Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Minggu, 05 Mei 2013

Kematian Demokratisasi Sistem Penyiaran Indonesia

Sekitar 15 tahun yang lalu, tatkala Soeharto masih berkuasa, dalam penterjemahan dan penerbitan seri buku (empat jilid) buku yang membahas demokratisasi di dunia, Transitions from Authoritarian Rules, yang ditulis Guillermo O’Donnel dan kawan-kawan. Judul buku itu diterjemahkan ke Indonesia menjadi ‘Transisi Menuju Demokrasi’ (Oleh LP3ES).

Terjemahan itu sebenarnya tidak dengan tepat mewakili judul aslinya. Dalam edisi asli, apa yang disebut sebagai ‘Transisi dari Pemerintahan Otoriter’ tidak dengan sendirinya berupa sebuah pemerintahan demokratis. Kesimpulan utama seri tersebut terangkum dengan sederhana dalam kelimat pertama jilid keempat seri tersebut:
‘’The present volume deals with transitions from authoritarian regime toward an uncertain ’something else’. That ‘something’ can be the insaturation of a poltical democracy or the restoration of a new, and possibly more severe, form of authoritarian rule’’.

Penterjemahannya ke Indonesia dipaksa menjadi ‘Menuju Demokrasi’ karena itu diterbitkan di Indonesia pada 1992, pada saat kelompok-kelompok masyarakat sipil berusaha memperjuangkan demokratisasi. Penerbit LP3ES menganggap, kalau di saat kita sedang giat-giatnya memperjuangkan demokrasi, ternyata muncul buku otoritatif yang menyatakan bahwa berakhirnya pemerintahan otoriter tidak dengan sendirinya melahirkan pemerintah demokratis, tidakkah itu akan menciutkan dukungan atas demokratisasi? Tapi sekarang, apa yang disampaikan O’Donnell dkk sangat relevan dengan keadaan di Indonesia.
Pemerintahan otoriter Soeharto sudah berhasil ditumbangkan, tapi demokrasi – dengan segenap ciri-ciri idealnya – tak kunjung terwujud. O’Donnell mengingatkan bahwa itu sangat bisa terjadi apabila pengawalan terhadap demokratisasi tidak secara konsisten dan gigih terus dilakukan, sementara beragam kelompok kepentingan yang diuntungkan oleh sebuah sistem tidak demokratis terus berusaha membelokkan arah.
Saya sangat percaya bahwa itu yang terjadi dalam dunia penyiaran di Indonesia saat ini. Singkatnya, demokratisasi dalam sistem penyiaran di Indonesia yang dimulai sejak tumbangnya Soeharto saat ini mengalami langkah mundur, akibat upaya yang dilakukan pemerintah dan industri penyiaran sendiri. Dengan kata lain, kita mungkin sedang menyaksikan kembalinya sebuah era di mana pemerintah bersama pemodal besar menentukan apa yang apa yang dapat disaksikan dan didengar oleh rakyat Indonesia melalui pesawat televisi dan radio mereka.
Sebagai media yang paling banyak dikonsumsi seluruh lapisan masyarakat, media televisi dan radio lazim dipandang sebagai salah satu kekuatan yang punya kontribusi dan peran menentukan dalam politik sebuah negara. Dalam Orde Baru, sistem penyiaran ini dikendalikan dengan cara berlapis oleh penguasa. Mekanisme kontrol melibatkan sejumlah sisi.
Pertama, pemerintah berada di jantung sistem penyiaran Indonesia. TVRI dan RRI adalah dua mesin propaganda pemerintah yang mengindoktrinasikan pesan-pesan tunggal bagi masyarakat Indonesia. Ketika di tahun 1970an, TVRI tumbuh menjadi sebuah lembaga penyiaran yang independen dan populer di mata masyarakat, pemerintah dengan segera mengubahnya menjadi sebuah lembaga propaganda keberhasilan pemerintah seraya menyisihkan setiap bentuk suara yang berbeda dengan pandangan pemerintah. Di TVRI dan RRI, tidak ada berita buruk mengenai pemerintah dan pembangunan. Saat pemilihan umum, TVRI dan RRI adalah media propaganda partai berkuasa, Golkar.
Perizinan lembaga penyiaran sepenuhnya dikuasai pemerintah. Radio komersial sudah lahir dan berkembang sejak awal Orde Baru, tapi radio dijadikan apolitik: dilarang membuat dan menyiarkan siaran berita, harus merelay siaran berita RRI, tidak boleh menyajikan muatan politik dan sebagainya. Pemerintah, dengan memanfaatkan asosiasi radio swasta (PRSSNI), menentukan pihak-pihak mana saja yang boleh memperoleh izin siaran radio, di luar pengawasan publik. Putri sulung Suharto sendiri, untuk beberapa tahun, menjadi ketua asosiasi. Secara logis, lisensi siaran radio menjadi komoditas yang menguntungkan banyak pejabat pemerintahan.
Perizinan televisi komersial juga sepenuhnya ditentukan, tidak kurang dari, Presiden Soeharto sendiri. Proses kelahiran lima stasiun televisi komersial pertama sepenuhnya ditentukan oleh sang Presiden, tanpa melibatkan para pembantunya atau wakil rakyat sama sekali. Kendatipun bukan media propaganda pemerintah, stasiun-stasiun televisi komersial juga mengalami proses depolitisasi.
Pengganti Soeharto, BJ Habibie, terkesan membawa angin segar demokratisasi. Namun proses pemberian lisensi bagi lima stasiun televisi berikutnya (1999) juga tidak berlangsung secara terbuka. Secara sangat ironis, salah satu pemegang lisensi (yang adalah kalangan dekat Presiden) dengan segera terbukti tidak memiliki modal memadai untuk menjalankan stasiun televisi, dan hanya dalam waktu satu tahun menjual lisensinya kepada pihak lain.
Kedua, dalam sistem tersebut, frekuensi siaran menjadi dikuasai elit yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Ini terutama sangat kentara terlihat dalam dunia pertelevisian. Dalam skema ‘Persatuan dan Kesatuan’, sistem pertelevisian berpusat di Jakarta, tanpa memberi ruang sedikit pun bagi lembaga penyiaran televisi lokal untuk tumbuh. Potensi daerah untuk mengembangkan stasiun televisi dimatikan. Izin mendirikan stasiun televisi swasta hanya diberikan kepada mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan, melalui sebuah proses perizinan yang tertutup dan berlangsung di Jakarta.
Dalam kondisi itu, stasiun-stasiun televisi Jakarta menentukan agenda setting di seluruh Indonesia. Apa yang dianggap sebagai berita adalah apa yang didefinisikan sebagai berita oleh Jakarta. Budaya Jakarta adalah budaya Indonesia. Jakarta mendominasi seluruh horison pengetahuan rakyat Indonesia. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari bisnis pertelevisian sepenuhnya diserap oleh Jakarta. Pertumbuhan bisnis pertelevisian tidak memiliki sumbangan apapun bagi perkembangan ekonomi daerah, termasuk tidak memberikan lapangan pekerjaan apapun. Bahkan para wiraswastawan lokal yang ingin memanfaatkan media televisi untuk keperluan pemasaran produknya di daerah terbatas harus menyalurkan uang iklan ke stasiun Jakarta.
Ketiga, pemerintah terus melindungi kepentingan stasiun-stasiun televisi di Jakarta dari perkembangan yang merugikan stasiun-stasiun tersebut dengan rangkaian kebijakan yang protektif. Stasiun televisi komersial yang semula dizinkan berdiri sebagai pay-tv dengan jangkauan siaran terbatas, dalam waktu kurang dari satu tahun diizinkan berubah menjadi televisi ’free-to-air’ dalam rangka membantu stasiun tersebut meraih pemasukan iklan lebih besar, dan dalam waktu kurang dari dua tahun diizinkan berubah menjadi stasiun televisi yang dapat melakukan siaran secara nasional.
TVRI sendiri secara konsisten dilarang menjadi pesaing dalam perebutan kue iklan. Kewajiban televisi komersial untuk memberi kontribusi dari pemasukan iklan mereka bagi TVRI tidak pernah dijalankan secara serius. Ketetapan tentang pembatasan porsi iklan dalam stasiun televisi komersial juga tidak pernah dijalankan secara tegas. Bentuk perlindungan terhadap industri tersebut paling eksplisit terlihat saat Soeharto menolak menandatangani RUU Penyiaran 1997 yang dibuat DPR yang memang membatasi jangkauan siaran stasiun televisi komersial dan memberi hak bagi TVRI untuk memperoleh pemasukan iklan.
Amanat Demokratisasi dalam UU Penyiaran 2002
Kejatuhan Soeharto pada 1998 memang nampak memberi angin segar bagi demokratisasi penyiaran Indonesia. Kendati nampak tanpa didasari rencana jangka panjang yang jelas, Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan. Perkembangan yang lebih penting adalah ketika kelompok-kelompok sipil yang kritis terlibat dalam penyusunan UU Penyiaran yang membawa semangat demokratisasi dan desentralisasi penyiaran.
UU Penyiaran yang akhirnya lahir pada 2002 memuat pasal-pasal yang mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Pertama-tama, UU memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia. KPI, menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik..
Bagaimanapun, mengikuti kompromi-kompromi politik yang berlangsung selama proses pembuatannya, UU juga tidak meniadakan sama sekali peran pemerintah. Dalam berbagai bagiannya, UU menetapkan bahwa peraturan-peraturan lebih lanjut harus disusun oleh KPI bersama pemerintah – yang mencerminkan semangat ’win-win solution’. Begitu juga dalam hal perizinan, KPI tidak dibiarkan menatanya sendirian. UU menetapkan keputusan akhir dalam hal perizinan ditentukan bersama oleh KPI dan pemerintah. Adalah jelas bahwa UU Penyiaran 2002 menetapkan bahwa peran pemerintah tetap ada, namun dibuat sedemikian rupa sehingga lebih dalam tujuan agar menjaga jangan KPI menjadi pemegang kekuasaan mutlak.
Kedua, sistem penyiaran televisi tidak lagi berpusat di Jakarta. UU Penyiaran mengusung gagasan desentralisasi penyiaran televisi, di mana tidak lagi dikenal adanya stasiun televisi nasional yang mampu menjangkau penonton di seluruh Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam sistem baru ini, tidak lagi ada stasiun televisi nasional melainkan sistem jaringan televisi secara nasional. Berdasarkan UU ini, stasiun-stasiun televisi lokal di luar Jakarta dapat berdiri, baik sebagai stasiun independen atau menjadi bagian dari jaringan stasiun televisi nasional. Pemodal Jakarta tetap dapat mendirikan stasiun-stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia, namun mereka tidak otomatis memperoleh izin penyiaran di sebuah daeah – yang harus diperebutkan secara terbuka, termasuk dengan pemodal lokal. Di daerah di luar Jakarta, stasiun televisi besar dapat saja mendirikan sendiri stasiun televisi lokal atau memilih mencari mitra stasiun televisi lokal sebagai bagian dari jaringan mereka.
Ketiga, izin penyiaran diberikan melalui proses terbuka dan melibatkan publik. Bila di masa Orde Baru, stasiun televisi dapat memperoleh izin dari para pemegang kekuasaan melalui proses tertutup, menurut UU 2002, izin baru dapat diperoleh melalui proses terbuka yang melibatkan publik. Ada beberapa tahap yang harus dilalui pemohon izin baru ataupun pemohon perpanjangan izin:
1. Pemohon mengajukan proposal ke KPI
2. KPI menyelenggarakan public hearing yang melibatkan publik untuk mendengar penjelasan pemohon
3. Bila dianggap memuaskan, KPI akan mengeluarkan rekomendasi izin
4. Rekomendasi izin itu akan dibicarakan dalam dalam sebuah rapat bersama dengan pemerintah.
5. Forum Bersama KPI-pemerintah mengeluarkan izin. Harus ditekankan bahwa izin siaran televisi itu berlaku hanya untuk daerah terbatas (misalnya terbatas pada Provinsi tertentu), dan bukan untuk wilayah nasional.
Dengan pendekatan baru ini, diharapkan tidak lagi terjadi penjajahan Jakarta atas daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Kedaulatan masyarakat setiap daerah menjadi terjamin, dan sentralisasi dan homogenisasi informasi dapat dicegah.
Keempat, TVRI dan RRI yang semula adalah lembaga penyiaran pemerintah diubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik. Kedua lembaga tersebut ditarik keluar dari jajaran Departemen Penerangan dan tidak berada di bawah kekuasaan Presiden. Menurut UU, TVRI dan RRI seharusnya dipimpin oleh Dewan Direkasi yang dipilih oleh dewan Komisaris yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. TBRI dan RRI diharapkan menjadi media yang ’independen dan netral’ yang melulu menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.
Kelima, UU Penyiaran memperkenalkan kehadiran lembaga penyiaran komunitas (LPK). Sebagaimana tertuang dalam UU terseebut, LPK adalah lembaga penyiaran yang ’’didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.’’ LPK lahir dari gagasan perlunya dibuka ruang bagi inisiatif masyarakat akar rumput untuk memiliki lembaga penyiaran yang melayani kepentingan komunitasnya. Ia adalah semacam lembaga penyiaran publik yang didirikan atas inisiatif masyarakat sendiri – sesuatu yang tidak pernah terbayangkan bisa hadir dalam sistem penyiaran Orde Baru yang senantiasa curiga dengan keberagaman!
Dengan demikian, UU Penyiaran 2002 memang seperti memberi jaminan bagi demokratisasi penyiaran. Pemerintahan dipinggirkan, untuk digantikan oleh lembaga regulasi penyiaran yang mewakili kepentingan publik. Proses perolehan perizinan, yang merupakan jantung penyiaran, dibuat murah, transparan, dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Peluang bagi kolusi penguasa dan pengusaha dipersempit. Media propaganda pemerintah ditutup. Sementara, masyarakat akar rumput diberi peluang untuk mengembangkan media kecil dan murah.
Namun kini, hampir lima tahun setelah UU itu disahkan, tanda-tanda bahwa amanat demokratisasi itu bisa dijalankan ternyata semakin meredup. Pada titik ini, bisa dikatakan, peringatan O’Donnel terbukti benar. Kelahiran UU ternyata tidak dengan serta merta membuat kalangan pro demokrasi dapat bergembira. Masalahnya, pembelokkan bisa setiap saat terjadi – dan ini yang berlangsung secara kasat mata saat ini. Duet kepentingan penguasa-pengusaha kembali mengemuka, dan dengan jelas menghabisi secara bertahap prospek demokratisasi di Indonesia.
Bagaimana Demokratisasi Dibelokkan
Pembelokkan ini dimulai oleh kampanye industri penyiaran untuk menolak pemberlakuan UU Penyiaran yang memang jelas-jelas mengancam kepentingan para pemodal besar. Industri secara kolektif melakukan kampanye hitam atas UU penyiaran 2002, serta mengajukan Judicial Review pada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Penyiaran. Pemerintah juga menunjukkan ketidaknyamanan atas produk UU Penyiaran, yang antara lain ditunjukkan dengan keputusan Presiden Megawati menolak menandatangani pengesahan UU Penyiaran 2002.
Pada 2004, dua keputusan menentukan terjadi. Pertama, Mahkamah Konstitusi, kendatipun tidak mengabulkan sebagian besar permintaan industri, mengeluarkan keputusan yang justru mengembalikan peran pemerintah ke jantung sistem penyiaran Indonesia. Menurut MK, segenap pasal yang menyatakan bahwa regulasi mengenai penyiaran harus disusun oleh KPI dan pemerintah, harus diubah secara mendasar menjadi ’harus disusun oleh pemerintah’ – dan menghilangkan kata ’KPI’ dari pasal-pasal tersebut. Dengan demikian, pemerintah menjadi pihak tunggal yang berhak mengeluarkan peraturan-peratutan lebih jauh mengenai dunia penyiaran. KPI sendiri tetap berhak mengeluarkan peraturan, namun hanya terutama untuk hal-hal yang secara khusus dinyatakan UU Penyiaran melibatkan KPI (misalnya mengenai isi siaran dan perizinan)
KPI sendiri saat itu tidak secara frontal menolak keputusan MK karena menganggap bahwa kalaupun pemerintah yang mengeluarkan regulasi, pemerintah tetap harus tunduk pada ketentuan dan semangat UU Penyiaran 2002. Dalam pandangan KPI, pemerintah tidak akan bermain-main dengan melanggar UU Penyiaran. Industri penyiaran sendiri nampak sangat gembira dengan keputusan MK tersebut – sikap yang mencerminkan preferensi industri penyiaran untuk diatur oleh pemerintah daripada diatur oleh wakil kepentingan publik.
Perkembangan kedua yang menentukan adalah keputusan Presiden SBY yang terpilih melalui pemilu yang sangat demokratis untuk mengembalikan Departemen Penerangan dalam bentuk Departemen Komunikasi dan Informatika. Kendatipun peringatan mengenai kelahiran kembali Departemen penerangan ini cukup keras disuarakan, KPI pun menerapkan ’praduga tak bersalah’ – menyatakan bahwa Departemen ini tidak perlu dengan sendirinya dicurigai dan diberi kesempatan untuk membuktikan kualitas mereka sebagaimana dapat diukur berdasarkan regulasi-regulasi yang dikeluarkannya.
Namun dalam satu tahun saja, terbukti bahwa Depkominfo memang didirikan untuk mengembalikan peran pemerintah dalam mengendalikan sistem penyiaran di Indonesia. Pemerintah mengeluarkan tangkaian Peraturan Pemerintah tentang penyiaran sejak akhir 2005, dan sejak saat itu pula demokratisasi penyiaran mengalami langkah mundur luar biasa. Dengan mengabaikan UU Penyiaran, Menteri Sofyan Djalil kembali menunjuk dirinya sebagai pihak yang dapat memberikan dan mencabut izin. Pemerintah menetapkan bahwa perkembangan lembaga penyiaran swasta sangat bergantung pada sang Menteri. Perubahan direksi lembaga penyiaran harus dilaporkan dan diperiksa oleh Menteri. Wilayah jangkauan siaran ditetapkan oleh Menteri. Wartawan asing harus melapor kepada Menteri. Pemerintah menepati posisi menentukan dalam lembaga penyiaran publik. Pemerintah melarang lembaga penyiaran komunitas menyiarkan siaran berita. Pemerintah melarang relai berita asing. Pemerintah bahkan menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan KPI.
Kendati intervensi secara langsung atas isi siaran tidak lagi dapat dengan leluasa dilakukan, pemerintah terbukti memanfaatkan posisi vital mereka untuk mengarahkan agar stasiun-stasiun televisi tidak berposisi oposisional. Sebuah acara parodi yang kerap mengkarikaturkan pemerintah, BBM, dihentikan di stasiun Indosiar tak lama setelah berlangsung pertemuan antara Wakil Presiden dengan para pemilik stasiun televisi. Ketika program itu beralih format menjadi ’News Dot Com’ di Metro TV, kembali para pembuatnya diancam somasi oleh Menkominfo, dengan alasan ’acara itu secara tidak pantas mengolok-olok Preiden’.
Walau budaya telepon ala Orde Baru udah tidak lagi berlangsung, pemerintah sekarang cenderung menghubungi langsung para pemilik stasiun untuk mengingatkan para profesional yang bekerja untuk mereka untuk tidak membesar-besarkan protes masyarakat terhadap pemerintah.
Rangkaian peraturan yang dikeluarkan pemerintah tersebut bukannya hadir tanpa kritik. Tidak kurang dari DPR sendiri meminta pemerintah mencabut kembali peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UU Penyiaran. Namun Depkominfo nampak cukup percaya diri untuk mengabaikan penolakan tersebut. Dengan KPI, Depkominfo berjanji untuk bersedia duduk bersama untuk mengkoreksi sejumlah isi peraturan yang mungkin bertentangan dengan UU. Namun, sampai saat tulisan ini dibuat, upaya untuk memperbaiki rangkaian Peraturan pemerintah itu tidak pernah terwujud.
Kembalinya pemerintah sebagai pusat pengendali penyiaran juga terbukti memang menjamin kepentingan para pemodal televisi di Jakarta. Dengan rangkaian keputusan yang ia keluarkan dalam dua tahun terakhir, Menkominfo melenggengkan sistem penyiaran televisi yang sentralistis dan dikuasai oleh segelintir pemodal di Jakarta. Seperti disebut di atas, menurut UU Penyiaran, seharusnya tidak ada lagi stasiun televisi nasional yang dapat bersiaran langsung dari Jakarta ke daerah-daerah lain dengan hanya menggunakan stasiun-stasiun relai. Yang diakui menurut UU adalah stasiun berjaringan nasional. Untuk itu penataan perizinan di seluruh daerah harus ditata ulang, karena izin siaran hanya berlaku untuk masing-masing provinsi, bukan untuk siaran nasional. Sebagai konsekuansi logis, setiap stasiun televisi harus mengurus izin baru yang prosesnya berlangsung dari bawah, transparan, melalui KPI, melibatkan publik, di setiap daerah.
Nyatanya Menteri dengan sewenang-wenang mengabaikan amanat UU tersebut. Tahun lalu, Menteri melahirkan keputusan yang menyatakan bahwa seluruh lembaga penyiaran yang sudah ada tidak perlu menjalani proses untuk memperoleh izin baru atau memperpanjang izin sesuai dengan UU Penyiaran 2002. Menurut Menteri, stasiun-stasiun televisi dan radio cukup melapor kepada Menteri dan Menteri dengan sendirinya akan mengeluarkan apa yang disebut sebagai ’Penyesuaian Izin’. Kembali keputusan tentang peta industri penyiaran di Indonesia ditentukan oleh Menteri di Jakarta. Menteri memang sempat menyatakan bahwa izin tersebut mungkin dapat ditinjau ulang bila ada keberatan dari KPI. Namun kemudian kembali terbukti bahwa keberatan KPI sama sekali tidak diperhatikan.
Menteri mengeluarkan keputusan itu saat KPI sedang sibuk menata lisensi penyiaran di seluruh Indonesia. Situasinya menjadi sangat ironis: bila stasiun mengikuti UU, mereka harus menjalani proses perizinan yang memaksa mereka harus bertanggungjawab kepada publik secara transparan; sementara bila mereka memilih proses perizinan ala pemerintah, mereka tinggal menghubungi Menteri, dan tanpa banyak kesulitan akan memperoleh izin yang diperlukan. Bisa dimengerti bila sebagian besar stasiun radio dan televisi yang ada memilih jalan Kominfo. Desentralisasi siaran akibatnya tidak terwujud. Stasiun-stasiun televisi Jakarta dengan leluasa mempertahankan kekuasaan mereka di seluruh Indonesia, tanpa mengembangkan jaringan stasiun yang diwajibkan UU. Pemerintah pun sampai sekarang tidak merasa perlu mengeluarkan keketapan mengenai jaringan stasiun tersebut. Akibatnya stasiun-stasiun televisi lokal yang sudah dengan berani melawan raksasa-raksasa Jakarta secara perlahan kehabisan energi dan bersiap menghadapi kematiannya.
Perubahan format TVRI dan RRI menjadi lembaga penyiaran publik pun tidak terjadi. UU Penyiaran sebenarnya menempatkan TVRI dan RRI di bawah DPR. Tapi Menteri mengeluarkan PP (2005) yang menyatakan bahwa TVRI dan RRI berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. PP itu juga menyatakan Rencana Induk TVRI/RRI harus dilaporkan kepada Menteri sebelum dilaksanakan. Bahkan laporan tahunan TVRI/RRI harus diserahkan kepada Presiden, dengan tembusan diberikan pada DPR (bukan sebaliknya!)
TVRI dan RRI yang semula diniatkan untuk menjadi lembaga penyiaran publik yang independen kembali menjelma menjadi semacam stasiun pemerintah. Direktur Utama TVRI saat ini adalah seorang mantan perwira tinggi TNI yang memiliki posisi dalam inner circle Golkar tanpa latar belakang manajemen pertelevisian. Salah seorang direktur lain adalah inner circle Partai Demokrat. Tatkala terjadi kontroversi kedatangan George Bush ke Indonesia kahir tahun lalu, TVRI menyajikan program satu jam yang memuji kebijakan luar negeri Presiden SBY. Wartawan TVRI sendiri, dalam konferensi pers dengan George Bush, memperkenalkan diri sebagai ’wartawan TVRI, stasiun pemerintah Indonesia’.
Menteri juga melakukan kendali ketat atas lembaga penyiaran komunitas. Dalam PP nya, menteri menyatakan bahwa pendirian LPK di sebuah tempat mensyaratkan adanya persetujuan tertulis aparat pemerintah setingkat kepala desa/lurah setempat. Lebih jauh lagi dinyatakan bahwa setiap perubahan nama, domisili, susunan pengurus, dan/atau anggaran dasar Lembaga Penyiaran Komunitas – yang bisa saja berlokasi di sebuah desa kecil ujung Sulawesi Utara atau Aceh atau Papua — harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Menteri. Puncak paranoia pemerintah ini bahkan terwujud dalam sebuah pasal dalam PP yang menyatakan bahwa muatan siaran yang dapat direlai oleh LPK hanyalah: acara kenegaraan Republik Indonesia, ilmu pengetahuan dan teknologi
Kembali ke Titik Awal
.Bisa dibilang, restorasi sistem penyiaran yang berorientasi pada kepentingan penguasa dan pengusaha besar di Indonesia sedang berlangsung di hadapan mata saat ini. Pemerintah kembali dengan nyaman melarang ini dan melarang itu. Pemerintah kembali membekap perizinan dan dapat membagi-bagikannya hanya kepada mereka yang menunjukkan loyalitas kepada penguasa. Calon-calon televisi lokal dihabisi, apalagi radio dan televisi komunitas. Kewenangan publik untuk mengendalikan siaran ditekan seminimal mungkin.Secara tidak lsngung, isi siaran pun terkena imbas. Selama ini, kritik sudah sangat banyak terdengar bahwa siaran televisi swasta dari Jakarta yang mencapai sebagai besar khalayak Indonesia banyak diisi oleh tayangan-tayangan buruk: seks, kekerasan, kemesuman, kecabulan, kata-kata kotor, sumpah serapah, darah, perkosaan, mistik, gosip, pelecehan agama, gaya hidup konsumtif, dan sebagainya.
Muatan buruk semacam ini terutama tumbuh pesat akibat meningkatnya kompetisi antar stasiun televisi Jakarta yang berlangsung dalam ketiadaan kebijakan penyiaran yang jelas.Undang-undang No. 32 Tahun 2002 mengandung muatan ketetapan yang sebenarnya dapat mencegah kecenderungan buruk tersebut. Menurut UU, izin hanya dapat diperoleh setelah melalui proses yang melibatkan publik. UU Penyiaran menetapkan prosedur pemberian izin yang akan memaksa setiap lembaga penyiaran bertanggungjawab pada publik di setiap daerah, sehingga lembaga penyiaran tidak dapat dengan semena-mena membanjiri ruang publik dengan isi siaran yang buruk.Dengan mekanisme tersebut, lembaga penyiaran terikat untuk menjaga isi siarannya. Salah satu bukti adalah isi siaran stasiun televisi lokal di berbagai daerah yang mengikuti proses perolehan izin sebagaimana ditetapkan dalam UU. Setiap KPI Daerah dapat menegur langsung lembaga penyiaran yang diketahui membawa muatan yang buruk, dan lazimnya teguran tersebut dipatuhi.
Namun dengan pendekatan yang mengabaikan proses tersebut, Pemerintah memberi jalan pintas dan kemudahan bagi lembaga-lembaga penyiaran untuk memperoleh izin, tanpa mensyaratkan lembaga-lembaga penyiaran tersebut untuk bertanggungjawab pada publik. Dengan pola pemberian izin yang sekarang diterapkan Depkominfo, setiap lembaga penyiaran tidak lagi merasa perlu untuk mempertimbangkan perasaan publik. Secara sederhana dapat dikatakan, bagi lembaga penyiaran yang terpenting adalah perasaan sang menteri Kominfo, karena berkat kebaikan hati sang Menteri dan jajarannya izin diperoleh!
Dengan adanya perbedaan mendasar antara pendekatan pemerintah UU Penyiaran 2002, kepastian hukum dalam sistem penyiaran pun menjadi tidak tersedia. Seluruh proses perizinan yang sudah dijalankan sesuai amanat UU Penyiaran menjadi terancam. Nasib ratusan pemohon izin di seluruh Indonesia menjadi tidak menentu. Namun, barangkali ketidakpastian itulah yang menjadi tujuan utama langkah-langkah sang Menteri. Dengan langkah-langkahnya, UU Penyiaran tidak dapat diterapkan secara efektif. Yang ada adalah kekacauan.
Mungkin tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa Depkominfo memang dengan sengaja melakukan ‘pembusukan Undang-undang No. 32 Tahun 2002’, karena pada saat yang sama pemerintah secara perlahan-lahan menyebarkan gagasan bahwa sebenarnya yang salah adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2002 dan karena itu yang diperlukan saat ini adalah revisi Undang-undang No. 32 Tahun 2002.
Saat ini sistem penyiaran Indonesia jelas sedang berada di persimpangan jalan. Saya khawatir yang akan menang adalah kembalinya the authoritarian rule


(Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam diskusi di Yayasan Paramadina, Mei 2007)
SUMBER : http://adearmando.wordpress.com/2007/08/30/kematian-demokratisasi-sistem-penyiaran-indonesia/



1 komentar:

  1. Ditunjau dari aspek manapun hukum di Nusantara ini bagi saya salah satu bangsa batak dari beberapa suku di Nusantara jauh panggang dari api masalah hukum,realita kehidupan hukum di Indonesia model sinetron bukan menjung - jung hukum yang dibuat manusia,hukum yang benar adalah dari tuhan sang pencipta,jadi pakar dari segala pakar dari bumi Nusantara hanya satu baru ada bapak Sukarno Presiden Nusantara selain itu pakar bayaran yang kerjannya duit....duit kuhum semauh dewe.

    BalasHapus