Disusun
dalam rangka Memenuhi Persyaratan
Tugas
Mata Kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional
OLEH :
SENDI
NUGRAHA
110110090144
FAKULTAH HUKUM
UNIVERSITAS
PADJAJARAN
2012
______________________________________
BAB
IV
UNCLOS
SEBAGAI LANDASAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PENYELESAIAN
SENGKETA WILAYAH
Bab ini
merupakan tinjauan UNCLOS sebagai landasan hukum internasional dalam
penyelesaian sengketa wilayah. Tinjauan ini meliputi sejarah perspektif
kelautan, penyelesaian sengketa wilayah melalui UNCLOS, garis batas landas
kontinen menurut Hukum Laut Internasional, putusan badan-badan penyelesaian
sengketa internasional dalam perkara-perkara internasional mengenai landas
kontinen, landas kontinen Indonesia, dan UNCLOS dan keputusan ICJ.
Untuk bagian
pertama akan membahas mengenai awal mula terbentuknya UNCLOS berdasarkan dasar
fundamental secara prinsipal hukum kelautan. Bagian kedua akan diberikan
penjelasan tentang penyelesaian sengketa pada wilayah laut melalui UNCLOS serta
hak-hak dari negara-negara dunia mengenai batas laut yang diatur dalam UNCLOS.
Bagian ketiga akan membahas tentang hak-hak negara pantai dalam penentuan
landas kontinen berdasarkan Hukum Laut Internasional.
Bagian keempat
akan memberikan penjelasan tentang penggunaan UNCLOS didalam menyelesaikan dua
kasus yang berhubungan dengan landas kontinen yaitu Kasus Landas Kontinen Laut
Utara 1969 (North Sea Continental Shelf Case 1969) dan Kasus Landas
Kontinen antara Inggris dan Perancis tahun 1977 (Anglo-French Continental
Shelf Case 1977). Bagian kelima akan membahas mengenai landas kontinen yang
berlaku khususnya di Indonesia sesuai dengan prinsip hukum laut internasional.
Dan bagian keenam memberikan penjelasan tidak digunakannya hukum laut internasional
didalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan oleh ICJ.
4.1 Sejarah
Perspektif Kelautan
Dasar
fundamental secara prinsipal hukum kelautan berasal dari mare liberum selama
lima abad terakhir. Walaupun beberapa negara telah mendapatkan kedaulatannya
pada laut lepas di dalam memonopoli perdagangan dan juga perikanan,
pendekatan tersebut gagal mendirikan mare liberum, yaitu kebebasan di
Penyelesaian
sengketa laut dalam memberikan keuntungan kepada
setiap negara. Sistem pada perairan terbuka berarti
lautan tersedia bagi setiap pengguna, res communis, dan setiap negara mempunyai
kekuasaan hak dan kebebasan dalam kepentingan perikanan. Pakar dari Belanda
Hugo Grotius, menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat diduduki tidak
akan dapat menjadi hak milik. Grotius berpendapat bahwa pemanfaatan laut untuk
perikanan atau pelayaran oleh seseorang tidak akan menghalangi orang lain untuk
turut memanfaatkannya. Samudera diciptakan alam sehingga suatu negara tertentu
tidak dapat secara eksklusif menggunakannya, melainkan merupakan milik semua
umat manusia.
Mare Liberum diaplikasikan
untuk semua lautan bebas, kecuali laut teritorial dari negara pantai.
Perbatasan air yang berdekatan dengan pantai diutamakan untuk melindungi
kepentingan nelayan lokal dan juga keamanannya. Pada abad kesembilan belas
setiap negara memiliki kesamaan akses atas penguasaan laut bebas termasuk di
dalamnya yaitu penggunaan area maritim. Negara dapat mempromosikan ekonomi yang
dimilikinya yang mencakup transportasi dan juga eksploitasi sumber daya alam.
Namun dengan banyaknya kepentingan negara-negara yang membuat laut bebas yang
semula tidak ada batasan kini semakin banyak benturan membuat banyak negara
melupakan sistem mare liberum untuk keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Pendekatan res
communis menyatakan laut lepas dapat digunakan oleh siapapun tetapi tidak
dapat dimiliki oleh suatu negara. Pendekatan tersebut mengenai hak-hak atas
sesuatu yang tidak dapat dimiliki oleh suatu negara tidak terdapat dalam hukum Romawi,
melainkan baru diciptakan pada tahun 1960-an ketika pada bulan November 1967
Duta Besar Arvis Prado, Utusan Tetap Malta di PBB menyerukan kepada semua
delegasi untuk menganggap sumber-sumber di lautan yang berada di luar yuridiksi
nasional sebagai “warisan umat manusia” (common heritage of mankind)
yang maknanya lebih dalam daripada res communis.[1]
Jika suatu tempat atau suatu benda dianggap sebagai warisan umum umat manusia,
maka sesuatu itu tidak dapat dimiliki. Sudah menjadi bagian dari gagasan res
communis tetapi terkait pada kemanusiaan dan oleh karenanya harus diatur
dan ditentukan oleh kemanusiaan. Gagasan warisan umum bermakna lebih dalam daripada
res communis, memberikan hak kemanusiaan dan kewajiban untuk mengorganisir
dan mengatur sesuatu tersebut atau wilayah.
Laut dapat
digunakan bagi suatu negara untuk membangun hubungan dengan negara lain melalui
pendekatan res communis dan telah berlangsung beberapa abad yang lalu.
Perjanjian damai Westphalia yang berakhir setelah tiga puluh tahun peperangan
di tahun 1648, secara tipikal menggambarkan saat-saat munculnya negara yang
modern. Dimana negara modern tersebut sudah menyadari akan pentingnya
kedaulatan di dalam penciptaan struktur pusat negara modern. Bagi negara makmur
menitikberatkan pada dominasi suatu negara pada penggunaan wilayah lautan.
Tidak semua negara dapat mengontrol wilayah maritim seperti halnya wilayah
daratan. Dengan kata lain, sistem mare liberum telah mengijinkan setiap
negara untuk menggunakan wilayah kelautan di dalam pencapaian kepentingan dari
masing-masing negara tersebut. Dalam sistem internasional yang bersifat anarki,
tidak ada negara lemah atau negara yang tidak memiliki kekuatan dapat memaksa
negara lainnya di dalam pencapaian kepentingannya. Dalam konteks ini, hukum internasional
membenarkan akan adanya kekuatan suatu hubungan.
Negara-negara
berkeyakinan bahwa dengan menggunakan kekuatan maka negaranegara tersebut akan
bertahan. Kekuatan militer menjadi sumber yang utama dari sebuah legitimasi
ketika sebuah sengketa timbul dan menjadi sesuatu hal yang sah. Penggunaan
penyelesaian sengketa oleh banyak pihak berasal pada akhir abad kedelapan belas
dengan mengadopsi perjanjian Jay (Jay Treaty). Perjanjian Jay
ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1794, membangun
prosedur arbitrasi dimana menjadi model berikutnya sebagai resolusi damai bagi
banyak pihak. Hingga saat ini, penyelesaian sengketa berlaku bagi negara-negara
tanpa penggunaan kekuatan militer dan mengedepankan arbitrasi. Perubahan sikap
dengan meninggalkan kekuatan militer terjadi pada akhir abad kesembilan belas
dengan diadakan rapat konferensi perdamaian Hague (Convocation of the Hague
Peace Conferences). Konferensi ini membahas mengenai pengurangan
persenjataan dan menangani cara perdamaian secara umum sebagai alternatif di
dalam penyelesaian sengketa. Pada tahun 1899 sidang permanen arbitrasi (Permanent
Court of Arbitration) dilaksanakan dan menghasilkan suatu prosedur bagi
negara untuk merancang pelaku arbitrasi di dalam penyelesaian suatu sengketa.
Dengan
didirikannya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) setelah berakhirnya
Perang Dunia I, banyak antusiasme baru untuk hukum internasional dan juga
organisasi-organisasi internasional seperti keamanan kolektif (collective
security), diplomasi terbuka (open diplomacy), perdagangan bebas
(free trade), dan pengaturan persenjataan (arms control). Liga
Bangsa-Bangsa berdiri untuk suatu pergerakan perlawanan penggunaan kekuatan
militer sebagai penyelesaian sengketa. The Permanent Court of International
Justice (PCIJ) berdiri terlepas dari bagian integral konfensi Liga
Bangsa-Bangsa. PCIJ memiliki juridiksi lebih untuk kasuskasus dari banyak
negara dengan menyediakan perjanjian. Pengaruh dari perubahan ini hanya
dititikberatkan untuk pembangunan dari hukum laut. Lembaga Bangsa-
Bangsa memiliki
inisiatif untuk melakukan kemajuan kodifikasi hukum internasional pada tahun
1924 dimana dapat berpengaruh karena topik dari terirorial lautan menjadi
satu-satunya area hukum internasional yang matang untuk dikodifikasi. Isuisu
yang termasuk di dalamnya adalah alam dan laut teritorial yang terbatas, daerah
yang berbatasan, dan kapal-kapal asing yang melampaui laut teritorial.
Dengan munculnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa, penentuan batas kelautan mengalami perubahan.
Sebelum Perang Dunia II, negara-negara yang bertikai menyetujui segala usaha di
dalam penghancuran dengan menggunakan kekuatan militer, namun setelah perang
berakhir, penggunaan kekuatan militer telah ditinggalkan dalam penyelesaian
sengketa selain untuk pembelaan diri (self-defence) dan cara pemaksaan
bersifat kolektif (collective enforcement). Mekanisme ini tercantum
dalam Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
penyelesaian
sengketa oleh dua negara atau lebih.[2] Kepentingan
negara-negara di dunia baik dalam bidang politik maupun ekonomi yang
secara tidak langsung menimbulkan suatu sengketa tersendiri, maka Perserikatan
Bangsa-Bangsa mendirikan Pengadilan Hukum Internasional (International
Court of Justice) sebagai organ utama secara yudisial menggantikan PCIJ. Adanya
negara yang ‘terkotak-kotak’ secara tradisional membuat negaranegara tersebut
mempermasalahkan area atau daerah kekuasaannya termasuk di dalamnya yaitu
daerah lautan. Penyelesaian sengketa ini menjadi sulit diawal negosiasi pada
konferensi yang diselenggarakan negara-negara dunia dimana masing-masing
negara tersebut menginginkan adanya suatu resolusi bagi penyelesaian
sengketa. Pada tahun 1976 konferensi memutuskan untuk menggunakan Informal
Single Negotiating Text sebagai basis diskusi. Permasalahan yang paling
sulit dipecahkan selama negosiasi adalah penyelesaian sengketa yang berhubungan
dengan batas daerah maritim dan kedaulatan bagi negara-negara pantai pada Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Usaha masyarakat
internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 negara
peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan negara pada tanggal 10 Desember
1982. Dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1958 tentang hukum laut,
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut tersebut mengatur
rezim-rezim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh dimana tidak dapat
dipisahkan antara satu sama lainnya.
UNCLOS
menyediakan rezim yang kompleks dimana merupakan persetujuan mengenai ruang
kelautan dan penggunaannya. Persetujuan batas laut dan yuridiksi dari semua
daerah pantai meliputi laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen,
laut pedalaman, batas laut dalam dan ruang diatas lautan. Konferensi
negara-negara di dunia memberikan hak dan juga kewajiban bagi setiap negara
untuk memberikan rasa hormat di dalam menjalankan aktivitas diwilayah kelautan.
Disatu sisi, adanya kerjasama dari negara-negara untuk melakukan kerjasama dan
negosiasi dalam membuat suatu perjanjian yang berhubungan dengan permasalahan laut.
4.2 Penyelesaian
Sengketa Wilayah Melalui UNCLOS
Bagi suatu
negara berdaulat yang berarti kedaulatan negara mempunyai otonomi penuh dan
tanggung jawab yang penuh terhadap perkembangan bangsa dan negara baik yang
bersifat ke dalam maupun ke luar dengan segala kebijaksanaan di berbagai bidang
maupun politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan serta menjalin hubungan
dengan negara-negara serta bangsa-bangsa lain di dunia. Konsep kedaulatan
negara tidak terlepas dari pembahasan konsep kedaulatan atas laut. Menurut
rezim hukum internasional yang mengatur hak-hak kedaulatan atas wilayah daratan
dan perairan mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut
mencakup perbedaan substantif dan prosedural, secara substantif hak atas
wilayah dapat diperoleh
berdasarkan fakta kepemilikan secara fisik, sedangkan hak atas daerah laut
diperoleh berdasarkan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak. Selanjutnya
secara prosedural apabila terjadi sengketa wilayah darat, maka penyelesaiannya
dapat dilakukan atas persetujuan negara-negara yang bersengketa.
Dalam hal
terjadinya sengketa wilayah laut, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bab V UNCLOS mengenai penyelesaian sengketa-sengketa juga memuat
sejumlah ketentuan yang ambisius. Negara-negara diwajibkan untuk menyelesaikan
dengan cara-cara damai setiap sengketa mengenai interpretasi atau penerapan
Konvensi. Apabila tidak berhasil mencapai persetujuan atas dasar perundingan,
maka negara-negara itu harus mengajukan sebagian tipe sengketa kepada suatu
prosedur wajib yang mengeluarkan keputusan mengikat; ketentuan berkenaan dengan
hal ini dikemukan dalam Seksi 2 yang berjudul “Prosedur-prosedur Wajib yang
Menghasilkan Keputusan-keputusan yang Mengikat” (Compulsory Procedures
Entailing Binding Decision). Negara-negara memiliki empat pilihan dalam
prosedur wajib tersebut. Menurut ayat 1 Pasal 287 (pasal kedua dalam Seksi 2)
suatu negara pada waktu menandatangani, meratifikasi atau mengaksesi konvensi
atau pada setiap waktu setelah itu, bebas untuk memilih dengan membuat
pernyataan tertulis, satu atau lebih cara penyelesaian sengketa-sengketa
perihak interpretasi dan penerapan Konvensi : The International Court of
Justice, Tribunal/ITLOS, Arbitrasi di bawah annex VII UNCLOS, atau Arbitrasi
Khusus di bawah annex VIII.[3] Penyelesaian
sengketa dalam bidang hukum laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982 dilakukan
dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini
sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi
peradilan internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional.
Dengan demikian,
terdapat perbedaan sejarah mengenai perkembangan hakhak milik di
permukaan daratan dan wilayah laut. Permukaan daratan di bumi sebagian besar telah
dibagi pada saat perang belum dinyatakan sebagai pelanggaran hukum. Oleh
karena itu, pada pokoknya wilayah daratan dialokasikan melalui penjatahan
secara fisik yang dilakukan oleh negara-negara besar. Sedangkan pada masa itu kawasan
samudera dianggap res communi yaitu sesuatu yang merupakan milik kelompok
orang-orang dan bisa digunakan oleh setiap anggota kelompok tetapi tidak bisa
dimiliki oleh siapapun karena adanya kesulitan untuk membagi wilayah laut.
Namun, ketika
peralatan praktis dan teknologi untuk memanfaatkan samudera secara eksklusif
sudah berkembang, saat itu pula terbentuk institusi legal bagi alokasilaut
secara efektif. Kemudian timbul dimensi politik berkenaan dengan pendistribusiannya
berdasarkan kriteria tertentu dan bukan berdasarkan politik kekuatan seperti
sebelumnya. Kawasan perairan dialokasikan dengan hukum, melalui proses-proses
legal dan bukan lagi melalui cara kekerasan, serta sesuai dengan ide-ide dasar
mengenai keadilan. Fakta lain yang membedakan sejarah kedaulatan negara atas
daratan dan perairan atau laut bahwa daratan lebih mudah diduduki daripada
perairan. Demikian pula dengan kenyataan yang selanjutnya berkembang dimana
timbulnya berbagai dimensi ekonomi berkenaan dengan masalah laut. Hal ini juga
didorong oleh kenyataan bahwa mengingat kawasan laut tidak bisa diduduki
seperti halnya wilayah daratan, maka kepemilikan atas kawasan laut terutama
ditujukan untuk pengambilan sumber-sumbernya. Oleh karena itu doktrin bahwa hak
wilayah laut ditentukan
berdasarkan
hukum semakin berkembang demikian pula dengan mekanisme penyelesaian
sengketanya dan perkembangan paling signifikan adalah dengan diterimanya rezim
hukum laut dalam UNCLOS.
Pada masa ketika
rezim hukum mengenai hak-hak eksklusif atas wilayah daratan telah berkembang, kawasan
laut tetap dianggap res communis yang tersedia bagi semua pihak. Mare
liberum (“free sea”) berlaku bagi semua kawasan samudera atau laut lepas,
kecuali jalur laut teritorial yang berbatasan dengan pantai-pantai yang digunakan
untuk melindungi kepentingan perikanan lokal dan keamanan. Perkembangan
perangkat hukum dan institusi yang mengatur alokasi hak-hak atas wilayah laut
termasuk relatif baru. Hak-hak atas wilayah laut dialokasikan melalui proses
yang berbeda dengan pengalokasian daratan dan menurut yurisprudensi yang sangat
berbeda. Alokasi wilayah laut adalah berdasarkan ketentuan hukum dan dipisahkan
dari tindakan fisik okupasi. Disamping itu, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS)
merupakan perjanjian multilateral pertama yang memuat ketentuanketentuan mandatori
bagi penyelesaian konflik. Pada tahun 1982 tepatnya 30 April
1982 di New
York, Konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law
of the Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang Hukum
Laut III. UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk
Negara Kepulauan. Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982 secara komprehensif
telah mengkodifikasi hukum internasional yang berkaitan dengan berbagai
permasalahan lain, seperti hak-hak pelayaran, pengawasan polusi, riset ilmiah
kelautan dan ketentuan perikanan.
Cara alokasi
yang diadopsi UNCLOS untuk memiliki wilayah laut tidak didasarkan pada
kepemilikan atau kontrol seperti kepemilikan tanah, tetapi melalui proses
yuridikasi. Doktrin tersebut menyatakan bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan
fisik atau kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian disebut
doktrin ab initio, yang artinya jatah atau bagian tersebut sudah
dimiliki sejak awal yang merupakan bagian yang sudah menyatu dan tidak perlu
upaya tertentu bagi negara pantai untuk memperolehnya. Mahkamah Internasional
menyatakan doktrin ab initio yang diadopsi pada Konferensi Jenewa
sebagai sarana untuk melindungi negara-negara pantai yang tidak membuat
pernyataan atas hak-hak
mereka terhadap
landas kontinen dan tidak memiliki alat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
sumber-sumber mereka. Semua negara pantai menerima doktrin tersebut tanpa
keraguan terutama disebabkan oleh konsekuensi negatif yaitu mencegah terjadinya
perlombaan kepemilikan wilayah dan pengambilan sumbersumber di dasar laut oleh
beberapa negara. Dengan telah disahkannya Konvensi Hukum Laut 1982, tidaklah
berarti bahwa konvensi tersebut telah dapat menampung segala kepentingan
negara-negara. Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa
adalah mengenai pengaturan dan pengamanan hak lintas bagi kapal-kapal asing
pada perairan yang berada dibawah yuridiksi suatu negara. Pengaturan dan
pengamanan hak lintas bagi kapal asing
melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional akan mempunyai
dampak tidak hanya bagi negara-negara pemakai selat maupun negaranegara lain,
baik secara langsung maupun tidak langsung akan merasakan akibatnya pada
segi-segi kehidupan politik, militer dan ekonomi. Berkaitan dengan masalah perbatasan
antarnegara, adanya perbedaan rezim hukum landas kontinen dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 dan pengaturan sebelumnya, dimana kriteria keterikatan geomorfologis
(natural prolongation) dinilai tidak lagi menjadi ukuran dalam perhitungan
klaim landas kontinen suatu negara pantai. Sebaliknya Konvensi Hukum
Laut 1982 memperkenalkan faktor jarak sebagai salah satu faktor penentu dalam
pengukuran dan penetapan batas wilayah negara, mengingat klaim minimal landas
kontinen dapat diajukan negara pantai hingga 200 mil laut.
Konvensi Hukum
Laut 1982 menghasilkan rumusan baru tentang rezim hukum landas kontinen dengan
memberikan batas klaim minimal sejauh 200 mil laut dan klaim maksimal sejauh
350 mil laut bagi negara pantai dengan kriteria tertentu. Dengan berdasarkan
pada rumusan baru tersebut, keterkaitan faktor geomorfologis dan geofisik
dengan daratan suatu negara pantai hanya berkaitan dengan klaim maksimal landas
kontinen.[4]
Gambar 4.2 Peta
Perairan Kedaulatan dan Yuridiksi Nasional Indonesia
Sumber : Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas
Wilayah Negara Indonesia, 2009.
4.3 Garis Batas
Landas Kontinen Menurut Hukum Laut Internasional
Suatu negara
pantai atau negara pulau, ataupun negara kepulauan yang baru merdeka, sepanjang
situasi geografi dari perairan laut di hadapan atau di sekelilingnya
memungkinkan, sudah dengan sendirinya negara tersebut berhak atas landas
kontinen dan haknya atas landas kontinen itu berlaku semenjak negara itu menyatakan
kemerdekaannya. Jadi tanpa perlu melakukan pernyataan atau tindakan apapun,
negara itu sudah sendirinya mempunyai hak atas landas kontinen dan haknya atas
landas kontinen itu mulai sejak awal (ab initio) berdirinya sebagai
negara. Jika pun suatu negara mengeluarkan deklarasi atau pernyataan tentang
landas kontinennya, pernyataan ini sifatnya hanyalah penegasan saja atas
sesuatu yang memang sudah menjadi atau merupakan haknya sendiri. Eksistensi
landas kontinen sebagai pranata hukum internasional universal, semakin
diperkuat dengan tindakan negara-negara yang mentransformasikan landas kontinen
itu dalam bentuk perundang-undangan nasionalnya masing-masing, dengan substansi
yang selaras dengan substansi landas kontinen sebagai kaidah hukum
internasional.
Meskipun kini
setiap negara pantai diakui memiliki landas kontinen, namun landas kontinen itu
sendiri bukanlah merupakan bagian dari wilayah negara dan dengan demikian
landas kontinen tidak tunduk pada kedaulatan negara. Dengan kata lain, negara
pantai tidak memiliki kedaulatan atas landas kontinen. Landas kontinen tetaplah
merupakan suatu area atau kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada
di luar wilayah negara. Negara pantai hanyalah memiliki hak-hak yang sifatnya
lebih terbatas yang lebih dikenal dengan hak eksklusif pada landas kontinennya.
Hak eksklusif tersebut secara garis besar meliputi hak untuk mengeksplorasi
landas kontinen itu sendiri dan hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya.
Sebagai area
atau kawasan yang berada di luas wilayah negara, maka pada landas kontinen tersebut
di samping hak-hak dan kepentingan dari negara pantai itu sendiri juga terkait
hak-hak dan kepentingan-kepentingan negara-negara lain yang diakui dan dijamin
oleh hukum internasional. Terutama sekali hak-hak dan kepentingan negara-negara
lain pada area laut di atas landas kontinen yang karena sifatnya ada
hubungannya dengan landas kontinen di bawahnya. Kedua ini, yaknihak dan
kepentingan negara pantai pada satu pihak dan hak serta kepentingan negara-negara
lain pada pihak lain, harus dihormati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Mengingat posisi
geografi negara-negara, terutama negara-negara pantai yang sama-sama memiliki
landas kontinen, ada kemungkinan landas kontinen antara dua negara atau lebih
saling tumpang tindih (overlapping) dan tentu saja potensial sebagai
sumber sengketa antara para pihak. Oleh karena itu, adalah amat penting untuk
menentukan garis batas landas kontinen antara negara-negara yang bersangkutan.
Masalah garis batas landas kontinen antara dua negara atau lebih bukanlah
merupakan masalah yang sederhana. Namun, cara terbaik untuk menyelesaikan
sengketa pada umumnya, termasuk sengketa tentang garis batas landas kontinen
antara dua negara atau lebih adalah dengan melalui penyelesaian secara damai
melalui perundingan langsung antara para pihak yang jika berhasil mencapai
kesepakatan, maka kesepakatan tersebut akan diformulasikan ke dalam bentuk
perjanjian internasional. Namun tidak jarang para pihak gagal mencapai kesepakatan
pada akhirnya menunda atau mengendapkan masalahnya untuk suatu jangka waktu
yang tidak ditentukan atau terkadang ada yang berkembang menjadi sengketa yang
berkepanjangan. Bagi negara yang gagal mencapai kata sepakat, sehingga sengketa
itu berkembang menjadi sengketa hukum yang selanjutnya atas dasar kesepakatan antara
mereka, sengketa itu diajukan kehadapan badan penyelesaian sengketa seperti
Mahkamah Internasional ataupun badan arbitrase internasional untuk memperoleh
putusan yang mempunyai kekuatan mengikat.
4.4 Putusan
Badan-badan Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam
Perkara-perkara
Internasional Mengenai Landas Kontinen
Meskipun
negara-negara telah meratifikasi Konvensi tentang Landas Kontinen 1958, ataupun
telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982, atau mungkin juga telah
terikat pada perjanjian-perjanjian atau persetujuan-persetujuan bilateral
dan/atau multilateral tentang garis batas landas kontinen, tidaklah berarti bahwa
negara-negara tersebut telah lepas dari permasalahan tentang garis batas landas
kontinen. Perbedaan dalam penafsiran ataupun dalam pelaksanaan konvensi ataupun
perjanjian-perjanjian itu dapat saja berkembang menjadi persengketaan.
Persengketaan
tentang garis batas landas kontinen tidak saja dihadapi oleh negaranegara yang
telah terikat pada Konvensi ataupun perjanjian tentang garis batas landas kontinen,
tetapi juga dihadapi oleh negara-negara yang sama-sama belum terikat pada
Konvensi ataupun perjanjian tentang garis batas landas kontinen. Atau juga dihadapi
oleh dua negara dimana salah satu pihak sudah terikat pada Konvensi tetapi pihak
lain belum terikat. Atau pihak yang satu terikat pada Konvensi tentang Landas Kontinen
1958 sedangkan pihak lainnya sudah terikat pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Dalam prakteknya
banyak diantara negara-negara tersebut yang ternyata tidak berhasil
menyelesaikan sengketa secara damai melalui perundingan langsung. Oleh karena
itu dibutuhkan peranan pihak ketiga baik sebagai perantara, penengah atau mediator,
ataupun dalam bentuk pemberian jasa-jasa baik. Bahkan tidak jarang negara-negara
tersebut memilih penyelesaiannya melalui badan-badan penyelesaian sengketa,
seperti badan peradilan internasional ataupun badan arbitrase internasional. Badan
penyelesaian sengketa inilah yang selanjutnya akan memeriksa dan memutuskan
perkara atau sengketa tersebut dengan putusan yang nantinya akan memiliki
kekuatan mengikat yang pasti sebagai hukum internasional positif terhadap para
pihak yang bersengketa.
Putusan badan
penyelesaian sengketa internasional ini, walaupun hanya berlaku dan mengikat
terhadap para pihak yang bersengketa, terkadang ada diantaranya yang mengandung
nilai hukum yang fundamental. Dalam beberapa hal putusannya ini juga dapat
berkembang menjadi kaidah hukum internasional baru berkenaan dengan bidang yang
terkait. Dalam hukum internasional ada dua kasus tentang garis batas landas
kontinen yang cukup menonjol dalam membahas tentang landas kontinen dan garis
batasnya, yakni Kasus Landas Kontinen Laut Utara 1969 (North Sea Continental
Shelf Case 1969) yang diperiksa dan diputuskan oleh Mahkamah Internasional
dan Kasus Landas Kontinen antara Inggris dan Perancis tahun 1977 (Anglo-French
Continental Shelf Case 1977) yang diperiksa dan
diputuskan oleh
Mahkamah Arbitrase Internasional.[5]
Kedua kasus ini
sering dikutip dan dijadikan acuan, oleh karena kasus yang pertama
berkenaan dengan pengujian atas ketentuan garis jarak sama (equidistant line) dan
keadaan-keadaan khusus (special circumstances) dalam menentukan garis batas landas
kontinen antara dua negara atau lebih sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Konvensi
tentang Landas Kontinen 1958, sedangkan kasus yang kedua dipandang sebagai semacam
pengujian kembali atas pandangan Mahkamah Internasional dalam kasus yang
pertama. Bahwa metode garis jarak sama (equidistant line),
keadaankeadaan
khusus
(special circumstances) ataupun kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional
dalam menentukan garis batas landas kontinen memiliki tujuan yang sama yakni
penentuan garis batas landas kontinen sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan
kepatutan. Metode garis jarak sama sebagai metode dalam penentuan garis batas
landas kontinen selalu bersifat relatif karena dipengaruhi oleh pelbagai faktor, seperti
situasi geografi dari negara-negara pantai bersangkutan. Oleh karena itu,
menurut Mahkamah Arbitrase, perbedaan antara negaranegara yang secara
geografi berhadapan dan negara-negara yang berdampingan tidak ditentukan
berdasarkan teori-teori hukum, melainkan ditentukan oleh substansi dari situasi geografi
pantai tersebut. Metode garis jarak sama jika diterapkan secara konsekuen pada
negara-negara yang situasi geografinya saling berhadapan, seringkali
justru menimbulkan ketidak-adilan. Lebih-lebih jika pantai tersebut jaraknya cukup
panjang, sehingga penyimpangan arah dari garis batas yang berdasarkan
metode garis jarak sama, akan semakin besar dan tidak terhindarkan.
Duduk perkara
kasus North Sea Continental Shelf Case 1969 berawal pada penandatanganan
persetujuan tentang garis batas landas kontinen di Laut Utara antara Republik
Federasi Jerman dan Denmark tanggal 9 Juni 1965 dimana dua negara secara
geografi letaknya berdampingan mulai berlaku pada tanggal 27 Mei 1966. Dua
tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 1 Desember 1964, Republik Federasi
Jerman dan Belanda yang letaknya juga berdampingan telah menandatangani
persetujuan tentang garis batas landas kontinen di sekitar pantai kedua negara
di Laut Utara dan mulai berlaku pada tanggal 18 September 1965.
Kesepakatan yang
berhasil dicapai oleh para pihak dalam kedua persetujuan tersebut, hanyalah
meliputi garis batas landas kontinen dalam jarak sekitar 25-30 mil laut dari pantai
negara-negara yang bersangkutan. Jadi masih terdapat area landas kontinen di depannya
yang belum ditetapkan garis batasnya.
Pada tanggal 6
Oktober 1965, Belanda dan Inggris yang secara geografi letaknya berhadapan,
menandatangani persetujuan tentang garis batas landas kontinen kedua negara di
Laut Utara dan mulai berlaku pada tanggal 23 Desember 1966. Demikian pula
Denmark dan Inggris yang juga secara geografi berhadapan, pada tanggal 3 Maret
1966 menandatangani persetujuan garis batas landas kontinen kedua negara di
Laut Utara dan mulai berlaku pada tanggal 6 Februari 1967. Pasal 2 ayat 1
persetujuan antara Belanda dan Inggris 1965 menyatakan, bahwa pada bagian
selatan, titik terluar dari garis batas landas kontinen itu merupakan titik
persilangan dari garis pembagi antara landas kontinen Inggris, Belanda dan
Belgia. Sedangkan Pasal 2 ayat 2 menegaskan, titik paling utara dari garis
batas landas kontinen kedua negara merupakan titik persilangan dari garis batas
yang membagi landas kontinen Inggris, Belanda, dan Denmark. Mengenai hal yang sama,
persetujuan antara Inggris dan Denmark 1966 mengaturnya dalam Pasal 3 ayat 1
dan 2. Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa bagian utara, titik terluar dari garis pembatas
pembagi landas kontinen Inggris, Denmark, dan Norwegia. Sedangkan Pasal 3 ayat
2 menegaskan titik selatan dari garis pembagi landas kontinen kedua negara
yaitu sebuah titik persilangan dari garis pembagi landas kontinen Inggris, Denmark,
dan Belanda. Pada tanggal 31 Maret 1966, Belanda dan Denmark, dua negara yang sebenarnya
secara geografi tidak berhadapan ataupun berdampingan, menandatangani
persetujuan tentang garis batas landas kontinen pada area yang masih belum ada
atau belum ditetapkan garis batasnya itu. Persetujuan ini menganut metode jarak
sama (equidistant line) yang membagi area landas kontinen tersebut, sebagian
menjadi milik Belanda dan sebagian lagi menjadi milik Denmark. Persetujuan ini
berlaku pada tanggal 1 Agustus 1967. Jerman menentang keras persetujuan
Belanda-Denmark 1966 ini, karena dianggap sangat merugikan Jerman. Persetujuan
ini menghalangi Jerman untuk
memperoleh akses
atas landas kontinen ke arah garis batas landas kontinen Inggris di Laut Utara.
Jerman menginginkan agar garis batas landas kontinen di area tersebut ditetapkan
dalam bentuk suatu perjanjian yang lebih adil. Inilah yang merupakan pokok
pangkal dari timbulnya persengketaan antara Jerman pada satu pihak berhadapan
dengan Belanda dan Denmark pada lain pihak.
Pada tanggal 2
Oktober 1967, berdasarkan suatu persetujuan khusus (special agreement)6, para pihak
sepakat untuk mengajukan sengketa ini ke hadapan Mahkamah Internasional
di Den Haag, Belanda. Mahkamah dimohon untuk menentukan prinsip-prinsip
dan peraturan-peraturan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam
menentukan garis batas di area landas kontinen di Laut Utara yang menjadi
pokok sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Fakta lain yang juga dapat
dikemukakan disini adalah, Belanda dan Denmark sudah meratifikasi Konvensi
tentang Landas Kontinen 1958, sedangkan Jerman tidak atau belum meratifikasinya.
Gambar 4.4 Peta
Garis Batas Landas Kontinen Laut Utara
Sumber : I wayan Parthiana, Landas
Kontinen Dalam Hukum Laut
Internasional, 2005.
6 Pengajuan
persetujuan khusus (special agreement) ini untuk mengajukan perkara atau
sengketa
kehadapan
Mahkamah Internasional adalah berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat 1 Statuta
Mahkamah
Internasional yang menyatakan sebagai berikut : “Cases are brought before
the Court,
as the case may
be eitherthe notification of the special agreement or by a written application
adressed to the
Registar. In either case the subject of the dispute and the parties shall be
indicated”.
Dalam kasus
North Sea Continental Shelf Case 1969 dimana pantainya dapat diperbandingkan
panjangnya, harus diperlakukan secara adil sesuai dengan sifat alamiah dari
pantainya. Kecuali karena konfigurasi pantai dari negara-negara yang terlibat
dalam kasus ini yang sedemikian rupa, sehingga akan menimbulkan ketidakadilan jika
diterapkan metode garis jarak sama, sehingga besar kemungkinannya akan ditolak
oleh salah satu atau dua negara lainnya yang merasa dirugikan. Dalam hal ini
Mahkamah harus membahas tentang bagaimana caranya garis batas landas kontinen
dapat ditentukan, apabila penerapan metode garis jarak sama tidak menghasilkan
pemecahan yang adil. Penerapan metode garis batas landas kontinen ini haruslah
dapat menjamin keadilan dan kepatutan. Namun para pihak bebas untuk menyepakati
suatu metode tertentu ataupun metode lainnya. Dalam mewujudkan
keseimbangan
dari pelbagai faktor yang menjadi pokok persoalan, pelbagai aspek yang terkait
haruslah diperhatikan dan diperhitungkan. Oleh karena itu, putusan Mahkamah
menganjurkan para pihak supaya menetapkan garis batas landas kontinen dalam
bentuk perjanjian dengan mempertimbangkan segala aspeknya yang terkait dan
supaya mencerminkan asas kepatutan dan keadilan.
Sementara pada
kasus Anglo-French Continental Shelf Case 1977 fakta yang amat penting adalah
pulau Channel (the Channel island) berada di bawah kedaulatan Inggris,
walaupun letaknya lebih dekat kewilayah daratan Perancis, yaitu di kawasan teluk
St. Malo atau teluk Breton Normand. Pada sisi lain dari Terusan Inggris (the
English Channel) ini, pantai Inggris secara geografi lebih merata karena
tidak terdapat teluk ataupun semenanjung yang besar seperti halnya pantai
Perancis. Di kawasan Atlantik, pantai Inggris, termasuk pulau Scilly sebuah
pulau kecil yang berada di bawah kedaulatan Inggris meluas lebih jauh ke arah
barat, yakni ke laut Atlantik dibandingkan dengan pantai Perancis dan pulau
Ushant. Inggris dan Perancis telah berkali-kali melakukan perundingan pada
tahun 1970-1974 untuk menetapkan garis batas landas kontinen kedua negara di
kawasan ini, tetapi hanya menghasilkan beberapa kesepakatan pokok khususnya
mengenaikawasan 30 derajat sebelah timur dari bujur barat Greenwich yang
dua tepinya secara prinsip disepakati, bahwa garis batasnya harus didasarkan
pada prinsip garis jarak sama. Akan tetapi ternyata masih terdapat
ketidaksepakatan antara kedua pihak yang sifatnya amat mendasar, yaitu mengenai
bagian garis batas landas kontinen di kawasan yang
terletak di sebelah barat dari 30 derajat bujur barat Greenwich. Secara umum,
kedua pihak belum tercapai kesepakatan tentang garis batas landas kontinen pada
dua kawasan yang cukup luas, yaitu : 1) di kawasan teluk Breton Normand, dan 2)
di kawasan Atlantik, yaitu pada bagian sebelah barat dari Terusan Inggris. Sebaliknya
Perancis menginginkan agar garis jarak sama itu ditarik dari garis pangkal
pada pantai wilayah daratan Perancis dan dari garis pangkal pada pantai wilayah
daratan Inggris, sehingga pulau Channel hanya memiliki yuridiksi pada kawasan
laut yang tidak lebih dari 6 mil laut dan hanya merupakan kantung (enclave) saja.
Sedangkan
mengenai garis batas landas kontinen di kawasan Atlantik, Perancis menyatakan,
bahwa garis batas landas kontinen di kawasan ini harus ditarik dari dua sektor
yang membentuk satu sudut yang mengikuti arah umum dari pantai kedua negara.
Sedangkan Inggris berpendapat, bahwa garis batas landas kontinen pada kawasan
tersebut harus ditentukan dengan menerapkan metode garis jarak sama dengan
menjadikan baik pulau Scilly (kepunyaan Inggris) dan pulau Ushant (kepunyaan
Perancis) sebagai titik atau garis pangkal untuk mengukur garis jarak sama
tersebut.
Oleh karena
kedua pihak tidak berhasil mencapai kata sepakat tentang garis batas landas
kontinen di kawasan tersebut, maka pada tanggal 10 Juli 1975 kedua negara
sepakat untuk mengajukan sengketa ini ke hadapan Mahkamah Arbitrase yang
dimohon untuk memeriksa dan memutuskannya. Berbeda dengan North Sea Continental
Shelf Case 1969, dalam Anglo-French Continental Shelf Case ini Mahkamah
Arbitrase tidak diminta untuk menentukan prinsip-prinsip dan peraturanperaturan
hukum internasional yang selayaknya diterapkan dalam menentukan garis batas
landas kontinen dari kedua pihak di kawasan yang menjadi pokok sengketa, sesuai
dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional serta
melukiskan arah
dari garis batas landas kontinen tersebut dalam sebuah peta. Mahkamah Arbitrase
di dalam kasus Anglo-French Continental Shelf Case menyatakan jika pulau
Channel diperlakukan secara penuh menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958,
maka baik laut teritorialnya, zona perikanannya, ataupun landas kontinennya,
hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakadilan bagi Perancis. Sebaliknya
faktor-faktor yang berkaitan dengan pulau Channel itu sendiri juga harus dipertimbangkan, sebab
jika tidak dipertimbangkan juga akan menimbulkan
ketidakadilan bagi Inggris, sebagai pihak yang berdaulat atas pulau Channel.
Atas pertimbangan tersebut, Mahkamah Arbitrase memandang perlunya tindakan
penyelesaian yang mencerminkan jalan tengah. Mahkamah Arbitrase berpendapat,
bahwa metode garis jarak sama mencerminkan prinsip keadilan dan kepatutan,
harus diukur dari pantai wilayah daratan utama kedua pihak. Sedangkan pulau
Channel merupakan sebuah kantung (enclave). Dengan penerapan metode garis
jarak sama yang ditarik pada tengah-tengah selat yang diukur dari pantai wilayah
daratan utama kedua pihak, maka Perancis akan memiliki landas kontinen di kawasan
pertengahan selat yang menghubungkan landas kontinennya di sebelah utara dengan
yang di sebelah selatan.
Kasus ini
mempunyai arti penting karena merupakan suatu batu ujian atas putusan Mahkamah
Internasional dalam North Sea Continental Shelf Case 1969, mengingat masalahnya
yang serupa, tentang sejauhmanakah putusan Mahkamah Internasional itu diperkuat
ataupun dikoreksi oleh Mahkamah Arbitrase. Dikatakan demikian, oleh karena
dalam kasus ini Mahkamah Arbitrase memperoleh kesempatan untuk menafsirkan
kembali garis batas landas kontinen dua negara bertetangga, baik yang kondisi
geografinya berhadapan ataupun berdampingan sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Konvensi tentang Landas Kontinen 1958 ataupun tercantum dalam putusan Mahkamah
Internasional dalam North Sea Continental Shelf Case, 1969.
Ditetapkannya
batas luar landas kontinen yang pasti dan tegas sebagaimana diatur di dalam
Konvensi Hukum Laut PBB 1982, berarti dihapuskannya sifat relatif dan serba
tidak pasti dari batas luar landas kontinen seperti diatur di dalam Konvensi tentang
Landas Kontinen 1958 yang berdasarkan pada kriteria exploitability. Selain
daripada itu, adanya garis batas luar landas kontinen yang pasti dan tegas,
juga dapat mengurangi sumber konflik atau persengketaan antara negara-negara
yang letak geografinya berhadapan ataupun berdampingan. Dikatakan demikian,
oleh karena Konvensi tentang Landas Kontinen 1958 memungkinkan negara-negara
untuk mengklaim landas kontinen dihadapan pantainya sampai pada suatu jarak
yang amat relatif sehingga dapat menimbulkan klaim yang tumpang tindih dengan
klaim dari negara yang dihadapannya ataupun disampingnya yang tentu saja amat
potensial sebagai benih timbulnya persengketaan.
Dengan adanya
batas luar landas kontinen yang pasti sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum
Laut 1982, maka negara-negara yang geografinya berhadapan yang perairannya
serta dasar laut dan tanah dibawahnya melebihi dari jarak maksimum 350 mil
laut, tidak lagi menghadapi kemungkinan masalah klaim atas landas kontinen yang
tumpang tindih. Sedangkan sebelumnya, yakni berdasarkan Kovensi tentang Landas
Kontinen 1958, hal ini bisa saja terjadi disebabkan oleh ketidakpastian dari
batas luar landas kontinen itu sendiri. Dengan demikian, persengketaan tentang
garis batas landas kontinen hanya masih mungkin
terjadi antar
negara-negara yang batas luar landas kontinennya kurang dari dua kali dari 200
mil laut atau kurang dari dua kali batas maksimum 350 mil laut, karena di kawasan
semacam inilah bisa muncul klaim-klaim atas landas kontinen yang tumpang
tindih.
UNCLOS merupakan
suatu perjanjian (treaty) yang melatarbelakangi hak dan obligasi dari
suatu negara dan aktor internasional lainnya pada area maritim yang berbeda dan
berhubungan dengan bermacam-macam penggunaan terkait dengan kelautan.
Signifikansi dari UNCLOS tidak saja ditemukan dalam mengontrol aktivitas pada
semua zona maritim, tetapi juga dalam penyediaan prosedur bagi suatu negara
untuk mengatasi perbedaan klaim. UNCLOS adalah perjanjian global yang dapat
memberikan juridiksi di dalam munculnya suatu sengketa dari interpretasi dan juga
aplikasi pada tingkatannya. Sengketa internasional secara tipikal menggunakan kekuatan
diplomasi dan hanya memasukkan kepada ajudikasi atau arbitrasi dengan melibatkan
kelompok-kelompok. Untuk menciptakan perjanjian dimana meliputi sumber penting
yang sangat fundamental berasal dari norma hukum internasional
dan politik.
Perjanjian atau
persetujuan tentang garis batas landas kontinen tetap memiliki arti penting dan
tidak akan bergeser peranannya oleh perjanjian joint exploitation atau joint
development. Hal ini disebabkan karena perjanjian tentang garis batas landas
kontinen merupakan perjanjian yang bersifat permanen dan sebagai sarana yang
menjamin adanya kepastian hukum atas batas-batas yuridiksi dan hak eksklusif dari
negara pantai atas landas kontinennya masing-masing, sesuai dengan prinsipprinsip
dan kaidah-kaidah hukum laut internasional. Penyelesaian sengketa dalam bidang
hukum laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982 dilakukan dalam kerangka
penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum
laut diselesaikan melalui mekanismemekanisme dan institusi-intitusi peradilan
internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional. Konvensi Hukum
Laut 1982 telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang sangat
kreatif. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme
Konvensi ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara
peserta untuk menerima prosedur memaksa (compulsory procedures). Dalam
sistem Konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak Konvensi
untuk menunda sengketa hukum lautnya dengan melepaskan konsep kedaulatan negara
karena Konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk
menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme Konvensi. Negaranegara pihak
Konvensi dapat membiarkan suatu sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak
lainnya setuju untuk itu, namun jika pihak lain tidak setuju maka mekanisme
prosedur memaksa Konvensi akan diberlakukan.
Menurut
mekanisme Konvensi, negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih
prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Prosedur dimaksud
termasuk prosedur yang disediakan oleh Pasal 33 Paragraf 1 Piagam PBB,
mekanisme regional atau bilateral, atau melalui perjanjian bilateral. Jika
dengan prosedur tersebut tidak dicapai kesepakatan, maka para pihak wajib menetapkan
segera cara penyelesaian sengketa yang disepakati. Jika pada tahap ini masih
tidak disepakati, maka para pihak diwajibkan menjalankan prosedur sesuai dengan
lampiran VI Konvensi melalui konsiliasi. Akhirnya jika melalui prosedur diatas,
para pihak tetap belum dapat menyelesaikan sengketanya, maka ditetapkan
prosedur selanjutnya yaitu menyampaikan ke salah satu badan peradilan yang
disediakan oleh Konvensi, yaitu : Tribunal Internasional untuk Hukum Laut,
Mahkamah Internasional. Tribunal Arbitrasi, dan Tribunal Arbitrasi Khusus.
Negara-negara
pihak pada waktu menandatangani, meratifikasi atau menerima Konvensi, atau pada
waktu kapan saja, melalui suatu deklarasi dapat memilih badan-badan peradilan
di atas untuk mengadili sengketanya. Jika tidak ada deklarasi dimaksud, maka
negara pihak tersebut dianggap memilih abitrasi. Suatu organisasi internasional
yang menjadi pihak pada Konvensi juga dapat memilih badan peradilan di atas,
tetapi tidak dapat memilih Mahkamah Internasional, karena menurut Statuta bahwa
Mahkamah hanya memiliki juridiksi untuk mengadili negara.
4.5 Landas
Kontinen Indonesia
Khusus bagi
negara kepulauan sebagaimana halnya Indonesia, adanya Konferensi Hukum Laut
tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB di Montego Bay Jamaica telah membawa
angin segar dengan pengaruh baru dalam wawasan internasional. Dengan
dikukuhkannya lebar laut, teritorial sepanjang maksimal 12 mil laut, memberikan
kesempatan bagi negara pantai yang koneksinya memungkinkan untuk dilakukan
perluasan. Di sisi lain pengaruh konferensi tersebut, bahwa yang sebelum
konferensi merupakan perairan internasional yang merupakan laut bebas berubah
menjadi laut teritorial di bawah kedaulatan suatu negara dengan perlindungan
hukum internasional suatu negara tersebut dan merupakan kebebasan bagi
negara-negara lain untuk lebih terkendali. Beberapa pengaruh Konferensi Hukum
Laut bagi negara pantai maupun negara lainnya yaitu :
1.
Dapat
membentuk negara kepulauan, menjamin kepentingan negara tersebut;
2.
Memberikan
kesempatan negara pantai untuk memperlakukan perluasan wilayah laut
3.
Memperluas
tanggung jawab negara pantai terhadap lautan;
4.
Berkurangnya
wilayah laut bebas menjadi laut teritorial ;
5.
Mendukung
pelestarian laut yang harus dijaga oleh hukum nasional suatu negara;
6.
Mengurangi
kebebasan yang semula ada bagi para pengelola lautan.
Bagi negara
kepulauan sebagaimana Indonesia, dengan adanya kesepakatan sebagai konvensi
mempunyai arti penting, karena untuk pertama kalinya asas negara kepulauan yang
merupakan konsep bagi bangsa Indonesia telah berhasil memperoleh pengaturan
resmi dari masyarakat internasional. Pengaturan tersebut dikatakan penting
karena merupakan langkah lanjut secara internasional dalam rangka menciptakan
satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 dengan
wawasan nusantara.
Negara kepulauan
sebagaimana dimaksud dengan konvensi tersebut adalah suatu negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau tersebut sedemikian eratnya sehingga gugusan pulaupulau, perairan
dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan satu kesatuan geografi dan politik
yang hakiki atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan daerah. Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau dan bagian pulau-pulau
dengan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan. Dalam sejarah negara Indonesia
dimana wilayah lautnya dalam jarak 3-6 mil laut diubah menjadi 12 mil laut
sebagai perkembangan UU No.17 tahun 1985 yang meratifikasi konvensi
hukum laut
tersebut, lebih jauh akan menyatakan dan mewujudkan cita-cita bangsa sebagai
negara kepulauan. Negara kepulauan yang diakui secara resmi melalui Konvensi
Hukum Laut II tersebut mempunyai kewajiban :
1.
Menghormati
perjanjian internasional yang sudah ada;
2.
Menghormati
kegiatan-kegiatan lain yang sah dari negara tetangga yang langsung
berdampingan;
3.
Menghormati
hak-hak tradisional penangkapan ikan;
4.
Menghormati
dan memperhatikan kabel laut yang ada di bagian tertentu perairan pedalaman
yang dahulu merupakan laut bebas.
Kewajiban
tersebut yang perlu diperhatikan sehingga tidak menumbuhkan kesewenang-wenangan
atas perjanjian atau bentuk kepentingan lainnya yang bersifat damai di wilayah
negara kepulauan. Masalah kelautan hampir di setiap negara khususnya bagi
negara pantai telah menerbitkan ketentuannya yang bersifat sepihak yaitu dengan
menekankan segi kepentingan negara yang bersangkutan. Dengan kehadiran Hukum
Laut yang bersifat internasional, maka manfaat yang dapat dirasakan antara lain
:
1.
Menghilangkan
penafsiran dari masing-masing negara tentang masalah kelautan;
2.
Menghilangkan
bentuk-bentuk peraturan yang semata-mata untuk kepentingan negara tertentu;
3.
Timbulnya
keseragaman dalam peraturan masalah kelautan dengan pedoman pada Hukum
Internasional yang berlaku umum;
4.
Bagi
negara pemakai fasilitas lautan dapat berpegang pada pedoman Hukum Internasional
yang ada;
5.
Timbul
hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru.
Manfaat ini
semakin dirasakan bagi negara pengguna fasilitas lautan apabila setiap negara
pengguna telah menerapkan konvensi PBB tersebut dalam praktek ketatanegaraannya,
yaitu melalui ratifikasinya. Indonesia telah meratifikasi UU No. 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Sebagaimana tertuang dalam UU
No. 17 Tahun 1985 bahwa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
ditinjau dari isinya dapat dirinci sebagai berikut :
1.
Sebagian
merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum di laut lepas dan hak lintas
damai laut internasional;
2.
Sebagian
merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai
lebar laut teritorial menjadi maksimal 12 mil laut dengan kriteria landas
kontinen;
3.
Sebagian
merupakan rezim-rezim hukum baru, seperti asas negara kepulauan, zona ekonomi
eksklusif dan penambangan di dasar laut internasional. Konvensi ini digunakan
sebagai landasan bagi setiap negara pantai dalam mengatur kelautannya. Dan
konvensi ini mengikat bagi negara-negara pantai maupun negara yang memanfaatkan
fasilitas pantai.
Masalah kelautan
timbul adanya keperluan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan segala fasilitas laut.
Tumbuh berkembangnya Hukum Laut selain karena adanya kepentingan dengan alasan
milik bersama, juga perlu dijaga akan kepentingan yang berkaitan dengan
keamanan dan stabilitas negara, terbatasnya sumber daya, pembagian kepentingan,
menjaga dan menuju pelestarian lingkungan laut dengan segala ekosistemnya.
Pengertian pulau
menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1982 persis sama dengan pengertian pulau
menurut Konvensi tentang Landas Kontinen 1958 sesuai dalam Pasal 121 ayat 1
yang menyatakan bahwa sebuah pulau adalah suatu kawasan (area) daratan atau
tanah, yang dikelilingi oleh perairan yang tampak di atas permukaan perairan
laut pada waktu perairan laut itu pasang. Sedangkan menurut ayat 2, laut
teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari
sebuah pulau ditentukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi seperti yang
juga berlaku untuk wilayah daratan pada umumnya. Jadi Konvensi 1982 tetap mengakui
eksistensi pulau dengan segala pranata hukum laut yang mengikutinya seperti
laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Untuk
pulau atau pulau-pulau yang terletak di tengah-tengah samudera yang luas,
memang sangat
diuntungkan oleh ketentuan ini. Sedangkan Pasal 121 ayat 3 menegaskan status
dari suatu batu karang yang merupakan pengecualian sebagai berikut bahwa batu
karang yang tidak dapat dijadikan hunian manusia secara berkesinambungan atau
tidak ada kehidupan ekonomis dari dirinya sendiri tidak dapat memiliki zona
ekonomi eksklusif ataupun landas kontinen. Dengan demikian dapat ditafsirkan
bahwa batu karang tetap dapat
memiliki laut
teritorial dan zona tambahan sendiri. Ini berarti, bahwa batu karang kering
dapat dijadikan sebagai titik untuk menentukan garis pangkal lurus untuk mengukur
atau menentukan lebar laut teritorial. 7
Hal ini
diperkuat pula oleh Pasal 6 yang mengatur tentang penarikan garis pangkal lurus
melalui pulau-pulau yang tersusun oleh atol atau batu-batu karang kering
ataupun pulau-pulau yang dikelilingi oleh batu karang kering yang tentu saja selalu
muncul di atas permukaan perairan (laut) pada waktu pasang. M enurut Pasal 6 ini,
pulau-pulau yang berbentuk atol ataupun pulau-pulau yang dikelilingi oleh batu
7 I Wayan
Parthiana (2005). ibid. hal : 45
karang kering
semacam itu, dapat dijadikan sebagai titik-titik untuk menetapkan garis pangkal
lurus untuk selanjutnya dari titik-titik yang merupakan garis pangkal lurus
tersebut ditentukan lebarnya laut teritorial dari pulau tersebut. 8 Sebagai sebuah
negara kepulauan yang dikelilingi lautan yang cukup luas dan terbuka, Indonesia
tentu saja sangat berkepentingan atas laut dengan segala aspeknya. Sepanjang
menyangkut wilayah laut, Indonesia telah mengaturnya di dalam Undang-Undang
Nomor 4/Prp. 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia. Sebelum undang-undang ini
diundangkan, terlebih dahulu dikeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia
tanggal 13 Desember 1957 tentang Wilayah Perairan Republik Indonesia. Keduanya
menetapkan lebar laut teritorial Indonesia sejauh 12 mil laut diukur dari garis
pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau
Indonesia. Pada tahun 1961 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut
Jenewa 1958 dan mengundangkannya dalam bentuk undang-undang, yakni
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1961 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut Jenewa
1958. Konvensi ini terdiri dari 4 konvensi yang salah satunya adalah Konvensi
tentang Landas Kontinen 1958. Dengan keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi
Hukum Laut 1958, berarti sudah cukup kuatlah posisi Indonesia untuk mengambil
langkah-langkah selanjutnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan
Konvensi, khususnya tentang landas kontinen yang sekaligus menunjukkan praktek
dan kebijaksanaan Indonesia dalam hukum laut, termasuk
landas kontinen.
Akan tetapi jika
ditinjau secara lebih seksama, terhitung dari tahun 1960 sebagai saat diundangkannya
Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia yang secara
relatif cepat ditindaklanjuti dengan peratifikasian dan pengundangan Konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958, barulah pada tahun 1969 ditindaklanjuti lagi dengan
dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969 tentang Landas
Kontinen. Selanjutnya pada tanggal 6 Februari 1973 disusul dengan pengundangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Akan tetapi
isi dan jiwa dari Pengumuman Pemerintah 1969 dan Undang-Undang Nomor 1
tahun1973 tentang Landas Kontinen, sama dengan isi dan jiwa dari Konvensi
tentang Landas Kontinen 1958. Hal ini karena pada masa itu
8 I Wayan
Parthiana (2005). ibid. hal : 48-49
Konvensi Hukum
Laut Jenewa 1958, termasuk Konvensi tentang Landas Kontinen sudah merupakan
hukum laut internasional positif dan Indonesia adalah salah satu negara yang
sudah meratifikasinya. Mengenai landas kontinen Indonesia yang berbatasan
dengan landas kontinen negara lain, butir 2 dari Pengumuman Pemerintah 1969
menyatakan, bahwa dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk bagian-bagian
dalam yang terdapat dalam landas kontinen, atau kepulauan Indonesia berbatasan
dengan negara lain, maka Pemerintah Indonesia bersedia melalui perundingan
dengan negara yang bersangkutan untuk menetapkan suatu garis batas landas
kontinennya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Penegasan ini
diperkuat oleh Pasal 3 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1973 yang menyatakan bahwa
landas kontinen Indonesia yang berbatasan dengan landas kontinen negara lain
untuk penetapan garis batasnya dapat dilakukan dengan cara mengadakan
perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.
Untuk
merealisasikan ketentuan butir 2 Pengumuman Pemerintah 17 Februari 1969 dan
dalam rangka mengeksplorasi landas kontinen serta mengeksploitasi sumber daya
alamnya demi pembangunan nasional Indonesia, maka Indonesia mulai mengadakan
persetujuan-persetujuan bilateral ataupun trilateral dengan negaranegara tetangganya
yang landas kontinennya berbatasan dengan landas kontinen Indonesia termasuk
dengan Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969. Dengan menandatangani persetujuan
dengan negara tetangga, garis batas landas landas kontinen barulah
mengundangkan berlakunya undang-undang tentang batas kontinen yakni,
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang
selanjutnya masih dilanjutkan lagi dengan mengadakan persetujuan tentang
garis batas
landas kontinen dengan negara-negara tetangganya.
Langkah ini
ditempuh oleh Indonesia antara lain karena pada masa waktu atau kurun waktu
tersebut Indonesia sedang giat-giatnya memperjuangkan prinsip negara kepulauan
(archipelagic state principle) atau yang juga dikenal dengan nama Wawasan
Nusantara di forum internasional, terutama menjelang diselenggarakannya Konverensi
Hukum Laut PBB pada tahun 1973. Dengan adanya persetujuanpersetujuan itu,
berarti secara implisit negara-negara tetangga menerima dan mengakui prinsip
negara kepulauan yang diperjuangkan oleh Indonesia.
Disamping itu
pula, dengan adanya persetujuan-persetujuan itu, maka jika pada waktu Indonesia
mengumandangkan berlakunya undang-undang tentang landas kontinen, diharapkan tidak
ada keberatan atau proses dari negara-negara tetangganya. Kebenaran ini terbukti,
yaitu ketika Indonesia mengumandangkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia pada tanggal 17 Januari 1973, ternyata sama sekali
tidak ada protes dari negara-negara tetangga ataupun negara-negara lainnya.
4.6 UNCLOS dan
Keputusan ICJ
Bila ditinjau
pada prinsip hukum laut internasional, pemerintah Malaysia melanggar Konvensi
Hukum Laut PBB (UNCLOS) dimana konvensi ini telah mengadopsi konsep negara
kepulauan yang diperjuangkan antara lain oleh Indonesia. Baik negara kepulauan
maupun negara pantai memiliki jalur yang disebut sebagai laut teritorial yakni
jalur selebar 12 mil laut ditarik dari garis pangkal yang menghubungkan
titik-titik terluar negara pantai atau kepulauan. Pasal 15 UNCLOS menyebutkan
bahwa alasan historis dapat dijadikan landasan untuk menetapkan batas laut
teritorial antara kedua negara dengan cara tertentu. 9
Dalam
keputusannya mengenai sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Mahkamah
Internasional memilih dasar dan alur pertimbangan tersendiri setelah Indonesia
dan Malaysia memaparkan sedapat mungkin argumentasi hukumnya yang sama-sama
kuat dan juga lemah yaitu memeriksa terlebih dahulu apakah ada akar kepemilikan
(original title) berdasarkan dokumen formal (treaty based title)
dan jika tidak ada maka Mahkamah akan melihat kepada asas efektivitas. Dimana
negara mana yang lebih efektif mengadministrasikan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan. Hal ini sesuai dengan hukum positif tentang teritorial yang
dikembangkan dalam jurisprudensi Mahkamah yang pada prinsipnya mengatur bahwa
jika tidak ada dasar
kepemilikan (title)
maka asas efektifitas perlu dipertimbangkan.
Dalam
pertimbangannya tentang prinsip efektifitas ini, Mahkamah menilai antara lain
bahwa Indonesia tidak pernah menerapkan kekuasaan legislatifnya atas kedua pulau
tersebut dan bahkan UU No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
9 Syafaruddin
Usman & Isnawita Din. Op.cit. hal : 114-115
tidak
menempatkan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal
kepulauan Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, bukti efektifitas Malaysia atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan lebih jelas dan dalam periode yang cukup lama yaitu
dari tahun 1917. Semua fakta sejarah yang diberikan Malaysia didalam proses persidangan,
cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatnya atas
kedua pulau tersebut dan cukup membuktikan adanya efektifitas untuk syarat
kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu.
Hakim dari
Mahkamah Internasional menyebutkan bahwa sebenarnya kedua negara tidak tertarik
untuk mengklaim kedua pulau ini lebih banyak didasari atas motivasi untuk
mengklaim wilayah landas kontinen yang pada waktu itu dirundingkan oleh kedua
negara pada tahun 1969. Hal ini dipicu oleh keluarnya Konvensi Jenewa 1958
tentang Landas Kontinen yang membuat aturan baru tentang lebar landas kontinen
yang diukur dari garis pangkal, yang dalam hal ini berarti bahwa jika salah
satu negara memiliki kedua pulau tersebut, maka akan semakin besar wilayah
landas kontinen yang diperolehnya.
Mahkamah
Internasional menggunakan hukum internasional dalam rangka memperoleh
kedaulatan wilayah yaitu melalui prinsip okupasi. Dimana okupasi merupakan
penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada dibawah penguasaan negara
manapun, baik wilayah yang baru ditemukan ataupun wilayah yang ditinggalkan
oleh negara yang semula menguasainya (namun untuk yang kedua kemungkinan tidak
pernah dilakukan). Secara klasik, pokok permasalahan dari suatu Okupasi adalah
adanya suatu terra nullius. Wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa
atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak dapat dikatakan
termasuk dalam kualifikasi terra nullius. Apabila suatu wilayah daratan didiami
oleh suku-suku atau rakyat yang terorganisir, maka kedaulatan wilayah harus
diperoleh dengan
perjanjian-perjanjian lokal dengan penguasa-penguasa atau wakilwakil suku atau
rakyat tersebut. Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai
dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan (effectiveness)
harus diterapkan.
Jika timbul
sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka sudah merupakan
kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim kedaulatan
tersebut, yang memiliki hak alas yang sah yang lebih tinggi atas negara-negara lainnya yang
juga mengajukan klaim yang sama. Meskipun demikian, jika
perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihak lainnya juga telah
mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membentuk hak alas,
karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah
berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan.
Alas hak dari
penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasional juga berdasarkan atas
tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima
memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan
tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara alami dapat dianggap
sebagai suatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang
sesungguhnya.
[1]
Natalie Kl
ein (2004). Dispute Settlement in the UN Convention on the Law of the Sea. Cambridge
University Press
: United Kingdom. hal : 5
[2]
Bab VII
Piagam PBB : “ Dewan Keamanan akan menentukan ada tidaknya sesuatu ancaman
terhadap
perdamaian pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan akan
menganjurkan
atau memutuskan tindakan
apa yang harus diambil, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian
dan keamanan
internasional.”
[3] Reklamasi. November 11, 2009.
http://www.kbrisingapura.com
[4]
Suryo
Sakti Hadiwijoyo (2009). Batas Wilayah Negara Indonesia : Dimensi
Permasalahan dan
Strategi
Penanganan. Gava
Media : Yogyakarta. hal : 94
[5]
I Wayan
Parthiana (2005). Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional. Mandar
Maju :
Bandung. hal :
175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar