Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Kamis, 28 Maret 2013

PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK BERUPA BARANG DAN JASA YANG KOMPETITIF DAN PROFESIONAL UNTUK TERWUJUDNYA IKLIM YANG EFEKTIF DAN KONDUSIF DI INDONESIA



Disusun dalam rangka Memenuhi Persyaratan
Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara

OLEH :
SENDI NUGRAHA
110110090144

Dosen Pengajar :
Nadia Astriani, S.H., M,Si.

FAKULTAH HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2012



KATA PENGANTAR

Puji syukur Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan limpahan Rahmat-Nya maka makalah yang membahas mengenai “Pelaksanaan Pelayanan Publik Berupa Barang dan Jasa yang Kompetitif dan Profesional untuk Terwujudnya Iklim yang Efektif dan Kondusif di Indonesia” ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Dinamika pembangunan senantiasa membawa aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat itu dilandasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur. Dalam pembangunan yang makin kompleks masyarakat perlu diberikan rangsangan untuk ikut memikirkan masalah masalah pembangunan yang dihadapi dan turut merumuskan jalan keluar dari masalah tersebut. Peran serta masyarakat yang aktif akan lebih menumbuhkan kebersamaan sehingga dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Melalui makalah yang membahas mengenai Pelayanan Publik ini, penulis berupaya menyampaikan betapa pentingnya barang dan jasa yang kompetitif dan profesional dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik dari Pemerintah agar masyarakat berupaya untuk ikut serta berperan dalam membenahi kekurangan-kekurangan dalam pelayanan yang selama ini pemerintah berikan untuk terwujudnya iklim yang efektif dan kondusif di Indonesia.
Pada akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membacanya.

Penulis.





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi perekonomian disetiap negara tidaklah hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, misalnya hanya perbankan. Namun, banyak sektor yang mempengaruhi kondisi tersebut, sebut saja pelayanan publik di negara tersebut. Di Indonesia, selama ini pelayanan publik berupa barang dan jasa tidaklah memuaskan, hal ini seringkali dapat menjadi hambatan dalam mencapai produktifitas yang efisien di kalangan pelaku ekonomi di dalama negeri. Buruknya fasilitas berupa barang publik yang disediakan seperti, jalan raya, pelabuhan, dan  lainnya. Serta lambanya birokrasi dalam pelayanan jasa, merupakan contoh permasalahan dari Pelayanan publik
Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan mandiri, barang publik yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif dan profesional[1]. Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya terhadap pelaku bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private yang disediakan oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam pengadaannya harus menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam penerapannya, barang publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan di segala sektor, baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun berupa barang, agar dapat terwujud secara menyeluruh dan komprehensif.   
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Peningkatan kualitas pelayanan publik mutlak diperlukan mengingat kondisi sosial masyarakat yang semakin baik sehingga mampu merespon setiap penyimpangan dalam pelayanan publik melalui gerakan maupun tuntutan dalam media cetak dan elektronik. Apalagi dengan adanya persaingan terutama untuk pelayanan publik yang disediakan swasta membuat sedikit saja pelanggan merasakan ketidakpuasan maka akan segera beralih pada penyedia pelayanan publik yang lain. Hal ini membuat penyedia pelayanan publik swasta harus berlomba-lomba memberikan pelayanan publik yang terbaik. Ini yang seharusnya ditiru oleh penyedia pelayanan publik pemerintah sehingga masyarakat merasa puas menikmati pelayanan publik tersebut.
Salah satu kewajiban aparatur negara yang juga mengikuti kewajiban negara dalam menyelenggarakan tugas Negara seperti yang diamanatkan UUD 1945, GBHN dan UU APBN adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) dalam bentuk penyediaan jasa dan barang secara prima[2]. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, instansi milik pemerintah apakah BUMD dan BUMN akan memberikan tarif pelayanan publik yang diwujudkan dalam bentuk retribusi, pajak dan pembebanan tarif Jasa langsung kepada masyarakat sebagai konsumen jasa publik (charging for sevice).
Walaupun masyarakat telah dibebani dengan pajak yang dapat dipaksakan kepada pemerintah, dan pemerintah memberikan prestasi kepada masyarakat. Tidak semua prestasi yang diberikan oleh organisasi sektor publik kepada masyarakat yang telah dilayani dapat dibuat secara gratis mengingat terdapat barang privat yang manfaat barang dan jasa hanya dinikmati secara individu, barang publik yaitu barang dan jasa kebutuhan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat serta barang campuran privat dan barang publik yaitu barang kebutuhan masyarakat yang manfaatnya dinikmati secara individu tetapi sering masyarakat umum juga membutuhkan barang dan jasa tersebut merit good (semua orang bisa mendapatkannya tetapi tidak semua orang dapat mendapatkan barang dan jasa) tersebut seperti: air bersih, listrik, pendidikan, kesehatan, transportasi publik.
Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menjelaskan penegertian atas pelayanan publik dan barang publik, keterkaiatan atas pelayanan publik dan barang publik atas kondisi perekonomian atau pada kondisi iklim investasi, permasalahan – permasalahan atas pelayanan publik berupa barang dan jasa, dan penjabaran atas upaya yang telah digagas oleh ahli ekonomi publik dalam memperbaiki pelayanan publik Diharapkan makalah ini dapat membantu untuk memahami pelayanan public, dan solusi penentuan tarif pelayanan public yang efisien bagi masayrakat.

1.2 Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini , maka dikemukakan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah contoh pelayanan publik dikehidupan sehari-hari?
2.      Bagaimanakah High Cost Economy di Indonesia?
3.      Bagaimanakah Penyediaan Barang Publik di Indonesia?
4.      Bagaimanakah upaya perbaikan pelayanan publik atas jasa di Indonesia?
5.      Dan Bagaimanakah upaya perbaikan pelayanan publik atas barang di Indonesia?


1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah agar kita dapat:

1.      Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik.
2.      Mengetahui etika pelayanan publik.
3.      Mengetahui permasalahan pelayanan publik di Indonesia.
4.      Mengetahui solusi dari permasalahan pelayanan publik di Indonesia.
5.      Mengetahui contoh-contoh pelayanan publik dalam kehidupan sehari-hari.

1.4 Kegunaan Penelitian
Kontribusi penelitian adalah manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian, kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah
a)      Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan kualitas pelayanan publik dan standar pelayanan publik dan memberikan sumbangan pemikiran tentang persoalan penerapan dan pelaksanaan kebijakan publik terhadap pelayanan publik.
b)      Kegunaan praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam masalah implementasi kebijakan publik sebagai wujud pelayanan publik sebagai upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1  Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan sebuah kewajiban yang dilakukan oleh sebuah kepemerintahan suatu negara tas negara yang dikelolonya. Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Pada dasarnya pelayanan public adalah kepercayaan publik. “Public service is a public trust. Citizens expect public servants to serve the public interest with fairness and to manage public resources properly on a daily basis. Fair and reliable public services inspire public trust and create a favourable environment for businesses, thus contributing to well-functioning markets and economic growth,” Dengan demikian, kualitas pelayanan publik merupakan salah satu strategic issue bagi aparatur negara yang harus diaktualisasikan dalam kerangka membangun kepercayaan public. ( OECD (2000))
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya.[3]
Pelayanan publik atau pelayanan umum adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara). Apalagi saat ini masyarakat semakin sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengontrol apa yang dilakukan pemerintahannya. Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu[4]:

1)      Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, maupun perusahaan pengangkutan.

2)      Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat primer adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara sehingga klien/pengguna mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan.
3)      Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat sekunder adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.

Terdapat beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggara pelayanan publik tersebut, yaitu[5]:
·         Adaptabilitas layanan. Artinya derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
·         Posisi tawar pengguna/klien, yaitu semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
·         Tipe Pasar, yaitu menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada dan hubungannya dengan penggguna/klien.
·         Kontrol, yaitu karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna atau penyelenggara pelayanan.
·         Sifat pelayanan, yaitu menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Oleh sebab itu, pelayanan publik harus dilakukan secara profesional sehingga mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri. Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) dengan ciri sebagai berikut[6]:
a)      Efektif, yaitu lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
b)      Sederhana, yaitu prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, dan tidak berbelit-belit.
c)      Transparan, yaitu adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur, persyaratan, dan pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik tersebut.
d)     Efisiensi Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan.
e)      Keterbukaan, berarti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
f)       Ketepatan waktu, Kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
g)      Responsif, yaitu lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani.
h)      Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.

Cara-cara yang diperlukan untuk memberikan pelayanan publik yang profesional adalah sebagai berikut[7]:
·         Menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya,
·         Memperlakukan pengguna pelayanan sebagai customers,
·         Berusaha memuaskan pengguna pelayanan sesuai dengan yang diinginkan mereka,
·         Mencari cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas,
·         Menyediakan alternatif bila pengguna pelayanan tidak memiliki pilihan lain.

2.2 Etika Pelayanan Publik

Etika pelayanan publik merupakan suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.[8] Atau dengan kata lain penggunaan atau penerapan standar-standar etika yang telah ada sebagai tanggung jawab aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik. Fokus utama dalam etika pelayanan publik adalah apakah aparatur pelayanan publik telah mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika (agar manusia mencapai kehidupan yang baik)[9]. Apabila dikaitkan dengan birokrasi maka etika birokrasi merupakan panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat.
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut:[10]
1)      Perilaku pelayan publik (Pegawai Negeri) harus sejalan dengan misi pelayanan publik dari instansi tempat mengabdi.
2)      Pelaksanaan pelayanan publik dapat diandalkan.
3)      Warga Negara memperoleh perlakuan “tanpa pandang bulu”sesuai dengan ketentuan hukum dan keadilan.
4)      Sumber daya digunakan secara tepat, efisien, dan efektif.
5)      Prosedur pengambilan keputusan adalah transparan bagi publik, dan tersedia sarana bagi publik untuk melakukan penyelidikan dan pemberian tanggapan.
Ada dua aspek penting penentu/tuntutan kinerja prima[11]:
1.      Keunggulan teknis (profesionalisme) yaitu efisiensi, produktivitas, dan efektifitas.
2.      Keunggulan moral (etika) yaitu integritas, obyektifitas, atau imparsialitas, keadilan, kejujuran, dan sebagainya.

Dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan atau keputusan pelayanan publik, karena pelayanan publik ditujukan untuk kebaikan masyarakat, bangsa, dan Negara[12]. Etika digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dan sebagai criteria untuk menilai baik-buruknya keputusan.
Selain itu, hubungan etika dan pelayanan publik tercermin dalam kenyataan bahwa warga negara telah mempercayakan sumber daya publik kepada birokrasi (sebagai pengelola sumber daya dan penjaga kepercayaan yang diamanatkan oleh warga negara). Kemudian, nilai-nilai tertinggi yang harus diacu oleh aparatur pelayanan publik (birokrasi) adalah nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 (konstitusi), dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sedangkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah : PP No. 42 Tahun 2004 (Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS), UU No.8 Tahun 1974 Jo UU No. 43 Tahun 1999 (Pokok-Pokok Kepegawaian), PP No.30 Tahun 1980 (Peraturan Disiplin PNS), dan UU No.25 Tahun 2009 (Pelayanan Publik).


2.3   Pengertian barang publik
Barang publik secara umum diartikan berdasarkan tingkat dua karakteristik utama yang dimilikinya[13] : konsumsi bersama (non rivalry) dan non eksklusif.
           Konsumsi bersama mengacu pada ide bahwa ada beberapa barang yang manfaatnya dapat dinikmati oleh lebih dari satu orang pada waktu yang sama. Misalnya, budi dan tedi dapat menikmati oksigen di udara di kantor mereka secara bersamaan. Konsumsi budi terhadap oksigen di udara tidak akan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia bagi tedi. Dalam kasus ini, konsumsi budi dan konsumsi tedi dikatakan non-rival. Ada banyak contoh barang yang menawarkan konsumsi non-rival. Dua orang dapat menonton sepak bola tanpa mengurangi kenikmatan orang lain. Para densus 88 yang berkerja menangkap para teroris untuk keamana masyarakat. Pekerjaan seorang diplomat atau perlindungan kapal nuklir dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, dan manfaat yang diterima seseorang tidak mengurangi manfaat yang diterima orang lain.
        
         Ada beberapa barang yang tidak bersifat konsumsi bersama. Dua orang tidak dapat mengkonsumsi ketoprak secara bersama-sama. Manfaat dan kepuasan budi memakan ketoprak tidak akan tersedia bagi tedi. Karena jika memeng terjadi, budi dan tedi memakan ketoprak tersebut bersama-sama, maka kepuasann yang akan terjadi akan berbeda atau kurang dibandingkan jika sendiri – sendiri. Oleh karena itu, ketika konsumsi barang oleh seseorang tidak dapat dikonsumsi oleh orang lain, konsumsi dua orang tersebut disebut rival.
          Karakteristik kedua yang membedakan barang publik dengan barang swasta adalah non-eksklusifitas. Untuk beberapa barang, kemampuan teknik untuk mengecualikan konsumsi orang-orang yang tidak membayar merupakan hal rutin. Untuk barang lain, pengecualian tersebut tidak dimungkinkan. Hanya karena terdapat suplai lontong sayur tidak berarti semua orang dapat menikmatinya. Jika anda tidak membayar penjual lontong sayur, anda tidak akan mendapat lontong sayur tersebut tersebut.
        Non-eksklusifitas terjadi ketika seseorang dapat menikmati manfaat barang baik dengan membayar maupun tidak[14]. Misalnya, jika lingkungan telah menyemprot nyamuk, sulit untuk mencegah orang lain yang tidak membayar untuk menikmati hasil semprotan tersebut. Atau dengan skala yang lebih luas, jika terdapat sistem pertahanan negara, semua penduduk dapat memperoleh manfaat baik membayar pajak atau tidak. Ini tidak berarti bahwa perusahaan pencari-keuntungan akan mensuplai barang yang bersifat non-eksklusifitas.


2.4 Efisiensi Pareto

Efisiensi Pareto menyatakan bahwa suatu keadaan lebih diinginkan dibandingkan yang lain jika menghasilkan perbaikan satu individu atau lebih tanpa merugikan kesejahteraan orang lain[15]. Ketika satu titik dicapai dimana memperbaiki sejumlah orang akan merugikan kesejahteraan orang lain, dikatakan telah mencapai titik optimal Pareto. Optimalitas Pareto merupakan kriteria hati-hati. Ia menolak setiap gerakan yang membahayakan setiap orang meski manfaat untuk beberapa orang akan merugikan orang lain.
          
Optimalitas Pareto merupakan sasaran sistem pertukaran sukarela. Dalam kasus barang swasta, mengapa dua individu bebas melakukan transaksi kecuali keduanya merasa situasi ekonomi mereka akan meningkat? Jika masyarakat merasa keadaan ekonomi mereka akan memburuk dengan melakukan kontrak, mereka tidak akan melakukannya. Jika kita menganggap transaksi ekonomi sebagai bentuk sistem pemilikan, kita dapat mengatakan bahwa keputusan pertukaran sukarela dibuat atas dasar kesepakatan bersama.


2.5 Masalah Pelayanan Publik

Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung,dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut[16]:

a)      Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik tersebut.
b)      Belum informatif. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
c)      Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat.Biasanya aparat pelayanan publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
d)     Belum responsif. Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
e)      Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
f)       Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan.
g)      Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit[17]. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.


2.6  Solusi Masalah Pelayanan Publik
Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut[18]:

1.      Penetapan Standar Pelayanan

Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.


2.      Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP)
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

a)      Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
b)      Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c)      Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
d)     Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;
e)      Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
f)       Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;


3.      Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;


4.      Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan;

Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik[19]. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi[20]. Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan[21].



BAB III
PEMBAHASAN

3.      Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia
3.1. Pengalaman Pribadi Pelayanan Publik

3.1.1        Pelayanan SKCK di Polres X
Ketika daftar ulang di salah satu PTK di Bandar Lampung, terdapat suatu persyaratan untuk mengumpulkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Saya pun menuju Polres X untuk mengurusnya. Sesampai di sana banyak orang yang antri entah untuk tujuan apa. Setelah mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk mengurus SKCK, saya pun mengantre di suatu tempat yang mereka sebut sentra pelayanan. Melihat banyaknya orang yang mengantre saya sempat pesimis SKCK tersebut akan selesai dalam 1-2 hari. Kemudian, saya mendapat telepon dari salah satu teman yang ikut mengurus SKCK untuk keperluan yang sama. Teman tersebut meminta saya untuk langsung ke salah satu ruang di lantai atas yang ternyata merupakan ruang Kapolres bekerja. Di sana setelah semua syarat yang dibutuhkan dipenuhi dalam waktu beberapa menit SKCK pun dikeluarkan. Saya pun kemudian baru tahu bahwa proses pengurusan SKCK tersebut berlangsung cepat karena teman saya mengenal orang dalam. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dalam pelayanan publik dalam hal ini di Polres X terdapat birokrasi yang cukup panjang dan lama yang menguras waktu dan tenaga. Padahal apabila beberapa rantai birokrasi yang tidak perlu dapat diputus maka pengurusan SKCK tersebut akan lebih cepat dan hemat energi. Hal ini terbukti ketika kita mengenal orang dalam maka pengurusan akan lebih mudah. Seharusnya, kualitas pelayanan publik di Polres X tersebut ditingkatkan sehingga semua orang memiliki hak yang sama mendapatkan pelayanan yang mudah dan cepat.

3.1.2        Pelayanan Publik Jasa
Transportasi KA Letak antara rumah dan sekolah saya yang sangat jauh (berada di luar kota dengan jarak ± 500 km) membuat saya memilih untuk kost di dekat areal sekolah. Karena hal itu pula ketika pulang dari tempat kost ke rumah ketika liburan panjang dan berangkat kembali dari rumah ke tempat kost ketika liburan usai, saya memilih untuk menggunakan moda transportasi kereta api karena lebih cepat dan relatif hemat biaya (kelas ekonomi). Memang kami hanya mengeluarkan uang berkisar Rp 30.000,00 – Rp 40.000,00 untuk sekali perjalanan dari Bandar Lampung ke Baturaja namun apakah pantas dengan membayar sejumlah uang yang sama ada lebih banyak penumpang yang harus rela duduk/tidur di lantai kereta dengan beralaskan koran maupun berdiri di lorong-lorong gerbong hanya karena kalah cepat dengan penumpang yang akhirnya duduk di kursi kereta api. Apalagi pada saat liburan akhir tahun, hampir selalu diberlakukan tiket bebas tanpa nomor tempat duduk sehingga penumpang pasti berebut kursi di dalam kereta api. Dengan cara ini pula tiket dapat dicetak tak terbatas sehingga dapat memaksimalkan pemasukan. Akibatnya, para penumpang tidak mendapatkan pelayanan publik yang semestinya. Menurut saya, pada liburan akhir tahun maupun hari biasa sebaiknya tiket dicetak sesuai kapasitas tempat duduk sehingga yang tidak mendapat tiket bisa mencari moda transportasi lain dan kualitas pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan.

3.1.3        Pelayanan Publik Jasa Perbankan di Bank Y
Pada saat itu saya ingin membuka rekening atas nama saya sendiri. Kemudian, saya menuju bank yang terletak tidak jauh dari rumah saya. Di sana saya mengambil nomor antrian untuk kategori customer service. Perlu diketahui nomor antrian dibagi dalam dua kategori yaitu antrian di teller untuk nasabah yang ingin menyetor atau menarik uangnya dan antrian di customer service untuk nasabah yang ingin membuka atau menutup rekening maupun ada masalah dengan rekeningnya. Kita semua pasti tahu bahwa pelayanan di customer service pasti akan lebih lama dibanding teller. Hal ini terjadi karena proses misalnya proses membuka rekening membutuhkan waktu lama karena nasabah diwajibkan mengisi berkas-berkas tertentu untuk tujuan administrasi. Lain halnya dengan di teller di mana nasabah tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyetor atau menarik uangnya. Dan ketika itu saya harus menunggu 2 jam lebih untuk mendapatkan pelayanan untuk membuka rekening yang saya inginkan. Di sini kita melihat bahwa Bank Y belum maksimal dalam hal pelayanan publik. Fenomena ini pasti sudah berulang kali terjadi sehingga Bank Y seharusnya melakukan antisipasi misalnya dengan menambah jumlah loket di antrian customer service menjadi dua kali lipat dibandingkan antrian di teller sehingga nasabah tidak perlu menunggu lama dan kualitas pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan.

3.1.4        Pelayanan Publik Jasa Transportasi Bus Antar Kota
Ketika liburan semester saya memutuskan untuk pulang kampung ke Bandar Lampung. Karena tidak ada kereta api yang dari Bandung langsung ke Bandar Lampung maka saya pun transit dulu di Merak-Bakauheni. Saat itu masih pagi dan kereta ke Bandar Lampung baru ada sore hari sehingga saya memutuskan untuk naik bus antar kota ke Bandar Lampung. Salah satu ketidaknyamanan menggunakan moda transportasi bus adalah bahwa tarif ditentukan di dalam bus sehingga penumpang mau tidak mau harus membayar sejumlah uang yang ditetapkan. Selain itu apabila penumpangnya sedikit maka ketika sampai di tengah jalan semua penumpang dioper ke bus lain yang hampir penuh kemudian perjalanan kembali dilanjutkan ke Bandar Lampung. Para penumpang pasti merasakan ketidaknyamanan karena harus pindah dari bus satu ke bus lain di tengah perjalanan. Belum lagi apabila mereka sedang tertidur atau membawa barang yang cukup banyak. Di sini para penumpang tidak mendapat pelayanan publik yang semestinya. Sebaiknya, para pengelola jasa transportasi bus antar kota telah memberitahukan tarif sebelum penumpang naik dan juga ada pemberitahuan jelas kepada para penumpang bahwa akan dioper ke bus lain atau tidak perlu mengoper sama sekali. Dengan demikian, para penumpang dapat merasakan pelayanan publik yang semakin baik.

3.2      High Cost Economy
Iklim Investasi yang merupakan salah satau faktor penting bagi perekonomian seuatau  negara juga dipengaruhi oleh pelayanan publik dalam pemprosesannya atau birokarsi. Lamanya waktu yang terbuang serta tingginya biaya yang dikeluarkan untuk memulai suatu usaha baru di Indonesia. Baik bagi sisi Asing ataupun dalam negeri, merupakan suatu yang perlu dipertimbangkan.

Tabel 1.1 Hambatan Jalannya Bisnis[22]






 Katagori
Indonesia
Pakistan
Philipina
Banglades
Cina
Anti Kompetisi
17.3
21.3
24.3
29.3
17.6
Lisensi Bisnis dan Izin Usaha
17.5
14.5
13.5
16.5
15.9
Korupsi
38.2
40.4
35.2
57.8
22.4
Pungutan liar terhadap Penerimaan
3.4
2.0
1.9
2.5
1.8









Dilihat pada Tabel 1.1,  pada anti kompetisi Indonesia menduduki peringkat terakhir. Lama nya Lisensi Bisnis dan Izin Usaha pada urutan yang pertama, hal ini menandakan sulitnya para Investor dalam menginvestasikan dananya ke Indonesia, dana hal ini pula yang dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan memperburuk iklim Insvestasi dalam negeri. Sedangkan jika dibandingkan neagara berkembanga lainnya di Asia, Indonesia  menempati posisi teratas dalam hal pembuatan izin usaha paling lama dan panjangnya prosedur yang harus dilalui perusahan dalam memulai usaha baru.
Korupsi, seperti yang kita ketahui tingkat korupsi merupakan hal penting dalam memeperhatiakan ketidaka efisienan suatu negara, namun sangat memprihatinkan ternyata Indonesia mempati posisi ketiga ketiga tertinggi dalam hal Korupsi (The Investment Climate Study, 2005)  setelah Banglades dan Pakistan,

“korupsi merupakan titik kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistemik antara pelaku institusi politik (baik politikus atau birokrat) dengan pelaku ekonomi (baik ekonomi privat atau masyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehingga menghasilkan semacam situasi dilematis (reconfusion) dalam menentukan batas-batas ruang lingkup ‘publik’ dan ‘privat”’.[23]

 Kata kolusi di atas merujuk pada pengertian adanya kesepakatan rahasia untuk kepentingan kedua belah pihak yang biasanya bersifat ilegal atau pemalsuan, sementara bentuk titik kulminasi di atas misalnya skandal terbuka, kebangkrutan ekonomi negara, bahkan kudeta, atau revolusi sosial. Pungutan Liar terhadap penerimaan pada urutan tertinggi, yang menandakan bahwa banyaknya adaministratif yang ilegal yang pada nyatanya sangat membebankan para perusahaan dalam pengoprasian produksinya.

3.3.Penyediaan barang Publik
Kondisi barang publik yang diberikan oleh pemerintah tidaklah disertai dengan perawatan oleh pemerintah, akibatnya selain habisnya dana yang besar dalam membangun hal tersebut, namun juga mengganngu jalannya perekonomian, sebagai salah satu contoh, jalan raya, jalan raya sangatlah diperlukan oleh para pengusaha dalam memproduksi.
Pada dasarnya, penyediaan barang publik dapat dikatagorikan pada menajadi dua, yaitu yang terlibat lagsung dan yang tidak terlibat langsung bagi perekonomian. Bagi Barang publik yang tidak terlibat langsung dalam perekonomian, karena butuh waktu atau proses yang lama untuk merasakan hasil atas kebijakan tersebut, seperti pada Sektor Kesehatan dan Pendidikan. Sektor Kesehatan: Rumah sakit, puskesmas, Sektor Pendidikan : Bangunan Sekolahan, Perpustakaan Umum. Penyediaan barang publik berupa Infrastruktur yang terlibat langsung daam perekonomian, seperti pembangunan Pasar, Baik Tradisional atau yang modern, Pembangunan jalan buat transportasi bahan baku serta barang jadi bagi kegiatan perkeonomian, pelabuhan dan airport yang digunakan sebagai tempat ekspor dan impor.
Penyediaan barang publik atas perekonomian sebuah negara sanagatlah vital atau penting keberadaanya. Berbagai langkah harus diambil untuk mengurangi dan meminimalisir potensipenyimpangan dan pelanggaran. Besarnya angka belanja negara dalam pengadaan barang dan jasa sangat rentan korupsi.


3.4  Upaya Perbaikan Pelayanan Publik atas Jasa di Indonesia
3.4.1 Reinventing Government  dan Optimalisasi Pelayanan[24]
Gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-konsep dan teori-teori klasik untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi dan mengoptimalisasi pelayanan publik. Adapun 10 prinsip tersebut adalah:
Pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh).
Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat.
Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan resources pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif.
Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut.
Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan. Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas.
Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak fokus dan perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain.
Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan. Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil, meski dalam situasi keuangan yang sulit.
Kedelapan, pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran.
Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan.
Dan prinsip yang kesepuluh adalah pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama.[25]

3.4.2        Pembentukan Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi Birokrasi
 Salah satu yang menyumbangkan atas permasalahan buruknya pelayan Publik di Indonesia baik barang dan jasa adalah banyaknya para aparatur – aparatur pemerintah atau PNS tidaklah berkerjseacara profesionalisme maka merelesaikan Gagasan pembentukan komisi kepegawaian untuk mereformasika Birokrasi dijalankan. Gagasan tersebut , yang mana merupakan salah satu hasil penelitian The Habibie Center yang disampaikan dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2005 dan Perspektif Awal Tahun 2006,pernah dicetuskan oleh Direktur Program dan Riset The Habibie Center Dr Dewi Fortuna Anwar.


3.5  Upaya Perbaikan Pelayanan Publik atas barang di Indonesia
3.5.1 Pemantauan dan Perbaikan Barang Publik
Pemantauan dan Perbaikan atas Barang publik yang telah ada sanagatlah dibutuhkan, mengingat dana yanf dikeluarkan atas pembuatan barang tersebuat tidakalah murah. Selaian itu, jika kondisi barang publik tidak baikan atau rusak, maka akan mempengaruhi produktivitas perekonomian negara tersebut.

3.5.2 Transparansi seleksi atas penyedian barang publik
Dengan Transparansi seleksi atas penyediaan barang publik diharapakan dalam pengadaan barang publik tidak terjadi kecurangan – kecurangan seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), yan semua itu dapat merugikan negara dan perekonomian. Barang publik yang sediakan dapat menghabiskan biaya tinggi, namun nilai keguanan serta kualitas yang dirasakan sanagatlah rendah.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan

Pelayanan publik atas barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif dan profesional. Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya terhadap pelaku bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private yang disediakan oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam pengadaannya harus menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam penerapannya, barang publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan di segala sektor, baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun berupa barang, agar dapat terwujud secara menyeluruh dan komprehensif.  
Dalam pelayanan publik, kita harus ingat, bahwa Pemerintah sanalah seperti Organisasi publik, yang mana Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Barang publik secara umum diartikan berdasarkan tingkat dua karakteristik utama yang dimilikinya : (1) konsumsi bersama (non rivalry) dan (2) non eksklusif
Kondisi Pelayanan publik Di Indonesia yang masih belum dikatagorikan baik ini, turut menyumbang lemahnya pertembuhan ekonomi di tanaha air, dari sisi anti Kompetisi, lisensi Bisnis dan Izin Usaha, Korupsi, Pungutan Liar. Indonesia diantara negara – neagra lainnya bukanlah termassuk dalam katagori yang dapat di contoh. Dalam hal penyediaan barang publik, jangan membedakan anatara pelayanan barang publik yang langsung mempengaruhi perekonomian denga yang tidak langsung, karena negara ini tidaklah dibangun dan berjalan 10 atau sampai 100 tahun saja.
Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler menemukan titik relevansinya dalam konteks optimalisasi pelayanan publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan.
Dalam hal, memantau serta meningkatkan kinerja dari aparatur pemeritaha maka Pembentukan Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi Birokrasi perlu dilaksanakan. Dan untuk memperbaiki kualitas dan menekan biaya atas penyediaan baranf publik maka perlu adanya pemantauan serta transparansi dalam penyediaan arang publik. Pelayanan publik masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sukar diakses, belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat, belum responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi yang bertele-tele. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang memadai. Sedangkan desain organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi.


4.2  Saran
Solusi yang dapat dilakukan untuk permasalahan korporatokrasi di Indonesia yaitu para pemimpin harus melakukan kajian ulang terhadap:
1. Untuk memperbaiki pola penyelenggaran dapat dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures, pengembangan survei kepuasan pelanggan, pengembangan sistem pengelolaan pengaduan, maupun pengembangan model-model pelayanan publik bekerja sama dengan pihak swasta.
2. Perlunya bimbingan dan pelatihan kepada aparat penyelenggara pelayanan publik agar dapat bertindak professional, memiliki kompetensi, empati, dan etika yang memadai. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi yang tepat bagi aparat penyelenggara pelayanan publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
3. Perlunya restrukturisasi birokrasi yang dapat memangkas kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana sekaligus memberantas KKN.


[1] David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategis Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000. hlm 59.
[2] Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit ANDI,Yogyakarta,2000,hlm 13
[3]  Putra Rasjid, Pelayanan Publik di Indonesia, Mizan, Jakarta, 1998, hlm 139.
[4] Ibid
[5] Ahmad Zaenal Fanani, “Optimalisasi Pelayanan publik; Persepektif David Osborne dan Ted Gaebler”, SHI, Jakarta, 1994,hlm 29
[6] Ibid, hlm 37
[7] Ibid
[8] Kumorotomo, Pengukuran Kinerja Sektor Publik , BPFE, Yogyakarta, 1996, hlm 7.
[9] I Wayan Sudana, “Mewujudkan birokrasi yang menegdepankan Etika Pelayanan publik”. Rineka Cipta, Jakarta, 2001. hlm 8
[10] Ibid
[11] Prameswara, “Good Governance, Prinsip, Komponen, dan Penerapanya” dalam Hak Asasi Manusia (Penyelenggaraan Negara Yang Baik ), Penerbit Ichtiar., Jakarta. 1987. Hlm 68
[12] Kumorotomo, Op.cit, hlm 29.
[13] Stiglitz, Joseph E. Economics of The Public Sector, New York : W.W. Norton & Company, 2000. Hlm 129
[14] Ibid
[15] Ibid, hlm 156
[16] I Wayan Sudana, Op.cit, hlm 16
[17] Ibid
[18] Stiglitz, Joseph E, Op.cit, hlm 203
[19] Ibid, hlm 211
[20] Inu Kencana Syafi'i, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999. Hlm 16
[21] http://www.antikorupsi.org/docs/risetpelayananumum2000.pdf
[22] A. Aziz Sanapiah , “Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust”, Andalas Univ. Press, Padang, 2006. Hlm 31
[23] Ahmad Zaenal Fanani, Op.cit, hlm 69
[24] Ulasan 10 Prinsip Reinventing Government Ini Secara Utuh Bisa Dilihat Dalam David Osborne Dan Ted Gaebler, Reinventing; Atau Terjemahannya Mewirausahakan, Hlm. 29-343. Sebagai Bahan Pelengkap Juga Baca David Osborne Dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Terj. Abdul Rasyid Dan Ramelan, Jakarta: Ppm, 2000.- Optimalisasi Pelayanan Publik: Perspektif David Osborne Dan Ted Gaebler Oleh: Ahmad Zaenal Fanani, Shi., M.Si
[25] Ibid




DAFTAR PUSTAKA

______ A. Aziz Sanapiah , “Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust”, Andalas Univ. Press, Padang, 2006.
______ Ahmad Zaenal Fanani, “Optimalisasi Pelayanan publik; Persepektif David Osborne dan Ted Gaebler”, SHI, Jakarta, 1994,
______ David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategis Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000.
______Inu Kencana Syafi'i, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999.
______ I Wayan Sudana, “Mewujudkan birokrasi yang mengEdepankan Etika Pelayanan publik”. Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
______ Kumorotomo, Pengukuran Kinerja Sektor Publik , BPFE, Yogyakarta, 1996,
______Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2004.
______ Putra Rasjid, Pelayanan Publik di Indonesia, Mizan, Jakarta, 1998,

______ Stiglitz, Joseph E. Economics of The Public Sector, New York : W.W. Norton & Company, 2000.


Website:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar