikenal dengan istilah konsensual.
Perkembangan hukum adat dalam hukum keluarga, misalnya;
1). Dianutnya sistem parental, dimana baik perempuan atau laki-laki mempunyai hak yang sama,misal; sebagai ahli waris,baik secara adat ataupun Hukum Islam; dan sekarang sudah diakui dalam UUP.
2). Pemahaman bahwa isteri bukanlah ahli waris suaminya, tapi sekarang sesuai dengan perkembangan hukum adat, isteri mempunyai hak ½ dari harta gona-gini dimana adat dulu tidak seperti demikian.
3). Dengan UU No.1 tahun 1989; ditetapkan bahwa dari 10 orang pewaris meskipun 9 orang memilih hukum islam, namun 1 tetap tidak setuju dan lebih memilih hukum adat maka hukum adatlah yang dipakai, namun perkembangannya sekarang ini ingin menggunakan sistem hukum dimana dimusyawarahkan terlebih dahulu, dalam Hukum Islam dimusyawarahkan terlebih dahulu, baru apabila terjadi perselisihan maka dipakailah hukum perbandingan.


D.   HUKUM TANAH                                   
Berpedoman pada UU Pokok Agraria (UUPA) berasaskan pada hukum adat, Sistem-sistem yang tidak ada dalam hukum adat, diadakan dalam UUPA. Misalnya adalah Hak Ulayat/ Hak persekutuan Hukum, Sekarang Hak Ulayat menjadi Hak persekutuan atas Negara (nasionalitas). Negara mempunyai kekuasaan atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Asas pemisahan horizontal; Hak ulayat pada umumnya batas alam yang dipakai, namun terkadang batas alam tersebut banyak perubahan sehingga menyulitkan. UU Kehutanan memiliki peraturan tersendiri dimana suatu negara dapat menguasai tanah sebagai hak negara dibatasi oleh kepemilikan perorangan/ulayat. Negara kita tidak menganut asas pemisahan vertikal.

E.   HUKUM PERKAWINAN
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita bukan hanya bagi mereka yang bersangkutan, akan tetapi orang tuanya,saudara-saudara dan kerabat-kerabatnya, juga banyaknya aturan-aturan yang harus di jalankan berhubungan dengan adat istiadat yang mengandung sifat magis religious, pada umumnya perkawinan didahului dengan pelamaran dan umumnya dilanjutkan dengan pertunangan dahulu.
Asas Perkawinan dalam hal ini menganut asas perkawinan monogami; Pada asasnya Hukum Adat menggunakan asas monogamy,yaitu; seorang laki-laki harus mempunyai satu orang isteri, begitu juga sebaliknya (UU No.10 tahun1989, pasal 3). Pada asasnya dalam satu perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
UUP: Pasal 3;
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat Perkawinan; yaitu: 1). 21 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
                                                2). Dengan izin orang tua.
Sistem dan bentuk perkawinan; perkembangan pada masing-masing sistem kekeluargaan;
1). Pada keluarga matrilineal, sistemnya eksogami dan betuknya semendo antaralain:
a. Bertandang, dianggap suami hanya bertamu saja,anak-anak dari harta pusaka isteri,tidak ada harta bersama.
b. Menetap, suami menetap di keluarga isteri, harta bersama bisa ada ataupun bisa juga tidak ada.
c. Bebas, yaitu bebas menetap bagi suami isteri tersebut, bebas dari ikatan kekerabatan dan ada harta bersama.
2). Pada keluarga patrilineal, sistemnya  eksogami dan betuknya jujur antaralain:
            a). Kontan; Batak (Sinamot), Maluku (Beli)
b). Hutang; Batak (Madingding), Bali (Nunggonin), seperti; perkawinan mengabdi, dibayar dengan tenaga.
c). Tanpa jujur ; Gayo (Anggap), Sumut (nangkah),Ambon (Anak ambil piara).
Harta Perkawinan
Dalam hukum adat dikenal ada 4 macam harta;
1)    Asal (bawaan,warisan,harta pusaka),
2)    Bujangan (hasil sendiri jika sudah kerja),
3)    Gono gini (harta yang didapat dari perkawinan)
4)    Hadiah perkawinan
UUP hanya mengenal 2 macam harta; Harta asal, dan Harta gono gini.
Pasal 35
(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
(1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Putusnya perkawinan serta akibatnya; Pada masyarakat adat patrilineal; tegas, tidak boleh cerai; pada matrilineal:jika cerai anak diasuh oleh isteri; parental : bebas atas perjanjian yang disetujui,jadi dapat diasuh oleh isteri atau suami.
Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena :       a. kematian, b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Alasan perceraian telah diatur dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 14,           dan akibat perceraian dalam UUP:
1).terhadap janda dan duda
Pasal 37 UUP: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
2). terhadap anak
Pasal 53:       (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

F.    HUKUM WARIS
Dalam perkembangannya;
1). Putusan MA No.141 K/SIP/1959: Turunan ke atas.
2). Putusan MA No.59 K/SIP/1958: Penggantian untuk yang kebawah
3). Putusan MA No.387 K/SIP/1958: Masyarakat parental tentang janda,harta gono gini 1:1
4). Putusan MA No.179 K/SIP/1958: Tentang laki-laki dan perempuan mendapat harta warisan sama dalam masyarakat batak.
5). Putusan MA No.320 K/SIP/1958: Janda pada masyarakat Batak mendapat harta gono gini 1:1
6). Putusan MA No.39 K/SIP/1958: Harta pusaka milik kaum,harta suarang (pencaharian) jatuh pada anaknya.
7). Putusan bukit tinggi tanggal 2 Maret 1972 No.12: suami adalah ahli waris isterinya mengenai harta yang bukan harta pusaka tinggi.
8). Putusan MA No.476 K/SIP/1982: Janda berhak terhadap harta bersama.
9). Putusan MA No.302 K/SIP/1960 tanggal 2 November 1960: Hukum adat di seluruh Indonesia perihal warisan. Mengenai seorang janda, selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya. Dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap di tangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi. Sedangkan di beberapa bagian Indonesia, di samping penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan si janda perempuan berhak atas sebagian dari barang warisan seperti seorang anak kandung dari sipeninggal warisan.


Tambahan putusan-putusan mengenai pengangkatan anak:
1). Putusan MA No.441 K/SIP/1973 tanggal 2 Januari 1973: dalam melakukan hak warisnya atas harta gono gini anak angkat menutup hak waris para saudara orang tuanya.
2). Putusan MA No.1431 K/PDT/1988: Pengangkatan anak yang diperlukan tidak semata-mata formalitas dari pengangkatan anak itu tapi harus dari kenyataan sosial yang ada.

BAB IV
IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH

apa saja masalah yang muncul kalau kita kawin beda agama?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka saya akan menjelaskan pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUP adalah :
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaanya itu.


2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No. 9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).


Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:


1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).


2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].


3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].


4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif


Demikian sejauh yang saya ketahui. Adapun peraturan perundang-undangan terkait :

1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

3. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB V
                                KESIMPULAN DAN SARAN

Seiring dan sejalan dengan perkembangan jaman, hukum sebagai suatu sistem harus dapat memberikan kontribusi yang besar untuk dapat mengendalikan dan mengontrol masyarakat guna menciptakan ketertiban dan keamanan. Dari sinilah hukum harus dapat mengharmonisasikan dan menyelaraskan diri sesuai perubahan dan perkembangan di masyarakat untuk mampu berperan dalam pemenuhan kebutuhan yang selalu berubah akibat gejala-gejala sosial terhadap perubahan sosial di masyarakat itu sendiri.

Setelah diuraikan di bab sebelumnya, dalam perkembangannya hukum adat yang telah lahir di Indonesia sangat berkontribusi besar dalam mengatur kehidupan masyarakat di Indonesia. Dan ada sejumlah norma,kaidah dan aturan yang bahkan dijadikan landasan acuan sebagai urgensi terhadap Hukum Ekonomi Internasional yang telah diakui di seluruh dunia, yaitu sistem bagi hasil yang dikenal di hukum adat Indonesia.

Pada perkembangannya, aturan-aturan yang kurang jelas dengan tegas mengatur serta aturan yang sudah tidak pantas diterapkan karena perubahan jaman yang semakin kompleks, memaksa pemerintah beserta lembaga terkait untuk dapat merevisi dan mengeluarkan aturan baru guna menjawab hal itu.

Atas dasar ini lah hukum adat dalam perkembangannya semakin spesifik menekankan pada segi-segi khusus untuk dapat menjangkau mana yang sebelumnya tidak dapat terjangkau serta menetapkan aturan baru dalam masyarakat untuk mencapai keadaan-keadaan tertentu di masyarakat. Pembaharuan harus terus dilakukan agar hukum dapat menjadi pedoman tingkah laku manusia untuk dapat berperilaku bukan sebaiknya tetapi seharusnya di dalam masyarakat. Produk hukum yang telah diberlakukan harus dapat menimbulkan kesadaran kepada semua pihak untuk dapat di taati dengan kesadaran hati nurani bahwa hukum ada karena masyarakat membutuhkannya.


DAFTAR PUSTAKA
*Hukum sebagai suatu sistem ,oleh Prof.Dr.H.Lili Rasjidi,S.H.,S.Sos.,LL.M., dan I.B.Wyasa Putra,S.H.
*Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, oleh Soerojo Wignjodipoero,S.H.
*Hukum Adat dalam Yurisprudensi, oleh Prof.Hilman Hadikusuma,S.H.
*Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi MA, oleh Prof.R.Subekti,S.H
* UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar