Oleh
SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.
BAB I
A.Latar Belakang
Indonesia
belum sepenuhnya merdeka karena secara ekonomi kita masih dijajah oleh
korporatokrasi. Eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam Ind .onesia
oleh pihak asing yang ‘difasilitasi’ oleh para elit yang korup membuat
kesejahteraan sulit tercapai. Bangsa Indonesia tidak akan pernah sejahtera
selama bangsa kita masih kita hibahkan kepada korporatokrasi asing. Selama
pemain asing masih menguasai pengelolaan sumber daya alam Indonesia, keadaan
ekonomi kita akan terus seperti ini. Korporatokrasi merupakan istilah yang
dipakai untuk menjelaskan perusahaan besar berskala global yang mencari
keuntungan sebesar-besarnya[1].
Korporatokarasi, terdiri dari tujuh elemen yaitu[2]:
perusahaan besar, pemerintah, perbankan, militer, kongres atau legislatif,
media massa , dan para intelektual. Ketujuh unsur tersebut yang akhirnya
bersinergi dan menjadi rezim penjajah ekonomi di negara-begara berkembang. Saat
ini ada ratusan kontrak karya yang merugikan bangsa kita yang masih berjalan
dan hal tersebut sangat merugikan. Pemerintah harus tegas dalam berurusan
dengan korporatokrasi.
Korporatokrasi
bukanlah sebuah konspirasi, akan tetapi anggota-anggotanya mendukung nilai dan
sasaran bersama. Salah satu fungsi korporatokrasi yang terpenting adalah
mengabadikan dan secara terus menerus memperluas dan memperkuat sistem
ketergantungan sebuah negara dengan menyajikan model untuk mengkonsumsi[3].
Setiap kesempatan akan dipergunakan untuk menyakinkan suatu bangsa bahwa
membeli berbagai barang adalah salah satu kewajiban sebagai warga negara dan
menjarah bumi adalah tindakan yang baik dilakukan atas nama laju ekonomi dan
hal itu akan memenuhi kepentingan yang lebih tinggi. Economic Hit Man
merupakan sekelompok laki-laki dan perempuan elite yang memanfaatkan organisasi
keuangan international untuk menimbulkan kondisi yang menjadikan bangsa-bangsa
lain tunduk pada corporatocacy. Kondisi tersebut diskenariokan dalam
bentuk pinjaman untuk mengembangkan infrastruktur seperti: pembangkit tenaga
listrik, jalan raya, pelabuhan, bandar udara atau kawasan industri[4].
Salah satu syarat pinjaman adalah: perusahaan kontraktor dari negara Amerika
Serikat-lah yang mesti membangun semua proyek itu. Meskipun faktanya uang itu
dikembalikan kepada korporasi, negara penerima bantuan diharuskan untuk
membayar semuanya kembali, pokok pinjaman beserta bunganya. Jika seorang EHM
berhasil sepenuhnya, pinjaman itu akan sedemikian besarnya sehingga penerima
pinjaman terpaksa mengalami gagal bayar hutang sesudah beberapa tahun dan
seperti mafia, para EHM akan menuntut pembayaran penuh.
Penguasaan
atas sumber daya alam atau BUMN oleh perusahaan-perusahaan swasta asing telah
membuat rakyat kehilangan haknya. Pemanfaatan sumber daya alam seperti minyak
bumi, air dan sebagainya yang menguasai hajat hidup orang banyak telah beralih
ke sebagian kecil orang-orang baik pemilik perusahaan besar maupun para pejabat
yang berkolaborasi dengan pengusaha tersebut. Tak heran jika beberapa dari
kalangan menghendaki negara lebih berperan dalam usaha untuk mensejahterakan
rakyatnya dengan cara menasionalisasi perusahaan-perusahaan negara tersebut.
Korporatokrasi adalah hasil perkawinan antara pengusaha dan penguasa. Mereka
saling ketergantungan satu sama lain karena memiliki motif yang sama dalam
rangka menguasai sumber-sumber pendapatan negara yang semestinya dimanfaatkan
rakyat akan tetapi digunakan untuk mereka sendiri. Di Indonesia sendiri,
praktek korporatokrasi telah ada sejak era VOC. Perusahaan Belanda tersebut
bukan hanya mengeruk sumber daya alam Nusantara, tapi juga mengendalikan
pemerintahan tentu untuk memuluskan langkah penguasaan atas ekonomi. Bahkan
setelah beberapa era seperti Orde lama, Orde baru bahkan era reformasi,
Indonesia masih saja dikuasai oleh korporatokrasi. Bukti terbaru adalah
diserahkannya Blok Cepu oleh Pemerintah kepada ExxonMobile dan bukan kepada
Pertamina.
B. Perumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana
diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini , maka dikemukakan permasalahan
sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
Korporaktokrasi berjalan dan keuntungan apasajakah yang didapat, serta dampak
bagi Negara dunia ketiga?
2.
Bagaimanakah
Korporatokrasi terjadi di Indonesia?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian
ini adalah untuk mengetahui korporatokrasi yang mempengaruhi penyelenggaraan
negara terkait dengan pelaksanaan dan penerapan kebijakan publik di Indonesia.
D.
Kegunaan Penelitian
Kontribusi penelitian adalah manfaat yang didapatkan
dari suatu penelitian, kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah
a) Kegunaan
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan kejahatan
korporatokrasi dan memberikan sumbangan pemikiran tentang persoalan penerapan
dan pelaksanaan kebijakan publik terhadap penyelenggaraan negara.
b) Kegunaan
praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan
menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dalam masalah implementasi kebijakan publik sebagai upaya membangun
tata kelola pemerintahan yang baik.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Corporatocracy,
dalam teori sosial yang fokus pada konflik dan kepentingan-kepentingan yang
bertentangan dalam masyarakat, merupakan suatu sistem pemerintahan yang
melayani kepentingan, dan dapat dijalankan oleh perusahaan dan melibatkan
hubungan antara pemerintah dan bisnis[5]. Korporasi
adalah perusahaan atau badan usaha yang sangat besar, atau beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai sebuah perusahaan besar. Korporasi
merupakan subjek hukum buatan yang memiliki beberapa ciri khusus antara lain:
- Memiliki kedudukan hukum khusus.
- Memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas.
- Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
- Dimiliki oleh pemegang saham, dimana tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Berdasarkan terminologi di atas, nampak bahwa
korporasi didirikan hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan kapital
semata. Seiring dengan berkembangnya sistem globalisasi saat ini, korporasi tak
hanya bergerak di dalam negara tapi sudah bergerak lintas negara, melewati
batas-batas negara. Negara-negara yang terikat dalam pakta-pakta perjanjian
perdagangan bebas (free trade) haruslah membuka selebar-lebarnya pintu
perekonomiannya bagi masuknya investasi asing. Inilah peluang bagi
korporasi-korporasi besar untuk menanamkan modal dan mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya melalui pendirian perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak
sebagai anak perusahaan, bekerja sebagai kaki-tangan berdasarkan komando dari
korporasi tersebut.
Dalam bukunya ‘Confession of an
Economic Hit Man’, John Perkins (2004) menyebut korporatokrasi.
Sebutan ini merujuk kepada sebuah kekaisaran global (global empire) yang
memiliki tiga pilar, korporasi, perbankan, dan pemerintah. Korporatokrasi
pertama kali dipopulerkan oleh John Perkins[6].
Korporatokrasi diartikan sebagai sistem kekuasaan yang dikontrol oleh berbagai
korporasi besar. Sistem ini bertujuan untuk mencari profit sebesar mungkin dan
dengan segala cara. Sistem ini bersifat sangat koruptif dan destruktif. Dimana
yang menjadi tujuan utama adalah mencari profit yang sangat besar. John menegaskan[7], korporatokrasi bukan sebuah
konspirasi, tetapi pilar-pilarnya menjunjung nilai dan tujuan
bersama. Salah satufungsi utama dari korporatokrasi adalah melanggengkan,
memperluas dan memperkuat sistem secara terus-menerus. Nilai dan tujuan
bersama, serta system yang dimaksud tak lain adalah sistem kapitalis. Korporatokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan
oleh beberapa korporat. Para korporat ini biasanya para pengusaha kaya raya
atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan
kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu
negara. Secara praktis biasanya para konglomerat ini merupakan donator atau
penyumbang utama yang menghidupi para politikus, pejabat-pejabat militer dan
kepala-kepala instansi suatu negara. Potensi negatif yang bisa muncul dari
korporatokrasi adalah kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang
diundang-undangkan oleh pemerintah hanya menguntungkan bagi bisnis para konglomerat
saja, sehingga makin menindas golongan ekonomi lemah.
Dalam
tesisnya, Tania Murray Li menjelaskan, bahwa[8]:
“Korporatokrasi adalah wajah baru
yang mengemas dan memodifikasi pola relasi lama sejak jauh sebelum Romawi
dengan kekuatan-kekuatan baru untuk menundukan lawan dengan menggunakan
berbagai peluang kekuasaan yang tersedia. Kekuatan ini akan mengontrol
perolehan sumber daya alam yang sulit dijangkau pengawasan publik bahkan
pengaruhnya justru menggunakan kekuatan otoritas politik suatu negara.
Pemerintah suatu negara justru dipengarui sedemikian rupa agar mendukung ide
dan rancangan yang ditawarkan. Sebagaimana dipaparkan Tania Murray Li, bahwa
program-program kemajuan dari luar yang ditawarkan lewat pemerintah beroperasi
melalui upaya mendidik keingingan, membentuk kebiasaan, aspirasi dan keyakinan.
Program-program tersebut dibuat sedemikian rupa agar mengikuti keinginan
pribadi seseorang, sehingga dia kemudian merasa seolah-olah keinginan yang
terpinzamankan tersebut menjadi bagian dari keinginannya sendiri”.
Tesis Li menunjukan beberapa ironi, antara lain bahwa
ide tentang kemajuan sudah lama dibajak oleh rejim korporatokrasi melalui
perumusan ulang kesadaran warga dengan mengemas gagasan kemajuan seolah-olah identik dengan industri ekstraktif
dan berbagai aktivitas lain yang mengeksploitasi sumber daya alam
sebanyak-banyaknya. Sementara pengelolaan tradisional dianggap kuno dan terlalu
kecil untuk mencapai indikator kemakmuran yang diusung para ahli ekonomi.
Kekuatan utama ide ini masuk melalui pemikiran para birokrat termasuk anggota
wakil rakyat yang dengan tergopoh-gopoh menopang ide ini, agar segera terwujud
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Tidak heran, di lapangan dampak
penerapan ide tersebut sangat luas. Penguasaan sumber daya didistribusikan
dalam jumlah besar kepada konglomerat yang menjanjikan model operasi
pembangunan yang cepat meraih indikator pertumbuhan ekonomi yang terancang.
Menguatnya peran korporasi dalam
perekonomian dunia saat ini merupakan bentuk liberalisme gaya baru atau lebih
dikenal dengan istilah Neo-Liberalisme. Menurut Noam Chomsky[9],
neoliberalisme ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan seperti liberalisasi
perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi
(stabilisasi ekonomi-makro dan privatisasi), pemerintah harus menyingkir dari
menghalangi jalan. Bagi para penganut neoliberal, peran serta negara dan
pemerintah dalam mengontrol sumber daya alam maupun ekonomi haruslah dikurangi
seminimal mungkin agar pasar bebas dan persaingan bebaslah yang dapat leluasa
mengaturnya. Negara juga dituntut untuk melakukan privatisasi dengan menjual
semua perusahaan-perusahaan negara yang mengatur hajat hidup seluruh rakyat,
kepada investor asing. Alih-alih mengembangkan pola kehidupan sosial yamg
mengedepankan kerjasama, paham ini mengedepankan tanggung jawab invidualisme,
dimana setiap individu dituntut untuk selalu berlari dalam suasana berkompetisi
untuk memecahkan masalah mereka seperti masalah kesehatan, pendidikan, jaminan
sosial serta masalah-masalah lainnya dengan usaha dan caranya sendiri.
Kebijakan neoliberal merupakan
prasyarat untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga finansial internasional
seperti IMF dan World Bank. Agar sebuah negara mulus mendapatkan bantuan
keuangan untuk meningkatkan kekuatan ekonominya, maka negara tersebut mau tidak
mau harus memberlakukan kebijakan neoliberal[10].
Korporatokrasi
pada dasarnya merupakan merupakan sebuah system yang terdiri dari berbagai
kumpulan kekuasaan baik yang berada dalam tingkatan nasional maupun
internasional untuk mecapai suatu tujuan kolektif. John Perkins mengunakan
istilah korporatokrasi untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium
global, maka berbagai korporasi global, bank, dan dan pemerintahan bergabung
menyatukan kekuatan financial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia
mengikuti kehendak mereka[11].
Korporatokrasi hadir dalam sebuah system yang tersusun secara sistematis yang
menguasai berbagai unsur politik (kekayaan, militer, media massa dsb) untuk
mengumpulkan dan mengakumulasi sumber daya alam secara terus-menerus.
Pada prinsipnya
korporatokrasi bekerja hampir sama dengan system kapitalisme bekerja. Tetapi
korporatokrasi tidak hanya menggunakan modal yang dimilikinya untuk terus
melakukan pengakumulasian modalnya menjadi lebih banyak, lebih lanjut
korporatokrasi juga menggunakan elemen-elemen lain selain elemen kapitalisme
itu sendiri. Dengan kata lain korporatokrasi merupakan metamorphosis
kapitalisme yang berkembang terus dalam proses dialektika dan seleksi alam yang
menyertainya. Menurut Bapak Amien Rais, korporatokrasi memiliki 7 unsur,
yaitu[12]:
korporasi-korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu, terutama
Amerika dan kaki tangannya; perbankan internasional; kekuatan militer; media
massa; kaum intelektual yang dikooptasi; dan terakhir yang tidak kalah penting
adalah elite nasional Negara-negara berkembang yang bermental inlander,
komprador atau pelayan. Dari 7 elemen korporatokrasi tersebut akan diuraikan
dibawah ini :
1. Korporasi
besar (big corporation)
Korporasi besar saat ini memegang
peranan penting dalam perkembangan pesat korupsi di Indonesia. Korporasi besar
inilah yang menentukan arah kebijakan pemerintah. Pada dasarnya perusahan ini
hanya berusaha untuk mencari untung tanpa pernah melihat dampak yang mungkin
akan muncul akibat praktik jahat tersebut. Pada dasarnya korporasi besar ini
memiliki ambisi untuk menguras kekayaan bumi dan membangun sistem kekuasaan
untuk menciptakan imperium global. Banyak orang yang berpendapat Amerika Serikat
adalah bentuk korporatokrasi yang nyata. Tujuan mutlak korporasi adalah mencari
keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal. Yang primer adalah
keuntungan, yang lainnya sekunder. Dinegara berkembang korporasi meremehkan
pelestarian lingkungan, nyawa manusia dan kerusakan ekologi dijustifikasikan.
Perbedaan yang mencolok antara kejahatan korporasi dan kejahatan biasa. Pertama
kejahatan korporasi adalah membuat undang-undang dengan mendiktekan pemerintah
lewat eksekutif, legislative dan yudikatif. Kedua, kehancuran yang
ditimbulkan korporasi jauh lebih dahsyat. Ketiga, kejahatan korporasi
cenderung menang bila dibawa ke proses hukum. Keempat, banyak hakim dan
jaksa membela korporasi dengan menghindari keadilan. Kelima, lembaga
hukum seperti kepolisian, kehakiman dan kejaksaan tidak memiliki keberanian dan
kemampuan untuk menjangkau kejahatan korporasi. Perusahaan multinasional besar
merupakan bentuk korporasi yang menjadi bagian dari korporatokrasi seperti
Shell, Freeport, Exxon, Chevron Brtish ptrolium, conoco philips, dll.
2.
Pemerintah (goverment western)
Pemerintah yang menjadi bagian
korporatokrasi adalah pemerintah yang menjadi anjing bagi pemerintahan nekolim
Amerika sebagai pemilik korporasi terbesar. Saya tidak mengartikan bahwa
pemerintahan Indonesia saat ini menjadi bagiannya. Namun coba dipikirkan
sejenak ketika kedatangan Bush L.A (La’natullah Alaihi) betapa bodohnya
tindakan pemerintah yang rela mengorbankan warga disekitar kebun raya bogor.
Inilah wujud kedunguan pemerintah yang tunduk pada korporatokrat. Pada
dasarnya, dalam era globalisasi ini banyak pemerintah yang tunduk dengan
kepentingan korporasi ekonomi. Cara paling mudah korporasi dalam menaklukan
pemerintah dengan cara memberikan biaya kampanye. Presiden yang tepilih pasti
membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Ada cara
lain korporasi besar Amerika dalam memegang kendali pemerintah yaitu dengan
langsung menduduki pos kekuasaan yang penting.
3. Perbankan
dan lembaga keuangan internasional (world’s bank)
IMF dan World Bank merupakan lembaga
pencekik leher negara miskin. Negara miskin diberikan bantuan namun dengan
syarat bahwa negara tersebut harus mengamalkan amalan yang diajarkan oleh IMF
dan WB. Tentunya amalan tersebut bukan untuk membangun negara tersebut dan
membebasakan dari keterpurukan. Melainkan justru menambah dalam jurang
kemiskinan di negara tesebut. Belum lagi dengan pemberlakuan bunga yang diluar
akal sehat kita. Karena pada intinya World Bank dan IMF tebentuk lewat
konferensi antara Amerika dan Eropa di akhir PD II. Kedua pilar globalisasi ini
berperan sebagai instrumen untuk membela kapitalisme internasional.WB
memberikan pinjaman jangka panjang pada negara berkembang, sedangkan IMF
memilih negara yang perlu dibantu serta memberikan arahan/tekanan. Rata-rata
pasien IMF sudah tidak mau dipecundangi oleh IMF. Rusia membuang resep IMF
justru semakin maju. China tidak mau membeli artibrase ala WB atau inperialis
lainnya. China mendirikan sendiri lembaga arbitrase yang bernama (CIRTAC).
4. Militer
(military power)
Militer merupakan salah satu
kekuatan penting dalam sebuah negara. Ketika zaman orde baru militer
dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Kesolidan dalam organisasi militer
membuat kita sulit untuk menembus sampai pada jantungnya, yakni para jenderal.
Berkaca pada masa orde baru dimana militer menjadi elemen penting di Indonesia.
Berbagai pos penting dalam pemerintahan diserahkan kepada pihak milter. Militer
yang korup sudah jadi rahasia umum. Pada dasarnya, Pihak militer Amerika
mempeunyai keterkaitan sangat erat dengan lembaga keuangan internasional dan
perusahaan minyak sehingga kepentingan militer identik dengan kepentingan
mereka. Kemauan korporasi adalah meraup uang sebanyak-banayaknya, sementara
elit militer melayani kepentingan korporat. Kompleks militer-industrial
mengejawantah dalam hubungan yang akrab antara pihak yang mengelola perang
serta perusahaan yang memproduksi senjata dan peralatan perang lainnya. Menurut
Michael Klare militer semakin dimanfaatkan untuk lading minyak di luar negeri
dan rute suplay untuk menghubungkan ladang-ladang tersebut. Militer Amerika
hakikatnya mengabdi pada korporasi minya.
5. Media
massa (mass media)
Media masa merupakan pilar ke empat
demokrasi. Ungkapan itu benar apabila media massa mempunyai sikap berupa
keberpihakan kepada masyarakat. Namun kenyataannya saat ini perusahaan media
yang dikuasai oleh konglomerat media ternyata malah mendukung aksi korupsi.
Pemberitaan yang kadang tidak objetif dan cenderung memojokkan lawan politik
dari pemilik media. Pada dasarnya, Pers dan media massa dapat dijadikan andalan
untuk membela kepentingan publik. Namun, hal tersebut tergerus sehingga
akhirnya di Amerika sendiri media massa membentuk publik opnini telah menjadi
alat kepentingan korporasi. Chomsky mengingatkan bahwa pada dasarnya media
massa menyuarakan kepentingan korporasi besar sehingga isi pokok media massa di
Amerika sejatinya adalah propaganda untuk melindungi kepentingan korporasi.
6.
Intelektual yang terkooptasi (kooptik intelektual)
Ternyata kaum terpelajar dan ilmuan
dapat dibeli untuk kepentingan perorangan. Mereka melacurkan intelektualitas
mereka karena rayuan materri. Coba tengok kasus Lapindo, saat itu banyak ilmuan
yang menolak pernyataan bahwa Lapindo menjadi penyebab munculnya semburan
lumpur di sidoarjo. Tidak selamanya kaum intelektual mengabdikan ilmunya kepada
masyarakat. Karena pada hakikatnya mereka manusia yang butuh makan. Orang
“pintar” yang seperti ini sangat merugikan kita karena tingkah mereka. Pada
dasarnya, Kaum intelektual dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu pertama para
intelektual yang mengabdi pada kebenaran, kedua mereka yang menentang
perubahan, ketiga intelektual yang netral tidak melakukan pemihakan.menurut
Edward Said kekuasaan selalu membius kaum intelektual. Di AS kelompok
intelektual yang tergolong neolib tidak semata-mata menjadi intelektual bayaran
tetapi diantara mereka ada yang berhasil masuk ke sel kekuasaan dan banyak
mendiktekan kemauannya pada pemerintah.
7. Elite
politik (national elite)
Negara yang mengalami kemajuan pesat
pada 20-30 tahun belakangan ini adalah negara yang mempunyai pemimpin bermental
bebas, merdeka, berdaulat dan memiliki percaya diri. Mereka berhasil melakukan
dekolonialisasi mental dalam kepemimpinannya. Elite Indonesia sepanjang sejarah
memiliki pemimpin yang bermentalitas merdeka, mandiri, percaya diri dan dapat
melindungi martabat bangsa. Tetapi tidak sedikit pemimpin atau elit bangsa
dengan mudah menggadaikan harga diri, martabat dan kedaulatan bangsa. Mental
inlander nampak dari cara pemerintah dari era reformasi dalam menangani hutan
tropis di negara kita, Nampak pula pada kekuatan keuangan Indonesia bertekuk
lutut dihadapan kekuatan ekonomi global, dan lain-lain. Elit politik merupakan
palang pintu masuknya korporatokrasi. Karena kebijakan negara ditentukan oleh
mereka. Bahkan korupsi terbesar terletak di istana merdeka yang sangat sulit
disentuh, bahkan oleh KPK sekalipun. Menengok sejenak pada kasus aliran dana BI
yang ternyata melibatkan banyak elit politik baik eksekutif maupun legislatif
kita semakin paham bahwa korupsi yang dilakukan para elit politik adalah
korupsi yang sangat berbahaya. Karena berdampak pada stabilitas negara.
Ke tujuh elemen korporatokrasi tersebut sangat jelas
dan dapat kita lihat di negeri ini, Indonesia. Sedangkan, Negara-bangsa
yang mendominasi negara-bangsa lainnya dan menunjukan satu atau lebih ciri-ciri
berikut ini[13]
:
- Mengekspoitasi sumber daya dari negara yang didominasi
- Menguras sumber daya dalam jumlah yang tak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain
- Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakan kebijaksannya ketika upaya halus gagal
- Menyebarkan bahasa, sastra, seni dan berbagai aspek budayanya ke seluruh tempat yang berada di bawah pengaruhnya
- Menarik pajak bukan hanya dari warga sendiri, tapi juga dari orang-orang di negara lain
- Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya
BAB
III
PEMBAHASAN
1. Sistem
Korporaktokrasi, Keuntungan dan Dampak Negatifnya.
A.
Pelaksanaan
dan Penerapan Sistem Korporatokrasi
Unsur-unsur korporatokrasi itu sendiri meliputi 7
unsur. Setiap unsur-unsur itu bekerja erat satu sama lain untuk membentuk suatu
system yang menguntungkan untuk korporatokrasi itu sendiri. Korporasi besar itu
sendiri awalnya hanya bergerak dalam wilayah Negara induknya saja. Tapi setelah
terjadinya over production, mereka melakukan ekspansi dan
eksploitasi ke Negara-negara lain yang mempunyai orientasi awal yaitu akumulasi
keuntungan yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini terjadi pada
Negara-negara yang menjalankan system kapitalisme sebagai system ekonominya.
Contoh yang sangat nyata adalah Amerika Serikat. Didalam system kapitalisme itu
sendiri tidak mengenal adanya batasan nilai, apapun bentuk nilai tersebut.
Satu-satunya nilai yang diakui adalah akumulasi modal itu sendiri.
Korporasi-korporasi besar melakukan penjajahan terhadap
Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan cara melakukan deregulasi
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari Negara-negara
tersebut agar menguntungkan pihak korporasi itu sendiri[14].
Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga perbankan internasional
(khususnya IMF dan World Bank) yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak
pada korporasi-korporasi tersebut. Dengan kata lain, negara-negara dunia ketiga
harus mematuhi kebijakan lembaga internasional tersebut karena terikat pada
suatu perjanjian internasional. Hal ini tentunya sangat merugikan Negara-negara
dunia ketiga karena tidak lain dan tidak bukan lembaga internasional itu
sendiri merupakan bagian dari
korportokrasi global. Penjajahan ini
diperparah oleh elit birokrasi Negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang
bermoral inlander.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jelas-jelas memihak
korporasi tersebut karena pembuat kebijakan itu sendiri sudah tidak tahu siapa
dirinya.
B. Keuntungan
yang didapat oleh Korporatokrasi
Pada dasarnya korporatokrasi itu ada berpusat dari
adanya korporasi-korporasi besar yang ada di dunia. Dengan kekuatan modal yang
mereka punyai, mereka dapat membentuk suatu tatanan baru dunia. Tujuan mutlak
korporasi adalah mencai keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu
minimal3. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih (white
collar crime) di Amerika merugikan Negara sebesar 300-500 miliar dollar per
tahun. Tapi jika diperbandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh
kejahatan biasa sangat menunjukkan perbendaan yang sangat signifikan yaitu
kejahatan biasa hanya 3,8 milyar dollar per tahun[15].
Hal ini merupakan kasus yang sungguh ironis. Belum lagi keuntungan yang didapat
dari pengurasan sumber daya alam dari Negara dunia ketiga yang terikat kontrak
dengan para korporasi-korporasi besar tersebut. Jutaan atau bahkan miliaran
dollar hanya dinikmati oleh
korporasi-korporasi
tersebut.
C. Dampak
bagi Negara Dunia Ketiga
Negara-negara yang paling terkena dampak dari system
eksploitasi seperti ini adalah Negara Dunia Ketiga. Hal ini terjadi karena
sumber daya alam yang ada di Negara tersebut tidak bisa dinikmati oleh
rakyatnya sendiri, melainkan dinikmati oleh korporasi-korporasi tersebut. Kenyataan
ini harus diterima oleh Negara-negara tersebut. Sementara kondisi pendidikan, ekonomi
dan keshatan bagi rakyat Negara dunia ketiga yang memprihatinkan, tapi di sisi
lain keuntungan sumber daya alam yang ada di tanah mereka malah dinikmati oleh
pihak lain. Di Indonesia, kasus yang paling mencolok dan mendapat sorotan media
adalah kasus Freeport. Miliaran dollar dihasilkan oleh tambang-tambang milik
Freeport, tetapi kondisi masyarakat papua sendiri masih dalam kondisi yang
mengenaskan. Hal ini terjadi karena proses penghisapan yang dilakukan oleh para
korporatokrasi itu sendiri didalam wilayah Indonesia yang semakin lama semakin
menancapkan kukunya di bumi pertiwi ini.
2.
Korporatokrasi
di Indonesia
Economic hit
man bekerja
untuk korporatokrasi atau jaringan kerja sama multinational corporations dengan lembaga internasional (Bank Dunia
atau Dana Moneter Internasional), elite negara maju, dan Orde Baru. Jaringan korporatokrasi dimulai saat Bank
Dunia atau IMF menyalurkan pinjaman untuk pembangunan megaproyek di negara
miskin atas rekomendasi fiktif buatan EHM. Kredit cair dengan syarat tender
pembangunan dihadiahkan kepada MNC atau mitra lokal atas restu korporatokrasi.
Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri yang tak akan bisa dilunasi
sampai tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC atau mitra lokal naik setiap tahun
selama proyek dikerjakan. Derita negara itu belum selesai. Selain gagal
menyejahterakan rakyat, negara miskin itu juga tidak mampu membayar utang
sehingga akhirnya ditekan korporatokrasi untuk menjual kekayaan alamnya, misalnya
ladang minyak.
Indonesia kini merupakan salah satu
penganutnya[16]. Hal
tersebut nampak dari kebijakan-kebijakan yang kini berlaku di negara ini
seperti: pemotongan subsidi BBM, privatisasi bank negara, privatisasi PLN,
pemotongan subsidi pendidikan, pengurangan tunjangan kesehatan, privatisasi
perusahaan pertambangan dan perkebunan negara yang dulu merupakan hasil
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno.
Pada masa pemerintahan Soekarno,
gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat[17].
Hal ini berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol
negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri
Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda
berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya,
dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun
1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan
asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring
jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat
nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung
pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian
ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk kembali melirik Indonesia
sebagai lahan basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber
daya manusianya yang murah.
Korporasi mulai memasuki Indonesia
pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai
Penanaman Modal Asing. UU itu telah membatalkan UU No. 86 tahun 1958 mengenai
nasionalisasi perusahaan asing, termasuk perusahaan tambang. UU tersebut
merupakan sebuah legitimasi bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan
modal dan mendirikan usahanya di Indonesia. Sektor pertambangan tercatat
menjadi sektor industri pertama yang paling menarik investasi asing pada masa
awal Orba tersebut. Salah satu perusahaan tambang asing paling tua yang
beroperasi di Indonesia adalah Freeport[18].
Pada bulan juni 1966, tim Freeport
terlebih dahulu berkunjung ke Jakarta untuk memprakarsai pembicaraan mengenai
kontrak eksplorasi pertambangan di Timika, Papua Barat. Pada tanggal 7 April
1967 dikeluarkanlah Kontrak Karya I No. 82/EK/KEP/4 /1967 bagi Freeport agar
bisa melakukan operasi pertambangan di Papua. Ada keanehan dalam terbitnya
kontrak karya untuk Freeport tersebut yang muncul selang 3 bulan dari keluarnya
UU PMA dan 7 bulan lebih awal dari terbitnya UU No. 11 tahun 1967 mengenai
pertambangan. Ditengarai hal tersebut adalah bentuk keterlibatan pihak-pihak
asing dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyusun UU PMA.
Keterlibatan tersebut adalah bentuk persengkongkolan Negara dengan Korporasi,
di sinilah "KORPORATOKRASI" berjalan.
"Korporatokrasi" merupakan bentuk
perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara Korporasi dengan
Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan oleh
pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta korporasi untuk
mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga membutuhkan alat-alat
negara penegak kedaulatan dan keamanan sebagai pelindungnya agar terhindar dari
gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk
keuntungan. Dengan uangnya yang melimpah, korporasi memiliki peluang besar
untuk mengontrol pemerintah.
Kesuksesan Freeport, yang mulai
beroperasi sejak tahun 1971, memicu masuknya perusahaan-perusahaan asing
lainnya[19].
Hingga kini ada empat perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia antara
lain: Freeport Indonesia, Newmont Indonesia, International Nickel Indonesia,
dan Kaltim Prima Coal (KPC). Kini setiap jengkal tanah di Indonesia telah
dikuasai oleh korporasi, baik dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan
Tanaman Industri (HTI), Kontrak Karya Pertambangan, Kuasa Pertambangan, Kontrak
Bagi Hasil Minyak & Gas, Kontrak Bagi Hasil Batubara, dan sebagainya.
Melalui UU No. 25 Tahun 2007
mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah benar-benar membuka jalan bagi
setiap investor, baik asing maupun pribumi, untuk berlomba-lomba menumbuhkan
korporasi-korporasi yang terus menyedot habis energi rakyat. Penghilangan kata
"asing" dalam UU tersebut ditujukan untuk menghilangkan diskriminasi
terhadap modal asing, termasuk menghilangkan seluruh batasan-batasan yang
dianggap mempersulit masuknya modal asing. Tak hanya di bidang pertambangan,
Indonesia juga lahan subur bagi bercokolnya korporasi-korporasi besar lainnya
seperti: General Motors dan Ford (otomotif), Esso, Shell, British Petroleum
(minyak), McDonalds, Kentucky Fried Chicken (makanan cepat saji), AT&T dan
International News Corporation (komunikasi), dan bank-bank utama milik Jepang.
Kini Indonesia adalah gerai bagi korporasi-korporasi besar, dimana sumber daya
alam yang melimpah adalah komoditas yang mahal di pasaran luar negeri,
sementara sumber daya manusianya adalah tenaga kerja yang murah, dan sekaligus
adalah pasar yang sangat konsumtif dan patuh.
Selain uraian di atas, Praktik EHM juga
terjadi di megaproyek PLTU Paiton I dan II yang nilai proyeknya 3,7 miliar
dollar AS. Megaproyek ini tak bermanfaat karena harga listrik yang dihasilkan
60 persen lebih mahal daripada Filipina atau 20 kali lebih mahal daripada AS. Dana
pembangunan Paiton ngutang dari export
credit agencies (ECA) negara-negara maju. Korupsi dimulai ketika 15,75
persen saham megaproyek itu disetor kepada kroni dan keluarga penguasa Orba.
Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari
pembebasan lahan sampai monopoli suplai batubara, dihadiahkan tanpa tender
kepada sejumlah MNC atau mitra lokal. Setelah Pak Harto lengsering keprabon,
baru ketahuan nilai proyek itu terinflasi 72 persen. Pemerintah menegosiasi
ulang Paiton dengan argumen megaproyek itu hasil KKN. Kita selama 30 tahun
harus bayar ganti rugi 8,6 sen dollar AS per kWh, padahal kemampuan kita cuma 2
sen.
Supaya manut, eksekutif ECA itu mengancam akan meminta
G-7 menyatakan Indonesia tukang ngemplang yang tidak layak dapat kredit lagi
dari Bank Dunia atau IMF. Seperti biasa, kita manut. Industri minyak kita juga
diperdayai korporatokrasi melalui perjanjian profit sharing agreement (PSA).
Perjanjian ini bertujuan menghindari nasionalisasi, seperti yang dilakukan PM
Mosaddeq dan Presiden Bolivia Evo Morales. PSA seolah-olah menempatkan kita
sebagai pemilik sah ladang minyak, sementara MNC ”kontraktor” saja. Namun,
praktiknya, MNC mengontrol pengembangan ladang yang mendatangkan profit
berlipat ganda, mirip praktik kolonialisme.
Perjanjian ini ibarat pernikahan
ideal antara kontrak bagi hasil yang secara politis seolah penting bagi kita
sebagai majikan dan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang mendatangkan
profit maksimal. Pemerintah seakan memegang kendali, padahal MNC yang punya
”kedaulatan nasional”. ”Klausul stabilisasi” PSA mengatakan, UU kita tidak berlaku
bagi setiap kegiatan MNC dalam rangka memetik profit. UU tidak bisa jadi
rujukan jika sengketa terjadi—yang berlaku hukum/arbitrase internasional yang
tak kenal UU kita. ”Cerita sukses” PSA ini yang dijual EHM bernama Dan Witt
yang bekerja untuk ECA di AS, International
Tax and Investment Center. Witt, atas nama British Petroleum, Chevron
Texaco, Total, dan Eni SpA, ”menggarap”
Irak.
IMF menyalurkan kredit untuk Irak
sambil menetapkan syarat, termasuk mengurangi subsidi yang membuat harga bahan
bakar minyak (BBM) meroket. Syarat lain, parlemen harus mengesahkan UU
Perminyakan akhir 2006 dan IMF wajib disertakan dalam proses perumusannya. Witt
yang bermodalkan best practices
(senjata gombal Bank Dunia dan IMF) menjadi negosiator antara para pejabat Irak
yang korup, IMF, dan MNC. Dan, semua untung, kecuali rakyat Irak.
Nasib rakyat kita sama dengan rakyat
Irak. Mungkin bukan hanya megaproyek Paiton yang menjebak kita pada
ketergantungan energi. Masih banyak megaproyek lain. Ketergantungan tersebut
semakin mencekam pada saat dunia saat ini mungkin sedang mengalami krisis
minyak. Dan, setiap negara berupaya kuat dengan pertama-tama mempertahankan
kepentingan nasional masing-masing.
BAB
IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Praktik korporatokrasi
dilakukan para korporat di negara-negara berkembang. Terutama di kawasan Asia
Tenggara, Afrika, Amerika Selatan dan Timur Tengah yang tergolong masih
berperekonomian rendah. Dengan dalih membantu perbaikan ekonomi, kucuran dana
besar dialirkan dari Bank Dunia dan IMF untuk negara-negara tersebut. Sementara
perusahaan-perusahaan besar pelaku korporatokrasi sudah berdiri di balik tameng
lembaga-lembaga dunia ini untuk terus mengeruk keuntungan besar bagi perusahaan
dan kedigdayaan negara mereka.
Para
korporat memanfaatkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mulai dari
pendekatan persuasif pada pemimpin negara tertentu, peminjaman modal melalui
lembaga-lembaga dunia, hingga penggulingan kekuasaan di sebuah negara. Pelaku
korporatokrasi ini tak segan juga melakukan pembunuhan terhadap pemimpin suatu
negara yang menurut mereka menghalangi kerja jaringan ini. Negara yang masih
bergantung pada pinjaman asing dan hidup dari investasi pemodal asing akan
rentan diintervensi para investor. Yang berujung pada pembengkakan hutang negara
dan pemisahan taraf hidup masyarakat. Pemerintah harus berpikir bagaimana
menciptakan sistem ekonomi mandiri tanpa campur tangan pihak asing untuk lepas
dari korporatokrasi.
Agenda
mendesak bangsa ini lahir dari ketakutan terhadap nasionalisme sempit yang
dialami oleh banyak masyarakat Indonesia bahkan beberapa pemimpin Indonesia.
Nasionalisme sempit adalah nasionalisme simbolik yang lebih menomorsatukan
prestasi-prestasi di tataran praktis seperti prestasi olahraga. Nasionalisme
dapat menjadikan negara kita kokoh dan menjadi mandiri serta bisa bertahan
terhadap arus negatif pergaulan dunia. Korporatokrasi sendiri berarti sistem
atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global
yang memiliki 7 unsur, yaitu:
korporasi-korporasi besar;kekuatan politik pemerintah tertentu, terutama
Amerika dan kaki tangannya;perbankan nasional;kekuatan militer;media massa;kaum
intelektual yang dikooptasi; dan terakhir, yang tidak kalah penting adalah
elite nasional negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador,
atau pelayan.
Semua
unsur yang tersebut di atas yang meliputi korporatokrasi sejatinya adalah
syarat bagi terjadinya mega korupsi yaitu korupsi yang menyandera negara (State
Capture Corruption). Dan menurut buku ini,Indonesia sedang melakukannya.
Beberapa indikasinya ialah ketergantungan kita terhadap IMF, WTO, dan bank
dunia, serta kepatuhan berlebihan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional
yang ada. Bahkan terhadap beberapa korporasi seperti Freeport kita tidak dapat
berbuat apa-apa. Perlakuan IMF, WTO, Bank Dunia, serta korporasi terhadap
bangsa Indonesia menyebabkan banyaknya kasus-kasus korupsi adalah sikap
inlander. Sebuah sikap tercela yang mencederai kehormatan bangsa Indonesia.
Sikap tersebut terjadi akibat terlalu mementingkan pribadi ataupun kelompok.
Indonesia
sudah sangat lama dalam cengkraman korporatokrasi global. Sejak jaman Orde
Baru, investor-investor asing masuk dengan pengesahan UU dari DPR. Harus
dilihat bahwa sebenarnya masalah di Indonesia terjadi karena elite birokratnya lupa siapa sebenarnya mereka.
Hal ini menjadikan keputusan yang dibuat tidak berdasar pada kepentingan rakyat
Indonesia sendiri, melainkan untuk kepentingan korporasi asing. Indonesia
sendiri dijarah, kekayaannya dihisap habis, potensinya dilemahkan, posisi
tawarnya di hadapan lembaga international menjadi tak berharga, rakyatnya
dimiskinkan, dan hanya menguntungkan segelintir orang yang menjadi perantara
jaringan hitam ini.
2.
Saran
Solusi yang
dapat dilakukan untuk permasalahan korporatokrasi di Indonesia yaitu para
pemimpin harus melakukan kajian ulang terhadap:
1. perlu
adanya kepemimpinan alternatif yang bebas, merdeka, dan mandiri
- perlu adanya pemimpin muda yang memiliki wawasan nasional dan Internasional
- perlu adanya pemahaman bahwa kekuasaan adalah amanat rakyat yang harus dilaksanakan secara bijaksana
- perlu adanya kesetaraan, kesedarajatan, dan kesejajaran dalam berhubungan dengan negara lain
- perlu adanya sikap dari pemimpinuntuk keluar dari korupsi yang menyandera negara
Dan beberapa solusi tersebut sangat
bagus dan bisa membuka mata kita terhadap keadaan Indonesia serta dapat
menghilangkan sikap apatis terhadap kemajuan negara kita tercinta. Bung Karno
sendiri pernah berkata, "Pekerjaanku mudah karena melawan penjajah,
sedangkan pekerjaan kalian malah lebih sulit karena melawan bangsa
sendiri". Sebuah perkataan yang membakar semangat nasionalisme kita untuk
bisa bertahan dari neokolonialisme.
[1]http://images.ekonomiislam.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SMs2QQoKCkUAAFPMzME1/PG78_Amien_Rais_Selamatkan_Indonesia.pdf?key=ekonomiislam:journal:32&nmid=115220949
. Diunduh hari Jumat, 27 Juli 2012. Pukul 15.48
[2]
http://www.muhammadiyah.or.id/news-77-detail-amien-rais-inginkan-kpk-bongkar-korupsi-korporatokrasi.html
. Diunduh hari Kamis, 26 Juli 2012. Pukul 22.09
[3]http://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=31103198&url=9fcf1df56b0049e97ba215ebf0962f6e
. Diunduh hari Jumat, 27 Juli 2012. Pukul 16.34
[4]
http://blog.umy.ac.id/paraphrase/2010/11/21/indonesia-dalam-cengkraman-korporatokrasi-global/
. Diunduh hari Sabtu, 28 Juli 2012. Pukul 23.05
[5]
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21424/pembaruan-agraria-isu-yang-dilupakan-para-caleg
. Diunduh
hari Sabtu, 28 Juli 2012. Pukul 23.17
[6] John Perkins, Confessions
of an Economic Hit Man, Abdi Tandur, Jakarta, 2005. Hlm 1.
[8] Tania Murray Li, 2007, The Will to Improve: Governmentality,
Development and the Practice of Politics, Duke University Press
[9]
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul36_2.htm
. Diunduh hari Jumat, 27 Juli 2012. Pukul 15.54
[10]
Ibid
[11] Amien Rais “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia”
PPSK Press, Yogyakarta. Hal. 81 yang dikuti dari bukunya John Perkins, Confesions
of an Economic Hit Man, London, Penguin Books Ltd, 2006.
[12] Ibid., hal. 83.
[13]
http://www.scribd.com/doc/38086643/KORPORATOKRASI
. Diunduh hari Jumat, 27 Juli 2012. Pukul 16.04
[14] Amien Rais, Op.cit, hlm 82.
[16] Budiarto Shambazy, Tanya pada Rumput yang Bergoyang, Wartawan Senior Kompas SUMBER :
KOMPAS, 21 April 2012
[17] Ibid
[19] Ibid
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Literatur:
Amien
Rais, “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan
Indonesia” PPSK Press, Yogyakarta. Hal. 81 yang dikuti dari bukunya John
Perkins, Confesions of an Economic Hit Man, London, Penguin Books Ltd,
2006.
John
Perkins, Confessions of an Economic Hit
Man, Abdi Tandur, Jakarta, 2005
Tania Murray Li, 2007, The Will to Improve: Governmentality,
Development and the Practice of Politics, Duke University Press. 2007.
Surat
Kabar/Media Massa:
_______Budiarto
Shambazy, Tanya pada Rumput yang
Bergoyang, Wartawan Senior Kompas
SUMBER : KOMPAS, 21 April 2012.
_______Tony .P, Perusahaan Tambang Asing, Wartawan Senior Kompas. SUMBER :
KOMPAS, 21 Mei 2010.
Website:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar