Disusun
dalam rangka Memenuhi Persyaratan
Tugas
Mata Kuliah Sistem Hukum Nasional
OLEH :
SENDI
NUGRAHA
110110090144
FAKULTAH HUKUM
UNIVERSITAS
PADJAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. URGENSI TEORI SISTEM HUKUM
Perkembangan
filsafat ilmu dan perkembangan ilmu pengetahuan modern merupakan cerminan
penting pada pertengahan abad kedua puluh, karena pada masa ini ditandai dengan
bangkitnya kesadaran manusia terhadap berbagai kelemahan yang terkandung dalam
formulasi sains modern. Filsafat pengetahuan Cartes ( Cartesian) memang telah memberikan
dasar dan pengukuhan eksistensial terhadap ilmu pengetahuan, sehingga disamping
membawa pengaruh positif terhadap eksistensi dan perkembangan sains, filsafat
cartes juga telah mengakibatkan pengaburan terhadap karakteristik sains global. Reaksi atas hal itu menimbulkan
suatu metode organis yang kemudian lebih dikenal dengan “Metodologi
Sistem”.
Alasan utama
penghadiran pendekatan ini adalah:
1). Pendekatan
sistem merupakan metode semi-metafisika, yaitu di samping memiliki kemampuan
untuk menggambarkan keutuhan karakteristik objek, juga memiliki kemampuan untuk
melakukan analisis terhadap setiap komponen objek.
2). Pendekatan
sistem senantiasa mempertimbangkan faktor keberhubungan suatu objek secara
internal dan eksternal.
3). Pendekatan ini
lebih representative untuk ontology,epistemology,dan aksiologi ilmu
pengetahuan, sesuai dengan karakteristik esensialnya. Karena kapasitas
pendekatan sistem terletak pada kemampuannya untuk menembus kelemahan-kelemahan
karakteristik sains modern (Cartesian).
Sebagai bagian dari
sains global, ilmu hukum tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh perkembangan
pemikiran itu. Salah satu pengaruh yang paling menonjol dari perkembangan itu
adalah menonjolnya dominasi pendekatan mekanis analistis dalam epistemology
ilmu hukum. Akibat yang paling menonjol dari pengaruh ini adalah dominannya
teori-teori hukum normative di dalam khasanah ilmu hukum.
Pada satu sisi,
dominasi teori ini telah mempertegas makna hukum. Tetapi pada sisi lainnya,
ketegasan makna itu justru telah mengakibatkan kekaburan keutuhan makna hukum
global. Banyak orang hanya memandang hukum sekedar sebagai sistem norma belaka.
Pada dimensi ilmu hukum, pereduksian hukum ke dalam perspektif normative ini
telah mengakibatkan hal-hal serius yang senada dengan persoalan yang dihadapi
oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan modern lainnya. Keberadaan ontology hukum
menjadi kabur, metodologinya beraneka ragam dan tanpa ketegasan, dan akhirnya
ilmu hukum gagal untuk menjawab persoalan-persoalan hukum praktis yang cenderung
bersifat dinamis dan progresif.
Kompleksitas
permasalahan ini akan sangat sulit untuk ditelaah melalui pendekatan yang
bersifat otonomi dan karenanya urgensi pendekatan sistem dalam rangka pemulihan
hukum kearah karakteristik esensialnya menjadi jelas. Dalam rangka pemulihan
ini,pendekatan yang relevan sangatlah penting.
B. DASAR PENDEKATAN
Gagalnya suatu
paradigma untuk menjawab masalah tertentu, dari suatu kurun waktu tertentu,
bukanlah alas an penyebab yang dapat mengakibatkan tersingkirnya suatu paradigma
dari totalitas konstelasi ilmu dan kehidupan manusia. Hukum alam tetap hidup
dan menjalankan fungsinya. Dalam perspektif pemahaman esensi hukum, polarisasi
itu akan sangat berguna bagi pemahaman terhadap keberadaan “reduksi hukum
normatif” sebagai suatu gejala kekinian yang tentu saja merupakan akibat dari
suatu rangkaian perkembangan kondisi,gejala,dan paradigma pendahulunya.
Berdasarkan polarisasi perkembangan sains ini, pemahaman terhadap “reduksi
hukum normatif” akan dilakukan melalui penelusuran terhadap kondisi dan
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta perkembangan paradigma hukum
pada khususnya.
Urgensi dan
validitas pemahaman terhadap “reduksi hukum normatif” ini terletak pada
beberapa alasan yang bersifat factual dan teoritis, antara lain ;
1). Reduksi terhadap
hukum (sebagai objek ilmu hukum) secara demikian itu telah mengakibatkan
pengaburan batas-batas ruang lingkup kajian terhadap hukum sebagai suatu objek
ilmu (hukum) yang utuh.
2). Reduksi terhadap
hukum secara demikian itu telah mengakibatkan keterputusan antara norma hukum
dengan unsur-unsur hukum lainnya yang secara nyata merupakan bagian tak
terpisahkan dari (proses) hukum sebagai suatu keutuhan.
3). Pemutusan norma
hukum secara demikian itu telah mengakibatkan menyempitnya dan terbatasnya
ruang lingkup kajian ilmu hukum.
4). Reduksi secara
demikian itu telah merusak polarisasi pemahaman hukum sebagai sains maupun
sebagai gejala praktis.
5). Reduksi secara
demikian itu telah memerosotkan daya dukung ilmu hukum terhadap tuntutan
kebutuhan praktis.
6). Akibat-akibat
reduksi hukum normatif yang semakin bersifat multi-aspek (teori,praktik,dan
proses) ini mencerminkan suatu tuntutan kebutuhan yang sangat serius terhadap
suatu paradigma yang mampu menggambarkan hukum dan proses hukum secara
utuh.Gejala kebutuhan ini akan semakin menguat,jika kebutuhan itu dikaitkan
dengan keajegan ilmu hukum sebagai suatu sistem yang akan menentukan keajegan
ontologism,epistemologis,dan aksiologisnya dalam perspektif statusnya sebagai
desain ilmu yang diharapkan mampu meningkatkan sifat manusiawi dari
manusia(humaniora).
7). Hanya
mendasarkan pemahaman polaritas terhadap perkembangan itulah dapat disusun
suatu pendekatan dan desain sistem hukum yang mampu secara benar dan (logis)
dan sistematis menggambarkan hukum sebagai objek ilmu hukum tersebut secara
utuh.
Dalam menyusun
sistem hukum, cara-cara mengatasi kelemahan metode analistis-mekanis ini akan
menjadi bahan analisis menarik. Karenanya, untuk mengatasinya haruslah
ditemukan suatu metode analisis yang mampu berperan ganda,yaitu; pertama,mampu
mengatasi kelemahan-kelemahan metode analisis-mekanis itu,dan kedua, bersamaan
dengan itu ia juga harus mampu mempertahankan kelebihan dari pendekatan
analisis-mekanis itu.
Metode yang
sekaligus dapat melangsungkan peran itu adalah metode pendekatan sistem,
karena:
a). Metode ini
merupakan induk yang melahirkan metode analistis-mekanis (merupakan alasan
historis).
b). Metode ini
member perhatian sama kuatnya antara pentingnya keseluruhan dan pentingnya
analisis detail yang tajam terhadap setiap bagian dari suatu objek pengetahuan.
Metode ini merupakan metode semi metafisika yang memiliki kemampuan untuk
menembus keterbatasan metode mekanis-analistis,dan sekaligus mempertahan
kelebihan metode itu.
c). Metode ini
memiliki sifat sains dalam pengertian modern, dan juga sifat sains dalam
pengertian filosofis. Sehingga, kapasitas pendekatan ini dipastikan melampaui
keterbatasan kapasitas pendekatan analistis-mekanis.
C. PENDEKATAN YANG RELEVAN
Ada 3 pendekatan
utama yang digunakan untuk mengkaji perkembangan hukum saat ini, yaitu;
1). Pendekatan
filsafat ilmu, digunakan untuk menggambarkan tempat pengetahuan hukum dalam
perspektif filsafat ilmu, yaitu untuk menggambarkan perkembangan ilmu
pengetahuan, perkembangan ilmu hukum dalam perspektif itu, pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan global terhadap ilmu hukum, dan munculnya
kebutuhan baru terhadap pendekatan yang relevan dalam rangka mengatasi
kelemahan-kelemahan ilmu hukum, baik dari segi ontology, epistemology,ataupun
aksiologi,akibat dari perkembangan itu.
2). Pendekatan
filsafat hukum, digunakan menggambarkan perkembangan teori-teori hukum yang
berjalan parallel dengan perkembangan ide manusia tentang pengetahuan pada
umumnya.Pendekatan ini digunakan untuk menegaskan influensi perkembangan ilmu
pengetahuan global terhadap ilmu hukum, baik dari segi
ontology,epistemology,maupun secara eksiologinya.
3). Pendekatan ilmu
hukum digunakan untuk melihat tingkat perkembangan ilmu hukum dalam perspektif
perkembangan sains global. Sehingga pendekatan ini berfungsi untuk menegaskan
perkembangan ilmu hukum dan akhirnya urgensi metodologi sistem bagi
pengembangan ilmu hukum dan pembangunan hukum.
Dari uraian
diatas,ketiga pendekatan ini digunakan untuk menegaskan urgensi pendekatan
sistem bagi ilmu hukum pascamodern dan memformulasikan teori hukum baru yang
mampu menggambarkan hukum secara keseluruhan, yaitu teori hukum yang didasarkan
pada konsep-konsep sistem.
D. DESAIN PEMBAHASAN
Pertama : Penelusuran
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan dan keutuhan formulasi
hukum adat dalam perkembangannya. Setelah diteliti, terdapat faktor-faktor
penting yang mengakibatkan terjadinya pereduksian terhadap hukum adat yang
lama.
Kedua : Setelah
mendapatkan pemahaman yang utuh tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
reduksi hukum normatif dalam hukum adat, yang merupakan dasar kebutuhan
terhadap kehadiran teori sistem hukum dalam rangka rehabilitasi objektivitas
hukum.
Ketiga : Penyusunan
teori yang didasarkan pada prinsip transformasi, yaitu seleksi dan pemahaman
terhadap msing-masing unsur dan teori
dengan dasar pertimbangan pada validitasnya, dan unsur-unsur itu yang kemudian
dibandingkan dengan kenyataan keberadaan hukum itu sendiri.
BAB II
LATAR BELAKANG
Seiring dan sejalan dengan perkembangan
jaman, terjadi banyak gejala sosial terhadap perubahan-perubahan yang
menimbulkan banyaknya kebutuhan yang terus menerus bertambah membuat cara
berpikir manusia menjadi kompelks. Pada ilmu hukum, dalam perkembangannya lahirlah
beberapa cabang ilmu hukum yang baru. Perkembangan yang sangat pesat tersebut
berdampak pada ilmu hukum yang lama untuk menyesuaikan perkembangan jaman
dengan kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai objek sekaligus subjek
dari ilmu hukum itu sendiri.
Dalam makalah ini, saya menguraikan
tentang perkembangan hukum adat di Indonesia. Dengan mengacu pada beberapa
literatur,dalam perkembangannya hukum adat mengalami proses yang cukup panjang
dengan memperhatikan cabang-cabang ilmu hukum lain. Keseimbangan antara hukum
adat dengan masyarakat menunjukkan betapa besar peranan hukum adat itu sendiri
sehingga di taati sebagai suatu kaidah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.
Untuk menyelaraskan akan hal itu, pemerintah ikut campur tangan sebagai wujud
peran aktif memberlakukan hukum untuk mengontrol dan menciptakan keadaan yang
ditentukan sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah sosial akibat dari
perubahan masyarakat agar tidak mengganggu keteriban dan keamanan dalam
masyarakat tersebut.
Peran pemerintah inilah memberikan warna
baru dalam muka hukum adat di Indonesia mulai dari di keluarkannya UU No.1
tahun 1974 tentang pokok perkawinan dan lain sebagainya, sehingga diharapkan
mampu memperbaharui hukum yang sudah tidak layak diterapkan karena perkembangan
jaman yang kompleks maupun menspesifikasikan hukum terhadap aturan-aturan yang
belum mampu disentuh atau secara tegas diatur dalam hukum adat sebelumnya.
BAB III
ANALISIS
Hukum adat dalam perkembangannya meliputi
hukum perorangan, hukum keluarga, hukum benda, hukum tanah, hukum perkawinan,
hukum waris. Dalam hal ini akan diuraikan pokok-pokok perkembangan jaman yang
berpengaruh pada sistem hukum adat yang terdahulu guna melengkapi,
mengeksistensi, mendinamisasikan, mengharmonisasi serta menyelaraskan hukum itu
dengan perubahan di masyarakat.
A. HUKUM PERORANGAN
Pengertian Dewasa, dalam perkembangan selanjutnya, yaitu dengan
keluarnya keputusan MA No.53 K/SIP/1952 tanggal 1 Juli 1955: 15 tahun adalah
suatu umur yang umum di Indonesia menurut Hukum Adat dianggap sudah dewasa.
Keputusan MA No.216 K/SIP/1958 tanggal 3
September 1958; menurut hukum adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban
untuk membiayai kehidupan dan pendidikan seorang anak sebelum dewasa tidak
semata-mata dibebankan pada ayah anak tersebut tetapi kewajibannya itu juga di
tugaskan pada ibunya.
Pasal 29 KUH-Perdata; untuk laki-laki adalah 18 tahun sedangkan
untuk wanita adalah 15 tahun.UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP);
Laki-laki 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun.
Pasal 47 Undang Undang pokok Perkawinan;
1). Anak yang belum
mencapai umur 18 tahun/belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2). Orang tua
mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Kedudukan anak
*Pasal-pasal dalam Undang Undang pokok Perkawinan
menyangkut kedudukan anak;
pasal 42: “anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43: “anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.” Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan
diatur dalam PP.
Pasal 44: “ Seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat perzinaan
tersebut.”
Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. KUH-Perdata
pasal 29: “Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sepertipun
seorang gadis yang belum mencapai 15 tahun, tidak diperbolehkan mengikat
dirinya dalam perkawinan. Sementara itu dalam hal adanya alasan-alasan yang
penting.Presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi.
B. HUKUM KELUARGA
Dasar pengaturan hak anak diawali dengan
UUP. Pasal 42 UUP, disebutkan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Anak wajib menghormati orang
tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. (Pasal 45 , 46 UUP). Ketentuan UUP itu lebih lanjut menjadi salah satu
dasar pengaturan perlindungan anak, sehingga melahirkan beberapa undang-undang
yaitu UU No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Pasal 49 UUP;
(1). Salah
seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a.
la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.
la berkelakuan buruk sekali.
(2). Meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pengangkatan
anak
Tertib administrasi; Bahwa anak angkat adalah
sah apabila telah disahkan oleh penetapan dari pengadilan: kepastian hukum
memperoleh kekuatan pembuktian.Tetapi pernyataan pengangkatan anak yang
dilakukan menurut Hukum Adat adalah sah.
Syarat-syarat bagi orang tua antar WNI yang
harus dipenuhi:
1). Pengangkatan anak yang dilangsungkan
antar orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption)
diperbolehkan.
2).Pengangkatan anak yang dilakukan oleh
seorang yang tidak terikat oleh perkawinan sah atau belum nikah (single parent
adoption) diperbolehkan.
Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat:
1) Anak tersebut berada dalam yayasan sosial
dan dilampirkan surat izin tertulis Departemen Sosial bahwa yayasan yang
bersangkutan telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak.
2) Izin tertulis dari Departemen Sosial,
pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai
anak angkat.
Tentang permohonan pengesahan pengangkatan anak
WNA oleh orang tua WNI (intern country adoption). Surat permohonan harus
dijartuhkan tertulis ke Pengadilan Negeri.
1). Pengangkatan anak harus dilakukan
melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial.
Pengangkatan anak langsung antara orang tua kandung WNA dengan calon orang tua
WNI (private adoption) tidak diperbolehkan.
2). Pengangkatan anak WNA oleh seorang
WNI yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single
parent adoption) tidak diperbolehkan.
Syarat-syarat calon anak WNA yang diangkat:
1). Usia anak angkat belum mencapai 5
tahun
2). Penjelasan tertulis dari Departemen
Sosial bahwa anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai
anak angkat oleh calon orang tua angkat WNI yang bersangkutan.
Tentang permohonan pengangkatan anak WNI oleh
orang tua WNA. Syarat-syarat calon orang tua WNA:
1) Berdomisili
dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 tahun.
2) Izin tertulis dari Departemen Sosial
3) Pengangkatan anak WNI tersebut harus
dilakukan melalui panitia/yayasan sosial: disini (private adoption) tidak
diperbolehkan.
4) Pengangkatan anak WNI oleh WNA yang tidak
terikat oleh perkawinan tidak diperbolehkan.
Keputusan Menteri Sosial RI No.41/HUK/F/VII
tahun 1984;
Ini berlaku untuk panti asuhan yang
ditujukan oleh SK tersebut, Pemerintah telah menunjuk beberapa panti asuhan
yang boleh mengadakan pengangkatan anak, tetapi prakteknya pengangkatan anak
atau yayasan yang tidak secara resmi ditunjuk.
Secara umum;
1). Pengangkatan anak berdasarkan UU No.4
tahun1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Adalah salah satu usaha dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak yang peraturan pelaksanaannya belum terwujud.
2). SEMA No.6 Tahun 1983
C. HUKUM BENDA
Hukum Benda dan Hukum Perjanjian
merupakan hukum yang bersifat netral artinya tidak perlu ada hal-hal yang
bersifat spiritual.Syarat perjanjian; dalam hukum adat dikenal dengan kontan
dan kongkrit, sedangkan dalam KUHPdt dikenal dengan istilah konsensual.
Perkembangan hukum adat dalam hukum
keluarga, misalnya;
1). Dianutnya sistem parental, dimana
baik perempuan atau laki-laki mempunyai hak yang sama,misal; sebagai ahli
waris,baik secara adat ataupun Hukum Islam; dan sekarang sudah diakui dalam
UUP.
2). Pemahaman bahwa isteri bukanlah ahli
waris suaminya, tapi sekarang sesuai dengan perkembangan hukum adat, isteri
mempunyai hak ½ dari harta gona-gini dimana adat dulu tidak seperti demikian.
3). Dengan UU No.1 tahun 1989; ditetapkan
bahwa dari 10 orang pewaris meskipun 9 orang memilih hukum islam, namun 1 tetap
tidak setuju dan lebih memilih hukum adat maka hukum adatlah yang dipakai,
namun perkembangannya sekarang ini ingin menggunakan sistem hukum dimana
dimusyawarahkan terlebih dahulu, dalam Hukum Islam dimusyawarahkan terlebih
dahulu, baru apabila terjadi perselisihan maka dipakailah hukum perbandingan.
D. HUKUM TANAH
Berpedoman pada UU Pokok Agraria (UUPA)
berasaskan pada hukum adat, Sistem-sistem yang tidak ada dalam hukum adat,
diadakan dalam UUPA. Misalnya adalah Hak Ulayat/ Hak persekutuan Hukum,
Sekarang Hak Ulayat menjadi Hak persekutuan atas Negara (nasionalitas). Negara
mempunyai kekuasaan atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Asas pemisahan horizontal; Hak ulayat
pada umumnya batas alam yang dipakai, namun terkadang batas alam tersebut
banyak perubahan sehingga menyulitkan. UU Kehutanan memiliki peraturan
tersendiri dimana suatu negara dapat menguasai tanah sebagai hak negara
dibatasi oleh kepemilikan perorangan/ulayat. Negara kita tidak menganut asas
pemisahan vertikal.
E. HUKUM PERKAWINAN
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang
sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita bukan hanya bagi mereka yang
bersangkutan, akan tetapi orang tuanya,saudara-saudara dan kerabat-kerabatnya,
juga banyaknya aturan-aturan yang harus di jalankan berhubungan dengan adat
istiadat yang mengandung sifat magis religious, pada umumnya perkawinan
didahului dengan pelamaran dan umumnya dilanjutkan dengan pertunangan dahulu.
Asas Perkawinan dalam hal ini menganut
asas perkawinan monogami; Pada asasnya Hukum Adat menggunakan asas
monogamy,yaitu; seorang laki-laki harus mempunyai satu orang isteri, begitu
juga sebaliknya (UU No.10 tahun1989, pasal 3). Pada asasnya dalam satu
perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang isteri hanya boleh
mempunyai seorang suami.
UUP: Pasal 3;
(1). Pada
azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2).
Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal
seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan
dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat Perkawinan; yaitu: 1). 21 tahun untuk pria dan 16
tahun untuk wanita.
2).
Dengan izin orang tua.
Sistem dan bentuk perkawinan; perkembangan pada masing-masing sistem
kekeluargaan;
1). Pada keluarga matrilineal, sistemnya
eksogami dan betuknya semendo antaralain:
a. Bertandang,
dianggap suami hanya bertamu saja,anak-anak dari harta pusaka isteri,tidak ada
harta bersama.
b. Menetap, suami
menetap di keluarga isteri, harta bersama bisa ada ataupun bisa juga tidak ada.
c. Bebas, yaitu
bebas menetap bagi suami isteri tersebut, bebas dari ikatan kekerabatan dan ada
harta bersama.
2). Pada keluarga patrilineal, sistemnya eksogami dan betuknya jujur antaralain:
a).
Kontan; Batak (Sinamot), Maluku (Beli)
b). Hutang; Batak
(Madingding), Bali (Nunggonin), seperti; perkawinan mengabdi, dibayar dengan
tenaga.
c). Tanpa jujur ; Gayo (Anggap), Sumut
(nangkah),Ambon (Anak ambil piara).
Harta Perkawinan
Dalam hukum adat dikenal ada 4 macam harta;
1) Asal (bawaan,warisan,harta pusaka),
2) Bujangan (hasil sendiri jika sudah
kerja),
3) Gono gini (harta yang didapat dari
perkawinan)
4) Hadiah perkawinan
UUP hanya mengenal 2 macam harta; Harta asal,
dan Harta gono gini.
Pasal 35
(1). Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2). Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
(1). Mengenai
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
(2). Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37: Bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
Putusnya perkawinan serta akibatnya; Pada masyarakat adat patrilineal; tegas,
tidak boleh cerai; pada matrilineal:jika cerai anak diasuh oleh isteri; parental
: bebas atas perjanjian yang disetujui,jadi dapat diasuh oleh isteri atau
suami.
Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Alasan perceraian telah diatur dalam PP
No.9 tahun 1975 pasal 14, dan
akibat perceraian dalam UUP:
1).terhadap janda dan duda
Pasal 37 UUP:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
2). terhadap anak
Pasal
53: (1). Wali dapat dicabut dari
kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2). Dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini,
oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
F. HUKUM WARIS
Dalam perkembangannya;
1). Putusan MA No.141 K/SIP/1959: Turunan ke
atas.
2). Putusan MA No.59 K/SIP/1958: Penggantian
untuk yang kebawah
3). Putusan MA No.387 K/SIP/1958:
Masyarakat parental tentang janda,harta gono gini 1:1
4). Putusan MA No.179 K/SIP/1958: Tentang
laki-laki dan perempuan mendapat harta warisan sama dalam masyarakat batak.
5). Putusan MA No.320 K/SIP/1958: Janda
pada masyarakat Batak mendapat harta gono gini 1:1
6). Putusan MA No.39 K/SIP/1958: Harta
pusaka milik kaum,harta suarang (pencaharian) jatuh pada anaknya.
7). Putusan bukit tinggi tanggal 2 Maret
1972 No.12: suami adalah ahli waris isterinya mengenai harta yang bukan harta
pusaka tinggi.
8). Putusan MA No.476 K/SIP/1982: Janda
berhak terhadap harta bersama.
9). Putusan MA No.302 K/SIP/1960 tanggal
2 November 1960: Hukum adat di seluruh Indonesia perihal warisan. Mengenai
seorang janda, selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya. Dalam
arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap di
tangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal
dunia atau kawin lagi. Sedangkan di beberapa bagian Indonesia, di samping
penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak
kekayaan si janda perempuan berhak atas sebagian dari barang warisan seperti seorang
anak kandung dari sipeninggal warisan.
Tambahan putusan-putusan mengenai
pengangkatan anak:
1). Putusan MA No.441 K/SIP/1973 tanggal 2
Januari 1973: dalam melakukan hak warisnya atas harta gono gini anak angkat
menutup hak waris para saudara orang tuanya.
2). Putusan MA No.1431 K/PDT/1988:
Pengangkatan anak yang diperlukan tidak semata-mata formalitas dari
pengangkatan anak itu tapi harus dari kenyataan sosial yang ada.
BAB IV
IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH
apa saja masalah
yang muncul kalau kita kawin beda agama?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka saya akan menjelaskan pengaturan
mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2
UUP adalah :
1. Apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1)
dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaanya
itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 (PP No. 9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka
pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan
Agama. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor
Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).
Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU
No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya
suatu perkawinan beda agama antara lain:
1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama
dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU
Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama
masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh
masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda
agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki
yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran
Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).
2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh
orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai
pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan
Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar
agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan
dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih
dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi
ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila
pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan
perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut
ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang
terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena
tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut
bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau
keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].
4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata
perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu
satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus
mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan
sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut
hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran
perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya
perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif
Demikian sejauh yang saya ketahui. Adapun peraturan perundang-undangan terkait
:
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
3. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Seiring dan sejalan dengan perkembangan
jaman, hukum sebagai suatu sistem harus dapat memberikan kontribusi yang besar
untuk dapat mengendalikan dan mengontrol masyarakat guna menciptakan ketertiban
dan keamanan. Dari sinilah hukum harus dapat mengharmonisasikan dan
menyelaraskan diri sesuai perubahan dan perkembangan di masyarakat untuk mampu
berperan dalam pemenuhan kebutuhan yang selalu berubah akibat gejala-gejala
sosial terhadap perubahan sosial di masyarakat itu sendiri.
Setelah diuraikan di bab sebelumnya,
dalam perkembangannya hukum adat yang telah lahir di Indonesia sangat
berkontribusi besar dalam mengatur kehidupan masyarakat di Indonesia. Dan ada
sejumlah norma,kaidah dan aturan yang bahkan dijadikan landasan acuan sebagai
urgensi terhadap Hukum Ekonomi Internasional yang telah diakui di seluruh
dunia, yaitu sistem bagi hasil yang dikenal di hukum adat Indonesia.
Pada perkembangannya, aturan-aturan yang
kurang jelas dengan tegas mengatur serta aturan yang sudah tidak pantas
diterapkan karena perubahan jaman yang semakin kompleks, memaksa pemerintah
beserta lembaga terkait untuk dapat merevisi dan mengeluarkan aturan baru guna
menjawab hal itu.
Atas dasar ini lah hukum adat dalam
perkembangannya semakin spesifik menekankan pada segi-segi khusus untuk dapat
menjangkau mana yang sebelumnya tidak dapat terjangkau serta menetapkan aturan
baru dalam masyarakat untuk mencapai keadaan-keadaan tertentu di masyarakat.
Pembaharuan harus terus dilakukan agar hukum dapat menjadi pedoman tingkah laku
manusia untuk dapat berperilaku bukan sebaiknya tetapi seharusnya di dalam
masyarakat. Produk hukum yang telah diberlakukan harus dapat menimbulkan
kesadaran kepada semua pihak untuk dapat di taati dengan kesadaran hati nurani
bahwa hukum ada karena masyarakat membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA
*Hukum sebagai suatu sistem ,oleh Prof.Dr.H.Lili
Rasjidi,S.H.,S.Sos.,LL.M., dan I.B.Wyasa Putra,S.H.
*Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,
oleh Soerojo
Wignjodipoero,S.H.
*Hukum Adat dalam Yurisprudensi, oleh Prof.Hilman Hadikusuma,S.H.
*Hukum Adat Indonesia dalam
Yurisprudensi MA, oleh Prof.R.Subekti,S.H
* UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
(UUP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar