Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Rabu, 27 Maret 2013

RISIKO SISTEMIK PADA PERBANKAN (Peran Bank Indonesia sebagai Lender of the Last Resort)


  1. PENDAHULUAN
Perekonomian yang sehat tidak terlepas dari peranan perbankan sebagai daya dorong perbaikan ekonomi, khususnya peranan perbankan sebagai lembaga intermediary (perantara). Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang pembayaran haruslah mampu mengatasi setiap permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Secara makro fungsi perbankan ini juga sangat berpengaruh terhadap kemajuan ekonomi Negara.[1] Pada jaman modern ini hampir tidak ada kehidupan ekonomi yang tidak bersentuhan dengan bank, khususnya yang berkenaan dengan pendanaan berbagai usaha dibidang industri, perdagangan, bahkan dibidang kehidupan rumah tangga biasa.[2]
Mendukung terciptanya tatanan perekonomian sebagaimana tersebut di atas dan sejalan dengan tantangan perkembangan serta pembangunan yang semakin kompleks, sistim keuangan yang semakin maju, serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi maka perbankan haruslah selalu berpegangan teguh terhadap prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) sesuai dengan fungsinya dalam menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten.[3]
Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat, disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas serta harus selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat, sehingga Undang-undang Perbankan beberapa kali mengalami perubahan/amandemen. Amandemen pertama ialah dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan amandemen kedua ialah dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selanjutnya definisi Bank sesuai dengan Undang-undang Perbankan yaitu pada pasal 1 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. “
Keseluruhan Undang-undang tersebut juga telah mengatur Asas, Fungsi serta Tujuan Perbankan secara jelas. Adapun pasal-pasal pada Bab II Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur sebagai berikut :
(2). Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
(3). Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
(4). Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Seperti diketahui Bank merupakan suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya penawaran dan permintaan kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak pada waktu yang telah ditentukan. Bank sebagai suatu jenis lembaga keuangan melaksanakan berbagai macam fungsi keuangan misalnya memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda berharga, membiayai usaha perusahaan dan sebagainya. Pendek kata, bank adalah suatu lembaga keuangan yang tugas pokoknya berusaha memberikan pelayanan kepada semua pihak dalam bidang pengadaan jasa pengelolaan dana, lalulintas pembayaran, peredaran uang dan pemberian kredit, baik dengan menggunakan modalnya sendiri maupun modal yang dihimpun dari masyarakat. Mengingat besarnya peran dana masyarakat dimaksud, maka sudah merupakan suatu keharusan bagi pengurus bank untuk mengelola banknya dengan hati-hati, sehingga dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya dapat menghasilkan nilai tambah yang bermanfaat serta sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila bank melakukan kegiatan usahanya berdasarkan asas usaha bank yang sehat dan dapat dipertanggung jawabkan. Tanpa kondisi tersebut bank tidak akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat, sebab dasar dari eksistensi bank sudah tidak ada lagi.[4]
Alasan utama mengapa Bank dilengkapi dengan regulasi yang ketat karena gagalnya suatu bank bisa berdampak jangka panjang melintasi perekonomian serta berbagai aspek penting suatu negara. Gagalnya suatu bank secara parsial atau total dapat mempengaruhi perekonomian negara secara keseluruhan. Hal ini mengacu pada suatu risiko yang mulai sering disebut-sebut kalangan perbankan serta semakin mencuat kepermukaan setelah terjadinya kasus Bank Century (Pada tanggal 20 November 2008, Bank Indonesia menyatakan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai Berdampak Sistemik)[5], yang masih menjadi perdebatan serta ketakutan akan trauma masa lalu ketika krisis moneter pada tahun 2007 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia dan masih dirasakan sampai saat ini. Risiko ini kerap disebut sebagai risiko sistemik (systemic risk).
  1. RISIKO SISTEMIK
Perkembangan industri perbankan yang sangat pesat, umumnya disertai dengan semakin kompleknya kegiatan usaha bank yang mengakibatkan peningkatan eksposur risiko pada bank. Bank Indonesia selaku otoritas jasa perbankan telah menetapkan definisi risiko sebagai potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank.[6] Mengingat risiko dan tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan akan semakin meningkat. Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika (code of conduct) yang berlaku secara umum pada industri perbankan, maka bank diharapkan mampu melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian.
Risiko sistemik pada sistem perbankan disebabkan oleh adanya korelasi yang tinggi dari kegagalan bank-bank pada suatu Negara, sejumlah negara atau secara global. Risiko sistemik juga bisa terjadi pada bagian-bagian yang lain dari sektor keuangan dan bisa berdampak secara domestik maupun transnasional.
Dampak sistemik pernah dialami Indonesia pada tahun 1997, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menyebabkan penarikan dana besar-besaran secara bersamaan pada lembaga keuangan bank yang lebih dikenal dengan “rush” konsekuensi logis berdampak dengan diikutiya krisis moneter yang meluluhlantakkan korporasi-korporasi serta berimbas pada masyarakat luas.
Istilah sistemik diambil dari kata sistem. Kegagalan sistemik berarti kegagalan-kegagalan yang menyebabkan kerusakan secara menyeluruh pada sistem. Berdasarkan pada definisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), yang dimaksud berdampak sistemik adalah:
“Berdampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”[7]
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat untuk Bank Umum, pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) terdapat istilah Dampak Sistemik, yang selanjutnya didefinisikan sebagai berikut:
“Dampak sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu bank bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank-bank lain sehingga berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengancam stabilitas sistem keuangan.”[8]
Secara umum, risiko atau dampak sistemik sering didefinisikan sebagai peluang hancurnya suatu sistem secara keseluruhan, bukan hanya dari suatu bagian individual dari sistem tersebut melainkan bisa dari korelasi antara semua bagian yang ada dalam sistem tersebut (sudah tentu tingkat risiko berbeda sesuai dengan lapangan yang terkena dampak).
Ada beberapa definisi lain mengenai risiko sistemik :
Menurut Philip Bartholomew and Gary Whalen, “risiko sistemik mengacu pada suatu “bigshock atau macro shock yang menghasilkan dampak negatif yang secara hampir bersamaan mempengaruhi suatu sistem atau perekonomian domestik.”[9]
Jadi, risiko sistemik disini mengacu pada suatu kejadian yang mempengaruhi perbankan atau sistem perekonomian, bukan hanya pada beberapa institusi.
Menurut Frederic Mishkin (1995) mendefinisikan bahwa:
the likelihood of a sudden, usually unexpected, event that disrupts information in financial markets, making them unable to effectively channel funds to those parties with the most productive investment opportunities.”[10]
Jadi risiko sistemik itu suatu kemungkinan terjadinya suatu kejutan. Biasanya kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan distorsi informasi pada pasar-pasar keuangan dan membuat pasar tidak dapat secara efektif menyalurkan dana-dana kepada pihak-pihak yang memiliki peluang-peluang investasi yang paling produktif. Namun, bagaimana perpindahan dari pengaruh macro shock keunit-unit individual tidak dijelaskan di sini.
Menurut George G. Kaufman mendefinisikan bahwa risiko sistemik itu peluang terjadinya kerugian komulatif dari suatu kejadian yang membentuk suatu deret kejadian yang beruntun sepanjang suatu rantai dari institusi-institusi atau pasar yang membentuk suatu sistem. Pendek kata, systemic risk is the risk of a chain reaction of falling interconnected dominos.[11] Definisi ini konsisten dengan definisi Bank for International Settlements (BIS).
Menurut BIS, risiko sistemik itu adalah:
“the risk that the failure of a participant to meet its contractual obligations may in turn cause other participants to default with a chain reaction leading to broader financial difficulties”.[12]
Semua definisi mengenai risiko sistemik mengarah pada kehancuran suatu sistem, tidak perduli apapun penyebabnya.
  1. KRITERIA DAN SKALA BANK BERDAMPAK SISTEMIK
Kriteria Bank berdampak sistemik tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan (dalam Perpu JPSK tidak diatur secara jelas mengenai ukuran dan kriteria bank yang dapat dikategorikan sebagai bank yang berdampak sistemik. Secara international best practices, juga tidak pernah ditemui adanya ukuran baku mengenai dampak sistemik). Ketidak tegasan tersebut bukan berarti kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang tidak mampu mengakomodir kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi akan tetapi sebaliknya alasan tersebut guna menghindari kesengajaan dari bank-bank mengkondisikan diri masuk ke dalam kriteria “berdampak sistemik” demi keuntungan-keuntungan yang tidak wajar hal ini berkaitan dengan moral hazard.
Seperti yang diutarakan oleh Mishkin:
“To limit the moral hazard problem…governments and institutions must make improved financial-sector supervision and regulation a high priority. The usual elements of a well-functioning prudential regulatory and supervisory system are adequate disclosure and capital requirements, limits on currency mismatch and connected lending, prompt corrective action, careful monitoring of an institution’s risk-management procedures, close supervision of financial institutions to enforce compliance with regulations, and sufficient resources and accountability for supervisors.”[13]
Pendapat tersebut dapat dipertimbangkan guna membatasi masalah moral hazard dan menjaga sektor keuangan tetap sehat, pengawasan dan pengaturan jelas menjadi prioritas utama, akan tetapi hal tersebut akan sia-sia saja jika sumber daya manusia itu sendiri tidak menaati dan menjalankan sesuai dengan aturan. Dan jika tidak ada perbaikan sumber daya manusia serta dibarengi dengan itikad baik dalam mengoperasionalkan bank, risiko yang berdampak sistemik sangat mungkin terjadi. Dilema tersendiri dialami pada sistem perbankan di Indonesia dalam upaya menstabilkan perekonomian pasca krisis yang mana kepercayaan menjadi modal awal dikelola oleh sumberdaya manusia yang menggunakan kesempatan mencari keuntungan-keuntungan yang tidak wajar. Urusan dengan bank identik berurusan dengan uang, karena itu tidak mengherankan jika bank selalu diincar oleh para penjahat yang tergiur dengan uang tersebut, tetapi tanpa mau berurusan untuk mendapatkannya dengan halal dan wajar.[14] Moral dari para banker menjadi kunci utama terselenggaranya system perbankan yang sehat.
Risiko yang berdampak sistemik dipengaruhi oleh berbagai aspek dan situasi yang terdapat atau terjadi disekitar sektor perbankan dan/atau keuangan itu sendiri baik dilingkungan internal maupun eksternal. Aspek psikologis/sentimen pasar juga merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Sehingga pengukuran dampak sistemik sifatnya sangat situasional dan bervariasi sehingga sangat sulit menentukan batasannya.
Modal dasar perbankan sebagai lembaga intermediary adalah kepercayaan masyarakat, dan dapat dikatakan itu merupakan “harga mati”, oleh karena itu perbankan hendaknya selalu berpegang teguh terhadap prinsip kehati-hatian apapun skala bank tersebut, karena hilangnya kepercayaan masyarakat juga dapat melenyapkan eksistensi perbankan itu sendiri dan imbasnya segala aspek akan terpengaruh dampaknya. Berkenaan dengan skala bank yang memiliki risiko berdampak sistemik tidak melulu diukur dari seberapa besar modal bank tersebut atau seberapa banyak bank tersebut memiliki cabang dan keterkaitan dengan sektor-sektor keuangan lainnya. Sebagai contoh krisis perbankan yang terjadi di Eropa diawali dengan permasalahan sebuah bank swasta berukuran kecil di Inggris yaitu Northern Rock (perlu dicatat bahwa dalam keadaan normal, bank ini tidak masuk kategori bank berdampak sistemik/systemically important bank).[15] Meskipun kecil, bank tersebut menjadi sorotan publik ketika terjadi penarikan dana besar-besaran oleh nasabahnya dan memicu sentimen negatif di pasar, antrian panjang nasabah yang ingin menarik dananya diliput dan disiarkan oleh berbagai stasiun TV. Untuk pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, Inggris mengalami kekacauan perbankan.
Meskipun sudah diberikan pinjaman darurat pada 13 September 2007 oleh Bank Sentral Inggris (Bank of England), Northern Rock akhirnya dinasionalisasi pada 17 Februari 2008, semata-mata demi menghindari kerusakan yang lebih luas terhadap perekonomian di Inggris.[16]
Bank jika diamati dari skalanya apapun itu, risiko sistemik kemungkinan dapat terjadi. Sangatlah tidak bijak memandang suatu risiko semata-mata pada penilaian seberapa besar modal bank dan atau seberapa luas pengaruhnya terhadap perekonomian tanpa memandang aspek yang tidak terlihat tetapi memiliki pengaruh yang sangat signifikan yaitu aspek kepercayaan masyarakat.
  1. MANAJEMEN RISIKO
Perkembangan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat serta diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan, semakin kompleksnya risiko tersebut akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang sehat (good governance) dan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank. Peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif. Dalam rangka menciptakan prakondisi dan infrastruktur pengelolaan risiko maka bank wajib mengambil langkah-langkah persiapan pelaksanaan pengelolaan risikonya yaitu dengan melengkapi diri dengan manajeman risiko.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank.”[17]
Perbankan dituntut untuk mengembangkan suatu proses manajemen risiko yang sistematis dan secara transparan dapat dipertanggungjawabkan efektivitasnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berdasarkan hasil telaah dan analisis terhadap proses bisnis perbankan dan kejadian-kejadian kerugian, proses manajemen risiko perbankan dirancang secara sistematis meliputi empat tahapan proses yaitu: identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian. Keempat tahap tersebut harus dijalankan oleh satuan kerja yang independen dari satuan kerja operasional untuk memastikan efektifitas pelaksanaannya.
Identifikasi risiko merupakan tahap yang paling awal untuk memahami karakter risiko yang dikandung dalam bisnis perbankan. Proses identifikasi risiko diantaranya dapat dilakukan melalui penelaahan catatan-catatan kerugian yang pernah dialami, temuan-temuan satuan kerja audit intern hingga memanfaatkan manajer bisnis sebagai nara sumber melalui suatu proses diskusi/wawancara atau survei tertulis. Pengelompokan terhadap hasil identifikasi di atas dapat dilakukan dengan cara mendefinisikan sendiri jenis dan kategori risiko sesuai kepentingan masing-masing bank. Namun untuk memastikan bahwa bahasa yang digunakan dalam proses pengelolaan risiko sebuah bank dapat dipahami oleh pihak eksternal, seperti investor dan stakeholders lainnya, penetapan jenis dan kategori risiko dimaksud sebaiknya memperhatikan terminologi yang umum digunakan.
Pengukuran risiko merupakan aktivitas yang paling banyak mengkonsumsi sumber daya dalam pengembangan manajemen risiko suatu bank. Kendala yang paling utama adalah metode pengukuran risiko yang masih terus dikembangkan serta belum teruji dengan baik serta keterbatasan data historis yang dibutuhkan. Kondisi yang relatif unik dihadapi dalam pengukuran risiko operasional, dimana komponen yang bersifat kualitatif relatif dominan sehingga menyebabkan BIS menggunakan istilah assessment bukan measurement khusus untuk risiko operasional.
Pemantauan risiko dilakukan dengan memperhatikan indikator dan parameter yang telah ditetapkan. Data eksposur risiko yang diamati harus dicatat dan didokumentasi secara memadai agar dapat dimanfaatkan pada saat dibutuhkan.
Pengendalian risiko merupakan tindak lanjut yang perlu diambil untuk meminimalisasi potensi kerugian yang kemungkinan terjadi. Sesuai dengan strategi manajemen risiko bank, pengendalian risiko dapat dilakukan dengan cara menghindari (avoid), pengalihan (pemanfaatan asuransi), pengelolaan (pengembangan, penyempurnaan, dan pelaksanaan prosedur operasional), atau pengabsorban (karena biaya pengendalian risiko lebih mahal dibandingkan dengan dampak kerugian yang diperkirakan akan terjadi).
Perlu dipahami bahwa tujuan dari manajemen risiko adalah bukan untuk menghilangkan risiko sama sekali dari portofolio bisnis perbankan, melainkan untuk meminimalkan terjadinya kerugian-kerugian yang secara signifikan dianggap dapat menghambat kelangsungan usaha perbankan atau bahkan memberikan dampak dengan skala yang lebih besar.
  1. PERAN BANK INDONESIA SEBAGAI OTORITAS PERBANKAN, MONETER DAN SISTEM PEMBAYARAN
Mengapa Bank Indonesia sangat berkepentingan terhadap pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip perbankan, hal ini didasarkan pada empat pertimbangan utama yaitu:[18]
1. Pentingnya posisi bank dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem pembayaran dan kliring.
2. Sistem perbankan merupakan suatu sistem yang berpotensi menimbulkan bahaya, berkenaan dengan operasional perbankan.
3. Sifat dari perjanjian bank.
4. Moral hazard yang timbul dari peranan perbankan sebagai the lender of last resort perlu diantisipasi secara terus menerus oleh pemerintah.
Sebagai otoritas perbankan, moneter dan sistem pembayaran, tugas utama BI tidak hanya menjaga stabilitas moneter namun juga dibarengi dengan menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu sebaliknya. Sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal.[19] Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki 5 (lima) peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, antara lain:
1)      Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrument suku bunga dalam operasi pasar terbuka.
2)      Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi.
3)      Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan efek yang bersifat menular (contagion effect) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik.
4)      Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan. Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan menditeksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas system keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah gangguan dalam sektor keuangan.
5)      Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai Jaring Pengaman Sistem Keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of the Last Resort (LoLR). Fungsi LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard.
Bank Indonesia sebagai Lender of the Last Resort
Stabilitas sistem keuangan merupakan upaya yang ditujukan untuk menciptakan lembaga dan pasar keuangan yang stabil guna menghindari terjadinya krisis keuangan yang dapat mengganggu tatanan perekonomian nasional. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank dapat mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya dan berdampak sistemik sehingga berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Sebagai Lender of the Last Resort, Bank Indonesia dapat memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)[20] kepada Bank Umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah,[21] sesuai Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5).
“…(4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik
dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank
Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi
beban Pemerintah.
(5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank
yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber
pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam
undang-undang tersendiri…”
Mengacu pada Undang-undang Bank Indonesia dalam rangka mengatasi risiko sistemik Bank Indonesia dan Departemen Keuangan menyusun Peraturan Bank Indonesia (PBI)[22] dan Peraturan Mentri Keuangan mengenai Fasilitas Pembiayaan Darurat bagi Bank Umum.
Governor Frederic S. Mishkin, pada konferensi Perbankan Internasional “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”, pada bulan September 28, 2007 menyarankan tiga prinsip umum untuk menjalankan fungsi secara efektif sebagai Lender of Last Resort, antara lain: (1) restore confidence in the financial system by quickly providing liquidity, (2) limit moral hazard by encouraging adequate prudential supervision, and (3) act as a lender of last resort infrequently.[23]
1)      Restore Confidence in the Financial System by Quickly Providing Liquidity
Ketika krisis sistemik terjadi, tugas dari lender of last resort (BI) adalah mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan dalam sistem keuangan. Tanpa kewibawaan dan kepercayaan perbankan akan terdepak dalam sistem keuangan. Salah satu cara pengembalian kewibawaan adalah penyediaan likuiditas sehingga pasar dapat beroperasi secara efektif.
2)      Limit Moral Hazard by Encouraging Adequate Prudential Supervision
Dana yang disediakan oleh lenders of last resort harus digunakan secara tidaklangsung untuk melindungi dan memberikan insentif bagi para depositor dan kreditor dari lembaga perbankan dari kehilangan/kerugian. Permasalahan lebih lanjut berkenaan dengan permasalahan moral hazard dalam menyehatkan perbankan dan perekonomian. Dalam rangka membatasi permasalahan moral hazard otoritas lender of last resort (baca: BI), beserta Pemerintah harus menekankan pengaturan dan pengawasan pada sektor perekonomian menjadi prioritas utama.
3)      Act as a Lender of Last Resort Infrequently
Selain menekankan dan mempromosikan regulasi tentang  kehati-hatian dalam operasional perbankan serta pengawasan guna menekan masalah moral hazard, Pemerintah dan institusi (BI) harus bertindak sebagai lenders of the last resort hanya ketika mutlak diperlukan.
Bank Indonesia sebagai Lender of the Last Resort bukan semata-mata menyediakan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berisiko berdampak sistemik, akan tetapi pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dengan melengkapi operasional perbankan dengan regulasi serta pengawasan yang bertujuan menekan permasalahan moral hazard menjadi prioritas utama.
  1. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa, usaha perbankan tidak terlepas dari risiko, risiko sistemik pada sistem perbankan disebabkan karena adanya korelasi yang tinggi dari kegagalan bank-bank pada suatu Negara, sejumlah Negara atau secara global, sehingga perbankan harus tanggap mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank. Risiko sistemik juga bisa terjadi pada bagian-bagian yang lain dari sektor keuangan dan bisa berdampak secara domestik maupun transnasional. Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dalam fungsinya sebagai Lender of the Last Resort beserta pemerintah harus semaksimal mungkin mencegah terjadinya permasalahan moral hazard serta menjaga kepercayaan masyarakat pada bisnis perbankan dan sektor perekonomian lainnya, dengan memprioritaskan pada regulasi tentang kehati-hatian dalam operasional perbankan dan pengawasan.
Bank jika diamati dari skalanya apapun itu, risiko sistemik kemungkinan dapat terjadi. Sangatlah tidak bijak memandang suatu risiko semata-mata pada penilaian seberapa besar modal bank dan atau seberapa luas pengaruhnya terhadap perekonomian tanpa memandang aspek yang tidak terlihat tetapi memiliki pengaruh yang sangat signifikan yaitu aspek kepercayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Buku Putih, “Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan krisis”, Disusun Oleh:Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia Edisi Januari 2010.
Bartholomew, Philip and Gary Whalen., “Fundamentals of Systemic Risk”, In Research in Financial Services: Banking, Financial Markets, and Systemic Risk, vol. 7, edited by George G. Kaufman , Greenwich, Conn: JAL, 1995.
Bank for International Settlement (BIS), 64th Annual Report, 1994, Basel, Switzerland.
Fuady, Munir., “Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih”, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Gandapradja, Permadi., “Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank”, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Kaufman, George. G., Comment on Systemic Risk. In Research in Financial Services: Banking, Financial Markets, and Systemic Risk, vol. 7, Greenwich, Conn:JAI, 1995a.
Mishkin, Frederic., Comment on Systemic Risk, In Research in Financial Services: Banking, Financial Markets, and Systemic Risk, vol. 7, edited by George G. Kaufman , Greenwich, Conn: JAL, 1995.
Pramono, Nindyo., “Bunga Rampai HUKUM BISNIS AKTUAL”, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Suhardi, Gunarto., “Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Website

Governor Frederic S. Mishkin, Systemic Risk and the International Lender of Last Resort, At the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois, September 28, 2007. http://www.federalreserve.gov/newsevents/speech/mishkin20070928a.htm
Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+BI/
Governor Frederic S. Mishkin,  “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”, At the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois, September 28, 2007, http://www.federalreserve.gov/newsevents/speech/mishkin20070928a.htm

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat untuk Bank Umum.

* Penulis adalah Dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, Bali.
[1] Gunarto Suhardi, “Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum”, Kanisius, Yogyakarta, 2003., hlm. 75.
[2] Ibid.
[3] Nindyo Pramono., “Bunga Rampai HUKUM BISNIS AKTUAL”, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006., hlm. 262.
[4] Permadi Gandapradja, “Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank”, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004., hlm. 1.
[5] Buku Putih, “Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan krisis”, Disusun Oleh:Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia Edisi Januari 2010., hlm. 45.
[6] Lihat Ketentuan Umum Pasal 1 (2) Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
[7] Lihat Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
[8] Lihat Pasal 1 ayat (8) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat untuk Bank Umum.
[9] Philip Bartholomew and Gary Whalen, Fundamentals of Systemic Risk. In Research in Financial Services: Banking, Financial Markets, and Systemic Risk, vol. 7, edited by George G. Kaufman , Greenwich, Conn: JAL, 1995.,  hlm. 4.
[10] Frederic Mishkin, Comment on Systemic Risk. In Research in Financial Services: Banking, Financial Markets, and Systemic Risk, vol. 7, edited by George G. Kaufman , Greenwich, Conn: JAL, 1995.,  p. 32.
[11] George G. Kaufman, Comment on Systemic Risk. In Research in Financial Services: Banking, Financial Markets, and Systemic Risk, vol. 7, Greenwich, Conn:JAI, 1995a., hlm. 47.
[12] Bank for International Settlement (BIS), 64th Annual Report, 1994, Basel, Switzerland., p. 177.
[13] Governor Frederic S. Mishkin, Systemic Risk and the International Lender of Last Resort, At the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois, September 28, 2007. Dapat di akses pada http://www.federalreserve.gov/newsevents/speech/mishkin20070928a.htm 9.56 PM, 13-4-2010.
[14] Munir Fuady., “Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih”, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004., hlm. 73.
[15] Buku Putih, “Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan krisis”., Op.cit., hlm. 14.
[16] Buku Putih, “Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan krisis., Ibid., hlm 15. (Sumber: Reflections on Modern Bank Runs: A Case Study of Northern Rock, Hyun Song Shin, Princeton University, August 2008).
[17] Lihat: PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
[18] Nindyo Pramono., Op. cit., 267.
[19] Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan, dapat diakses pada: http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+BI/
[20] Fasilitas Pembiayaan Darurat, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang dijamin oleh Pemerintah kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Memiliki Dampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas.
[21] Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari APBN telah dituangkan dalam Nota Kesepakatan (NK) antara menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia yang telah ditandatangani pada tanggal 17 Maret 2004.
[22] Lihat Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat bagi Bank Umum.
[23]Governor Frederic S. Mishkin,  “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”, At the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois, September 28, 2007, http://www.federalreserve.gov/newsevents/speech/mishkin20070928a.htm

Sumber: http://subhakarmaresenlaw.wordpress.com/2012/05/29/15/

2 komentar:

  1. terimakasih telah berkunjung ke halaman saya..suskses selalu

    BalasHapus