Diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat penilaian tugas
Hukum Perkawinan dan
Waris Islam
Oleh :
SENDI NUGRAHA
110110090144
Fakultas Hukum
UNIVERSITAS PADJADJARAN
________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kota Pagar Alam
asal mulanya ialah sebuah kalangan (lokasi pasar) yang didirikan oleh
masyarakat warga sumbai suku alun dua pada tahun 1912. kalangan tersebut persis
di lokasi pasar dempo permai yang ada sekarang ini. Pada waktu itu kalangan
tersebut bernama kalangan tengah.
Pagar Alam adalah sebuah wilayah
yang terletak di lereng gunung dempo yang berhawa sejuk, wilayah ini dilindungi
oleh bukit- bukit, sehingga cocok sekali dengan namanya Pagar Alam artinya
ialah sebuah daerah atau wilayah yang dilindungi atau dipagari oleh alam.
Sebagaimana
perkawinan pada umumnya, maka perkawinan menurut adat di kecamatan Pagar Alam
harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu adanya calon suami- isteri,
peminangan, mahar, saksi dan wali. Sedangkan, pelaksanaan perkawinan di
kecamatan Pagar Alam dilakukan menurut aturan Islam, karena memang masyarakat
di daerah ini mayoritas Agama Islam. Jadi, syarat nikah menurut Islam itu
sendiri memang terlebih dahulu harus dipenuhi, walaupu bagaimanapun bentuk
perkawinan yang ditempuh.
Adapun dari segi bentuk perkawinan
pada masyarakat kecamatan Pagar Alam, terdapat dua bentuk perkawinan menurut
adat, yaitu Perkawinan Bebas dan Perkawinan Ambil Anak.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Faktor Penyebab Perkawinan Ambil Anak
Perkawinan ambil anak, didalam
istilah bahasa asing disebut “ Inlijfhuwelijk”. Secara umum, faktor penyebab
terjadinya “Perkawinan Ambil Anak” di kecamatan Pagar Alam ialah faktor adat
yang menetapkan, bahwa anak perempuan memiliki peranan yang dominan (besar)
bagi seorang anak perempuan (isteri) dalam suatu keluarga. Peranan yang besar
ini dikaitkan dengan pemeliharaan keturunan orang tua dan penguasaan harta
benda peninggalan orang tua. Untuk itu selalu di upayakan, agar si isteri tetap
tinggal di rumah orang tuanya sendiri. Keadaan demikian dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pada
Perkawinan Ambil Anak dengan cara “Di tunakka”
Faktor
penyebab ialah tidak adanya seorang anak perempuan dalam suatu keluarga,
padahal yang domonan dalam suatu keluarga adalah anak perempuan. Oleh karena
itu, keluarga laki- laki mengambil seorang anak perempuan dari keluarga lain,
agar menjadi menantu dan sekaligus memiliki peranan yang besar dalam keluarga
yang baru. Untuk itu, si wanita tadi harus rela melepaskan diri dari orang
tuanya dari segi hubungan pewarisan. Dengan demikian, si isteri terikat dengan
keluarga suaminya.
2. Pada
Perkawinan Ambil Anak dengan cara”Penantian”
Faktor
penyebab ialah adanya seorang anak perempuan dan seorang anak laki- laki dalam
suatu keluarga. Pada perkawinan ini, si isteri untuk sementara waktu harus
berperan penting dalam keluarga dan dalam penguasaan harta benda orang tuanya.
Oleh karena itu, keadaan ini dimungkinkan jika si isteri masih memiliki adik
(saudara) laki- laki yang belum menikah. Selama saudara laki- laki si isteri
itu belum menikah, selama itu pula ia belum boleh keluar dari lingkungan
keluarga orang tuanya. Setelah saudara laki- lakinya itu menikah, barulah ia
boleh melepaskan peranannya yang besar dalam lingkungan keluarga orang tuanya
itu. Untuk selanjutnya, ia bersama suaminya boleh pindah ke tempat lain sesuai
dengan kehendak mereka. Maka peranannya digantikan oleh isteri saudara laki-
lakinya tadi. Dengan demikian, si suami terikat dengan keluarga isterinya untuk
sementara waktu.
3. Pada
Perkawinan Ambil Anak dengan cara”Tunggu Jurai”
Faktor
penyebabnya ialah adanya harta peninggalan dari orang tua yang tidak dapat
dibagi- bagi. Harta peninggalan tersebut harus dimiliki dan dikuasai oleh
seorang anak perempuan. Untuk itu, peranan anak perempuan tetap harus besar,
meskipun ia telah menikah. Ia harus dapat “menunggui” (menjaga dan memelihara)
keturunan dan harta benda peninggalan orang tuanya. Apabila ia telah bersuami,
maka suaminya itu harus tinggal bersamanya dan terikat dengan keluarga pihak
isterinya.
4. Pada
Perkawinan Ambil Anak dengan cara “Semendean”
Faktor
penyebabnya ialah karena si suami dan si isteri mempunyai peranan yang harus
dipegangnya dalam keluarga orang tuanya masing- masing. Oleh karena itu, suami-
isteri tersebut boleh memilih untuk ikut keluarga si suami atau ikut keluarga
si isteri. Keduanya tidak dipaksa untuk terikat pada salah satu keluarga.
Hubungan antara kedua keluarganya bersifat seimbang atau “Semendean”
C. Tata- cara Perkawinan Ambil Anak
Dalam pelaksanaan Perkawinan Ambil
Anak juga dikenal adanya acara “meminang”. Adapun tata- cara meminang pada
Perkawinan Ambil Anak seperti berikut:
Orang tua laki- laki yang ditemani
oleh seorang anggota famili terdekat datang kerumah calon pengantin perempuan.
Kedatangan mereka biasanya dengan membawa “buah tangan” (oleh- oleh), seperti
lemang 10 batang, nasi seibat (sebungkus) dan gulai setuntung (semangkuk)
sebagai tanda meminang. Sesampai di rumah calon pengantin perempuan, orang tua
laki- laki itu menanyakan, apakah telah ada “rasan” (kehendak) atau belum pada
diri si gadis tadi.
Setelah ada “seakuan” (kesepakatan
penerimaan dari kedua belah pihak), maka kedua belah pihak menetapkan
pertunangan dan jangka waktu pertunangan itu. Hal ini ditetapkan, apabila pihak
keluarga laki- laki belum begitu siap. Adakalanya pula karena calon suami dan
orang tuanya belum memiliki uang yang cukup untuk pelaksanaan perkawinan
tersebut.
Dengan telah dilaksanakannnya
peminangan tersebut berarti antara laki- laki dan si gadis sudah memiliki
ikatan adat atau pertunangan.
Pada hari yang disepakati, yaitu
hari perkawinan biasanya diutus beberapa orang tua- tua untuk menjemput
mempelai laki- laki yang selanjutnya diantarkan ke rumah mempelai perempuan.
Setelah sampai di rumah mempelai perempuan, biasanya mempelai laki- laki
dititipkan di rumah salah seorang famili. Sebelum acara aqad nikah diadakan,
biasanya calon mempelai laki- laki diundang untuk makan bersama dirumah sanak
keluarga di dusun tersebut acara ini disebut “pantauan”, setelah itu baru
dilaksanakan upacara perkawinan.
Setelah selesai melaksanakan upacara
perkawinan beikut pestanya, sekitar dua atau tiga hari kemudian, pasangan
pengantin baru itu kembali ke rumah keluarga pengantin laki- laki. Kepergian
pasangan pengantin baru itu diantar oleh seorang bujang dan gadis sembari
membawa lemang, nasi, gulai dan kue- kue. Setelah mereka tiba disana, pihak
keluarga pengantin laki- laki mengadakan sedekah atau syukuran. Acara ini
bertujuan untuk melambangkan bahwa mereka berdua sudah resmi menikah dan
menjadi suami- isteri. Setelah itu mereka berdua tinggal dirumah yang dimiliki
pihak isteri.
D. Akibat Perkawinan Ambil Anak
Adapun akibat dari Perkawinan Ambil
Anak ada dua yaitu :
1. Akibat terhadap pewarisan
Perkawinan Ambil Anak mambawa akibat
terhadap kehidupan keluarga. Dalam Perkawinan Ambil Anak, seorang suami harus
memenuhi segala ketentuan yang berlaku di dusun tempat tinggalnya bersama
isteri yang merupakan tempat tinggal keluarga isterinya. Sebagai mana
dikemukakan, bahwa yang dominan dalam rumah tangga ialah si isteri.
Sebagai akibat dari Perkawinan Ambil
Anak, maka ada sedikit perbedaan peranan antara suami dan isteri. Suami tetap
brkedudukan sebagai kepala keluarga, namun ia tidak begitu dominan dalam
penguasaan harta benda. Sedangkan, isteri juga tetap berperan dalam penguasaan
sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki dan menguasai harta benda
peninggalan orang tua.
Berdasarkan peranan isteri seperti
itu, maka harta benda dalam Perkawinan Ambil Anak semuanya dimiliki oleh
isteri. Meskipun demikian, setelah berumah tangga ada pula harta benda yang
disebut “harta bersama”.kedua macam harta tersebut berbeda dalam hal orang yang
berhak menerimanya sebagai harta warisan. Penjelasan tentang harta tersebut
adalah sebagai berikut :
a.
Harta yang dimiliki oleh isteri
Harta
semacam ini hanya diwariskan kepada anak perempuan yang menunggu atau tinggal
di rumah orang tuanya. Selain dia, menurut adat, tidak berhak menerimanya.
Harta tersebut memang tidak untuk dibagi bagikan, tetapi hanya untuk diambil
manfaatnya.
Pembagian
harta sebagaimana tersebut diatas berbeda dengan pembagian harta menurut ajaran
islam. Adapun menurut ajaran islam, masing- masing ahli waris mendapat bagian
tertentu sesuai dengan ketetapan. Hal ini dijelaskan sebagai berikut :
Artinya
: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu.
Yaitu bagian seorang anak laki- laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing- masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak,
jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagi- bagian tersebut
diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak- anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui lagi Maha Bijaksana.”
(Q. S. An- Nisa’ : 4 )
b.
Harta bersama
Harta ini dapat diwariskan kepada semua
orang yang berhak menerimanya. Jika, suami meninggal, maka yang berhak menerima
warisan ialah isteri, anak- anak, bapak ibu dan ahli waris lainnya. Demikian
pula halnya jika isteri yang meninggal maka yang berhak menerima warisan ialah
suami, anak- anak, bapak, ibu dan ahli waris lainnya.
2. Akibat terhadap hubungan dengan orang tua
Perkawinan Ambil Anak selain
berakibat terhadap pembagian harta waris bagi anak- anak, juga berakibat
terhadap sistem kekeluargaan. Seorang suami atau isteri terlepas hak dan
tanggung jawabnya terhadap keluarga orang tuanya, sehingga berakibat pula
terhadap hak warisnya dari orang tuanya itu. Seorang suami umpamanya, tidak berhak
lagi atas warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Hubungan keluarga antara seorang
anak laki- laki dengan orang tuanya masih tetap berlangsung, walaupun sebagai
akibat dari Perkawinan Ambil Anak yang dilakukannya, ia tidak mempunyai
hubungan yang menyangkut harta waris.
Dari segi tanggung jawab terhadap
orang tua mungkin sekali seorang anak tidak akan dapat memikul secara penuh,
karena ia telah berkeluarga. Meskipun demikian, ia harus tetap berusaha untuk
berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Sedapat mungkin ia
menyempatkan diri untuk berkunjung kepada kedua orang tuanya itu untuk
mengetahui keadaanya. Dari segi ini, tampaknya masih dapat dikatakan sesuai
dengan ajaran islam.
Seorang laki- laki atau perempuan
yang melakukan Perkawinan Ambil Anak tidak mewarisi harta peninggalan orang
tuanya merupakan hal yang tidak sesuai dengan syariat islam. Sedangkan, dalam
Al- Qur’an dinyatakan sebagai berikut :
Artinya : “Orang- orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat)
di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( Q.
S. Al- Anfal : 75 )
Berdasarkan ayat tersebut, keluarga
tetap mendapatkan bagian dari harta peninggalan si mati, asalkan ia memang
merupakan salah seorang ahli warisnya. Sedangkan, seorang anak adalah salah
seorang dari anggota keluarga. Oleh karena itu, bagaimanapun cara perkawinan
yang ditempuhnya, ia tetap berhak atas harta peninggalan orang tuanya, jika
tidak ada penghalang baginya untuk mendapat harta waris.
Dari uraian diatas dapat dipahami,
bahwa pemutusan hubungan pewarisan antara orang tua dan anaknya yang melakukan
Perkawinan Ambil Anak merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan syari’at
islam. Menurut syari’at islam, hubungan waris mawarisi antara orang tua dan
anaknya tetap berlaku dan wajib dilaksanakan. Pengecualian hanya ada, jika
terdapat penghalang bagi salah satu pihak untuk mewarisi harta peninggalan
BAB III
KESIMPULAN
1. Faktor penyebab Perkawinan Ambil Anak di kecamatan
Pagar Alam ialah peranan anak perempuan yang besar yang harus menguasai harta
peninggalan orang tuanya.
2. Akibat Perkawinan Ambil Anak terhadap harta
peninggalan adalah bahwa harta peninggalah sepenuhnya dikuasai anak perempuan.
3. Akibat Perkawinan Ambil Anak terhadap seorang suami
adalah bahwa ia tidak mendapat lagi bagian harta warisan dari orang tuanya.
4. Tata cara perkawinan dalam Perkawinan Ambil Anak tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
5. Pembagian harta warisan dalam Perkawinan Ambil Anak
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, 2002. Fiqh Mawaris, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Wijodiporo, Soerojo, 1995. Pengantar Asas- Asas Hukum
Adat, Toko Gunung Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar