- Pasal 11 ayat (1) dengan Pasal 12
ayat (1) UUJF
Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib
didaftarkan.”
Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pendaftaran jaminan
fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.”
Dari kedua ketentuan ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang didaftarkan bendanya
atau jaminan fidusianya?
Pasal 1 ayat (2), “Jaminan Fidusia adalah hak atas jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
Khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam UUHT yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai
agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.” Kemudian Pasal 1 ayat (4),
“Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak
terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan atau hipotek.”
Selanjutnya dalam Pasal 4, “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari
suatu perjanjian pokok bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu
prestasi.” dan Pasal 5 ayat (1), “Pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dibuat dengan akta …… dan merupakan akta Jaminan Fidusia.”
Apabila dilihat dari pengertian benda yang terdapat pada pasal 1 ayat (4),
bahwa benda yang dapat dijadikan jaminan fidusia dapat benda yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar. Kemudian, jaminan fidusia merupakan perjanjian
ikutan yang tertuang dalam akta jaminan fidusia sebagai agunan bagi pelunasan
uang tertentu. Jaminan fidusia ini menjadi preferen bagi kreditor apabila
jaminan fidusia ini didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini
dikarenakan kedudukan preferen dijamin karena adanya pendaftaran jaminan
fidusia.
Dari pertimbangan di atas, maka menurut saya yang didaftarkan oleh Penerima
Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Jaminan Fidusianya, bukan
bendanya. Sesuai dengan pengertian benda pada pasal 1 ayat (4), benda dalam
jaminan fidusia dapat benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar.
Kemudian dikarenakan jaminan fidusia merupakan perjanjian, maka seperti dalam
praktek bahwa dalam perjanjian memuat klausula-klausula perjanjian. Dalam hal
ini dalam akta Jaminan Fidusia mungkin mengatur mengenai benda yang menjadi
jaminan fidusia. Oleh sebab itu, akta Jaminan fidusia ini perlu didaftarkan
untuk menjamin hak kreditur yang preferen. Secara keseluruhan menurut saya,
jaminan fidusia cakupannya lebih luas, artinya mencakup benda yang menjadi
jaminan fidusia yang sudah tertuang dalam akta Jaminan Fidusia itu
sendiri.
2.
Pasal 15 Ayat (2) dan (3), 29 Ayat
(1) huruf a dengan Pasal 29 Ayat (1) huruf b, c.
Pasal
15 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Sertipikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Pasal
15 Ayat (3) menyatakan bahwa, “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia
mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
kekuasaannya sendiri.”
Pasal
29 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Apabila debitor atau pemberi fidusia cidera
janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dapat
dilakukan dengan cara:
1.
pelaksanaan title eksekutorial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) oleh penerima fidusia;
2.
penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
3.
penjualan di bawah tangan yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Undang-undang
No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF) mengikuti cara eksekusi barang
jaminan yang digunakan oleh UU Hak Tanggungan yaitu memberikan alternatif
eksekusi barang jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang da penjualan di
bawah tangan.[1] Eksekusi jaminan fidusia menurur UUJF sebenarnya hanya
mengenal dua cara eksekusi meskipun perumusannya seakan-akan menganut tiga
cara. Kedua cara tersebut yaitu:
-Melaksanakan
titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang
atas kekuasaan penerima fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi.
Arti parate eksekusi menurut kamus hukum, ialah pelaksanaan yang langsung tanpa
melewati proses (pengadilan atau hakim). Arti parate eksekusi yang diberikan
doktrin adalah kewenangan untuk menjual atas kekuassaan sendiri apa yang
menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu
barang jaminan, tanpa harus minta fiat dari ketua pengadilan.[2] Di sinilah
letak inkonsistensi dari pasal-pasal tersebut di atas, pengertian Parate
Eksekusi di dalam UUJF kurang lebih merupakan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang atau oleh putusan pengadilan oleh salah satu pihak untuk
melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala
pihak yang lainnya cidera janji. Pasal 15 ayat (2) dan (3) dan Pasal 29 ayat
(1) huruf a dinyatakan bahwa sertipiakat jaminan fidusia memiliki title
eksekusi yang memiliki kekuatan hukum tetap yang setara dengan putusan
pengadilan.
Menurut
saya, pelaksanaan title eksekusi ini tidak memerlukan putusan ketua pengadilan
negeri untuk pelaksanaannya, hal ini untuk memudahkan dalam eksekusi barang
yang dijaminkan secara fidusia. Walaupun dalam prakteknya, eksekusi barang
jaminan fidusia tidak dengan mudah dilakukan karena barang yang menjadi jaminan
fidusia dikuasai oleh debitor. Diperlukan tindakan pengambil alihan penguasaan
terlebih dahulu karena pada umumnya barang jaminan fidusia adalah barang
bergerak, berbeda dengan Hak Tanggungan yang perlu pengosongan terlebih dahulu untuk
mengeksekusi.
Namun
kemudian, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b merumuskan bahwa penjualan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui
pelelangan umum. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa, “…….. Dalam
undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan
fidusia melalui lembaga eksekusi.” Jika debitor cidera janji, maka pemegang
jaminan fidusia dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang atas
kekuasaan sendiri (parate eksekusi). Pemahaman dari penjelasan Pasal 15 ayat
(3) terhadap lembaga parate eksekusi, menunjukkan kehendak pembentuk
undang-undang melalui penafsiran otentik untuk mengatur lembaga parate
eksekusi, maksudnya pengaturan lembaga parate eksekusi masuk dalam ranah Hukum
Acara Perdata. Karena eksekusi barang jaminan fidusia dalam UUJF meniru
eksekusi Hak Tanggungan pada UUHT, maka kasus yang dihadapi sama dengan
inkonsistensi Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 9 UUHT. Ada unsur yang sama dalam
eksekusi Hak Tanggungan dengan eksekusi jaminan fidusia, yaitu:
a.
Debitor cidera janji;
b.
Kreditur penerima jaminan mempunyai
hak menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri;
c.
Syarat penjualan pelelangan umum;
d.
Hak kreditur mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan.
Sebelum
ada UUJF, eksekusi barang bergerak yang didikat dengan fidusia pada umumya
tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kuitansi kosong yang
sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitor. Pada waktu yang lalu, mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui
pelelangan umum. Oleh karena itu, seyogyanya eksekusi barang jaminan fidusia
yang telah mempunyai titel eksekusi tidak melalui pelelangan umum. Karena
secara umum, pelelangan umum diperlukan suatu keputusan ketua Pengadilan untuk
melaksanakan lelang. Sehingga menyimpang dari ketentuan titel eksekusi yang
tidak memerlukan campur tangan pengadilan atau hakim dalam pelaksanaan jaminan
fidusia.
-
Menjual objek jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar
kesepakatan pemberi dan penerima jaminan fidusia. Seperti halnya dalam UUHT,
maka UUJF ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa
persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan.
3.
Pasal 17 dengan Pasal 28 UUJF
Pasal 17 menyatakan bahwa, “Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang
terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.”
Penjelasan Pasal 17, “Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor maupun
penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan
fidusia karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada
penerima fidusia.”
Pasal 28 menyatakan bahwa, “Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan
fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu
mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.”
Dari Pasal 28 di atas, secara logika bahwa objek yang menjadi jaminan fidusia
dapat didaftarkan untuk kedua kalinya. Padahal hal ini bertentangan dengan
Pasal 17 yang melarang atas benda yang sama yang menjadi objek jaminan fidusia
lebih dari satu perjanjian. Dalam praktek, banyak terjadi fidusia ulang
terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia. Pasal 17 menjadi bias, karena
dalam prakteknya fidusia ulang dapat dilakukan terhadap benda yang menjadi
jaminan fidusia tergantung kepada nilai kredit dan jaminan yang ditanggung oleh
jaminan fidusia. Misalkan nilai benda yang menjadi jaminan fidusia Rp
100.000.000 (seratus juta rupiah), namun debitor mengajukan kredit dengan
jaminan fidusia Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Sisa nilai benda
ini pada umumnya dapat di fidusiakan ulang untuk memenuhi nilai tersebut. Namun
demikian sesuai ketentuan Pasal 28, maka kreditur yang diutamakan apabila
perjanjian fidusia lebih dari satu adalah perjanjian fidusia yang jaminannya
didaftar terlebih dahulu di Kantor Pendaftaran Fidusia.
_________________________
[1]
Bachtiar Sibarani, Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis
Vol. 11 Tahun 2000, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Hal. 21.
[2]
Ny. Ari S Hutagalung, Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak
Tanggungan di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No. 2
(April-Juni 2008), Jakarta: Badan Penerbit FHUI. Hal. 162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar