Disusun
dalam rangka Memenuhi Persyaratan
Tugas
Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara
OLEH
:
SENDI
NUGRAHA
110110090144
Dosen
Pengajar :
Nadia
Astriani, S.H., M,Si.
FAKULTAH
HUKUM
UNIVERSITAS
PADJAJARAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan
limpahan Rahmat-Nya maka makalah yang membahas mengenai “Pelaksanaan
Pelayanan Publik Berupa Barang dan Jasa yang Kompetitif dan Profesional untuk
Terwujudnya Iklim yang Efektif dan Kondusif di Indonesia”
ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Dinamika pembangunan senantiasa membawa aspirasi dan
tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih
baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat itu dilandasi oleh hasrat untuk lebih
berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, adil
dan makmur. Dalam pembangunan yang makin kompleks masyarakat perlu diberikan
rangsangan untuk ikut memikirkan masalah masalah pembangunan yang dihadapi dan
turut merumuskan jalan keluar dari masalah tersebut. Peran serta masyarakat
yang aktif akan lebih menumbuhkan kebersamaan sehingga dapat mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Melalui
makalah yang membahas mengenai Pelayanan Publik ini, penulis berupaya
menyampaikan betapa pentingnya barang dan jasa yang kompetitif dan profesional dalam
penyelenggaraan Pelayanan Publik dari Pemerintah agar masyarakat berupaya untuk
ikut serta berperan dalam membenahi kekurangan-kekurangan dalam pelayanan yang
selama ini pemerintah berikan untuk terwujudnya iklim yang efektif dan kondusif di
Indonesia.
Pada
akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang
membacanya.
Penulis.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi perekonomian disetiap negara tidaklah hanya
dipengaruhi oleh satu faktor saja, misalnya hanya perbankan. Namun, banyak
sektor yang mempengaruhi kondisi tersebut, sebut saja pelayanan publik di
negara tersebut. Di Indonesia, selama ini pelayanan publik berupa barang dan
jasa tidaklah memuaskan, hal ini seringkali dapat menjadi hambatan dalam
mencapai produktifitas yang efisien di kalangan pelaku ekonomi di dalama
negeri. Buruknya fasilitas berupa barang publik yang disediakan seperti, jalan
raya, pelabuhan, dan lainnya. Serta lambanya birokrasi dalam pelayanan
jasa, merupakan contoh permasalahan dari Pelayanan publik
Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang sustainable
dan mandiri, barang publik yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif
dan profesional[1].
Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya terhadap pelaku
bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private yang disediakan
oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam pengadaannya harus
menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam penerapannya, barang
publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan di segala sektor,
baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun berupa barang,
agar dapat terwujud secara menyeluruh dan komprehensif.
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek
kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki
fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat,
mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan,
utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami
negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan
masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan
oleh pemerintah. Peningkatan kualitas pelayanan publik mutlak diperlukan mengingat
kondisi sosial masyarakat yang semakin baik sehingga mampu merespon setiap
penyimpangan dalam pelayanan publik melalui gerakan maupun tuntutan dalam media
cetak dan elektronik. Apalagi dengan adanya persaingan terutama untuk pelayanan
publik yang disediakan swasta membuat sedikit saja pelanggan merasakan
ketidakpuasan maka akan segera beralih pada penyedia pelayanan publik yang
lain. Hal ini membuat penyedia pelayanan publik swasta harus
berlomba-lomba memberikan pelayanan publik yang terbaik. Ini yang seharusnya
ditiru oleh penyedia pelayanan publik pemerintah sehingga masyarakat merasa
puas menikmati pelayanan publik tersebut.
Salah satu kewajiban aparatur negara yang juga
mengikuti kewajiban negara dalam menyelenggarakan tugas Negara seperti yang
diamanatkan UUD 1945, GBHN dan UU APBN adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) dalam bentuk
penyediaan jasa dan barang secara prima[2].
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, instansi milik pemerintah apakah
BUMD dan BUMN akan memberikan tarif pelayanan publik yang diwujudkan dalam
bentuk retribusi, pajak dan pembebanan tarif Jasa langsung kepada masyarakat
sebagai konsumen jasa publik (charging for sevice).
Walaupun masyarakat telah dibebani dengan pajak
yang dapat dipaksakan kepada pemerintah, dan pemerintah memberikan prestasi
kepada masyarakat. Tidak semua prestasi yang diberikan oleh organisasi sektor
publik kepada masyarakat yang telah dilayani dapat dibuat secara gratis
mengingat terdapat barang privat yang manfaat barang dan jasa hanya dinikmati
secara individu, barang publik yaitu barang dan jasa kebutuhan yang dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat serta barang campuran privat dan barang
publik yaitu barang kebutuhan masyarakat yang manfaatnya dinikmati secara
individu tetapi sering masyarakat umum juga membutuhkan barang dan jasa
tersebut merit good (semua orang bisa mendapatkannya tetapi tidak semua orang
dapat mendapatkan barang dan jasa) tersebut seperti: air bersih, listrik,
pendidikan, kesehatan, transportasi publik.
Dalam
makalah ini, penulis mencoba untuk menjelaskan penegertian atas pelayanan
publik dan barang publik, keterkaiatan atas pelayanan publik dan barang publik
atas kondisi perekonomian atau pada kondisi iklim investasi, permasalahan –
permasalahan atas pelayanan publik berupa barang dan jasa, dan penjabaran atas
upaya yang telah digagas oleh ahli ekonomi publik dalam memperbaiki pelayanan
publik Diharapkan
makalah ini dapat membantu untuk memahami pelayanan public, dan solusi
penentuan tarif pelayanan public yang efisien bagi masayrakat.
1.2 Perumusan Masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam penelitian
ini , maka dikemukakan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah contoh
pelayanan publik dikehidupan sehari-hari?
2.
Bagaimanakah High
Cost Economy di Indonesia?
3.
Bagaimanakah Penyediaan Barang Publik di
Indonesia?
4.
Bagaimanakah
upaya perbaikan pelayanan publik atas jasa di Indonesia?
5.
Dan Bagaimanakah
upaya perbaikan pelayanan publik atas barang di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai
dalam penelitian ini adalah agar kita dapat:
1.
Mengetahui tentang peranan dan kebijakan
pelayanan publik.
2.
Mengetahui etika pelayanan publik.
3.
Mengetahui permasalahan pelayanan publik
di Indonesia.
4.
Mengetahui solusi dari permasalahan pelayanan
publik di Indonesia.
5.
Mengetahui contoh-contoh pelayanan
publik dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kontribusi
penelitian adalah manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian, kontribusi
yang diharapkan dari penelitian ini adalah
a) Kegunaan
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan kualitas pelayanan publik dan standar pelayanan publik
dan memberikan sumbangan pemikiran tentang persoalan penerapan dan pelaksanaan
kebijakan publik terhadap pelayanan publik.
b) Kegunaan
praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan
menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dalam masalah implementasi kebijakan publik sebagai wujud
pelayanan publik sebagai upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan
publik merupakan sebuah kewajiban yang dilakukan oleh sebuah kepemerintahan
suatu negara tas negara yang dikelolonya. Organisasi publik dibuat oleh publik,
untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Pada dasarnya
pelayanan public adalah kepercayaan publik. “Public service is a public
trust. Citizens expect public servants to serve the public interest with
fairness and to manage public resources properly on a daily basis. Fair and
reliable public services inspire public trust and create a favourable
environment for businesses, thus contributing to well-functioning markets and
economic growth,” Dengan demikian, kualitas pelayanan publik merupakan
salah satu strategic issue bagi aparatur negara yang harus
diaktualisasikan dalam kerangka membangun kepercayaan public. ( OECD (2000))
Negara
dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang
disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk
melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi
agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya.[3]
Pelayanan publik atau pelayanan umum adalah segala
bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang
pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari
fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara
untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara). Apalagi saat ini masyarakat
semakin sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk
mengontrol apa yang dilakukan pemerintahannya. Berdasarkan organisasi yang
menyelenggarakannya, pelayanan publik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu[4]:
1) Pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan
barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya
rumah sakit swasta, PTS, maupun perusahaan pengangkutan.
2) Pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat primer adalah
semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara sehingga klien/pengguna mau
tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi,
pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan.
3) Pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat sekunder
adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya
karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
Terdapat beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan
ketiga jenis penyelenggara pelayanan publik tersebut, yaitu[5]:
·
Adaptabilitas layanan. Artinya derajat
perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
·
Posisi tawar pengguna/klien, yaitu
semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula
peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
·
Tipe Pasar, yaitu menggambarkan jumlah
penyelenggara pelayanan yang ada dan hubungannya dengan penggguna/klien.
·
Kontrol, yaitu karakteristik ini
menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna atau
penyelenggara pelayanan.
·
Sifat pelayanan, yaitu menunjukkan
kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Oleh sebab itu, pelayanan publik harus dilakukan secara profesional
sehingga mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa
depannya sendiri. Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik
yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi
layanan (aparatur pemerintah) dengan ciri sebagai berikut[6]:
a) Efektif,
yaitu lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
b) Sederhana,
yaitu prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat,
dan tidak berbelit-belit.
c) Transparan,
yaitu adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur, persyaratan, dan
pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik tersebut.
d) Efisiensi
Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan
antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan.
e) Keterbukaan,
berarti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab
pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain
yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka
agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
f) Ketepatan
waktu, Kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
g) Responsif,
yaitu lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi
masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani.
h) Adaptif
adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan
aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Cara-cara yang diperlukan untuk memberikan pelayanan publik yang
profesional adalah sebagai berikut[7]:
·
Menentukan pelayanan publik yang
disediakan, apa saja macamnya,
·
Memperlakukan pengguna pelayanan sebagai
customers,
·
Berusaha memuaskan pengguna pelayanan
sesuai dengan yang diinginkan mereka,
·
Mencari cara penyampaian pelayanan yang
paling baik dan berkualitas,
·
Menyediakan alternatif bila pengguna
pelayanan tidak memiliki pilihan lain.
2.2 Etika Pelayanan Publik
Etika pelayanan publik merupakan suatu cara dalam
melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung
nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia
yang dianggap baik.[8]
Atau dengan kata lain penggunaan atau penerapan standar-standar etika yang
telah ada sebagai tanggung jawab aparatur birokrasi pemerintahan dalam
menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik. Fokus utama dalam etika
pelayanan publik adalah apakah aparatur pelayanan publik telah mengambil
keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika (agar
manusia mencapai kehidupan yang baik)[9].
Apabila dikaitkan dengan birokrasi maka etika birokrasi merupakan panduan norma
bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat.
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto
(2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi
aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika
birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan
kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Hal-hal yang
perlu dilakukan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik adalah
sebagai berikut:[10]
1) Perilaku
pelayan publik (Pegawai Negeri) harus sejalan dengan misi pelayanan publik dari
instansi tempat mengabdi.
2) Pelaksanaan
pelayanan publik dapat diandalkan.
3) Warga
Negara memperoleh perlakuan “tanpa pandang bulu”sesuai dengan ketentuan hukum
dan keadilan.
4) Sumber
daya digunakan secara tepat, efisien, dan efektif.
5) Prosedur
pengambilan keputusan adalah transparan bagi publik, dan tersedia sarana bagi
publik untuk melakukan penyelidikan dan pemberian tanggapan.
Ada dua aspek penting penentu/tuntutan kinerja prima[11]:
1. Keunggulan
teknis (profesionalisme) yaitu efisiensi, produktivitas, dan efektifitas.
2. Keunggulan
moral (etika) yaitu integritas, obyektifitas, atau imparsialitas, keadilan,
kejujuran, dan sebagainya.
Dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan atau
keputusan pelayanan publik, karena pelayanan publik ditujukan untuk kebaikan
masyarakat, bangsa, dan Negara[12].
Etika digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dan sebagai
criteria untuk menilai baik-buruknya keputusan.
Selain itu, hubungan etika dan pelayanan publik
tercermin dalam kenyataan bahwa warga negara telah mempercayakan sumber daya
publik kepada birokrasi (sebagai pengelola sumber daya dan penjaga kepercayaan
yang diamanatkan oleh warga negara). Kemudian, nilai-nilai tertinggi yang harus
diacu oleh aparatur pelayanan publik (birokrasi) adalah nilai-nilai yang
bersumber dari Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 (konstitusi), dan nilai-nilai
yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sedangkan aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah : PP No. 42 Tahun 2004 (Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS), UU
No.8 Tahun 1974 Jo UU No. 43 Tahun 1999 (Pokok-Pokok Kepegawaian), PP No.30
Tahun 1980 (Peraturan Disiplin PNS), dan UU No.25 Tahun 2009 (Pelayanan
Publik).
2.3 Pengertian barang publik
Barang publik secara umum diartikan berdasarkan tingkat
dua karakteristik utama yang dimilikinya[13]
: konsumsi bersama (non rivalry) dan non eksklusif.
Konsumsi
bersama mengacu pada ide bahwa ada beberapa barang yang manfaatnya dapat
dinikmati oleh lebih dari satu orang pada waktu yang sama. Misalnya, budi dan
tedi dapat menikmati oksigen di udara di kantor mereka secara bersamaan.
Konsumsi budi terhadap oksigen di udara tidak akan mengurangi jumlah oksigen
yang tersedia bagi tedi. Dalam kasus ini, konsumsi budi dan konsumsi tedi
dikatakan non-rival. Ada banyak contoh barang yang menawarkan konsumsi
non-rival. Dua orang dapat menonton sepak bola tanpa mengurangi kenikmatan
orang lain. Para densus 88 yang berkerja menangkap para teroris untuk keamana
masyarakat. Pekerjaan seorang diplomat atau perlindungan kapal nuklir dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat, dan manfaat yang diterima seseorang tidak
mengurangi manfaat yang diterima orang lain.
Ada beberapa barang yang tidak bersifat konsumsi bersama. Dua orang tidak dapat mengkonsumsi ketoprak secara bersama-sama. Manfaat dan kepuasan budi memakan ketoprak tidak akan tersedia bagi tedi. Karena jika memeng terjadi, budi dan tedi memakan ketoprak tersebut bersama-sama, maka kepuasann yang akan terjadi akan berbeda atau kurang dibandingkan jika sendiri – sendiri. Oleh karena itu, ketika konsumsi barang oleh seseorang tidak dapat dikonsumsi oleh orang lain, konsumsi dua orang tersebut disebut rival.
Karakteristik
kedua yang membedakan barang publik dengan barang swasta adalah
non-eksklusifitas. Untuk beberapa barang, kemampuan teknik untuk mengecualikan
konsumsi orang-orang yang tidak membayar merupakan hal rutin. Untuk barang
lain, pengecualian tersebut tidak dimungkinkan. Hanya karena terdapat suplai
lontong sayur tidak berarti semua orang dapat menikmatinya. Jika anda tidak
membayar penjual lontong sayur, anda tidak akan mendapat lontong sayur tersebut
tersebut.
Non-eksklusifitas terjadi
ketika seseorang dapat menikmati manfaat barang baik dengan membayar maupun
tidak[14].
Misalnya, jika lingkungan telah menyemprot nyamuk, sulit untuk mencegah orang
lain yang tidak membayar untuk menikmati hasil semprotan tersebut. Atau dengan
skala yang lebih luas, jika terdapat sistem pertahanan negara, semua penduduk
dapat memperoleh manfaat baik membayar pajak atau tidak. Ini tidak berarti
bahwa perusahaan pencari-keuntungan akan mensuplai barang yang bersifat
non-eksklusifitas.
2.4 Efisiensi
Pareto
Efisiensi Pareto menyatakan bahwa suatu keadaan lebih
diinginkan dibandingkan yang lain jika menghasilkan perbaikan satu individu
atau lebih tanpa merugikan kesejahteraan orang lain[15].
Ketika satu titik dicapai dimana memperbaiki sejumlah orang akan merugikan
kesejahteraan orang lain, dikatakan telah mencapai titik optimal Pareto.
Optimalitas Pareto merupakan kriteria hati-hati. Ia menolak setiap gerakan yang
membahayakan setiap orang meski manfaat untuk beberapa orang akan merugikan
orang lain.
Optimalitas Pareto merupakan sasaran sistem pertukaran sukarela. Dalam kasus barang swasta, mengapa dua individu bebas melakukan transaksi kecuali keduanya merasa situasi ekonomi mereka akan meningkat? Jika masyarakat merasa keadaan ekonomi mereka akan memburuk dengan melakukan kontrak, mereka tidak akan melakukannya. Jika kita menganggap transaksi ekonomi sebagai bentuk sistem pemilikan, kita dapat mengatakan bahwa keputusan pertukaran sukarela dibuat atas dasar kesepakatan bersama.
2.5 Masalah Pelayanan Publik
Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah
peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang
berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola
penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung,dan kelembagaan. Beberapa
kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain
sebagai berikut[16]:
a) Sukar
Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik
tersebut.
b) Belum
informatif. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau
bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
c) Belum
bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat.Biasanya aparat pelayanan
publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat.
Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu.
d) Belum
responsif. Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik,
mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan
penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun
harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
e) Belum
saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan
lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih
ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi
pelayanan lain yang terkait.
f) Tidak
Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan
perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan.
g) Birokrasi
yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.
Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf
pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil,
dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab
pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan
diberikan, juga sangat sulit[17].
Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk
diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah
berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai
pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan
adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan,
kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus
dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang
membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan
fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang
juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
2.6 Solusi Masalah Pelayanan Publik
Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik
yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah
sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah
disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan
masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal
yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut[18]:
1. Penetapan
Standar Pelayanan
Standar pelayanan memiliki
arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan
suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu
kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan
masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan
yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi
pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan,
analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan.
Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan
yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu
mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan
adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya
manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan
ditanganinya.
2. Pengembangan
Standard Operating Procedures (SOP)
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan
secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya
SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan
dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara
konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
a) Untuk
memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal
tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu
berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu
proses pelayanan dapat berjalan terus;
b) Untuk
memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan
yang berlaku;
c) Memberikan
informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur
jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
d) Memberikan
informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam
prosedur pelayanan;
e) Memberikan
informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
f) Memberikan
informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada
petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau
dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan
memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;
3. Pengembangan
Survei Kepuasan Pelanggan
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu
dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang
telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen
pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang
diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat.
Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya
peningkatan pelayanan publik;
4. Pengembangan
Sistem Pengelolaan Pengaduan
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi
bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan
yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu
perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan
efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi
perbaikan kualitas pelayanan;
Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas
pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan
publik[19].
Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya
dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa
model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal
ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang,
pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini
pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik
tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi[20].
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya
restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan
publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi
tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan[21].
BAB III
PEMBAHASAN
3. Kondisi Pelayanan
Publik di Indonesia
3.1. Pengalaman Pribadi Pelayanan Publik
3.1.1
Pelayanan
SKCK di Polres X
Ketika daftar ulang di salah satu PTK di Bandar Lampung, terdapat
suatu persyaratan untuk mengumpulkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian
(SKCK). Saya pun menuju Polres X untuk mengurusnya. Sesampai di sana banyak
orang yang antri entah untuk tujuan apa. Setelah mengumpulkan berkas-berkas yang
diperlukan untuk mengurus SKCK, saya pun mengantre di suatu tempat yang mereka
sebut sentra pelayanan. Melihat banyaknya orang yang mengantre saya sempat
pesimis SKCK tersebut akan selesai dalam 1-2 hari. Kemudian, saya mendapat
telepon dari salah satu teman yang ikut mengurus SKCK untuk keperluan yang sama.
Teman tersebut meminta saya untuk langsung ke salah satu ruang di lantai atas
yang ternyata merupakan ruang Kapolres bekerja. Di sana setelah semua syarat
yang dibutuhkan dipenuhi dalam waktu beberapa menit SKCK pun dikeluarkan. Saya
pun kemudian baru tahu bahwa proses pengurusan SKCK tersebut berlangsung cepat
karena teman saya mengenal orang dalam. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dalam
pelayanan publik dalam hal ini di Polres X terdapat birokrasi yang cukup
panjang dan lama yang menguras waktu dan tenaga. Padahal apabila beberapa
rantai birokrasi yang tidak perlu dapat diputus maka pengurusan SKCK tersebut
akan lebih cepat dan hemat energi. Hal ini terbukti ketika kita mengenal orang
dalam maka pengurusan akan lebih mudah. Seharusnya, kualitas pelayanan publik
di Polres X tersebut ditingkatkan sehingga semua orang memiliki hak yang sama
mendapatkan pelayanan yang mudah dan cepat.
3.1.2
Pelayanan
Publik Jasa
Transportasi KA Letak antara rumah dan sekolah saya yang sangat
jauh (berada di luar kota dengan jarak ± 500 km) membuat saya memilih untuk kost di dekat
areal sekolah.
Karena hal itu pula ketika pulang dari tempat kost ke rumah ketika liburan
panjang dan berangkat kembali dari rumah ke tempat kost ketika liburan usai,
saya memilih untuk menggunakan moda transportasi kereta api karena lebih cepat
dan relatif hemat biaya (kelas ekonomi). Memang kami hanya mengeluarkan uang
berkisar Rp 30.000,00 – Rp 40.000,00 untuk sekali perjalanan dari Bandar Lampung ke Baturaja namun apakah
pantas dengan membayar sejumlah uang yang sama ada lebih banyak penumpang yang
harus rela duduk/tidur di lantai kereta dengan beralaskan koran maupun berdiri
di lorong-lorong gerbong hanya karena kalah cepat dengan penumpang yang
akhirnya duduk di kursi kereta api. Apalagi pada saat liburan akhir tahun,
hampir selalu diberlakukan tiket bebas tanpa nomor tempat duduk sehingga
penumpang pasti berebut kursi di dalam kereta api. Dengan cara ini pula tiket
dapat dicetak tak terbatas sehingga dapat memaksimalkan pemasukan. Akibatnya,
para penumpang tidak mendapatkan pelayanan publik yang semestinya. Menurut
saya, pada liburan akhir tahun maupun hari biasa sebaiknya tiket dicetak sesuai
kapasitas tempat duduk sehingga yang tidak mendapat tiket bisa mencari moda
transportasi lain dan kualitas pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan.
3.1.3
Pelayanan
Publik Jasa Perbankan di Bank Y
Pada saat itu saya ingin membuka rekening atas nama saya
sendiri. Kemudian, saya menuju bank yang terletak tidak jauh dari rumah saya.
Di sana saya mengambil nomor antrian untuk kategori customer service. Perlu
diketahui nomor antrian dibagi dalam dua kategori yaitu antrian di teller untuk
nasabah yang ingin menyetor atau menarik uangnya dan antrian di customer
service untuk nasabah yang ingin membuka atau menutup rekening maupun ada
masalah dengan rekeningnya. Kita semua pasti tahu bahwa pelayanan di customer
service pasti akan lebih lama dibanding teller. Hal ini terjadi karena proses
misalnya proses membuka rekening membutuhkan waktu lama karena nasabah
diwajibkan mengisi berkas-berkas tertentu untuk tujuan administrasi. Lain
halnya dengan di teller di mana nasabah tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
menyetor atau menarik uangnya. Dan ketika itu saya harus menunggu 2 jam lebih
untuk mendapatkan pelayanan untuk membuka rekening yang saya inginkan. Di sini
kita melihat bahwa Bank Y belum maksimal dalam hal pelayanan publik. Fenomena
ini pasti sudah berulang kali terjadi sehingga Bank Y seharusnya melakukan
antisipasi misalnya dengan menambah jumlah loket di antrian customer service
menjadi dua kali lipat dibandingkan antrian di teller sehingga nasabah tidak
perlu menunggu lama dan kualitas pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan.
3.1.4
Pelayanan
Publik Jasa Transportasi Bus Antar Kota
Ketika liburan semester saya memutuskan untuk pulang
kampung ke Bandar Lampung. Karena tidak ada kereta api yang dari Bandung langsung ke Bandar Lampung maka saya
pun transit dulu di Merak-Bakauheni. Saat itu masih pagi dan kereta ke Bandar Lampung baru ada sore hari sehingga saya
memutuskan untuk naik bus antar kota ke Bandar Lampung. Salah satu ketidaknyamanan
menggunakan moda transportasi bus adalah bahwa tarif ditentukan di dalam bus
sehingga penumpang mau tidak mau harus membayar sejumlah uang yang ditetapkan.
Selain itu apabila penumpangnya sedikit maka ketika sampai di tengah jalan semua
penumpang dioper ke bus lain yang hampir penuh kemudian perjalanan kembali
dilanjutkan ke Bandar Lampung. Para penumpang pasti merasakan ketidaknyamanan karena harus pindah
dari bus satu ke bus lain di tengah perjalanan. Belum lagi apabila mereka
sedang tertidur atau membawa barang yang cukup banyak. Di sini para penumpang
tidak mendapat pelayanan publik yang semestinya. Sebaiknya, para pengelola jasa
transportasi bus antar kota telah memberitahukan tarif sebelum penumpang naik
dan juga ada pemberitahuan jelas kepada para penumpang bahwa akan dioper ke bus
lain atau tidak perlu mengoper sama sekali. Dengan demikian, para penumpang
dapat merasakan pelayanan publik yang semakin baik.
3.2
High
Cost Economy
Iklim Investasi yang merupakan salah satau faktor penting bagi
perekonomian seuatau negara juga dipengaruhi oleh pelayanan publik dalam
pemprosesannya atau birokarsi. Lamanya waktu yang terbuang serta tingginya biaya
yang dikeluarkan untuk memulai suatu usaha baru di Indonesia. Baik bagi sisi
Asing ataupun dalam negeri, merupakan suatu yang perlu dipertimbangkan.
Tabel 1.1 Hambatan Jalannya Bisnis[22]
|
|||||
Katagori
|
Indonesia
|
Pakistan
|
Philipina
|
Banglades
|
Cina
|
Anti Kompetisi
|
17.3
|
21.3
|
24.3
|
29.3
|
17.6
|
Lisensi Bisnis dan Izin Usaha
|
17.5
|
14.5
|
13.5
|
16.5
|
15.9
|
Korupsi
|
38.2
|
40.4
|
35.2
|
57.8
|
22.4
|
Pungutan liar terhadap Penerimaan
|
3.4
|
2.0
|
1.9
|
2.5
|
1.8
|
Dilihat pada Tabel 1.1, pada anti kompetisi
Indonesia menduduki peringkat terakhir. Lama nya Lisensi Bisnis dan Izin Usaha
pada urutan yang pertama, hal ini menandakan sulitnya para Investor dalam
menginvestasikan dananya ke Indonesia, dana hal ini pula yang dapat
memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan memperburuk iklim Insvestasi dalam
negeri. Sedangkan jika dibandingkan neagara berkembanga lainnya di Asia,
Indonesia menempati posisi teratas dalam hal pembuatan izin usaha paling
lama dan panjangnya prosedur yang harus dilalui perusahan dalam memulai usaha
baru.
Korupsi, seperti yang kita ketahui tingkat korupsi
merupakan hal penting dalam memeperhatiakan ketidaka efisienan suatu negara,
namun sangat memprihatinkan ternyata Indonesia mempati posisi ketiga ketiga
tertinggi dalam hal Korupsi (The
Investment Climate Study, 2005) setelah Banglades dan Pakistan,
“korupsi merupakan titik
kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistemik antara pelaku institusi
politik (baik politikus atau birokrat) dengan pelaku ekonomi (baik ekonomi
privat atau masyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehingga menghasilkan
semacam situasi dilematis (reconfusion) dalam
menentukan batas-batas ruang lingkup ‘publik’ dan ‘privat”’.[23]
Kata kolusi di atas merujuk pada pengertian adanya kesepakatan
rahasia untuk kepentingan kedua belah pihak yang biasanya bersifat ilegal atau
pemalsuan, sementara bentuk titik kulminasi di atas misalnya skandal terbuka,
kebangkrutan ekonomi negara, bahkan kudeta, atau revolusi sosial. Pungutan Liar
terhadap penerimaan pada urutan tertinggi, yang menandakan bahwa banyaknya
adaministratif yang ilegal yang pada nyatanya sangat membebankan para
perusahaan dalam pengoprasian produksinya.
3.3.Penyediaan
barang Publik
Kondisi barang publik yang diberikan oleh pemerintah
tidaklah disertai dengan perawatan oleh pemerintah, akibatnya selain habisnya
dana yang besar dalam membangun hal tersebut, namun juga mengganngu jalannya
perekonomian, sebagai salah satu contoh, jalan raya, jalan raya sangatlah
diperlukan oleh para pengusaha dalam memproduksi.
Pada dasarnya, penyediaan barang publik dapat
dikatagorikan pada menajadi dua, yaitu yang terlibat lagsung dan yang tidak
terlibat langsung bagi perekonomian. Bagi Barang publik yang tidak terlibat
langsung dalam perekonomian, karena butuh waktu atau proses yang lama untuk
merasakan hasil atas kebijakan tersebut, seperti pada Sektor Kesehatan dan
Pendidikan. Sektor Kesehatan: Rumah sakit, puskesmas, Sektor Pendidikan :
Bangunan Sekolahan, Perpustakaan Umum. Penyediaan barang publik berupa
Infrastruktur yang terlibat langsung daam perekonomian, seperti pembangunan
Pasar, Baik Tradisional atau yang modern, Pembangunan jalan buat transportasi
bahan baku serta barang jadi bagi kegiatan perkeonomian, pelabuhan dan airport yang digunakan sebagai tempat
ekspor dan impor.
Penyediaan barang publik atas perekonomian sebuah negara sanagatlah vital
atau penting keberadaanya. Berbagai langkah harus diambil untuk mengurangi dan
meminimalisir potensipenyimpangan dan pelanggaran. Besarnya angka belanja
negara dalam pengadaan barang dan jasa sangat rentan korupsi.
3.4 Upaya
Perbaikan Pelayanan Publik atas Jasa di
Indonesia
Gagasan Reinventing
Government yang dicetuskan oleh David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah
gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-konsep dan teori-teori
klasik untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler
tentang Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan
birokrasi dan mengoptimalisasi pelayanan publik. Adapun 10 prinsip tersebut
adalah:
Pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh.
Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah
seharusnya sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai
pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah
entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan
kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh
hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh).
Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi
wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan
menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan
kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus
diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan
masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi
sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini
nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol
pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik
rakyat.
Ketiga, pemerintahan yang kompetitif:
menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha memberikan seluruh
pelayanan tidak hanya menyebabkan resources pemerintah menjadi habis terkuras,
tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang
melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya
mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan
mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan)
di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam
pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung
jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif.
Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah
organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya, pemerintahan yang
dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak efektif dan kurang efisien, karena
bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus
digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih
efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan,
birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri
yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi
tersebut.
Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil,
bukan masukan. Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai
berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk
berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai
berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi.
Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas
kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat
otoritas.
Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan
pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor
bisnis di mana jika tidak fokus dan perhatian pada pelanggan (customer),
maka warga negara tidak akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia.
Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang
harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara
cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai
metode yang lain.
Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang
membelanjakan. Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama
dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda
dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program
publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program
publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut. Dengan
melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh
menetapkan biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan
untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain.
Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil,
meski dalam situasi keuangan yang sulit.
Kedelapan, pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati.
Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan
jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai
perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak
polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam
kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan
atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan
pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan,
untuk mencegah kebakaran.
Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju
partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih primitif,
komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja publik relatif belum
terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang
abad informasi dan teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi
antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang
terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka
pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan.
Dan prinsip yang kesepuluh
adalah pemerintahan berorientasi
pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya, daripada
beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau
organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan
menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan
lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha
mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk
membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar
kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah
membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan
menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama.[25]
3.4.2
Pembentukan
Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi Birokrasi
Salah satu yang menyumbangkan atas permasalahan
buruknya pelayan Publik di Indonesia baik barang dan jasa adalah banyaknya para
aparatur – aparatur pemerintah atau PNS tidaklah berkerjseacara profesionalisme
maka merelesaikan Gagasan pembentukan komisi kepegawaian untuk mereformasika
Birokrasi dijalankan. Gagasan tersebut , yang mana merupakan salah satu hasil
penelitian The Habibie Center yang disampaikan dalam acara Refleksi Akhir Tahun
2005 dan Perspektif Awal Tahun 2006,pernah dicetuskan oleh Direktur Program dan
Riset The Habibie Center Dr Dewi Fortuna Anwar.
3.5 Upaya
Perbaikan Pelayanan Publik atas barang di
Indonesia
3.5.1 Pemantauan dan Perbaikan Barang
Publik
Pemantauan
dan Perbaikan atas Barang publik yang telah ada sanagatlah dibutuhkan,
mengingat dana yanf dikeluarkan atas pembuatan barang tersebuat tidakalah
murah. Selaian itu, jika kondisi barang publik tidak baikan atau rusak, maka
akan mempengaruhi produktivitas perekonomian negara tersebut.
3.5.2 Transparansi
seleksi atas penyedian barang publik
Dengan
Transparansi seleksi atas penyediaan barang publik diharapakan dalam pengadaan
barang publik tidak terjadi kecurangan – kecurangan seperti Korupsi, Kolusi,
Nepotisme (KKN), yan semua itu dapat merugikan negara dan perekonomian. Barang
publik yang sediakan dapat menghabiskan biaya tinggi, namun nilai keguanan
serta kualitas yang dirasakan sanagatlah rendah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pelayanan publik atas
barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif dan
profesional. Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya
terhadap pelaku bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private
yang disediakan oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam
pengadaannya harus menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam
penerapannya, barang publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan
di segala sektor, baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun
berupa barang, agar dapat terwujud secara menyeluruh dan
komprehensif.
Dalam pelayanan publik, kita harus ingat, bahwa
Pemerintah sanalah seperti Organisasi publik, yang mana Organisasi publik
dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada
publik. Barang publik secara umum diartikan berdasarkan tingkat dua
karakteristik utama yang dimilikinya : (1) konsumsi bersama (non rivalry) dan
(2) non eksklusif
Kondisi Pelayanan publik
Di Indonesia yang masih belum dikatagorikan baik ini, turut menyumbang lemahnya
pertembuhan ekonomi di tanaha air, dari sisi anti Kompetisi, lisensi Bisnis dan
Izin Usaha, Korupsi, Pungutan Liar. Indonesia diantara negara – neagra lainnya
bukanlah termassuk dalam katagori yang dapat di contoh. Dalam hal penyediaan
barang publik, jangan membedakan anatara pelayanan barang publik yang langsung
mempengaruhi perekonomian denga yang tidak langsung, karena negara ini tidaklah
dibangun dan berjalan 10 atau sampai 100 tahun saja.
Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan
Ted Gaebler menemukan titik relevansinya dalam konteks optimalisasi pelayanan
publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya
lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang
melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan.
Dalam hal, memantau serta meningkatkan kinerja
dari aparatur pemeritaha maka Pembentukan Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi
Birokrasi perlu dilaksanakan. Dan untuk memperbaiki kualitas dan menekan biaya
atas penyediaan baranf publik maka perlu adanya pemantauan serta transparansi
dalam penyediaan arang publik. Pelayanan publik masih
memiliki banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sukar
diakses, belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat, belum
responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi yang
bertele-tele. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik
masih belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang
memadai. Sedangkan
desain
organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga pelayanan menjadi
berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi.
4.2 Saran
Solusi yang
dapat dilakukan untuk permasalahan korporatokrasi di Indonesia yaitu para
pemimpin harus melakukan kajian ulang terhadap:
1. Untuk memperbaiki pola penyelenggaran dapat dilakukan dengan
menetapkan standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures,
pengembangan survei kepuasan pelanggan, pengembangan sistem pengelolaan
pengaduan, maupun pengembangan model-model pelayanan publik bekerja sama dengan
pihak swasta.
2. Perlunya bimbingan dan pelatihan kepada aparat penyelenggara
pelayanan publik agar dapat bertindak professional, memiliki kompetensi,
empati, dan etika yang memadai. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi yang
tepat bagi aparat penyelenggara pelayanan publik agar dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.
3. Perlunya restrukturisasi birokrasi yang dapat memangkas
kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana sekaligus memberantas
KKN.
[1] David osborne dan Peter
Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategis Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj.
Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000. hlm 59.
[2] Mardiasmo, Otonomi &
Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit ANDI,Yogyakarta,2000,hlm 13
[4] Ibid
[5] Ahmad Zaenal Fanani, “Optimalisasi Pelayanan publik; Persepektif David
Osborne dan Ted Gaebler”, SHI, Jakarta, 1994,hlm 29
[6] Ibid,
hlm 37
[7] Ibid
[9] I Wayan Sudana, “Mewujudkan birokrasi yang menegdepankan Etika Pelayanan
publik”. Rineka Cipta, Jakarta, 2001. hlm 8
[10] Ibid
[11] Prameswara, “Good
Governance, Prinsip, Komponen, dan Penerapanya” dalam Hak Asasi Manusia
(Penyelenggaraan Negara Yang Baik ), Penerbit Ichtiar., Jakarta. 1987. Hlm
68
[13] Stiglitz,
Joseph E. Economics of The Public Sector,
New York : W.W. Norton & Company, 2000. Hlm 129
[14] Ibid
[15] Ibid, hlm 156
[17] Ibid
[18] Stiglitz, Joseph E, Op.cit, hlm 203
[19] Ibid, hlm 211
[22] A. Aziz Sanapiah , “Dimensi
Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the
Trust”, Andalas Univ. Press, Padang, 2006. Hlm 31
[23] Ahmad Zaenal Fanani, Op.cit, hlm 69
[24] Ulasan 10 Prinsip Reinventing
Government Ini Secara Utuh Bisa Dilihat Dalam David Osborne Dan Ted
Gaebler, Reinventing; Atau Terjemahannya Mewirausahakan, Hlm.
29-343. Sebagai Bahan Pelengkap Juga Baca David Osborne Dan Peter Plastrik, Memangkas
Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Terj. Abdul Rasyid
Dan Ramelan, Jakarta: Ppm, 2000.- Optimalisasi Pelayanan Publik: Perspektif David Osborne Dan Ted Gaebler
Oleh: Ahmad Zaenal Fanani, Shi., M.Si
[25] Ibid
DAFTAR PUSTAKA
______ A. Aziz Sanapiah ,
“Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building
the Trust”, Andalas Univ. Press, Padang, 2006.
______ Ahmad
Zaenal Fanani, “Optimalisasi Pelayanan publik; Persepektif David Osborne dan
Ted Gaebler”, SHI, Jakarta, 1994,
______ David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategis Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj.
Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000.
______Inu Kencana Syafi'i, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka
cipta, 1999.
______ I Wayan Sudana, “Mewujudkan birokrasi yang mengEdepankan
Etika Pelayanan publik”. Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
______ Kumorotomo, Pengukuran
Kinerja Sektor Publik , BPFE, Yogyakarta, 1996,
______Mardiasmo, Otonomi &
Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2004.
______ Putra
Rasjid, Pelayanan Publik di Indonesia, Mizan,
Jakarta, 1998,
______ Stiglitz, Joseph E. Economics of The Public Sector, New York
: W.W. Norton & Company, 2000.
Website:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar