Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Jumat, 29 Maret 2013

KELAUTAN DAN KEDIRGANTARAAN (GSO)



A. UMUM
Pembangunan kelautan dan kedirgantaraan yang merupakan perwujudan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 33, Ayat (3), adalah upaya memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan, sumber daya manusia (SDM), modal, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yang dituju­kan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 mem­berikan gambaran mengenai wujud masa depan yang diinginkan dan diperjuangkan serta bagaimana mencapainya dalam Pem­bangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) ataupun dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) yang sasarannya dikelompokkan dalam tujuh bidang pembangunan. Salah satu bidang pembangunan, yaitu bidang ekonomi mencakup kelautan dan kedirgantaraan yang merupakan sektor-sektor pembangunan baru yang masing-masing akan diuraikan secara terinci dalam bab ini. Mengingat kelautan dan kedirgantaraan merupakan sektor­sektor pembangunan yang bersifat lintas sektoral, rumusan peren­canaan dan pelaksanaan program serta kegiatan sektor ini dalam Repelita VI juga tercermin dalam rumusan Repelita VI di berbagai sektor yang terkait.

B. KELAUTAN
I. PENDAHULUAN

Pembangunan kelautan pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia. Laut merupakan bagian ruang hidup bangsa Indonesia yang berperan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan dasar manusia terutama pangan, sumber energi, media penghubung, media ke­giatan industri, dan medan pertahanan keamanan. Dengan demikian, pembangunan kelautan merupakan pembangunan seluruh aspek kelautan yang mencakup kehidupan masyarakat maritim beserta potensi sumber daya dan komponen pendukungnya. Oleh karena itu, pembangunan kelautan mengandung makna bahwa Indonesia mempunyai kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan perairan Indonesia serta menggunakannya sebagai sarana dan media perdagangan antarwilayah ataupun antarnegara bagi kepentingan bangsa; mewujudkan kepulauan dan perairan Nusantara sebagai kesatuan geografis, politik, hukum, dan ekonomi; serta mewujudkan pertahanan keamanan di wilayah perairan Indonesia.

Wilayah laut, sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatan negara yang ditetapkan melalui konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1982 tentang hukum laut, merupakan wilayah perairan Indonesia yang melingkupi seluruh Kepulauan Indonesia sampai dengan jarak 12 mil ke arah luar dari garis pangkal. Garis pangkal itu dibentuk oleh garis yang menghubung­kan titik-titik terluar pada pulau-pulau terluar atau disebut juga sebagai titik-titik pangkal. Dalam wilayah tersebut, berlaku kedau­latan wilayah atas ruang udara, perairan, dasar taut, dan lapisan di bawahnya serta segala sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Adapun dalam wilayah yurisdiksi nasional yang meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dan landas kontinen sampai sejauh 350 mil ke arah luar garis pangkal, Indonesia berdaulat atas sumber daya alam dan mempunyai yurisdiksi atas instalasi, pulau buatan dan bangunan, pengaturan riset ilmiah kelautan, serta perlindungan dan pelestarian ling­kungan taut. Dengan penetapan konvensi tersebut, wilayah taut yang dapat dimanfaatkan diperkirakan menjadi 5,8 juta kilometer persegi yang terdiri atas 3,1 juta kilometer persegi perairan Indo­nesia dan 2,7 juta kilometer persegi perairan ZEE.

Dalam GBHN 1993 diamanatkan bahwa pembangunan ke­lautan diarahkan pada penganekaragaman, pemanfaatan, dan pembudidayaan sumber daya kelautan serta pemeliharaan kelestarian ekosistem dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Di samping itu, GBHN 1993 juga menggariskan bahwa dalam Repelita VI pengamanan kawasan laut sebagai media penghubung perlu terus ditingkatkan untuk menjamin kelancaran kegiatan perekonomian dan pelaksanaan pembangunan berwawasan nusantara.

Selanjutnya, diamanatkan pula oleh GBHN 1993 agar pen­dayagunaan sumber daya kelautan ditujukan untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang sangat memerlukan pendalaman pengeta­huan tentang potensi yang terkandung di dalam dan di dasar lautan nusantara. Pendayagunaan potensi sumber daya laut menjadi berbagai kegiatan ekonomi dilaksana kan melalui pengembangan industri transportasi, industri maritim dan perkapalan, industrilepas pantai, industri perikanan, dan industri pariwisata. Sementara itu, pendayagunaan potensi dasar laut meliputi industri pertam­bangan minyak dan gas bumi, serta industri pertambangan mineral. Pengembangan berbagai industri kelautan tersebut dipacu melalui peningkatan investasi dan diutamakan pada kawasan timur Indone­-sia (KTI). Selanjutnya, pemetaan dasar taut dan pengungkapan potensi yang ada di dalamnya yang sangat strategis bagi pengem­bangan perencanaan pendayagunaan sumber daya kelautan perlu terus ditingkatkan.

Pembangunan kelautan dalam PJP II dan Repelita VI disusun dan diselenggarakan dengan berlandaskan pada pengarahan­pengarahan GBHN 1993, seperti tersebut di atas.
II.   PEMBANGUNAN KELAUTAN DALAM PJP I

Fungsi laut sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan telah menunjukkan hasil yang sangat berarti selama PJP I. Pro­duksi perikanan laut dari hasil tangkapan meningkat dari 0,7 juta ton pada tahun 1968 menjadi 2,6 juta ton pada tahun 1991 atau rata-rata meningkat dengan 5,4 persen per tahun. Sementara itu, produksi budi daya laut yang baru dirintis pengembangannya     secara intensif pada akhir Repelita II, meningkat dari 88 ribu ton pada tahun 1978 menjadi 293 ribu ton pada tahun 1991. Dalam periode yang sama rata-rata konsumsi ikan masyarakat Indonesia meningkat dari 10 kilogram per kapita per tahun menjadi 16,1 kilogram per kapita per tahun.

Produksi ikan laut dari nelayan diperkirakan mencapai lebih dari 90 persen produksi perikanan seluruhnya, sedangkan volume ekspor komoditas perikanan Indonesia yang baru mencapai 21 ribu ton pada tahun 1968 meningkat menjadi 409 ribu ton atau mening-kat dengan 19,5 kali lipat pada tahun 1991. Ekspor tersebut seba­gian besar terdiri atas udang yang pada tahun 1991 mencapai 95,6 ribu ton atau sebesar 23 persen dari total ekspor. Selanjutnya,tuna/cakalang pada tahun 1989 ekspornya mencapai 56 ribu ton. Sementara itu, ikan hias volume ekspornya meningkat dari 23 ton pada tahun 1968 menjadi 2,3 ribu ton pada tahun 1991 atau meningkat rata-rata dengan 57 persen per tahun.

Jumlah armada perikanan laut meningkat terus selama PJP I. Pada tahun 1968 tercatat sebanyak 284 ribu kapal dan perahu penangkap ikan. Jumlah itu meningkat menjadi 355 ribu kapal pada tahun 1991. Sejalan dengan kebijaksanaan yang ditempuh, jumlah perahu tanpa motor secara bertahap menurun dari 278 ribu kapal pada tahun 1968 menjadi 226 ribu pada tahun 1991. Sebaliknya, perahu motor tempel dan kapal motor masing-masing meningkat dari 5,7 ribu dan 7,2 ribu buah pada tahun 1973 menjadi 75 ribu      dan 47,7 ribu buah pada tahun 1991. Dengan demikian, sebagian besar armada perikanan laut terdiri atas perahu tanpa motor,      berupa armada skala kecil atau dapat dikategorikan sebagai usaha perikanan rakyat.

Meningkatnya produksi perikanan laut tidak terlepas dari partisipasi swasta melalui penanaman modal. Penanaman modal dalam negeri (PMDN) sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 tercatat sebanyak 342 buah dengan nilai 3, 2 triliun rupiah atau sebesar 1,5 persen dari total investasi PMDN. Dalam periode yang sama penanaman modal asing tercatat 54 buah dengan nilai sebesar US$ 300 juta atau sebesar 0,5 persen dari total investasi PMA. Demikian pula, investasi PMDN dan PMA dalam industri trans­portasi selama pembangunan jangka panjang pertama, tidak terlalu besar. Nilai investasi PMDN tercatat 665,6 miliar rupiah dan PMA tercatat US$ 208 juta.

Industri jasa transportasi sebagai media penghubung untuk memenuhi kebutuhan transportasi laut antardaerah dan antarpulau, dan untuk mendorong pertumbuhan perdagangan juga berkembang dengan cukup berarti selama PJP I. Armada pelayaran nusantara pada tahun 1992 telah mencapai 344 kapal dengan kapasitas 843 ribu dead weight tons (DWT), armada pelayaran lokal mencapai 1.119 kapal dengan kapasitas 180 ribu DWT, dan armada pe­-layaran rakyat mencapai 3.974 kapal dengan kapasitas 209 ribu DWT. Selain itu, armada pelayaran perintis telah berkembang menjadi 26 kapal dengan jumlah barang yang diangkut mencapai     82 ribu ton dan armada pelayaran khusus mencapai 3.685 kapal dengan kapasitas 1,9 juta DWT. Sebaliknya, pelayaran luar negeri mencapai 27 kapal dengan kapasitas 347 ribu DWT.

Seiring dengan berkembangnya armada pelayaran, pengem­bangan fasilitas pelabuhan juga meningkat. Sampai dengan akhir PJP I telah dibangun sekitar 46,7 ribu meter dermaga, 256,7 ribu meter persegi gudang, 540,0 ribu meter persegi lapangan penum­pukan umum, dan 723,4 ribu meter persegi lapangan peti kemas. Untuk menjamin keselamatan pelayaran telah dibangun menara suar sebanyak 200 unit, rambu suar 729 unit, pelampung suar 455 unit, radar beacon 6 unit, radio beacon 64 unit.

Dewasa ini terdapat 185 industri galangan kapal dengan kapa­sitas maksimum 30 ribu ton, sedangkan yang berada di KTI terda­pat 23 buah dengan kapasitas kemampuan sebesar 5 ribu ton. Potensi perbaikan kapal per tahun sebesar 2,6 juta gross ton       (GT) dan untuk pembangunan baru adalah sebesar 100 ribu GT, tetapi lebih dari 90 persen fasilitas galangan kapal berukuran di bawah seribu GT. Secara teknis, sebagian besar komponen untuk industri perkapalan telah mampu diproduksi di dalam negeri.

Kemampuan produksi kapal di dalam negeri menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Kemampuan produksi kapal baja yang pada tahun 1987 baru mencapai 23 ribu GT, berhasil diting­katkan menjadi 45 ribu GT atau meningkat 2 kali lipat pada tahun 1992. Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kapal baja yang pada tahun 1987 bare mencapai 1,1 juta GT telah mencapai 1,8 juta GT pada tahun 1992. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri ini juga sudah mulai menerima pesanan dari luar negeri.
Selama PJP I telah tumbuh 17 industri bangunan lepas pantai dengan kapasitas 30 ribu ton per tahun, yang produksinya telah diekspor. Produksi bangunan lepas pantai telah meningkat dari 8 ribu ton pada tahun 1987 menjadi sekitar 15 ribu ton pada akhir tahun 1992. Selain itu, kemampuan produksi anjungan lepas pantai tercatat 3.300 ton lengkap dengan fasilitas eksplorasi untuk per­airan dengan kedalaman mencapai 80 meter.

Dewasa ini jumlah pelabuhan telah mencapai 538 buah dengan 87 pelabuhan diusahakan oleh Persero Pelabuhan Indonesia dan      451 pelabuhan yang tidak diusahakan. Di KTI terdapat 38 pela­buhan diusahakan dan 304 pelabuhan tidak diusahakan, sedangkan     di kawasan barat terdapat 49 pelabuhan diusahakan dan 147 pelabuhan tidak diusahakan.

Dalam rangka pengembangan industri wisata bahari saat ini tersedia 21 taman wisata alam di daerah pesisir dan 7 taman na­tional laut yang berpotensi untuk pariwisata bahari. Wisatawan   yang berkunjung mencapai lebih dari 3 juta orang dengan peneri­maan devisa lebih dari US$ 3 miliar. Dalam periode yang sama telah dikeluarkan 41 izin usaha wisata selam, 3 usaha marina, dan 22 usaha sarana kapal wisata. Di samping itu, diberlakukan keten­tuan bebas visa bagi wisatawan dari beberapa negara, dan dibuka jalur penerbangan langsung dari luar negeri ke daerah yang memi­liki potensi obyek wisata. Telah diberlakukan pula sistem klasifika­si hotel dan restoran serta pengelompokan beberapa daerah tujuan wisata (DTW) sebagai wilayah tujuan wisata (WTW).

Industri pertambangan minyak, gas bumi, dan mineral di laut makin dikembangkan karena cadangan minyak, gas bumi, dan mineral baru di darat makin terbatas dan sulit ditemukan. Dewasa ini terdapat 8 kilang minyak dan 5 terminal minyak besar di daerah pantai seperti di Laut Jawa, Selat Malaka, dan Kepulauan Natuna. Pada tahun 1992 produksi minyak bumi dan kondensat tercatat sebesar 1,49 juta barel per hari dengan kontribusi sebesar 525,4     ribu barel per hari atau 35,2 persen dari lapangan lepas pantai.

Pendayagunaan potensi sumber daya laut juga didukung oleh kegiatan survei dan pemetaan laut. Dalam program pemetaan geologi dasar laut bersistem dengan skala 1:250.000 di daerah paparan telah diselesaikan sebanyak 17 nomor peta. Berdasarkan penelitian geologi regional di daerah perairan laut dalam dan ZEE telah dihasilkan 7 nomor peta geologi dasar laut. Selain itu, telah dapat diselesaikan peta garis pangkal dengan skala 1:200.000 sebanyak 16 nomor peta.

Dalam rangka peningkatan sumber daya kelautan selama PJP I telah tersedia sebanyak 43 sekolah menengah jurusan perikanan, teknologi, dan perkapalan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan swasta, sedangkan pada tingkat perguruan tinggi jurusan-jurusan di bidang tersebut berjumlah 37 buah.


III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN

Pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya laut dalam PJP I telah memberikan sumbangan yang besar bagi keberhasilan pembangunan nasional secara umum. Potensi sumber daya Taut dan dasar laut untuk kepentingan pembangunan sangat besar dan akan lebih dikembangkan dalam PJP II. Oleh karena itu, perlu dikenali berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi, di samping peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan.

1.    Tantangan

Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 yang mulai berlaku dua belas bulan setelah penyerahan piagam ratifikasi atau aksesi oleh negara yang ke-60 kepada PBB, saat ini telah dirati­fikasi oleh 56 negara. Indonesia yang telah meratifikasi konvensi hukum laut tersebut pada tahun 1985, mempunyai wewenang yang lebih besar dibanding dengan Konvensi Jenewa tahun 1958, untuk mendayagunakan potensi sumber daya laut sampai ke batas ZEE dan landas kontinen. Namun, potensi yang ada belum semua diin­ventarisasi dan diidentifikasi. Selain itu, upaya penyelenggaraan pengawasan laut yang dilaksanakan masih belum mencakup keselu­ruhan wilayah. Sementara itu, ketegasan batas wilayah laut dengan negara tetangga dan pengaturan jalur pelayaran lintasan kapal  asing, belum seluruhnya ditetapkan. 
Sementara itu, Indonesia masih belum tuntas menerapkan konvensi tersebut yang berkaitan dengan yurisdiksi nasional mengenai titik-titik pangkal, koordinat laut wilayah dan ketentuan mengenai pelayaran, penyesuaian undang-undang tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia, penetapan zona tambahan Indonesia selebar 12 mil laut di luar laut wilayah, atau 24 mil laut dari garis-garis pangkal perairan Nusantara, penetapan perbatasan laut wilayah Indonesia, Singapura, dan Malaysia, penetapan perba­tasan landas kontinen di berbagai bagian laut Indonesia, dan penetapan perbatasan ZEE. Dengan demikian, tantangannya adalah bagaimana menegakkan kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk mendayagunakan dan memanfaatkan fungsi wilayah laut nasional.

Dalam PJP II diperkirakan perkembangan perikanan sebagai berikut. Perikanan tangkap di taut diperkirakan akan mencapai batas potensi lestari pada akhir PJP II, dan budi daya ikan akan berkembang pesat, perbandingan hasil produksi usaha penangkapan dan budi daya diramalkan mencapai 64 persen : 36 persen, kon-sumsi ikan masyarakat akan mencapai 26 kilogram/kapita/tahun sebagai dampak peningkatan pendapatan penduduk, pola konsumsi bergeser dari ikan asin/kering ke ikan segar dan bentuk olahan tradisional ke ikan segar dan bentuk olahan lain, dan ekspor hasil perikanan meningkat mengikuti perkembangan permintaan dunia. Sementara itu, perkiraan potensi lestari sumber daya ikan Indone­sia adalah 6,6 juta ton per tahun, yang terdiri atas potensi perairan teritorial dan perairan nusantara 4,5 juta ton dan potensi ZEE 2,1 juta ton. Dengan kemampuan produksi perikanan laut sebesar 2,6 juta ton dalam tahun 1992, potensi lestari sumber daya ikan yang dimanfaatkan diperkirakan baru sebesar 38 persen.

Sementara itu, untuk memanfaatkan sumber daya dasar laut, data yang tersedia menunjukkan adanya 60 cekungan sedimen yang mempunyai potensi kandungan hidrokarbon. Namun, dari jumlah tersebut 38 di antaranya telah dieksplorasi dengan hasil 23 ce­kungan mengandung hidrokarbon dan 14 di antaranya telah ber­produksi. Adapun 22 cekungan sedimen yang belum dieksplorasi umumnya terletak di laut dalam di KTI sehingga memerlukan teknologi dan investasi yang tinggi untuk mengeksplorasinya. Kandungan minyak dalam keseluruhan cekungan tersebut diperki­rakan mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar barel terdiri atas 5,5 miliar barel cadangan potensial dan 5,8 miliar barel berupa ca­dangan terbukti. Selain itu, diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri atas cadangan terbukti 64,4 triliun kaki kubik dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki kubik. Berbagai uraian di atas menunjukkan adanya tantangan di bidang kelautan untuk mendayagunakan potensi laut dan dasar laut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Bangsa Indonesia adalah bangsa bahari. Namun, masyarakat nelayan sebagian besar tergolong sebagai masyarakat miskin yang bermukim di desa-desa  pantai. Menurut catatan, jumlah masya­rakat nelayan pada tahun 1976 adalah 811 ribu orang dan pada tahun 1988 adalah 1,4 juta orang. Pada umumnya, masyarakat nelayan berpendidikan rendah, dan sebagian besar tidak tamat SD. Permukiman masyarakat nelayan di desa pantai berkaitan dengan terpusatnya kegiatan penangkapan ikan pada daerah perairan padat penduduk, seperti di perairan utara Jawa, Selat Malaka, dan Selat Bali sehingga menyebabkan adanya tekanan penangkapan yang cukup intensif dan melebihi daya dukung sumber daya laut yang tersedia. Masalah lain yang juga dihadapi adalah pengetahuan dan keterampilan nelayan yang masih rendah, kurangnya prasarana sosial, belum adanya alternatif mata pencaharian pada saat pacek­lik. Dengan demikian, merupakan tantangan untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat nelayan sebagai bagian dari upaya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Luas wilayah perairan laut Indonesia merupakan potensi alam yang besar untuk dimanfaatkan bagi pembangunan nasional. Namun, dalam aspek perhubungan masih banyak pelabuhan dan berbagai jalur pelayaran yang belum memiliki peta atau petunjuk navigasi guna menjamin keselamatan pelayaran. Selain itu, masih banyak pelabuhan yang belum memiliki fasilitas bongkar muat barang yang memadai. Kendati armada pelayaran yang tersedia telah meningkat dengan penambahan kapal-kapal baru, penam­bahan jumlah kapal masih diperlukan untuk mengantisipasi pening­katan angkutan barang dan transportasi laut. Namun, terbatasnya kemampuan rancang bangun dan perekayasaan teknik perkapalan mengakibatkan kurang berkembangnya industri maritim dan perka­palan. Sementara itu, produksi kapal tradisional masih didasarkan pada metode yang diwariskan turun-temurun, sedangkan bimbingan serta penyuluhan teknis masih kurang. Adapun industri bangunan lepas pantai yang telah mampu membangun anjungan lepas pantai, masih banyak diperlukan untuk mendukung tersedianya fasilitas eksplorasi untuk perairan laut dalam. Dengan demikian, tantangan­nya adalah mengembangkan potensi berbagai industri kelautan nasional.

Perencanaan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan potensi laut membutuhkan data dan informasi kelautan yang akurat. Namun, data dan informasi kelautan yang tersedia masih belum cukup untuk menunjang perencanaan, pengembangan, dan pengelo­laan sumber daya laut. Karakteristik sifat laut seperti arus, pasang surut, dan suhu muka laut wilayah pantai belum sepenuhnya dike­tahui. Informasi tentang potensi sumber daya ikan menurut jenis, perairan, dan musim di berbagai daerah, terutama di KTI dan ZEE masih kurang. Sementara itu, data dan informasi yang tersedia, masih tersebar di berbagai lembaga dan belum sepenuhnya dipadu­kan. Karena itu, tantangannya ialah memenuhi kebutuhan data dan informasi kelautan serta memadukannya dalam suatu jaringan sistem informasi geografis.

Panjangnya garis pantai dan kekayaan keragaman biota laut merupakan potensi alam yang dapat dikembangkan untuk menarik wisatawan. Taman laut dengan keragaman sumber daya hayati dan ekosistem laut tropis serta keindahan panorama pantai dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan sebagai daerah tujuan wisata. Namun, kemampuan laut sebagai penyedia sumber daya alam secara berkesinambungan dan sebagai fungsi lingkungan hidup, terancam oleh pencemaran dan pemanfaatan yang berlebihan. Pemanfaatan sumber daya laut yang menyimpang dari ketentuan telah menimbulkan kerusakan kelestarian fungsi lingkungan hidup pantai. Kerusakan tersebut, antara lain, disebabkan oleh penangka­pan ikan dan biota laut lainnya yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku seperti penggunaan bahan peledak atau racun, pengambilan terumbu karang dan hutan bakau, serta pengalihgu­naan pantai untuk perluasan permukiman dan industri perikanan. Demikian pula, pembuangan limbah industri, tumpahan minyak dari kapal motor ataupun tangki minyak mentah, sungai yang kurang terpelihara dan menjadi tempat pembuangan sampah, dan ketidakteraturan penempatan bagan-bagan. Oleh karena itu, adalah merupakan tantangan untuk mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan hidup laut.

2.    Kendala

Dalam mendayagunakan dan memanfaatkan potensi kelautan masih dihadapi kendala yang berkaitan dengan luasnya wilayah perairan yurisdiksi nasional dan letaknya yang berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra.

Selain itu, berkaitan dengan pengembangan industri perikanan, berbagai kendala masih dihadapi, antara lain sebagian besar pelabuhan perikanan belum dilengkapi dengan fasilitas yang dipersyaratkan bagi penanganan dan pengolahan hasil perikanan, konflik antara perikanan tradisional yang padat karya dan per­ikanan berteknologi canggih yang produktif, lemahnya jalur pemasaran dan distribusi hasil perikanan, dan belum berfungsinya penjaminan mutu dan pengawasan pengendalian mutu.

Pengembangan berbagai industri kelautan dan jasa kelautan juga menghadapi kendala, seperti hambatan dalam prosedur dan perizinan, permodalan, keterampilan dan ketenagakerjaan, perka­palan dan peralatan, kepelabuhanan, pemasaran produk dan jasa, serta pengawasan dan keamanan.

Besarnya investasi untuk pengadaan kapal juga mempersulit pengembangan industri tersebut yang menyebabkan pengembalian modal akan memakan waktu lebih lama dan akan berdampak pada masalah penyediaan kapal. Selain itu, kendala yang juga dihadapi adalah belum adanya standar tentang peralatan yang dirakit atas dasar lisensi dan terbatasnya kemampuan tenaga teknis peralatan kapal yang memiliki kualitas khusus.

Rendahnya kualitas SDM kelautan menyebabkan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek oleh pekerja kelautan juga masih terbatas. Hal tersebut juga disebabkan oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja kelautan dan belum siapnya mereka melangkah Ice arah masyarakat industri yang lebih maju. Sementara itu, kurangnya tenaga pengajar, fasilitas laboratorium, dan sarana pendidikan menyebabkan jumlah dan mute tenaga teknis kelautan yang dihasilkan masih kurang.

Dalam rangka pelestarian fungsi dan daya dukung lingkungan, masih ditemukan berbagai penyimpangan terhadap cara peman­faatan sumber daya yang dapat merusak lingkungan laut. Pem­buangan limbah industri, tumpahan minyak, dampak sungai yang kotor, rusaknya terumbu karang sebagai tempat pembiakan dan hidup berbagai biota laut sudah mulai mengancam kelestarian lingkungan laut.

Adapun kendala yang dihadapi oleh jasa angkutan laut dewasa ini adalah pertumbuhan armada berbendera nasional yang lambat karena dana investasi yang besar, persaingan internasional akibat perkembangan armada niaga di berbagai negara yang masing­masing didukung oleh proteksi dan subsidi pembiayaan oleh pemerintahnya, dan lembaga financial enggan membiayai proyek perkapalan oleh karena tingginya risiko investasi.

3.    Peluang

Meskipun terdapat beberapa kendala dalam mendayagunakan dan memanfaatkan potensi kelautan, terbuka berbagai peluang yang dapat mendorong upaya peningkatan pendayagunaan dan peman­faatan kelautan. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan hidup akan memperbesar pendayagunaan sumber daya alam yang semakin mengarah ke laut karena terbatasnya sumber daya alam darat. Persaingan dalam upaya mendapatkan sumber daya alam, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan energi, mendorong bangsa Indonesia untuk lebih memanfaatkan potensi lautnya.

Selain itu, Wawasan Nusantara merupakan modal dasar bagi upaya untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam mendaya­gunakan dan memanfaatkan potensi laut Indonesia.

Letak geografi benua maritim Indonesia yang berada pada jalur pelayaran internasional memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi, politik, dan sosial budaya serta berkem­bangnya ekonomi nasional.

Berkembangnya jasa transportasi sebagai media penghubung akan meningkatkan armada pelayaran, kegiatan arus perdagangan, dan mobilitas penduduk, sedangkan pengembangan pelabuhan mendorong berkembangnya industri jasa maritim, navigasi, peti kemas, dan perluasan kesempatan kerja. Demikian pula, pening­katan kegiatan pelayaran dapat menambah jumlah serta meningkat­kan usaha galangan kapal di daerah pantai.
Sementara itu, makin membaiknya iklim usaha di berbagai sektor serta mahalnya biaya produksi barang modal dari negara maju mendorong daya saing industri maritim dan perkapalan termasuk industri pemecah kapal di tingkat internasional.


IV.  ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN

1.    Arahan GBHN 1993

Pembangunan kelautan diarahkan pada pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut serta pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung kelautan dan keles­tariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memper­luas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Pembangunan wilayah laut nasional juga dilaksanakan untuk mendukung penegakan kedaulatan dan yurisdiksi nasional serta perwujudan Wawasan Nusantara.

Pengusahaan potensi kelautan menjadi berbagai kegiatan ekonomi perlu dipacu melalui peningkatan investasi, khususnya di kawasan timur Indonesia, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup agar mampu memberikan sumbangan lebih besar pada upaya pembangunan nasional. Sarana dan prasarana kelautan terus diting­katkan agar laut memenuhi fungsinya sebagai media penghubung, pemersatu bangsa, dan lahan penghidupan rakyat serta lebih berperan dalam segenap aspek kehidupan bangsa. Industri ke-lautan, antara lain industri transportasi, perkapalan, dan industri lepas pantai dan pariwisata, didorong dan digalakkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat maritim. Industri perikanan dan budi daya laut lainnya perlu terus ditingkatkan, baik sarana, prasarana, maupun sumber daya 
manusianya sehingga potensi biota lautnya dapat dimanfaatkan guna kepentingan pembangunan dengan tetap memperhatikan kelestarian daya dukungnya. Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut dan dasar laut dan segala isi yang ada di dalamnya     ditingkatkan dan diselenggarakan secara optimal, disertai rasa tanggung jawab dan disiplin yang tinggi sesuai dengan daya dukungnya. Pengusahaan potensi kelautan dengan investasi skala besar, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing harus menjamin pendapatan sebesar-besarnya bagi negara.

Data dan informasi kelautan terus digali, dikumpulkan, dan diolah melalui peningkatan kegiatan survei dan penelitian dalam rangka inventarisasi kekayaan laut. Pemetaan dasar lautan nusanta­ra terus ditingkatkan karena diperlukan untuk mendayagunakan potensi kelautan nusantara di samping fungsinya yang strategis bagi pemeliharaan stabilitas dan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Pemupukan jiwa bahari melalui pengenalan, pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat pada laut terus ditingkatkan agar keinginan dan keyakinan untuk mendayagunakan potensi kelautan makin tumbuh dan berkembang. Pendidikan dan pelatihan kelautan ditingkatkan dan diperluas agar menghasilkan tenaga ahli dan kejuruan serta tenaga terampil yang diperlukan untuk dapat mewujudkan potensi kelautan nasional menjadi kekuatan ekonomi yang nyata dan andal.

Organisasi dan kelembagaan kelautan perlu dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan berbagai kegiatan ekonomi di sektor kelautan.

Dalam upaya mengikut sertakan daya dukung dan kelestarian laut perlu ditingkatkan pencegahan pencemaran laut melalui upaya pembinaan serta peningkatan pengawasan dan penegakan hukum.

2.    Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan kelautan dalam PJP II adalah terwujud­nya kedaulatan atas wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi na­sional dalam Wawasan Nusantara; terciptanya industri kelautan yang kuat dan maju yang didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan usaha koperasi, negara, dan swasta serta pendayagunaan sumber daya kelautan yang didukung oleh SDM yang berkualitas, maju dan profesional dengan iklim usaha yang sehat, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga terwujud kemampuan untuk mendayagunakan potensi laut guna peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal; serta terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dalam rangka pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut, sasaran PJP II yang menyangkut berbagai industri kelautan adalah terwujudnya industri perikanan yang mandiri didukung oleh usaha yang mantap dalam pengelolaan, penangkapan, budi daya laut, pengolahan, dan pemasyarakatan hasilnya sesuai dengan potensi lestari dan sekaligus meningkatkan taraf hidup nelayan; sasaran industri maritim dan perkapalan adalah terwujudnya kemampuan industri maritim dan perkapalan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam negeri dan untuk ekspor; sasaran industri transportasi adalah terwujudnya pelayanan angkutan laut yang andal dalam suatu sistem transportasi nasional yang didukung oleh fasilitas pelabuhan, industri maritim dan fasilitas keselamatan maritim yang andal serta ditunjang oleh tenaga kerja dan manajemen yang bermutu; dan sasaran industri pariwisata bahari adalah terwujudnya kondisi dan pelayanan pariwisata yang andal dalam keseluruhan sistem dan pola pembangunan kelautan yang didukung oleh seluruh sektor terkait.

b. Sasaran Repelita VI

Berbagai sasaran pembangunan kelautan dalam PJP II secara bertahap dilaksanakan mulai dengan Repelita VI, dengan titik berat pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penye­baran industri dan usaha kelautan keseluruh wilayah Indonesia.

Dalam Repelita VI sasaran produksi penangkapan dan budi daya perikanan laut adalah 3,4 juta ton per tahun atau rata-rata pertumbuhan sebesar 5,2 persen per tahun, dengan pemanfaatan potensi lestari sumber daya perikanan sebesar 45 persen.

Sektor pariwisata dalam Repelita VI diperkirakan dapat menghasilkan devisa sebesar US$ 8,9 miliar dengan kunjungan wisatawan asing sebanyak 6,5 juta per tahun atau pertumbuhan     rata-rata 12,9 persen per tahun. Sebagian besar wisatawan asing itu tertarik ke Indonesia karena kekayaan dan keindahan laut serta pantainya.

Dalam Repelita VI ditingkatkan kemampuan produksi industri galangan kapal khususnya di kawasan timur Indonesia sampai 10 ribu DWT, kemampuan rancang bangun dan perekayasaan, serta industri komponen penunjang. Sementara itu, untuk kawasan barat Indonesia kemampuan fasilitas industri perkapalan ditingkatkan sampai 100 ribu DWT dengan tingkat pemakaian bahan baku dan komponen lokal mencapai 80 persen.

Dalam Repelita VI ditingkatkan kemampuan industri bangunan lepas pantai, rancang bangun dan perekayasaan serta pengem­bangan industri penunjangnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk kebutuhan ekspor. Selain itu, ditingkatkan kemampuan produksi anjungan dengan kedalaman mencapai 300 meter.

Untuk mewujudkan kedaulatan atas wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi nasional, akan diselesaikan peta batas wilayah perairan Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan peta landas kontinen dalam Repelita VI.

Dalam rangka mendayagunakan dan memanfaatkan sumber daya kelautan, dalam Repelita VI seluruh data dan informasi kelautan ditingkatkan ketersediaannya dan dipadukan dalam suatu jaringan sistem informasi geografis kelautan.

3.    Kebijaksanaan

Dalam rangka mencapai sasaran di atas, pokok kebijaksanaan pembangunan kelautan dalam Repelita VI disusun untuk menegak­kan kedaulatan dan yurisdiksi nasional; mendayagunakan potensi laut dan dasar laut; meningkatkan harkat dan taraf hidup nelayan; mengembangkan potensi berbagai industri kelautan nasional dan penyebarannya di seluruh wilayah tanah air; memenuhi kebutuhan data dan informasi kelautan serta memadukan dan mengembang­kannya dalam suatu jaringan sistem informasi geografis kelautan; dan mempertahankan daya dukung serta kelestarian fungsi lingkungan hidup laut.

       a. Menegakkan Kedaulatan dan Yurisdiksi Nasional

Dalam rangka menegakkan kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk pendayagunaan dan pemanfaatan fungsi wilayah laut nasio­nal, ditetapkan kebijaksanaan untuk menerapkan konvensi hukum laut internasional melalui penetapan batas wilayah perairan Indone-sia dan ZEE dan melanjutkan upaya penetapan batas wilayah per­airan Indonesia untuk diserahkan hasilnya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, sesuai dengan ketentuan dalam konvensi hukum laut internasional; merumuskan dan menetapkan alur laut kepu­-lauan Indonesia (ALKI) untuk kepentingan pelayaran internasional sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi na­sional Indonesia melalui pengaturan, penetapan, dan pengendalian ALKI; dan mengembangkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan keamanan negara (hankamneg) di bidang maritim untuk menjamin keselamatan dan pembangunan di laut; serta melindungi benda bersejarah yang berada di dasar laut, dengan mengupayakan pembuatan peta perkiraan lokasinya, dan membuat peraturan tentang pemilikannya.

b.     Meningkatkan Pendayagunaan Potensi Laut dan Dasar Laut

Dalam rangka mendayagunakan potensi laut dan dasar laut, kebijaksanaan yang ditempuh untuk mengembangkan industri pengolahan ikan pada pusat pengumpulan untuk menampung hasil tangkapan dan budi daya ikan dan memadukan dengan kebijaksa­naan industri tentang penetapan zona industri dan aglomerasi indus­tri dalam kawasan pertumbuhan ekonomi; memanfaatkan dan mengembangkan teknologi penangkapan dan budi daya ikan, udang, rumput laut, mutiara serta teknologi eksplorasi dan eksploitasi potensi dasar laut secara efektif dan efisien dan yang ramah lingkungan. Kebijaksanaan lainnya adalah meningkatkan jumlah dan kualitas SDM kelautan untuk merencanakan, mengelo­la, dan memanfaatkan sumber daya laut secara lintas-instansi dan multidisiplin di tingkat nasional dan daerah; menggali, mengum­pulkan, dan mengolah data dan informasi mengenai cekungan minyak dengan memperhatikan batas-batas ekploitasi sesuai potensi lestari; dan mendorong pemanfaatan dan pengembangan iptek kelautan untuk meningkatkan kemampuan mengolah potensi air laut menjadi air bersih dan energi alternatif bagi kesejahteraan masyarakat di daerah terpencil, dan mendorong penyelenggaraan survei, inventarisasi, dan evaluasi agar sejauh mungkin mengguna­kan kemampuan nasional dalam rangka penyediaan data hasil survei dan penelitian kelautan.

c.       Meningkatkan Harkat dan Taraf Hidup Nelayan

Dalam rangka meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat nelayan sebagai bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan ditetapkan kebijaksanaan untuk mendorong usaha   peningkatan hasil tangkap nelayan kecil melalui penyediaan wila­yah penangkapan yang bebas dari persaingan dengan kapal pe­nangkap ikan berteknologi canggih; meningkatkan produksi usaha nelayan skala kecil dan membina industri kecil pengolahan hasil laut; menyempurnakan pola hubungan kerja antara KUD dan nelayan dengan pengusaha dalam rangka meningkatkan keandalan sistem distribusi. Di samping itu, kebijaksanaan dalam pembangun­an kelautan adalah mengembangkan sentra produksi perikanan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan peran serta masyara­kat desa pantai; dan meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan masyarakat desa pantai melalui pemantapan organisasi dan peme­rintahan desa pantai, pengembangan prasarana sosial untuk menggerakkan kehidupan ekonomi, dan pencarian alternatif kesempatan kerja di musim paceklik.

d.    Mengembangkan Potensi Industri Kelautan

Untuk mengembangkan potensi industri kelautan nasional, ditempuh kebijaksanaan untuk mengembangkan industri kelautan secara bertahap dan terpadu melalui keterkaitan antara industri dan antarsektor industri dengan sektor ekonomi lainnya, terutama dengan sektor ekonomi yang memasok bahan baku industri; mendorong iklim yang kondusif bagi penanaman modal untuk penyebaran pembangunan industri kelautan di berbagai daerah terutama di KTI, sesuai dengan potensi masing-masing dan sesuai dengan pola tata ruang nasional dan mendorong perkembangannya agar menjadi lebih efisien dan mampu bersaing, baik di tingkat re­gional maupun global; mendorong peningkatan kapasitas, produksi industri galangan kapal dan industri pemecah kapal, baik melalui relokasi industri maupun investasi baru dan mengembangkan indus­tri galangan kapal kayu dan fiber glass untuk menunjang pe­menuhan kebutuhan armada pelayaran rakyat, perikanan, dan wisata; mewujudkan pola pengembangan industri kelautan melalui kebijaksanaan wilayah terpadu dan kebijaksanaan komoditas terpa­du yang mengacu pada kebijaksanaan pengembangan aglomerasi industri dan zona industri. 

Kebijaksanaan berikutnya adalah mengembangkan sistem transportasi laut nasional untuk mening­katkan aksesibilitas dengan pusat-pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional serta mengembangkan jalur lalu lintas antar­samudera, seperti jalur Singapura-Biak dan Laut Cina Selatan-Australia, dan mengupayakan akses jalur lintas tersebut ke pe­labuhan samudera lokal dan mengembangkan jalur pelayaran antarpulau besar dan jalur penyeberangan antarpulau yang ber­dekatan; meningkatkan kapasitas daya tampung pelabuhan, per­gudangan, dan lapangan penumpukan serta meningkatkan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan; mengembangkan potensi kawasan yang cepat tumbuh dan dapat mempercepat pembangunan ekonomi, seperti kegiatan lintas Batas dan segitiga pertumbuhan dengan negara tetangga khususnya di KTI; dan meningkatkan keselamatan pelayaran melalui peningkatan pelayanan navigasi dan peningkatan kegiatan pemetaan taut di lokasi yang padat lalu lintas pelayaran­nya.

e.    Mengembangkan Data dan Informasi Kelautan

Untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi kelautan serta memadukannya, ditempuh kebijaksanaan untuk meningkatkan koordinasi antarsektor, antarlembaga maupun antardisiplin ilmu yang didukung oleh tersedianya perangkat hukum yang dapat mengatur pemanfaatan data dan informasi sumber daya laut; mengembangkan sistem kelembagaan kelautan yang berfungsi mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kegiatan pemanfaatan sumber daya laut, dan mengamankan kepen­tingan nasional di laut serta mengkoordinasikan penyelesaian­masalah penggunaan wilayah laut dan pesisir, dan mendorong terbentuknya jaringan sistem informasi geografis kelautan di berbagai lembaga kelautan pemerintah, baik perguruan tinggi, lembaga penelitian maupun swasta untuk digunakan bagi perenca­naan pemanfaatan sumber daya laut.

f.     Mempertahankan Daya Dukung dan Kelestarian Fungsi Lingkungan Laut

Dalam rangka mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut, ditetapkan kebijaksanaan untuk menanam­kan budaya kelautan dan jiwa bahari sedini mungkin, baik melalui lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat melalui kegiatan organisasi, media massa dan forum komunikasi lainnya, dan melalui penyebarluasan produk kelautan, peningkatan produk dan pelayanan wisata bahari, penyebarluasan informasi fungsi ekosistem laut dan keragaman hayati; melindungi dan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan hidup melalui pemahaman fungsi ekosistem pantai dan keragaman hayati seperti terumbu karang, hutan bakau dan nipah sehingga fungsinya sebagai penghalang gelombang, habitat dan pembiakan ikan sekaligus sebagai potensi wisata, dapat terjamin; meningkatkan kesadaran akan besarnya manfaat pengolahan sumber daya kelautan agar bangsa Indonesia dapat hidup dari dan dengan laut dan menyadari hak dan kewajiban penggunaan kekayaan di wilayah laut nasional yang juga berfungsi sebagai wahana pemersatu; mengembangkan daerah yang memiliki potensi wisata bahari melalui pengembangan sarana dan prasarana, promosi, pelayanan, dengan tetap      memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup; meningkatkan upaya pembinaan, pengawasan, dan penegakan peraturan sebagai produk perangkat hukum di lapangan; melakukan pengkajian untuk mengembangkan alternatif cara pemanfaatan potensi laut yang    lebih akrab lingkungan; serta menyusun dan menetapkan tata ruang laut yang berwawasan lingkungan untuk dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan surnber daya laut dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan efektif serta menetapkan klasifikasi kawasan laut menjadi kawasan kritis, kawasan perlindungan atau konservasi, kawasan produksi dan budi daya, dan kawasan khusus. Kawasan kritis merupakan kawasan tertentu yang kegiatannya perlu dibatasi atau dihentikan apabila terjadi gangguan keseimbangan ekosistem. Kawasan konservasi merupakan kawasan yang kelestariannya dilindungi sehingga kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tidak diizinkan. Kawasan produksi dan budi daya merupakan wilayah penyelenggaraan pemanfaatan kekayaan laut dan dasar laut. Kawasan khusus merupakan zona untuk kegiatan pertahanan keamanan.


V.   PROGRAM PEMBANGUNAN

Program kelautan Repelita VI terdiri atas (1) program inventa­risasi dan evaluasi potensi laut, (2) program pengembangan indus-tri kelautan, dan (3) program pengembangan kemampuan pe­manfaatan kelautan.

1.    Program Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut

Program inventarisasi dan evaluasi potensi laut ditujukan untuk memperoleh data dan informasi, antara lain data dasar geologi, geofisika, oseanografi, peta laut, lokasi potensi ikan, keanekaragaman potensi kekayaan biota laut, potensi sumber daya minyak, gas bumi dan mineral serta pelestarian lingkungan laut: Program itu meliputi kegiatan: (a) survei dan pemetaan laut,          (b) eksploitasi dan eksplorasi, (c) pelestarian fungsi lingkungan dan penataan ruang taut, dan (d) jaringan sistem informasi geografis kelautan.

a. Survei dan Pemetaan Laut

Kegiatan survei dan pemetaan laut ditujukan untuk menetap­kan garis-garis pangkal, batas terluar ZEE, dan landas kontinen serta batas laut teritorial dengan negara tetangga berdasarkan prinsip sistem rujukan koordinat geodetik yang sama untuk menghindari perselisihan dengan negara tetangga tersebut, dan untuk melengkapi liputan data keadaan permukaan laut dan dasar laut. Untuk itu, dalam Repelita VI dilanjutkan kegiatan survei dan pemetaan dalam rangka penyelesaian seluruh peta garis pangkal  dengan skala 1:200.000 sebanyak 71 nomor peta. Selain itu, diselesaikan peta ZEE dengan skala 1: 1.000.000 sebanyak 15 nomor peta dan peta landas kontinen dengan skala 1:1.000.000 sebanyak 4 nomor peta. Sementara itu, pemetaan geologi dasar laut dengan skala 1:250.000 dilaksanakan pada 25 lokasi di daerah laut dangkal dengan kedalaman laut kurang dari 200 meter dan pemetaan geologi kelautan regional dengan skala 1:1.000.000 diselesaikan sebanyak 5 nomor peta. Demikian juga, penyelidikan geologi wilayah pantai dilaksanakan pada 25 kawasan pesisir terpilih. Adapun peta-peta tematik lain untuk seluruh Indonesia dilengkapi secara bertahap. Demikian pula, untuk peta pariwisata laut dan peta pelabuhan untuk daerah-daerah tertentu.

b.    Eksplorasi dan Eksploitasi

Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut dimaksudkan untuk menggali secara optimal potensi sumber daya laut hayati dan nir­hayati dan kandungan lapisan dasar laut di perairan Indonesia dengan senantiasa memperhatikan aspek lingkungan dan kelestarian fungsinya. Untuk itu, dilaksanakan kegiatan seismik rata-rata 64,9 ribu kilometer per tahun dan pengeboran eksplorasi rata-rata 177 buah sumur per tahun, dan ekstensifikasi eksplorasi dilakukan sebanyak 1-2 cekungan sedimen laut dalam, di kawasan timur Indonesia, serta dilakukan pengembangan sisipan rata-rata seba­nyak 598 sumur per tahun. Kegiatan itu dikembangkan terutama di kawasan timur Indonesia khususnya di laut yang memiliki kedalaman lebih dari 200 meter dengan melibatkan dunia usaha. Juga dilaksanakan survei seismik pada lintasan kawasan timur Indonesia. Untuk mendukung kegiatan tersebut ditingkatkan kemampuan SDM dan penyediaan peralatan penelitian dan survei yang meliputi peralatan laboratorium dan survei serta fasilitas kapal penelitian kelautan.

c.         Pelestarian Fungsi Lingkungan dan Penataan Ruang   Laut

Pelestarian fungsi lingkungan dan penataan ruang laut dimak­sudkan untuk mengatur secara seimbang kepentingan semua pihak dalam memanfaatkan sumber daya laut dengan tetap memperhati­kan nilai guna secara optimal. Untuk itu, dilaksanakan penataan kawasan laut terpadu yang didasarkan pada letak geografis, potensi alam dan budayanya, serta penelitian dan pemilihan ruang peng­usahaan yang tepat yang berorientasi pada, potensi lestari sumber kekayaan laut guna mencegah eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan. Dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan laut dilaksanakan (a) penyuluhan bagi tenaga kerja dan masyarakat maritim secara berkala, (b) peningkatan pemahaman dan peng­awasan operasi dan produksi, (c) pemantauan langsung di la­-pangan, dan (d) penerapan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, dilanjutkan upaya pengelolaan, perlin­dungan, serta pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya lingkungan laut dan pantai.

d.        Jaringan Sistem Informasi Geografis Kelautan

Penyediaan data dan informasi merupakan kebutuhan dasar bagi kegiatan perencanaan dan pengembangan sumber daya laut. Dewasa ini berbagai lembaga pemerintah dan swasta mempunyai data dan informasi kelautan yang tersebar di lembaga masing­masing. Upaya untuk mengumpulkan data dan informasi kelautan telah dilaksanakan. Upaya tersebut dikembangkan dalam Repe­lita VI melalui pengembangan jaringan sistem informasi geografis kelautan untuk menyediakan informasi yang berkenaan dengan seluruh aspek kelautan. Selain itu, jugs dikembangkan basis data kelautan serta jaringannya di berbagai lembaga.
2.    Program Pengembangan Industri Kelautan
Program pengembangan industri kelautan ditujukan untuk meningkatkan nilai ekspor basil industri kelautan dan untuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja guna me­ningkatkan pendapatan masyarakat dan menunjang pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Program industri kelautan dikelompokkan menjadi pengembangan industri utama dan pengembangan industri jasa kelautan. Industri utama meliputi industri perikanan, industri maritim dan perkapalan, industri bangunan lepas pantai, dan indus-        ­tri minyak dan gas bumi, sedangkan industri jasa kelautan meliputi industri kepelabuhanan, industri transportasi, dan industri wisata bahari.
a.    Industri Utama Kelautan

Pengembangan industri perikanan khususnya perikanan laut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan mewujudkan usaha perikanan laut, baik perikanan tangkap maupun budi daya laut dan untuk mendorong terciptanya kemandirian dalam menangkap, membudidayakan, mengolah, dan memasarkan basil perikanan. Kegiatan yang akan dilakukan pada Repelita VI adalah (a) pengadaan sarana dan prasarana baru pelabuhan perikanan dan pendaratan ikan terutama di kawasan timur Indone­-sia, (b) perbaikan dan penambahan fasilitas yang sudah tersedia, (c) penambahan jumlah armada penangkapan ikan, (d) pendugaan sediaan untuk jenis-jenis ikan dan biota laut lainnya yang memiliki nilai ekonomis penting di wilayah perairan yang belum mempunyai informasi lengkap, (e) pengembangan budi daya yang ramah ling­kungan yang didukung oleh teknologi budi daya dengan tetap mengutamakan aspek perluasan lapangan kerja, (f) peningkatan dan pengembangan jaringan distribusi dan pemasaran hasil perikanan, (g) pengembangan perikanan rakyat melalui pola-pola pengem­bangan usaha yang tepat, dan (h) peningkatan kualitas dan kuantitas SDM, seiring dengan peningkatan kualitas fisik
masyarakat nelayan melalui perbaikan gizi dengan meningkatkan konsumsi ikan laut.

Pengembangan industri transportasi dalam Repelita VI dituju­kan untuk meningkatkan kemampuan penyediaan ruang kapal yang dikaitkan dengan rancang bangun dan perekayasaan nasional melalui program Caraka Jaya, termasuk kapal perintis, Palwa Buana, angkutan batu bara, kapal penumpang, serta industri ang­kutan tradisional. Demikian pula, kerja sama pelayaran bilateral      dan pendalaman sistem transportasi multimoda yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan keperluan industri.

b.    Industri Jasa Kelautan

Untuk kepelabuhanan dan keselamatan pelayaran, kegiatan yang akan dilaksanakan, antara lain (a) peningkatan kinerja pelabuhan umum, (b) peningkatan partisipasi swasta dalam pem­bangunan dan pengelolaan pelabuhan, (c) penataan kepelabuhanan nasional, (d) penetapan dan pemetaan alur pelayaran yang dise­suaikan dengan tata ruang laut, dan (e) penetapan peraturan dalam rangka pencegahan kecelakaan di laut.

Dalam rangka pengembangan industri jasa maritim ditingkat­kan fasilitas kepelabuhanan dan keselamatan maritim terutama di wilayah timur Indonesia. Mutu alur pelayaran juga ditingkatkan dengan menambah sarana bantu navigasi (SBN) sebanyak 3,4 persen per tahun. Dengan peningkatan ini diharapkan dapat terpe­nuhi sebanyak 55 persen dari seluruh kebutuhan SBN, sedangkan stasiun radio pantai (SROP) akan ditingkatkan dengan 4 persen per tahun untuk memenuhi 60 persen kebutuhan.

Dalam industri jasa wisata bahari dikembangkan obyek pari­wisata bahari yang telah mulai berkembang antara lain di Kepu­lauan Seribu Jakarta, Kepulauan Riau, Bali, Lombok, Pulau Moyo (Sumbawa), Banda, Flores, dan Bunaken. Selain itu, akan dikem­bangkan obyek pariwisata yang belum dikenal seperti di Kepulauan

Tukang Besi Sulawesi, Kepulauan Sabalana Sulawesi Selatan, Kepulauan Takabone, Pulau Padaido dan Biak, Teluk Cenderawa­sih, Irian Jaya, Belitung, dan Nias. Untuk itu, akan ditingkatkan kegiatan promosi terpadu dengan melibatkan dunia usaha, jumlah produk wisata yang menonjolkan ciri khas kekayaan alam laut Indonesia, mute pelayanan untuk wisatawan, dan sarana dan prasa­rana yang menunjang pencapaian daerah tujuan wisata. Dalam obyek wisata bahari dikembangkan pemanfaatan terumbu karang, laguna dan terumbu karang di kawasan kepulauan wisata dan perdesaan permukiman untuk maksud penangkapan ikan dan marikultur.

3.   Program Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan

Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dalam mendayagunakan dan memanfaatkan potensi kekayaan laut dan sumber daya laut yang meliputi (a) pembinaan organisasi kelautan, (b) peningkatan kemampuan untuk memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai iptek kelautan, dan (c) pengem­bangan SDM kelautan.

a.     Pembinaan Organisasi Kelautan

Pembinaan organisasi kelautan dimaksudkan untuk meningkat­kan kelancaran dan keserasian pengelolaan dan pemanfaatan berba­gai aspek kelautan. Pendayagunaan potensi sumber daya laut ditun­jang dengan pengembangan kelembagaan kelautan melalui pena­-taan organisasi dan kelembagaan guna mewujudkan sistem pengelo­laan yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien dengan meningkatkan kerja sama, dan koordinasi, dan sinkronisasi di berbagai instansi terkait. Selain itu, pemanfaatan lembaga Badan Koordinasi Keamanan Laut dan Panitia Koordinasi Penyelesaian Wilayah Nasional dan Dasar Laut ditingkatkan untuk mengamankan kepen­tingan nasional di laut dan untuk mengkoordinasikan penyelesaian masalah penggunaan wilayah laut dan pesisir.

Dalam rangka menjamin kepastian berusaha, kejelasan tata ruang, dan penyederhanaan perizinan, dalam Repelita VI disem­purnakan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan, khususnya mengenai wilayah dan pengaturan perairan Indonesia. Selain itu, dilanjutkan penyusunan perundang-undangan di bidang perairan dan pemanfaatan laut, antara lain mengenai pemanfaatan ZEE, tata ruang kelautan, pariwisata bahari, serta peraturan lain untuk mengantisipasi perkembangan kelautan.

b.    Peningkatan Kemampuan untuk Memanfaatkan, Mengembangkan dan Menguasai ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kelautan

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia dalam mendayagunakan dan memanfaatkan potensi sumber daya laut untuk kepentingan pembangunan melalui pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Dalam rangka pemanfaatan sumber daya perikanan ditingkatkan kemampuan untuk memperkirakan ca­dangan ikan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, dan dikembangkan teknologi penangkapan ikan dan peningkatan produktivitas alat tangkap berdasarkan jenis ikan dan ekosistem. Juga akan dilaksanakan pengembangan teknologi budi daya ikan laut, pembenihan dan bioteknologi, serta pembesaran ikan pada lokasi yang sesuai. Adapun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan energi, ditingkatkan kemampuan iptek kelautan untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, dan mengolah sumber daya mineral dan energi di laut. Selain itu, dilaksanakan pengkajian potensi gelombang laut sebagai sumber energi. Juga dikembang-kan kerja sama internasional dalam sektor kelautan guna mening­katkan kemampuan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai iptek kelautan melalui interaksi antara para peneliti dan teknisi Indonesia dengan para peneliti dan teknisi asing.

c.     Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan

Untuk menunjang pemanfaatan kekayaan laut diperlukan SDM kelautan yang berkualitas dan berwawasan ke depan, berbudaya iptek, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ciri         (1) memiliki budaya partisipatif yang aktif, (2) tingkat pendidikan yang cukup memadai sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial, menerapkan nilai-nilai iptek dalam bidang kelautan, dan                    (4) memiliki kesadaran untuk mempertahankan kelestarian fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Untuk itu, ditingkatkan kemampuan tenaga teknis kelautan, masyarakat maritim, maupun peneliti melalui pengembangan dan perluasan program pendidikan dan latihan, peningkatan profesionalisme, serta pembinaan karier. Selain itu, dikembangkan dukungan kegiatan iptek untuk lebih meningkatkan kemampuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut hayati dan nirhayati. Keterlibatan tenaga ahli Indonesia khu­susnya dalam industri minyak dan gas bumi ditingkatkan sebagai perwujudan kemandirian. Selain itu, dilaksanakan program pen­didikan dan pelatihan multisektor yang dapat melibatkan keikutser­taan masyarakat secara luas.


C. KEDIRGANTARAAN I. PENDAHULUAN

Pembangunan kedirgantaraan pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ruang udara sebagai wilayah kedau­latan dan ruang antariksa sebagai wilayah kepentingan untuk didayagunakan bagi kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, hakikat tersebut mengandung pengertian sebagai modal perjuangan bangsa untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila; sebagai wilayah dan sumber daya yang perlu diarahkan untuk kemakmuran dan keamanan

rakyat banyak; sebagai dasar untuk ikut berperan serta melak­sanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; sebagai landasan untuk mewujudkan satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, dan satu kesatuan pertahanan keamanan; dan sebagai modal untuk menjamin agar pemanfaatan ruang dirgantara hanya untuk maksud damai dan untuk kepentingan umat manusia yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan/ konvensi internasional.

Dirgantara mempunyai beberapa kawasan yang dapat diguna­kan untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi terutama pe­ngembangan industri dirgantara. Kawasan tersebut meliputi, antara lain, Geo Stationary Orbit (GSO) dan Low Earth Orbit (LEO), yang dapat digunakan untuk kegiatan industri transportasi, naviga­-si, penginderaan jauh, telekomunikasi, energi, dan kimia. Orbit tinggi (GSO) yang berada pada antariksa di atas khatulistiwa pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer dari permukaan bumi dan orbit rendah (LEO) pada ketinggian 180-1.000 kilometer dari permu­kaan bumi adalah kawasan yang sangat strategis untuk penempatan satelit. Oleh karena itu, antariksa dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sistem komunikasi satelit sebagai wahana yang dapat diandalkan bagi penyelenggaraan arus berita, komunikasi informasi, dan data, baik nasional maupun internasional secara lancar, jelas, dan cepat guna mendukung kelancaran kegiatan ekonomi dan penyelenggaraan pembangunan.

Pemanfaatan fungsi kawasan dirgantara sebagai wahana trans­portasi adalah dengan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mengembangkan industri pesawat terbang dalam rangka membangun kemandirian, menjamin kelancaran aktivitas ekonomi dan meningkatkan kemampuan ekspor komoditas basil industri pesawat terbang, meningkatkan kegiatan sosial dan budaya serta meningkatkan dan memperluas hubungan antarwila­yah termasuk dari/ke daerah yang terpencil, antara lain melalui penerbangan perintis.

Pendayagunaan kawasan dirgantara lainnya adalah untuk wahana transportasi roket sonda dan balon, dengan mengutamakan kegiatan penelitian dan pengembangan serta rancang bangun dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap ruang dirgantara.

Pendayagunaan kawasan dirgantara yang juga penting adalah sebagai wahana navigasi guna menunjang keperluan penerbangan, pelayaran, dan penentuan posisi di darat, laut dan udara untuk obyek diam dan bergerak, melalui pengembangan sistem navigasi. Sistem tersebut ditujukan untuk memberikan informasi yang lebih tepat tentang posisi, kecepatan, dan arah setiap benda setiap saat.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 meng­amanatkan bahwa dalam Repelita VI pembangunan kedirgantaraan perlu terus ditingkatkan. Hak penggunaan wilayah dirgantara di     atas Indonesia perlu dikukuhkan dengan memperjuangkannya dalam forum internasional. Sarana, jasa, dan industri dirgantara terus dikembangkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang didukung oleh SDM yang berkemampuan tinggi.

Upaya pemanfaatan wilayah dan pemanfaatan sumber daya dirgantara di atas memerlukan dukungan organisasi dan kelemba­gaan. Oleh karena itu, penataan organisasi kedirgantaraan dituju-kan untuk mewujudkan sistem pengelolaan yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien sehingga tercipta pelayanan yang memadai dan iklim yang mendorong berbagai kegiatan pembangunan kedirganta­raan. Upaya itu ditunjang dengan penyempurnaan peraturan perun­dang-undangan sebagai produk hukum kedirgantaraan untuk menjamin penegakan kedaulatan dan kepastian serta kemudahan berusaha bagi penanam modal.

Pembangunan kedirgantaraan dalam PJP II dan Repelita VI disusun dan diselenggarakan dengan berlandaskan pada pengarahan GBHN 1993 seperti tersebut di atas.

II.   PEMBANGUNAN KEDIRGANTARAAN DALAM PJP I

Pendayagunaan antariksa diawali pada tanggal 16 Agustus 1976 ketika untuk pertama kalinya Indonesia mulai memanfaatkan GSO dengan menempatkan satelit komunikasi Palapa. Adapun komunikasi teresterial saat ini telah dioperasikan antara lain untuk keperluan siaran Radio Republik Indonesia (RRI), komunikasi SAR, keperluan hankam, dan perhubungan. Dewasa ini Indonesia memiliki empat satelit yang berada di orbit GSO, yaitu Palapa B-1, B-2P, B-2R, dan B-4 yang berarti Indonesia telah memiliki empat slot di GSO. Selain itu, satelit Palapa telah berhasil dikembangkan sebagai satelit regional untuk melayani kebutuhan telekomunikasi di KTI dan Pasifik dengan menggeser posisi orbitnya dari 118 derajat bujur timur ke 134 derajat bujur timur. Dewasa ini Indo­ne-sia juga rnulai mengembangkan kemampuannya dalam produksi komponen satelit yang dilaksanakan oleh salah satu industri kedir­gantaraan, yaitu PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN), dengan kegiatan awal menyiapkan para tenaga ahli melalui program pelatihan di industri satelit Amerika Serikat.

Sejak tahun 1970 Indonesia juga telah memanfaatkan satelit cuaca Automatic Pictures Transmission (APT), High Resolution Pictures Transmission (HRPT), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Geostationary Meteorology Satellite (GMS), dan satelit sumber alam Land Satellite (Landsat), dan System Probotoire Observation de Terre (SPOT) serta satelit lainnya untuk keperluan pemantauan sumber daya alam, meteo­rologi dan lingkungan, posisi lokasi, dan navigasi. Selanjutnya, gagasan tentang Tropical Earth Resources Satellite (TERS) dan satelit ilmiah eksperimental telah dikembangkan sejak tahun 1979.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan pemanfaatan antariksa untuk satelit, Indonesia sedang menyiapkan perangkat hukum kedirgantaraan nasional dan ratifikasi perjanjian internasional yang lebih menguntungkan. Dalam rangka mewujudkan Wawasan

Nusantara yang memandang wilayah udara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, saat ini telah diberlakukan Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 sebagai pengganti Undang-            Undang No. 83 Tahun 1958. Dalam undang-undang tersebut secara        tegas dikatakan bahwa negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia.

Sejak tahun 1976 telah dibangun dan dikembangkan industri pesawat terbang di Indonesia dengan menerapkan strategi tahapan transformasi teknologi dan industri, yaitu menerapkan teknologi yang sudah ada untuk membuat produk yang ada, mengintegrasi­kan teknologi yang ada untuk menghasilkan produk baru, me­ngembangkan teknologi baru untuk menghasilkan produk baru, dan melakukan penelitian dasar untuk menghasilkan produk masa depan. Sampai dengan akhir PJP I telah berhasil diproduksi 228 buah berbagai jenis pesawat terbang dan helikopter, 15 buah di antaranya telah diekspor ke luar negeri. Selain itu, sejak tahun 1986 telah diproduksi dan diekspor komponen pesawat F 16, Boeing 737, dan Boeing 767.

Kemampuan industri pesawat terbang tersebut didukung oleh SDM sebanyak kurang lebih 15 ,ribu orang meliputi berbagai tingkatan pendidikan dan disiplin ilmu yang terdiri atas sekitar 11 ribu teknisi, 1.600 sarjana muda/D-3, 2.500 sarjana (S-1), 34 magister (S-2), dan 41 doktor (S-3). Sumber daya manusia yang berkualitas iptek itu telah mendukung berbagai kegiatan industri kedirgantaraan khususnya industri pesawat terbang, mulai dari penelitian dan pengembangan, rekayasa dan rancang bangun, manufaktur, serta jasa berkaitan dengan kegiatan industri, mulai dari tahapan transformasi yang pertama dengan hasilnya pesawat Casa 212, tahapan kedua dengan hasilnya CN 235, dan tahap keti­ga, yaitu N 250 yang sekarang dalam tahap pengembangan proto­tipe. Produksi industri pesawat terbang tersebut diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri ataupun untuk ekspor sebagai salah satu penghasil devisa negara.

Kegiatan industri pesawat terbang juga didukung oleh pengembangan berbagai fasilitas laboratorium penelitian dan pengujian antara lain laboratorium uji konstruksi (LUK), laborato­rium aerodinamika, gas dinamika dan getaran (LAGG), dan beberapa laboratorium lainnya di Pusat Pengembangan Ilmu Penge­tahuan dan Teknologi (Puspiptek) untuk keperluan pengujian kele­lahan pesawat terbang dalam skala penuh, uji komponen utama pesawat terbang dan helikopter serta uji aerodinamika pesawat terbang kecepatan subsonik seperti untuk CN 235 dan N 250.

Sejalan dengan berkembangnya industri pesawat terbang, industri jasa pemeliharaan pesawat terbang juga menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Saat ini Indonesia telah memiliki kemampuan full overhaul untuk pesawat berbadan lebar, yaitu Garuda Maintenance Facility (GMF) dan untuk mesin pesawat yaitu Universal Maintenance Center (UMC) serta untuk pesawat angkut berat. Sementara itu, industri jasa angkutan penerbangan milik Pemerintah dan swasta telah menjangkau berbagai daerah termasuk daerah terpencil melalui berbagai rute penerbangan.

Dalam rangka pengalihan FIR dari Singapura dan Malaysia ke Indonesia telah disediakan beberapa fasilitas baru penunjang operasi lalu-lintas udara, antara lain peralatan Primary Surveillance Radar (PSR) dan Secondary Surveillance Radar (SSR) di Tanjung Pinang untuk mengawasi penerbangan pada ketinggian tertentu di wilayah udara di atas Kepulauan Riau; peralatan radar SSR dan PSR di Pontianak untuk mengawasi penerbangan pada ketinggian tertentu di wilayah udara di atas Kepulauan Natuna; dan peralatan VHF-Air Ground di Natuna, Pontianak, dan Singkep.

Secara keseluruhan, fasilitas navigasi yang tersedia dewasa ini masih menggunakan teknologi konvensional. Fasilitas tersebut meliputi Non Direct Beacon (NDB) 228 buah, VHF Omni Range (VOR) 49 buah, Distance Measurement Equipment (DME) 54 buah, Instrument Landing System (ILS) 22 buah, Runway Visual Range (RVR) 22 buah, Primary Surveillance Radar (PSR) 12

buah, Secondary Surveillance Radar (SSR) 18 buah; untuk mela­yani bandar udara kelas I sebanyak 11 buah, kelas II sebanyak 19 buah, kelas III sebanyak 24 buah, dan kelas IV sebanyak 52 buah, dan kelas V sebanyak 40 buah serta lapangan terbang tanpa kelas sebanyak 388 buah.

Dalam pengembangan jenis transportasi roket sonda telah berhasil diluncurkan berbagai roket yang masih terbatas pada roket dengan kaliber kecil. Kemampuan pengembangan roket tersebut didukung oleh laboratorium propelan dan uji statik di Rumpin dan fasilitas pengujian terbang roket di Pameungpeuk serta laboratori­um lainnya di Tasikmalaya dan Bandung.

Adapun untuk pengembangan teknologi penginderaan jauh, dewasa ini telah tersedia sistem stasiun bumi yang dapat menang­kap pancaran dari satelit inderaja yang terdiri atas subsistem per­olehan data di Pare-Pare dan subsistem pengolahan di Pekayon, dan 5 unit sistem stasiun bumi satelit lingkungan dan cuaca. Selain itu, juga tersedia 80 pusat kegiatan indera jauh yang didukung oleh peralatan pengolahan data, baik perangkat lunak maupun perangkat keras di berbagai instansi pemerintah dan swasta. Sebaliknya, inderaja dengan pesawat udara (airborne remote sensing) saat ini didukung oleh 16 pesawat udara secara fotografik dengan kemam­puan 40 kamera dan sensor elektronik serta fasilitas untuk proses pengolahan data. Saat ini lebih dari 85 persen wilayah Indonesia telah dicakup dengan peta dasar dengan skala 1: 50.000.

Dalam rangka pengembangan energi alternatif yang terbaru­kan, energi angin telah berhasil dikembangkan di laboratorium menjadi energi listrik atau energi mekanik melalui pengembangan teknologi kincir angin, terutama untuk daerah yang memiliki kecepatan angin rata-rata antara 3 sampai 5 meter/detik. Sebalik­nya, energi surya juga telah berhasil dikembangkan di desa-desa terpencil di berbagai propinsi.
Kemampuan terhadap prakiraan iklim dan cuaca dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, saat ini didukung oleh 10 buah stasiun satelit cuaca, 1 buah stasiun peluncuran roket cuaca, 1 buah stasiun wind profiling radar, dan 1 buah stasiun peluncuran balon.

Dalam rangka memanfaatkan udara sebagai bahan baku indus­-tri, telah dimiliki kemampuan untuk memproduksi gas oksigen, nitrogen cair, oksida nitrous, hidrogen, dan gas argon.

Adapun kegiatan dalam aspek lingkungan dan kimia atmosfer selama ini telah mampu memantau gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida, nitrogen oksida dan aerosol pada beberapa kawasan industri antara lain di Bekasi dan Cirebon. Selain itu, juga telah mampu mengukur keasaman air hujan dan observasi ozon permukaan bumi dan ozon stratosfer.


III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN

Pembangunan kedirgantaraan selama PJP I telah berkembang dengan pesat, terutama di bidang industri pesawat terbang dan jasa. Dengan perkembangan iptek yang demikian cepat dan kondisi persaingan yang makin ketat, diperkirakan dalam PJP II mendatang pembangunan kedirgantaraan akan dihadapkan pada tantangan yang semakin berat. Agar pembangunan kedirgantaraan pada PJP II dapat mempunyai cakupan yang lebih luas dan memberi sum-bangan yang lebih besar bagi pembangunan nasional, perlu dianti­sipasi secara cermat berbagai tantangan, kendala, dan peluang yang ada.

1.    Tantangan

Telekomunikasi di masa depan mengarah pada sistem, per­alatan, dan jasa yang makin canggih seiring dengan kemajuan tek­nologi telekomunikasi, khususnya yang menggunakan spektrum
frekuensi radio, komputer, elektronika, dan lain-lain. Perkem-bangan tersebut akan menempatkan GSO sebagai ruang gerak serta posisi orbit satelit komunikasi, dan spektrum frekuensi radio sebagai komoditas telekomunikasi yang strategis. Selama PJP I telah berhasil ditingkatkan kemampuan Indonesia untuk meman­faatkan GSO dengan penempatan beberapa satelit komunikasi Palapa. Namun, penggunaan GSO masih memerlukan perjuangan bagi Indonesia untuk mendapatkan slot yang sesuai. Selama ini pengaturan penggunaan orbit tersebut didasarkan atas pelayanan first come first served terhadap negara yang telah mendaftarkan diri. Pengaturan tersebut lebih menguntungkan negara maju. Indonesia yang berada pada 95 - 141 derajat bujur timur atau 1/8 wilayah di atas khatulistiwa sebenarnya mempunyai keunggulan komparatif dalam memanfaatkan GSO untuk telekomunikasi. Mengingat wilayah teritorial dirgantara Indonesia yang sangat luas dengan fasilitas komunikasi dan navigasi udara yang masih terba­-tas, masih ada bagian wilayah udara Indonesia yang masih dalam pengendalian negara tetangga. Oleh karena itu, tantangannya    adalah bagaimana menegakkan kedaulatan dalam rangka penggu­naan hak atas wilayah dirgantara nasional.

Dalam hal pemanfaatan potensi kedirgantaraan, Indonesia mempunyai modal keunggulan komparatif berupa lokasi geografis­nya. Namun, kemampuan SDM masih terbatas. Demikian pula, industri kedirgantaraan terutama industri pesawat terbang per­kembangannya sangat pesat karena tuntutan kebutuhan yang makin meningkat sehingga banyak negara di dunia ingin mengembangkan industri pesawat terbang sebagai ekspor andalannya. Peningkatan kemampuan industri kedirgantaraan ini menuntut peningkatan kualitas SDM yang memadai dan pengembangan berbagai industri pendukungnya. Sementara itu, kebutuhan energi dunia juga makin meningkat, sedangkan energi surya dan angin sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia berpotensi sebagai sumber energi listrik dan mekanik bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil, yang masih belum terjangkau oleh fasilitas listrik yang tersedia. Adapun prakiraan iklim dan cuaca yang teliti dan tepat untuk setiap

wilayah pertanian akan dapat mendukung peningkatan produktivi­-tas pertanian. Jasa prakiraan iklim dan cuaca juga diperlukan       dalam transportasi, seperti perhubungan udara dan perhubungan laut. Sementara itu, industri jasa dirgantara penginderaan jauh      dapat memberikan sumbangan informasi berupa klasifikasi dan evaluasi sumber daya alam, pemetaan tata guna lahan, dan peman­tauan peringatan dini bencana alam. Namun, pemanfaatan teknolo­gi penginderaan jauh masih belum menjangkau berbagai kalangan yang membutuhkan, baik di lembaga pemerintah, perguruan tinggi, maupun swasta dan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan selan­jutnya adalah mengembangkan industri kedirgantaraan nasional terutama industri pesawat terbang dan industri satelit yang mampu bersaing di pasar internasional untuk meningkatkan perolehan devisa dan menjadi sumber kegiatan ekonomi yang menunjang pertumbuhan.

Sementara itu, laju pertumbuhan dan mobilitas penduduk diperkirakan akan meningkatkan jumlah dan luas wilayah perko-taan serta meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang bermu­kim di perkotaan pada akhir PJP II. Hal itu akan meningkatkan kebutuhan jasa transportasi udara dan laut, yang juga akan meningkatkan pula tuntutan jasa navigasi yang lebih akurat dengan cakupan yang lebih luas untuk menjamin keselamatan penerbangan. Dengan demikian, tantangannya adalah mencukupi kebutuhan transportasi udara dan menjamin keselamatan lalu lintas udara.

Meningkatnya kegiatan industri dapat berakibat pada kerusak­an dan pencemaran lingkungan dirgantara serta perubahan kan­dungan unsur kimia dan aerosol di atmosfer. Hal itu ditunjukkan oleh tingginya kadar polusi pencemaran udara yang dipantau antara lain melalui jumlah emisi gas karbon dioksida dan metana serta kloro floro karbon (CFC). Kondisi demikian dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang membahayakan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, tantangannya ialah menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup dirgantara untuk kesejahteraan masyarakat.

2.    Kendala

Meskipun kawasan antariksa dapat dimanfaatkan untuk penempatan satelit, sistem telekomunikasi satelit menghadapi kendala teknis dan ekonomis. Kendala teknis berkaitan dengan sistem teknologi satelit yang memerlukan teknologi canggih dan hanya dimiliki oleh negara maju. Negara berkembang yang belum menguasai teknologi satelit kebanyakan hanya berfungsi sebagai pengguna. Kendala ekonomis berupa kebutuhan biaya investasi yang cukup besar. Ini berkaitan dengan umur satelit yang berkisar antara 5-10 tahun dan secara berkala harus diganti.

Selain itu, telekomunikasi juga dihadapkan pada kendala ketersediaan ruang GSO dan spektrum frekuensi radio pada kawasan antariksa dan kawasan udara. Makin banyak negara yang membutuhkan teknologi satelit, makin padat ruang GSO yang dapat dimanfaatkan, sedangkan kepentingan berbagai negara dalam memanfaatkan kawasan GSO akan menyebabkan rumusan peng­aturan di tingkat internasional makin kompleks.

Sementara itu, ketergantungan Indonesia terhadap perangkat keras dan perangkat lunak dari negara maju untuk pengembangan industri kedirgantaraan, masih dialami oleh hampir semua sub­sistem teknologi seperti teknologi pesawat terbang, satelit, roket, dan inderaja termasuk teknologi material, dan elektronika, yang menyebabkan Indonesia saat ini masih berfungsi sebagai pengguna teknologi.

Untuk memanfaatkan udara sebagai energi, daya saing harga jual energi listrik yang bersumber dari energi surya dan angin belum dapat dicapai karena produk teknologi energi angin dan surya juga masih bergantung pada teknologi yang belum dapat menghasilkan listrik yang dapat bersaing. Penguasaan teknologi dalam pengembangan teknologi bersih lingkungan (program langit biru) kurang ditunjang oleh kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan dan kimia atmosfer. Kendala tersebut selain disebabkan oleh terbatasnya peralatan untuk observasi, juga disebabkan oleh terbatasnya laboratorium untuk pengolahan data lapangan.

Pengembangan kedirgantaraan membutuhkan jumlah tenaga yang berkualitas baik. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh tenaga pelaksana yang berkualitas baik dalam waktu yang relatif singkat.

3.    Peluang

Di samping berbagai kendala itu, terdapat beberapa peluang untuk mengembangkan aspek kedirgantaraan. Dampak globalisasi akan meningkatkan kebutuhan telekomunikasi dalam penyelengga­raan arus berita, informasi, dan data. Adapun kemajuan teknologi sistem komunikasi dapat membuka peluang pertumbuhan dan perkembangan industri lainnya. Sebaliknya, perkembangan industri elektronika dan kebutuhan jasa komunikasi akan mendorong berkembangnya industri telekomunikasi di Indonesia.

Sistem transmisi satelit dapat membuka peluang berkem­bangnya berbagai industri jasa kedirgantaraan lain karena memiliki keunggulan dibanding dengan sistem transmisi lain, seperti kabel dan gelombang mikro.

Kemajuan yang dicapai Indonesia dalam pengembangan Indus-tri kedirgantaraan terutama industri pesawat terbang selama ini cukup pesat, sedangkan pangsa pasar dunia untuk pemasaran industri kedirgantaraan adalah cukup besar sehingga semuanya ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri pesawat terbang nasional. Sementara itu, penerapan teknologi penginderaan jauh bagi pemantauan dan inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan berperan besar untuk mempercepat proses pembangunan nasional.


IV.  ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN

1.    Arahan GBHN 1993

Pembangunan kedirgantaraan yang merupakan matra dan wahana kehidupan berupa wilayah dirgantara nasional yang meru­pakan wilayah yurisdiksi nasional dan terdiri atas udara sebagai wilayah kedaulatan dan antariksa diarahkan pada penegakan kedau­latan dan pendayagunaan keunggulan komparatif wilayah dirgan­tara. Pembangunan kedirgantaraan ditujukan pada perjuangan memperoleh pengakuan internasional atas hak penggunaan wilayah dirgantara nasional dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolo­gi untuk menghasilkan produk dan jasa kedirgantaraan.

Kemampuan pemanfaatan wilayah dan sumber daya dirganta­ra, termasuk frekuensi gelombang radio, perlu dikembangkan melalui penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tek­nologi dalam penggunaan sumber daya yang terdapat di udara untuk keperluan energi, pertanian dan industri; pembangunan industri dirgantara, pemanfaatan udara sebagai media transportasi. Pemanfaatan kawasan antariksa untuk penempatan satelit, penye­diaan jasa kedirgantaraan, penginderaan jarak jauh, survei dan pemetaan udara, serta prakiraan cuaca, dan untuk keperluan na­vigasi dan telekomunikasi dengan memperhatikan aspek pertahanan keamanan negara serta pengamanan terhadap pencemaran udara.

Pendidikan dan pelatihan kedirgantaraan terus ditingkatkan dan diperluas secara intensif, terarah, terpadu serta diselenggara-kan sesuai dengan program yang konkret untuk menghasilkan tenaga profesional, ahli, dan terampil dalam penelitian dan pengembangan teknologi kedirgantaraan, teknik produksi, serta manajemen.

Organisasi dan kelembagaan kedirgantaraan terus disempurna­kan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien dalam koordinasi dan pengendalian pemerintah sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan bagi berba­gai kegiatan ekonomi di sektor kedirgantaraan. Kerja sama inter­nasional kedirgantaraan, baik bilateral maupun multilateral terus dikembangkan, khususnya dalam pengembangan informasi dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.    Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran sektor kedirgantaraan dalam PJP II adalah terwujud­nya pengakuan dan tegaknya kedaulatan atas dirgantara nasional dan pengakuan internasional atas kepentingan Indonesia dalam pendayagunaan dirgantara secara menyeluruh, terwujudnya kemampuan pemanfaatan wilayah dan sumber daya dirgantara, dan terwujudnya kemandirian industri kedirgantaraan.

Dalam rangka mencapai sasaran kemandirian industri kedir­gantaraan, pengembangan industri dirgantara diklasifikasikan menjadi empat kelompok. Pertama, industri wahana dirgantara yang berupa kumpulan industri utama kedirgantaraan untuk memproduksi wahana penggerak dan pemacu pertumbuhan wila­yah dan kegiatan ekonomi berupa pesawat terbang dan helikopter, wahana kekuatan pengawasan/penjamin integritas dan ancaman kedaulatan wilayah berupa pesawat penginderaan dan peringatan dini, dan satelit sebagai wahana untuk menembus ketimpangan informasi secara global. Kedua, industri sistem dirgantara yang berupa kumpulan industri pendukung, dirgantara yang memproduk­si komponen utama pesawat terbang, komponen peralatan interior, komponen peralatan navigasi, kabel, komponen elektronik

dirgantara, komponen peroketan, dan komponen karet penyekat. Ketiga, industri jasa dirgantara berupa kumpulan industri penghasil jasa yang memproduksi jasa angkutan udara, jasa telekomunikasi dan penyediaan informasi yang memanfaatkan satelit dan produk dirgantara lainnya, jasa informasi dan prakiraan cuaca serta meteo­rologi yang memanfaatkan satelit, radar dan fasilitas lainnya, jasa informasi rupa bumi (topografi) dengan menggunakan penginde­raan jauh, dan jasa informasi geodetik dirgantara, serta jasa kon­sultasi rancang bangun dan rekayasa dirgantara. Keempat, jaringan infrastruktur berupa lembaga pemerintah yang membuat kebijaksa­naan dan perangkat hukum serta peraturan-peraturan, jaringan kerja sama penghasil produk, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan jaringan industri kecil dan menengah.

Dalam kelompok industri wahana dirgantara, industri pesawat terbang Indonesia dalam PJP II diharapkan mampu membuat pesawat terbang sampai dengan kapasitas 130 penumpang dan helikopter dengan kapasitas 30 penumpang yang didukung oleh kemampuan industri yang andal, fasilitas laboratorium yang leng­kap, dan SDM yang profesional dan menguasai iptek, baik dalam rekayasa dan rancang bangun maupun dalam manufaktur. Semen­tara itu, telekomunikasi diharapkan akan dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air, baik dengan menggunakan komunikasi satelit maupun teresterial, serta dapat menimbulkan sebaran kemanfaatan bagi perkembangan industri pendukung lainnya. Selain itu, industri balon juga dikembangkan untuk menghasilkan balon yang mampu mencapai ketinggian 30 kilometer dengan membawa muatan beban guna seberat 5 kilogram untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Pembangunan dalam kelompok sistem industri dirgantara yang berupa kumpulan industri pendukung diharapkan mampu mengu­rangi ketergantungan terhadap produk luar negeri pada akhir PJP II.
Untuk memenuhi kebutuhan energi angin dan energi surya bagi keluarga di berbagai daerah terpencil, pada akhir PJP II diharapkan kemampuan pemanfaatan energi angin dan surya meningkat dari 100 watt/kepala keluarga menjadi 200 watt/kepala keluarga. Adapun wahana iklim dan cuaca diharapkan mampu memberikan prakiraan yang akurat dalam waktu singkat dan praki­raan iklim yang bersifat tahunan. Sementara itu, produk industri kimia yang berasal dari udara diharapkan dapat memenuhi standar baku mute yang bertaraf internasional.

b.    Sasaran Repelita VI

Sasaran pembangunan kedirgantaraan pada Repelita VI dalam rangka penegakan kedaulatan adalah terwujudnya penyempurnaan kelembagaan kedirgantaraan nasional, tersusunnya konsepsi kedir­gantaraan nasional, tersusunnya peraturan perundang-undangan kedirgantaraan nasional, berhasilnya perjuangan di forum interna­sional tentang GSO, dan ratifikasi berbagai konvensi internasional.

Selanjutnya, sasaran pengembangan teknologi kedirgantaraan pada Repelita VI adalah meningkatnya penguasaan teknologi kedir­gantaraan; berkembangnya rekayasa dan produksi konfigurasi pesawat terbang dengan kapasitas 50-80 orang dengan kecepatan transonik dan menggunakan teknologi fly by wire untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor; meningkatnya kemampuan produksi pesawat terbang dan helikopter yang sudah ada untuk kepentingan sipil dan militer, disertai dengan meluasnya pemasaran, disamping itu dimulai secara bertahap untuk mengembangkan pesawat angkut 130 penumpang dengan kecepatan transonik dan helikopter 30 penumpang dengan kecepatan subsonik; dan berkembangnya satelit navigasi dan komponen sate-lit dari jenis LEO sebagai sistem satelit navigasi yang dapat mengendalikan informasi landasan terbang pada sistem transportasi udara.

Dalam rangka pengembangan jasa penginderaan jauh dalam Repelita VI diharapkan terwujud pelayanan informasi inderaja nasional bagi para pengguna, kemampuan mengolah data multimisi dan sistem informasi geografis, serta kemampuan rancang bangun sistem pengolah data. Juga diharapkan terbentuk jaringan penginderaan jauh antarpengguna. Selain itu, jugs diharapkan tersedia agen penyedia jasa yang mampu melayani kebutuhan nasional, dengan peningkatan sentra kegiatan penginderaan jauh yang memadai. Penyediaan peta dasar rupa bumi berbagai skala diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, dalam industri jasa dirgantara, khususnya pada wahana navigasi diharapkan dapat meningkat kemampuan nasional untuk mendukung sistem navigasi agar mampu memberikan jasa pelayanan kedirgantaraan.

Untuk pemanfaatan energi angin dan surya dalam Repelita VI diharapkan dapat terpenuhi peta angin dan peta insolasi (radiasi matahari), dan tercipta industri yang membuat perangkat keras dan lunak bagi pengembangan energi angin dan surya. Dengan demi­kian, energi surya dan energi angin makin banyak kemungkinannya diterapkan di Indonesia secara lebih ekonomis.

Dalam rangka pengembangan kemampuan prakiraan iklim dan cuaca untuk memberikan jasa pelayanan, diharapkan kemampuan stasiun bumi satelit cuaca akan meningkat. Sementara itu, dalam Repelita VI diharapkan telah dapat dirumuskan pola pemanfaatan ruang dirgantara nasional.

3.    Kebijaksanaan

Kebijaksanaan pembangunan kedirgantaraan dalam Repelita VI pada pokoknya disusun untuk menegakkan kedaulatan atas wilayah dirgantara nasional; mengembangkan potensi industri dirgantara; mencukupi kebutuhan transportasi udara dan menjamin keselamatan penerbangan dan menjamin kelestarian fungsi lingkungan dirgantara.

a.    Menegakkan Kedaulatan atas Wilayah Dirgantara Nasional

Dalam rangka penegakan kedaulatan atas hak wilayah dirgan­tara nasional, ditetapkan kebijaksanaan untuk mengembangkan konsepsi dasar tentang kedirgantaraan untuk ditetapkan sebagai sistem kedirgantaraan nasional dan pola pertahanan keamanan negara dengan cara mendukung perwujudan sistem pertahanan keamanan negara, menyediakan sarana media massa yang efektif untuk membangun kesadaran bangsa akan hak dan kewajiban dalam bela negara; mendukung terwujudnya kekuatan Hankamneg di dirgantara yang mampu menjaga dan mengamankan seluruh udara wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional, serta menyusun peraturan perundang-undangan kedirgantaraan nasional; menerap­kan Undang-Undang No. 15/1992 tentang Penerbangan untuk mewujudkan Wawasan Nusantara yang memandang wilayah      udara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah; mening­katkan partisipasi dan peran serta secara aktif dalam forum interna­sional untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam pengaturan dan memperoleh slot di GSO/LEO dalam rangka memenuhi kebutuhan telekomunikasi dan memecahkan masalah kedirgantaraan lainnya; dan menetapkan penggunaan frekuensi radio secara optimal agar terselenggara pemanfaatan yang tertib dan tidak saling mengganggu, baik secara nasional maupun inter­nasional melalui pemetaan alokasi spektrum frekuensi nasional sebagai pedoman penentuan frekuensi radio di Indonesia, yang meliputi alokasi peruntukan jasa telekomunikasi, antara lain paging, trunking, dan mobile cellular; alokasi peruntukan teleko­munikasi khusus, antara lain radio konsesi, broadcast, amatir radio, komunikasi radio antarpenduduk, serta dinas-dinas lainnya; dan alokasi peruntukan telekomunikasi untuk hankamneg.

b.    Mengembangkan Kemampuan Industri Kedirgantaraan

Untuk mengembangkan potensi berbagai industri dirgantara dan industri jasa dirgantara, kebijaksanaan yang ditempuh adalah menyempurnakan iklim usaha yang memungkinkan peningkatan investasi dalam industri kedirgantaraan melalui deregulasi dan debirokratisasi yang disesuaikan dengan perkembangan pasar; mendorong pengembangan industri utama dirgantara melalui usaha untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja agar dapat dihasilkan produk yang bermutu tinggi dan dapat bersaing di pasar, memantapkan industri kedirgantaraan yang berorientasi ekspor, dan menentukan produk unggulan yang memerlukan perhatian lebih besar dari Pemerintah agar dapat memberikan sebaran kemanfaatan; mengembangkan kemampuan industri pesawat ter-bang termasuk industri mesin dan komponen pesawat terbang untuk dapat bersaing di pasar internasional, melalui peningkatan kemampuan dan kualitas SDM dalam penguasaan iptek kedirganta­raan, serta peningkatan kualitas produk dan jasa di samping peningkatan kerja sama lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Kebijaksanaan berikutnya adalah mendorong pengembangan industri jasa kedirgantaraan melalui usaha untuk menumbuhkan minat pengguna jasa kedirgantaraan dalam negeri, menyempurnakan standardisasi ketepatan dan waktu produk/jasa, dan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana; meningkatkan kualitas SDM kedirgantaraan melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan kedirgantaraan di dalam dan di luar negeri secara inten­sif, terarah, terpadu, agar dapat dihasilkan tenaga profesional yang ahli dan terampil, yang didukung oleh kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi kedirgantaraan, teknik produksi, dan manajemen serta pengembangan sistem, dan penambahan sarana dan prasarana kedirgantaraan. Kebijaksanaan lainnya adalah meningkatkan kemampuan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk perencanaan pembangunan berbagai sektor melalui penyediaan informasi data yang tepat waktu dan akurat dengan menggunakan teknologi baru, seperti radar pada satelit sumber alam dan satelit cuaca yang dapat memberikan hasil yang lebih baik, terutama pada daerah yang tertutup awan; menyebarluaskan data-data hasil pengamatan inderaja kepada pengguna dalam bentuk sistem informasi geografis agar dapat dimanfaatkan dalam menun­jang proses pembangunan; meningkatkan kemampuan pemanfaatan energi surya dan angin untuk dikonversi menjadi energi listrik dan energi mekanik; dan meningkatkan kerja sama internasional kedir­gantaraan guna mempercepat penguasaan dan pemanfaatan iptek dan memacu pertumbuhan yang tinggi pada kemampuan produksi dan teknologi di dalam negeri.


c.    Mencukupi Kebutuhan Transportasi Udara dan Menjamin Keselamatan Penerbangan

Untuk mencukupi kebutuhan transportasi udara dan menjamin keselamatan penanganan lalu lintas udara, diterapkan kebijaksa-naan untuk meningkatkan keteraturan pelayanan, mutu pelayanan dan ketepatan jadwal penerbangan sejalan dengan pengembangan sistem transportasi nasional yang mengandalkan penyediaan angkutan yang saling mendukung dan sesuai dengan pola jaringan penerbangan. Selain itu, juga meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang kelancaran, ketepatan, kecepatan, dan keselamatan pelayanan; mengatur pelaksanaan jalur penggunaan pesawat udara, angkutan udara, ruang udara, bandar udara, keamanan penerbangan, keselamatan penerbangan dan kegiatan lain yang terkait dengan penerbangan; dan menjamin pelaksanaan seluruh kegiatan lalu lintas udara yang beroperasi di dalam dan yang melintasi ruang udara wilayah kedaulatan Indonesia secara aman, lancar, teratur, dan efisien berdasarkan konvensi pener­bangan sipil internasional melalui peningkatan pelayanan dan penambahan fasilitas pokok.

d. Menjamin Kelestarian Fungsi Lingkungan Dirgantara

Dalam rangka menjamin kelestarian fungsi lingkungan dirgan­tara, ditempuh kebijaksanaan untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta segenap lapisan masyarakat dalam mencegah dan mengatasi pencemaran udara dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup dirgantara; meningkatkan pengkajian dan pengembangan teknologi bersih lingkungan melalui penelitian lapisan ozon dan unsur kimia di atmosfer agar tidak merusak lingkungan hidup; meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi instansi yang terkait sejak tahap perencanaan, pelak­sanaan, dan evaluasi, mengembangkan penataan organisasi kedir­gantaraan agar dapat berfungsi lebih baik, serta menyempurnakan berbagai peraturan dan perangkat hukum nasional dan interna­sional; menyusun tata ruang wilayah dirgantara yang serasi dengan laut dan darat; serta menetapkan ketinggian bangunan pada bagian-bagian kota sedemikian rupa agar kelancaran telekomunika­si dan lalu lintas udara tidak terganggu, tidak menghalangi sinar matahari, angin dan sebagainya. Penyusunan rencana atau kaidah penataan ruang udara dilakukan melalui pendekatan yang mencakup aspek sumber daya udara, teknologi angkutan udara, teknologi telekomunikasi, aspek hukum dan kelembagaan, serta aspek pertahanan dan keamanan.


V.   PROGRAM PEMBANGUNAN


Program kedirgantaraan Repelita VI terdiri atas (1) program pengembangan industri dirgantara, (2) program penyediaan jasa kedirgantaraan, (3) program pemanfaatan teknologi dirgantara, dan (4) program pembinaan kedirgantaraan.

1.    Program Pengembangan Industri Dirgantara

Program pengembangan industri dirgantara terdiri atas pengembangan industri dan pengembangan kemampuan kedirganta­raan. Pengembangan industri dirgantara bertujuan memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan nilai ekspor hasil indus­-tri dirgantara serta memperluas kesempatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan menunjang pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Di samping itu, program tersebut juga bertujuan meningkatkan produksi pesawat terbang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk itu, akan dipenuhi kebutuhan sarana transportasi udara domestik dengan produk baru yang makin bermutu dari industri pesawat terbang dalam negeri.

Pengembangan kemampuan kedirgantaraan bertujuan mendo­rong dan meningkatkan potensi bangsa Indonesia dalam menghasil­kan produk yang bermutu untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor agar dapat bersaing dengan produk negara lain. Untuk itu, akan ditingkatkan sarana dan prasarana serta fasilitas pendukung penghasil produk baru dalam satu rangkaian sistem pengembangan kedirgantaraan nasional yang terdiri atas fasilitas pendukung produksi, laboratorium pengembangan, laboratorium penguji termasuk proving ground, dan industri pendukung lainnya yang didukung oleh pengembangan jaringan infrastruktur seperti labora­torium penelitian dan perguruan tinggi. Kemampuan tersebut akan diwujudkan dalam suatu kawasan industri kedirgantaraan yang didukung oleh jaringan komunikasi yang andal.

Pengembangan balon akan dilakukan agar mampu mencapai ketinggian 30 kilometer. Sementara itu, dalam rangka peningkatan kemampuan kegiatan pemantauan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan akan dikembangkan Remotely Piloted Vehicle (RPV) yang mempunyai jarak jangkau 200 kilometer.

Dalam melaksanakan program tersebut juga akan dikembang­kan sekumpulan industri pendukung berupa industri sistem elektro­nika roket, industri propelan padat dan cair, industri komunikasi, industri fiber glass, komposit, serta industri komputer perangkat lunak dalam kesatuan sistem pendukung. Selain itu, akan diupaya­kan pengembangan laboratorium aerodinamika berkecepatan tinggi, laboratorium getaran, fiber optik, teknologi material baru, propelan akuisi dan piroteknik, sistem kendali, elektronika, dan avionik.

2.    Program Penyediaan Jasa Kedirgantaraan

Program penyediaan jasa kedirgantaraan ditujukan untuk mendorong, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan industri jasa kedirgantaraan dalam menghasilkan berbagai produk jasa, antara lain jasa angkutan udara, telekomunikasi, prakiraan cuaca dan iklim serta jasa pemeliharaan. Adapun program penye­diaan jasa kedirgantaraan melalui wahana satelit maupun udara sebagai hasil teknologi penginderaan jauh dimaksudkan untuk dapat menghasilkan berbagai informasi sumber daya alam dan ling­kungan berupa citra (image), sistem informasi geografi, dan peta. Untuk itu, akan ditingkatkan fasilitas penerimaan data di bumi, pemroses data, dan sistem distribusi yang memadai agar dapat menjamin tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu. Program penyediaan jasa industri inderaja melalui wahana udara akan terus ditingkatkan agar mampu memenuhi kebutuhan untuk kegiatan survei dan pemetaan nasional terutama untuk peta dengan skala besar.

Program penyediaan jasa dirgantara termasuk penyediaan peta navigasi penerbangan (aeronautical chart) yang mutakhir untuk keperluan angkutan udara dimaksudkan untuk meningkatkan ke­mampuan fasilitas bandar udara dan menjamin kelancaran dan keselamatan penerbangan. Peta navigasi penerbangan yang selama ini dipakai versi U.S. Defense Agency, seperti Joint Operation Graphic (JOG), Tactical Pilotical Chart (TPC) secara bertahap akan diganti dengan peta navigasi penerbangan versi International Civil Aviation Organization (ICAO). Program pembinaan industri jasa dirgantara dimaksudkan agar industri jasa tersebut mampu bersaing dengan industri sejenis dari luar negeri. Pengembangan jasa untuk telekomunikasi bertujuan meningkatkan kemampuan penyediaan fasilitas komunikasi di berbagai wilayah.

3.         Program Pemanfaatan Teknologi Dirgantara

Program pemanfaatan teknologi dirgantara bertujuan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat khususnya masyarakat di perdesaan dan daerah terpencil dengan menggunakan teknologi dirgantara yang dapat dirasakan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh seluruh masyarakat. Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi pemanfaatan energi angin dan surya, jasa inderaja iklim dan cuaca, penerbangan perintis, pemanfaatan jasa dan pengembangan komunikasi, dan pemanfaatan hujan buatan akan terus ditingkatkan. Selain itu, akan dilaksanakan pemetaan potensi energi angin dan surya, pengadaan sarana dan prasarana, pembangunan instalasi energi alternatif percontohan, pembangunan jaringan informasi kedirgantaraan dan pemasyarakatan, dan pem­buatan model percontohan basil berbagai teknologi kedirgantaraan untuk ditempatkan di berbagai wilayah. Juga dilakukan kegiatan pengendalian pencemaran udara dari gas rumah kaca serta perlin­dungan kelestarian lapisan ozon dan unsur kimia di atmosfer agar tidak merusak fungsi dan kelestarian lingkungan hidup.

4.         Program Pembinaan Kedirgantaraan

Program pembinaan kedirgantaraan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan peran serta masyarakat melalui peningkatan keterpaduan pelaksanaan dan peningkatan pemanfaatan kawasan dirgantara. Program itu meliputi pengem­bangan peraturan perundang-undangan dan pengembangan perang­kat hukum nasional dan internasional dalam rangka penataan ruang dirgantara nasional, penataan kelembagaan, pemasyarakatan kedir-gantaraan, kerja sama internasional, dan pendidikan dan pe-latihan kedirgantaraan.

Kegiatan penataan ruang ditujukan untuk menyeimbangkan pemanfaatan dirgantara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan untuk keperluan pertahanan keamanan. Selain itu, juga akan dikembangkan konsepsi kedirgantaraan nasional. Penataan kelem­bagaan dimaksudkan untuk menyempurnakan hubungan kelemba­gaan dirgantara nasional yang mencakup penyempurnaan organisa­si kedirgantaraan, pengembangan mekanisme dan pelaksanaan koordinasi, keterpaduan, dan evaluasi secara berkesinambungan.
Penyebarluasan informasi kedirgantaraan dimaksudkan untuk membina dan menumbuhkembangkan minat dirgantara serta memasyarakatkan kemajuan pembangunan kedirgantaraan kepada masyarakat melalui pameran, media massa, pendidikan, dan ke­giatan lainnya. Selanjutnya, kerja sama internasional ditujukan untuk dapat mempercepat penguasaan dan pemanfaatan ilmu penge­tahuan dan teknologi kedirgantaraan. Kegiatan itu dilaksanakan melalui bantuan teknik luar negeri, sistem imbal beli, kerja sama pemanfaatan fasilitas kedirgantaraan, dan pertukaran informasi teknologi, serta pendidikan dan pelatihan tenaga dirgantara.

Kegiatan kerja sama internasional dimaksudkan untuk dapat mempercepat pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kedirgantaraan. Di samping itu, pengembangan kerja sama internasional yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan akan terus ditingkatkan. Partisipasi dalam forum internasional diharapkan akan dapat meningkatkan interaksi antarpakar dan dapat memberikan peluang tumbuhnya aktivitas kedirgantaraan.

Pengembangan pendidikan dan pelatihan kedirgantaraan ditu­jukan untuk meningkatkan kualitas SDM dalam kedirgantaraan, se­dangkan minat kecintaan pada kedirgantaraan akan ditumbuhkem­bangkan sejak pendidikan dasar. Di samping itu, akan digiatkan pengenalan teknologi baru kepada masyarakat luas. Untuk itu, akan ditingkatkan dan dikembangkan sarana laboratorium kedirgan­-taraan, ditingkatkan pendidikan tenaga peneliti kedirgantaraan, dirintis pengembangan teknologi perekayasaan dan rancang bangun, dikembangkan teknologi pengolahan dan proses industri dirgantara dengan mutu tinggi, ditingkatkan efisiensi produksi, dan disebarluaskan hasil penelitian kepada masyarakat untuk menum­buhkan sikap budaya ilmiah dalam kedirgantaraan.
D. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN
DALAM REPELITA VI

Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam program-program tersebut, yang merupakan program dalam bidang kelautan dan kedirgantaraan, yang yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar Rp764.430,0 juta. Rencana anggaran pembangunan kelautan dan kedirgantaraan untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 15-1.

Tabel 15—1
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN KEDIRGANTARAAN
Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)
(dalam juta rupiah)
No.
     Kode                               Sektor/Sub Sektor/Program
1994/95
1994/95 — 1998/99
16
SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI


16.4
Sub Sektor Kelautan


16.4.01
Program Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Kelautan
30.961,0
208.740,0
16.4.02
Program Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
55.450,0
367.570,0
16.5
Sub Sektor Kedirgantaraan


16.5.01
Program Pembinaan Kemampuan Kedirgantaraan
14.700,0
95.970,0
16.5.02
Program Pemanfaatan Wahana Dirgantara
14.150,0
92.150,0
383



Tidak ada komentar:

Posting Komentar