Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Minggu, 05 Mei 2013

KORPORATOKRASI MEMPENGARUHI PROSES PENYELENGGARAAN NEGARA TERKAIT DENGAN PELAKSANAAN DAN PENERAPAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA

Oleh
 SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena secara ekonomi kita masih dijajah oleh korporatokrasi. Eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam Ind .onesia oleh pihak asing yang ‘difasilitasi’ oleh para elit yang korup membuat kesejahteraan sulit tercapai. Bangsa Indonesia tidak akan pernah sejahtera selama bangsa kita masih kita hibahkan kepada korporatokrasi asing. Selama pemain asing masih menguasai pengelolaan sumber daya alam Indonesia, keadaan ekonomi kita akan terus seperti ini. Korporatokrasi merupakan istilah yang dipakai untuk menjelaskan perusahaan besar berskala global yang mencari keuntungan sebesar-besarnya[1].
Korporatokarasi, terdiri dari tujuh elemen yaitu[2]: perusahaan besar, pemerintah, perbankan, militer, kongres atau legislatif, media massa , dan para intelektual. Ketujuh unsur tersebut yang akhirnya bersinergi dan menjadi rezim penjajah ekonomi di negara-begara berkembang. Saat ini ada ratusan kontrak karya yang merugikan bangsa kita yang masih berjalan dan hal tersebut sangat merugikan. Pemerintah harus tegas dalam berurusan dengan korporatokrasi.
Korporatokrasi bukanlah sebuah konspirasi, akan tetapi anggota-anggotanya mendukung nilai dan sasaran bersama. Salah satu fungsi korporatokrasi yang terpenting adalah mengabadikan dan secara terus menerus memperluas dan memperkuat sistem ketergantungan sebuah negara dengan menyajikan model untuk mengkonsumsi[3]. Setiap kesempatan akan dipergunakan untuk menyakinkan  suatu bangsa bahwa membeli berbagai barang adalah salah satu kewajiban sebagai warga negara dan menjarah bumi adalah tindakan yang baik dilakukan atas nama laju ekonomi dan hal itu akan memenuhi kepentingan yang lebih tinggi. Economic Hit Man merupakan sekelompok laki-laki dan perempuan elite yang memanfaatkan organisasi keuangan international untuk menimbulkan kondisi yang menjadikan bangsa-bangsa lain tunduk pada corporatocacy. Kondisi tersebut diskenariokan dalam bentuk pinjaman untuk mengembangkan infrastruktur seperti: pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, bandar udara atau kawasan industri[4]. Salah satu syarat pinjaman adalah: perusahaan kontraktor dari negara Amerika Serikat-lah yang mesti membangun semua proyek itu. Meskipun faktanya uang itu dikembalikan kepada korporasi, negara penerima bantuan diharuskan untuk membayar semuanya kembali, pokok pinjaman beserta bunganya. Jika seorang EHM berhasil sepenuhnya, pinjaman itu akan sedemikian besarnya sehingga penerima pinjaman terpaksa mengalami gagal bayar hutang sesudah beberapa tahun dan seperti mafia, para EHM akan menuntut pembayaran penuh.
Penguasaan atas sumber daya alam atau BUMN oleh perusahaan-perusahaan swasta asing telah membuat rakyat kehilangan haknya. Pemanfaatan sumber daya alam seperti minyak bumi, air dan sebagainya yang menguasai hajat hidup orang banyak telah beralih ke sebagian kecil orang-orang baik pemilik perusahaan besar maupun para pejabat yang berkolaborasi dengan pengusaha tersebut. Tak heran jika beberapa dari kalangan menghendaki negara lebih berperan dalam usaha untuk mensejahterakan rakyatnya dengan cara menasionalisasi perusahaan-perusahaan negara tersebut. Korporatokrasi adalah hasil perkawinan antara pengusaha dan penguasa. Mereka saling ketergantungan satu sama lain karena memiliki motif yang sama dalam rangka menguasai sumber-sumber pendapatan negara yang semestinya dimanfaatkan rakyat akan tetapi digunakan untuk mereka sendiri. Di Indonesia sendiri, praktek korporatokrasi telah ada sejak era VOC. Perusahaan Belanda tersebut bukan hanya mengeruk sumber daya alam Nusantara, tapi juga mengendalikan pemerintahan tentu untuk memuluskan langkah penguasaan atas ekonomi. Bahkan setelah beberapa era seperti Orde lama, Orde baru bahkan era reformasi, Indonesia masih saja dikuasai oleh korporatokrasi. Bukti terbaru adalah diserahkannya Blok Cepu oleh Pemerintah kepada ExxonMobile dan bukan kepada Pertamina.

B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini , maka dikemukakan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Korporaktokrasi berjalan dan keuntungan apasajakah yang didapat, serta dampak bagi Negara dunia ketiga?
2.      Bagaimanakah Korporatokrasi terjadi di Indonesia?


C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui korporatokrasi yang mempengaruhi penyelenggaraan negara terkait dengan pelaksanaan dan penerapan kebijakan publik di Indonesia.


D. Kegunaan Penelitian
Kontribusi penelitian adalah manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian, kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah
a)      Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan kejahatan korporatokrasi dan memberikan sumbangan pemikiran tentang persoalan penerapan dan pelaksanaan kebijakan publik terhadap penyelenggaraan negara.
b)      Kegunaan praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam masalah implementasi kebijakan publik sebagai upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik.
























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Corporatocracy, dalam teori sosial yang fokus pada konflik dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan dalam masyarakat, merupakan suatu sistem pemerintahan yang melayani kepentingan, dan dapat dijalankan oleh perusahaan dan melibatkan hubungan antara pemerintah dan bisnis[5]. Korporasi adalah perusahaan atau badan usaha yang sangat besar, atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai sebuah perusahaan besar. Korporasi merupakan subjek hukum buatan yang memiliki beberapa ciri khusus antara lain:
  1. Memiliki kedudukan hukum khusus.
  2. Memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas.
  3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
  4. Dimiliki oleh pemegang saham, dimana tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Berdasarkan terminologi di atas, nampak bahwa korporasi didirikan hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan kapital semata. Seiring dengan berkembangnya sistem globalisasi saat ini, korporasi tak hanya bergerak di dalam negara tapi sudah bergerak lintas negara, melewati batas-batas negara. Negara-negara yang terikat dalam pakta-pakta perjanjian perdagangan bebas (free trade) haruslah membuka selebar-lebarnya pintu perekonomiannya bagi masuknya investasi asing. Inilah peluang bagi korporasi-korporasi besar untuk menanamkan modal dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui pendirian perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak sebagai anak perusahaan, bekerja sebagai kaki-tangan berdasarkan komando dari korporasi tersebut.
Dalam bukunya ‘Confession of an Economic Hit Man’, John Perkins (2004) menyebut korporatokrasi. Sebutan ini merujuk kepada sebuah kekaisaran global (global empire) yang memiliki tiga pilar, korporasi, perbankan, dan pemerintah. Korporatokrasi pertama kali dipopulerkan oleh John Perkins[6]. Korporatokrasi diartikan sebagai sistem kekuasaan yang dikontrol oleh berbagai korporasi besar. Sistem ini bertujuan untuk mencari profit sebesar mungkin dan dengan segala cara. Sistem ini bersifat sangat koruptif dan destruktif. Dimana yang menjadi tujuan utama adalah mencari profit yang sangat besar. John menegaskan[7], korporatokrasi bukan sebuah konspirasi, tetapi pilar-pilarnya menjunjung nilai dan tujuan bersama. Salah satufungsi utama dari korporatokrasi adalah melanggengkan, memperluas dan memperkuat sistem secara terus-menerus. Nilai dan tujuan bersama, serta system yang dimaksud tak lain adalah sistem kapitalis. Korporatokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan oleh beberapa korporat. Para korporat ini biasanya para pengusaha kaya raya atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu negara. Secara praktis biasanya para konglomerat ini merupakan donator atau penyumbang utama yang menghidupi para politikus, pejabat-pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara. Potensi negatif yang bisa muncul dari korporatokrasi adalah kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang diundang-undangkan oleh pemerintah hanya menguntungkan bagi bisnis para konglomerat saja, sehingga makin menindas golongan ekonomi lemah.

Dalam tesisnya, Tania Murray Li menjelaskan, bahwa[8]:

“Korporatokrasi adalah wajah baru yang mengemas dan memodifikasi pola relasi lama sejak jauh sebelum Romawi dengan kekuatan-kekuatan baru untuk menundukan lawan dengan menggunakan berbagai peluang kekuasaan yang tersedia. Kekuatan ini akan mengontrol perolehan sumber daya alam yang sulit dijangkau pengawasan publik bahkan pengaruhnya justru menggunakan kekuatan otoritas politik suatu negara. Pemerintah suatu negara justru dipengarui sedemikian rupa agar mendukung ide dan rancangan yang ditawarkan. Sebagaimana dipaparkan Tania Murray Li, bahwa program-program kemajuan dari luar yang ditawarkan lewat pemerintah beroperasi melalui upaya mendidik keingingan, membentuk kebiasaan, aspirasi dan keyakinan. Program-program tersebut dibuat sedemikian rupa agar mengikuti keinginan pribadi seseorang, sehingga dia kemudian merasa seolah-olah keinginan yang terpinzamankan tersebut menjadi bagian dari keinginannya sendiri”.

Tesis Li menunjukan beberapa ironi, antara lain bahwa ide tentang kemajuan sudah lama dibajak oleh rejim korporatokrasi melalui perumusan ulang kesadaran warga dengan mengemas gagasan  kemajuan seolah-olah identik dengan industri ekstraktif dan berbagai aktivitas lain yang mengeksploitasi sumber daya alam sebanyak-banyaknya. Sementara pengelolaan tradisional dianggap kuno dan terlalu kecil untuk mencapai indikator kemakmuran yang diusung para ahli ekonomi. Kekuatan utama ide ini masuk melalui pemikiran para birokrat termasuk anggota wakil rakyat yang dengan tergopoh-gopoh menopang ide ini, agar segera terwujud dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Tidak heran, di lapangan dampak penerapan ide tersebut sangat luas. Penguasaan sumber daya didistribusikan dalam jumlah besar kepada konglomerat yang menjanjikan model operasi pembangunan yang cepat meraih indikator pertumbuhan ekonomi yang terancang.
Menguatnya peran korporasi dalam perekonomian dunia saat ini merupakan bentuk liberalisme gaya baru atau lebih dikenal dengan istilah Neo-Liberalisme. Menurut Noam Chomsky[9], neoliberalisme ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan seperti liberalisasi perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi (stabilisasi ekonomi-makro dan privatisasi), pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan. Bagi para penganut neoliberal, peran serta negara dan pemerintah dalam mengontrol sumber daya alam maupun ekonomi haruslah dikurangi seminimal mungkin agar pasar bebas dan persaingan bebaslah yang dapat leluasa mengaturnya. Negara juga dituntut untuk melakukan privatisasi dengan menjual semua perusahaan-perusahaan negara yang mengatur hajat hidup seluruh rakyat, kepada investor asing. Alih-alih mengembangkan pola kehidupan sosial yamg mengedepankan kerjasama, paham ini mengedepankan tanggung jawab invidualisme, dimana setiap individu dituntut untuk selalu berlari dalam suasana berkompetisi untuk memecahkan masalah mereka seperti masalah kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah-masalah lainnya dengan usaha dan caranya sendiri.
Kebijakan neoliberal merupakan prasyarat untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga finansial internasional seperti IMF dan World Bank. Agar sebuah negara mulus mendapatkan bantuan keuangan untuk meningkatkan kekuatan ekonominya, maka negara tersebut mau tidak mau harus memberlakukan kebijakan neoliberal[10].
Korporatokrasi pada dasarnya merupakan merupakan sebuah system yang terdiri dari berbagai kumpulan kekuasaan baik yang berada dalam tingkatan nasional maupun internasional untuk mecapai suatu tujuan kolektif. John Perkins mengunakan istilah korporatokrasi untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai korporasi global, bank, dan dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan financial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka[11]. Korporatokrasi hadir dalam sebuah system yang tersusun secara sistematis yang menguasai berbagai unsur politik (kekayaan, militer, media massa dsb) untuk mengumpulkan dan mengakumulasi sumber daya alam secara terus-menerus.
Pada prinsipnya korporatokrasi bekerja hampir sama dengan system kapitalisme bekerja. Tetapi korporatokrasi tidak hanya menggunakan modal yang dimilikinya untuk terus melakukan pengakumulasian modalnya menjadi lebih banyak, lebih lanjut korporatokrasi juga menggunakan elemen-elemen lain selain elemen kapitalisme itu sendiri. Dengan kata lain korporatokrasi merupakan metamorphosis kapitalisme yang berkembang terus dalam proses dialektika dan seleksi alam yang menyertainya. Menurut Bapak Amien Rais, korporatokrasi memiliki 7 unsur, yaitu[12]: korporasi-korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu, terutama Amerika dan kaki tangannya; perbankan internasional; kekuatan militer; media massa; kaum intelektual yang dikooptasi; dan terakhir yang tidak kalah penting adalah elite nasional Negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan. Dari 7 elemen korporatokrasi tersebut akan diuraikan dibawah ini :

1. Korporasi besar (big corporation)
Korporasi besar saat ini memegang peranan penting dalam perkembangan pesat korupsi di Indonesia. Korporasi besar inilah yang menentukan arah kebijakan pemerintah. Pada dasarnya perusahan ini hanya berusaha untuk mencari untung tanpa pernah melihat dampak yang mungkin akan muncul akibat praktik jahat tersebut. Pada dasarnya korporasi besar ini memiliki ambisi untuk menguras kekayaan bumi dan membangun sistem kekuasaan untuk menciptakan imperium global. Banyak orang yang berpendapat Amerika Serikat adalah bentuk korporatokrasi yang nyata. Tujuan mutlak korporasi adalah mencari keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal. Yang primer adalah keuntungan, yang lainnya sekunder. Dinegara berkembang korporasi meremehkan pelestarian lingkungan, nyawa manusia dan kerusakan ekologi dijustifikasikan. Perbedaan yang mencolok antara kejahatan korporasi dan kejahatan biasa. Pertama kejahatan korporasi adalah membuat undang-undang dengan mendiktekan pemerintah lewat eksekutif, legislative dan yudikatif. Kedua, kehancuran yang ditimbulkan korporasi jauh lebih dahsyat. Ketiga, kejahatan korporasi cenderung menang bila dibawa ke proses hukum. Keempat, banyak hakim dan jaksa membela korporasi dengan menghindari keadilan. Kelima, lembaga hukum seperti kepolisian, kehakiman dan kejaksaan tidak memiliki keberanian dan kemampuan untuk menjangkau kejahatan korporasi. Perusahaan multinasional besar merupakan bentuk korporasi yang menjadi bagian dari korporatokrasi seperti Shell, Freeport, Exxon, Chevron Brtish ptrolium, conoco philips, dll.

2. Pemerintah (goverment western)
Pemerintah yang menjadi bagian korporatokrasi adalah pemerintah yang menjadi anjing bagi pemerintahan nekolim Amerika sebagai pemilik korporasi terbesar. Saya tidak mengartikan bahwa pemerintahan Indonesia saat ini menjadi bagiannya. Namun coba dipikirkan sejenak ketika kedatangan Bush L.A (La’natullah Alaihi) betapa bodohnya tindakan pemerintah yang rela mengorbankan warga disekitar kebun raya bogor. Inilah wujud kedunguan pemerintah yang tunduk pada korporatokrat. Pada dasarnya, dalam era globalisasi ini banyak pemerintah yang tunduk dengan kepentingan korporasi ekonomi. Cara paling mudah korporasi dalam menaklukan pemerintah dengan cara memberikan biaya kampanye. Presiden yang tepilih pasti membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Ada cara lain korporasi besar Amerika dalam memegang kendali pemerintah yaitu dengan langsung menduduki pos kekuasaan yang penting.


3. Perbankan dan lembaga keuangan internasional (world’s bank)
IMF dan World Bank merupakan lembaga pencekik leher negara miskin. Negara miskin diberikan bantuan namun dengan syarat bahwa negara tersebut harus mengamalkan amalan yang diajarkan oleh IMF dan WB. Tentunya amalan tersebut bukan untuk membangun negara tersebut dan membebasakan dari keterpurukan. Melainkan justru menambah dalam jurang kemiskinan di negara tesebut. Belum lagi dengan pemberlakuan bunga yang diluar akal sehat kita. Karena pada intinya World Bank dan IMF tebentuk lewat konferensi antara Amerika dan Eropa di akhir PD II. Kedua pilar globalisasi ini berperan sebagai instrumen untuk membela kapitalisme internasional.WB memberikan pinjaman jangka panjang pada negara berkembang, sedangkan IMF memilih negara yang perlu dibantu serta memberikan arahan/tekanan. Rata-rata pasien IMF sudah tidak mau dipecundangi oleh IMF. Rusia membuang resep IMF justru semakin maju. China tidak mau membeli artibrase ala WB atau inperialis lainnya. China mendirikan sendiri lembaga arbitrase yang bernama (CIRTAC).

4. Militer (military power)
Militer merupakan salah satu kekuatan penting dalam sebuah negara. Ketika zaman orde baru militer dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Kesolidan dalam organisasi militer membuat kita sulit untuk menembus sampai pada jantungnya, yakni para jenderal. Berkaca pada masa orde baru dimana militer menjadi elemen penting di Indonesia. Berbagai pos penting dalam pemerintahan diserahkan kepada pihak milter. Militer yang korup sudah jadi rahasia umum. Pada dasarnya, Pihak militer Amerika mempeunyai keterkaitan sangat erat dengan lembaga keuangan internasional dan perusahaan minyak sehingga kepentingan militer identik dengan kepentingan mereka. Kemauan korporasi adalah meraup uang sebanyak-banayaknya, sementara elit militer melayani kepentingan korporat. Kompleks militer-industrial mengejawantah dalam hubungan yang akrab antara pihak yang mengelola perang serta perusahaan yang memproduksi senjata dan peralatan perang lainnya. Menurut Michael Klare militer semakin dimanfaatkan untuk lading minyak di luar negeri dan rute suplay untuk menghubungkan ladang-ladang tersebut. Militer Amerika hakikatnya mengabdi pada korporasi minya.

5. Media massa (mass media)
Media masa merupakan pilar ke empat demokrasi. Ungkapan itu benar apabila media massa mempunyai sikap berupa keberpihakan kepada masyarakat. Namun kenyataannya saat ini perusahaan media yang dikuasai oleh konglomerat media ternyata malah mendukung aksi korupsi. Pemberitaan yang kadang tidak objetif dan cenderung memojokkan lawan politik dari pemilik media. Pada dasarnya, Pers dan media massa dapat dijadikan andalan untuk membela kepentingan publik. Namun, hal tersebut tergerus sehingga akhirnya di Amerika sendiri media massa membentuk publik opnini telah menjadi alat kepentingan korporasi. Chomsky mengingatkan bahwa pada dasarnya media massa menyuarakan kepentingan korporasi besar sehingga isi pokok media massa di Amerika sejatinya adalah propaganda untuk melindungi kepentingan korporasi.

6. Intelektual yang terkooptasi (kooptik intelektual)
Ternyata kaum terpelajar dan ilmuan dapat dibeli untuk kepentingan perorangan. Mereka melacurkan intelektualitas mereka karena rayuan materri. Coba tengok kasus Lapindo, saat itu banyak ilmuan yang menolak pernyataan bahwa Lapindo menjadi penyebab munculnya semburan lumpur di sidoarjo. Tidak selamanya kaum intelektual mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Karena pada hakikatnya mereka manusia yang butuh makan. Orang “pintar” yang seperti ini sangat merugikan kita karena tingkah mereka. Pada dasarnya, Kaum intelektual dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu pertama para intelektual yang mengabdi pada kebenaran, kedua mereka yang menentang perubahan, ketiga intelektual yang netral tidak melakukan pemihakan.menurut Edward Said kekuasaan selalu membius kaum intelektual. Di AS kelompok intelektual yang tergolong neolib tidak semata-mata menjadi intelektual bayaran tetapi diantara mereka ada yang berhasil masuk ke sel kekuasaan dan banyak mendiktekan kemauannya pada pemerintah.

7. Elite politik (national elite)
Negara yang mengalami kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan ini adalah negara yang mempunyai pemimpin bermental bebas, merdeka, berdaulat dan memiliki percaya diri. Mereka berhasil melakukan dekolonialisasi mental dalam kepemimpinannya. Elite Indonesia sepanjang sejarah memiliki pemimpin yang bermentalitas merdeka, mandiri, percaya diri dan dapat melindungi martabat bangsa. Tetapi tidak sedikit pemimpin atau elit bangsa dengan mudah menggadaikan harga diri, martabat dan kedaulatan bangsa. Mental inlander nampak dari cara pemerintah dari era reformasi dalam menangani hutan tropis di negara kita, Nampak pula pada kekuatan keuangan Indonesia bertekuk lutut dihadapan kekuatan ekonomi global, dan lain-lain. Elit politik merupakan palang pintu masuknya korporatokrasi. Karena kebijakan negara ditentukan oleh mereka. Bahkan korupsi terbesar terletak di istana merdeka yang sangat sulit disentuh, bahkan oleh KPK sekalipun. Menengok sejenak pada kasus aliran dana BI yang ternyata melibatkan banyak elit politik baik eksekutif maupun legislatif kita semakin paham bahwa korupsi yang dilakukan para elit politik adalah korupsi yang sangat berbahaya. Karena berdampak pada stabilitas negara.

Ke tujuh elemen korporatokrasi tersebut sangat jelas dan dapat kita lihat di negeri ini, Indonesia. Sedangkan, Negara-bangsa yang mendominasi negara-bangsa lainnya dan menunjukan satu atau lebih ciri-ciri berikut ini[13] :
  1. Mengekspoitasi sumber daya dari negara yang didominasi
  2. Menguras sumber daya dalam jumlah yang tak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain
  3. Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakan kebijaksannya ketika upaya halus gagal
  4. Menyebarkan bahasa, sastra, seni dan berbagai aspek budayanya ke seluruh tempat yang berada di bawah pengaruhnya
  5. Menarik pajak bukan hanya dari warga sendiri, tapi juga dari orang-orang di negara lain
  6. Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya

















BAB III
PEMBAHASAN

1.      Sistem Korporaktokrasi, Keuntungan dan Dampak Negatifnya.

A.    Pelaksanaan dan Penerapan Sistem Korporatokrasi
Unsur-unsur korporatokrasi itu sendiri meliputi 7 unsur. Setiap unsur-unsur itu bekerja erat satu sama lain untuk membentuk suatu system yang menguntungkan untuk korporatokrasi itu sendiri. Korporasi besar itu sendiri awalnya hanya bergerak dalam wilayah Negara induknya saja. Tapi setelah terjadinya over production, mereka melakukan ekspansi dan eksploitasi ke Negara-negara lain yang mempunyai orientasi awal yaitu akumulasi keuntungan yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini terjadi pada Negara-negara yang menjalankan system kapitalisme sebagai system ekonominya. Contoh yang sangat nyata adalah Amerika Serikat. Didalam system kapitalisme itu sendiri tidak mengenal adanya batasan nilai, apapun bentuk nilai tersebut. Satu-satunya nilai yang diakui adalah akumulasi modal itu sendiri.
Korporasi-korporasi besar melakukan penjajahan terhadap Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan cara melakukan deregulasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari Negara-negara tersebut agar menguntungkan pihak korporasi itu sendiri[14]. Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga perbankan internasional (khususnya IMF dan World Bank) yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada korporasi-korporasi tersebut. Dengan kata lain, negara-negara dunia ketiga harus mematuhi kebijakan lembaga internasional tersebut karena terikat pada suatu perjanjian internasional. Hal ini tentunya sangat merugikan Negara-negara dunia ketiga karena tidak lain dan tidak bukan lembaga internasional itu sendiri merupakan bagian dari korportokrasi global. Penjajahan  ini diperparah oleh elit birokrasi Negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang bermoral inlander. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jelas-jelas memihak korporasi tersebut karena pembuat kebijakan itu sendiri sudah tidak tahu siapa
dirinya.


B.     Keuntungan yang didapat oleh Korporatokrasi

Pada dasarnya korporatokrasi itu ada berpusat dari adanya korporasi-korporasi besar yang ada di dunia. Dengan kekuatan modal yang mereka punyai, mereka dapat membentuk suatu tatanan baru dunia. Tujuan mutlak korporasi adalah mencai keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal3. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih (white collar crime) di Amerika merugikan Negara sebesar 300-500 miliar dollar per tahun. Tapi jika diperbandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan biasa sangat menunjukkan perbendaan yang sangat signifikan yaitu kejahatan biasa hanya 3,8 milyar dollar per tahun[15]. Hal ini merupakan kasus yang sungguh ironis. Belum lagi keuntungan yang didapat dari pengurasan sumber daya alam dari Negara dunia ketiga yang terikat kontrak dengan para korporasi-korporasi besar tersebut. Jutaan atau bahkan miliaran dollar hanya dinikmati oleh
korporasi-korporasi tersebut.


C.    Dampak bagi Negara Dunia Ketiga

Negara-negara yang paling terkena dampak dari system eksploitasi seperti ini adalah Negara Dunia Ketiga. Hal ini terjadi karena sumber daya alam yang ada di Negara tersebut tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya sendiri, melainkan dinikmati oleh korporasi-korporasi tersebut. Kenyataan ini harus diterima oleh Negara-negara tersebut. Sementara kondisi pendidikan, ekonomi dan keshatan bagi rakyat Negara dunia ketiga yang memprihatinkan, tapi di sisi lain keuntungan sumber daya alam yang ada di tanah mereka malah dinikmati oleh pihak lain. Di Indonesia, kasus yang paling mencolok dan mendapat sorotan media adalah kasus Freeport. Miliaran dollar dihasilkan oleh tambang-tambang milik Freeport, tetapi kondisi masyarakat papua sendiri masih dalam kondisi yang mengenaskan. Hal ini terjadi karena proses penghisapan yang dilakukan oleh para korporatokrasi itu sendiri didalam wilayah Indonesia yang semakin lama semakin menancapkan kukunya di bumi pertiwi ini.


2.      Korporatokrasi di Indonesia

Economic hit man bekerja untuk korporatokrasi atau jaringan kerja sama multinational corporations dengan lembaga internasional (Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional), elite negara maju, dan Orde Baru.  Jaringan korporatokrasi dimulai saat Bank Dunia atau IMF menyalurkan pinjaman untuk pembangunan megaproyek di negara miskin atas rekomendasi fiktif buatan EHM. Kredit cair dengan syarat tender pembangunan dihadiahkan kepada MNC atau mitra lokal atas restu korporatokrasi. Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri yang tak akan bisa dilunasi sampai tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC atau mitra lokal naik setiap tahun selama proyek dikerjakan. Derita negara itu belum selesai. Selain gagal menyejahterakan rakyat, negara miskin itu juga tidak mampu membayar utang sehingga akhirnya ditekan korporatokrasi untuk menjual kekayaan alamnya, misalnya ladang minyak.
Indonesia kini merupakan salah satu penganutnya[16]. Hal tersebut nampak dari kebijakan-kebijakan yang kini berlaku di negara ini seperti: pemotongan subsidi BBM, privatisasi bank negara, privatisasi PLN, pemotongan subsidi pendidikan, pengurangan tunjangan kesehatan, privatisasi perusahaan pertambangan dan perkebunan negara yang dulu merupakan hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno.
Pada masa pemerintahan Soekarno, gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat[17]. Hal ini berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya, dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun 1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk kembali melirik Indonesia sebagai lahan basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber daya manusianya yang murah.
Korporasi mulai memasuki Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. UU itu telah membatalkan UU No. 86 tahun 1958 mengenai nasionalisasi perusahaan asing, termasuk perusahaan tambang. UU tersebut merupakan sebuah legitimasi bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modal dan mendirikan usahanya di Indonesia. Sektor pertambangan tercatat menjadi sektor industri pertama yang paling menarik investasi asing pada masa awal Orba tersebut. Salah satu perusahaan tambang asing paling tua yang beroperasi di Indonesia adalah Freeport[18].
Pada bulan juni 1966, tim Freeport terlebih dahulu berkunjung ke Jakarta untuk memprakarsai pembicaraan mengenai kontrak eksplorasi pertambangan di Timika, Papua Barat. Pada tanggal 7 April 1967 dikeluarkanlah Kontrak Karya I No. 82/EK/KEP/4 /1967 bagi Freeport agar bisa melakukan operasi pertambangan di Papua. Ada keanehan dalam terbitnya kontrak karya untuk Freeport tersebut yang muncul selang 3 bulan dari keluarnya UU PMA dan 7 bulan lebih awal dari terbitnya UU No. 11 tahun 1967 mengenai pertambangan. Ditengarai hal tersebut adalah bentuk keterlibatan pihak-pihak asing dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyusun UU PMA. Keterlibatan tersebut adalah bentuk persengkongkolan Negara dengan Korporasi, di sinilah "KORPORATOKRASI" berjalan.
"Korporatokrasi" merupakan bentuk perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara Korporasi dengan Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan oleh pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta korporasi untuk mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga membutuhkan alat-alat negara penegak kedaulatan dan keamanan sebagai pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang melimpah, korporasi memiliki peluang besar untuk mengontrol pemerintah.
Kesuksesan Freeport, yang mulai beroperasi sejak tahun 1971, memicu masuknya perusahaan-perusahaan asing lainnya[19]. Hingga kini ada empat perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia antara lain: Freeport Indonesia, Newmont Indonesia, International Nickel Indonesia, dan Kaltim Prima Coal (KPC). Kini setiap jengkal tanah di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi, baik dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Kontrak Karya Pertambangan, Kuasa Pertambangan, Kontrak Bagi Hasil Minyak & Gas, Kontrak Bagi Hasil Batubara, dan sebagainya.
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah benar-benar membuka jalan bagi setiap investor, baik asing maupun pribumi, untuk berlomba-lomba menumbuhkan korporasi-korporasi yang terus menyedot habis energi rakyat. Penghilangan kata "asing" dalam UU tersebut ditujukan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap modal asing, termasuk menghilangkan seluruh batasan-batasan yang dianggap mempersulit masuknya modal asing. Tak hanya di bidang pertambangan, Indonesia juga lahan subur bagi bercokolnya korporasi-korporasi besar lainnya seperti: General Motors dan Ford (otomotif), Esso, Shell, British Petroleum (minyak), McDonalds, Kentucky Fried Chicken (makanan cepat saji), AT&T dan International News Corporation (komunikasi), dan bank-bank utama milik Jepang. Kini Indonesia adalah gerai bagi korporasi-korporasi besar, dimana sumber daya alam yang melimpah adalah komoditas yang mahal di pasaran luar negeri, sementara sumber daya manusianya adalah tenaga kerja yang murah, dan sekaligus adalah pasar yang sangat konsumtif dan patuh.
Selain uraian di atas, Praktik EHM juga terjadi di megaproyek PLTU Paiton I dan II yang nilai proyeknya 3,7 miliar dollar AS. Megaproyek ini tak bermanfaat karena harga listrik yang dihasilkan 60 persen lebih mahal daripada Filipina atau 20 kali lebih mahal daripada AS. Dana pembangunan Paiton ngutang dari export credit agencies (ECA) negara-negara maju. Korupsi dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu disetor kepada kroni dan keluarga penguasa Orba.
Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan sampai monopoli suplai batubara, dihadiahkan tanpa tender kepada sejumlah MNC atau mitra lokal. Setelah Pak Harto lengsering keprabon, baru ketahuan nilai proyek itu terinflasi 72 persen. Pemerintah menegosiasi ulang Paiton dengan argumen megaproyek itu hasil KKN. Kita selama 30 tahun harus bayar ganti rugi 8,6 sen dollar AS per kWh, padahal kemampuan kita cuma 2 sen.
Supaya manut, eksekutif ECA itu mengancam akan meminta G-7 menyatakan Indonesia tukang ngemplang yang tidak layak dapat kredit lagi dari Bank Dunia atau IMF. Seperti biasa, kita manut. Industri minyak kita juga diperdayai korporatokrasi melalui perjanjian profit sharing agreement (PSA). Perjanjian ini bertujuan menghindari nasionalisasi, seperti yang dilakukan PM Mosaddeq dan Presiden Bolivia Evo Morales. PSA seolah-olah menempatkan kita sebagai pemilik sah ladang minyak, sementara MNC ”kontraktor” saja. Namun, praktiknya, MNC mengontrol pengembangan ladang yang mendatangkan profit berlipat ganda, mirip praktik kolonialisme.
Perjanjian ini ibarat pernikahan ideal antara kontrak bagi hasil yang secara politis seolah penting bagi kita sebagai majikan dan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang mendatangkan profit maksimal. Pemerintah seakan memegang kendali, padahal MNC yang punya ”kedaulatan nasional”. ”Klausul stabilisasi” PSA mengatakan, UU kita tidak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dalam rangka memetik profit. UU tidak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi—yang berlaku hukum/arbitrase internasional yang tak kenal UU kita. ”Cerita sukses” PSA ini yang dijual EHM bernama Dan Witt yang bekerja untuk ECA di AS, International Tax and Investment Center. Witt, atas nama British Petroleum, Chevron Texaco, Total, dan Eni SpA, ”menggarap” Irak.
IMF menyalurkan kredit untuk Irak sambil menetapkan syarat, termasuk mengurangi subsidi yang membuat harga bahan bakar minyak (BBM) meroket. Syarat lain, parlemen harus mengesahkan UU Perminyakan akhir 2006 dan IMF wajib disertakan dalam proses perumusannya. Witt yang bermodalkan best practices (senjata gombal Bank Dunia dan IMF) menjadi negosiator antara para pejabat Irak yang korup, IMF, dan MNC. Dan, semua untung, kecuali rakyat Irak.
Nasib rakyat kita sama dengan rakyat Irak. Mungkin bukan hanya megaproyek Paiton yang menjebak kita pada ketergantungan energi. Masih banyak megaproyek lain. Ketergantungan tersebut semakin mencekam pada saat dunia saat ini mungkin sedang mengalami krisis minyak. Dan, setiap negara berupaya kuat dengan pertama-tama mempertahankan kepentingan nasional masing-masing.



BAB IV
PENUTUP

1.       Kesimpulan

Praktik korporatokrasi dilakukan para korporat di negara-negara berkembang. Terutama di kawasan Asia Tenggara, Afrika, Amerika Selatan dan Timur Tengah yang tergolong masih berperekonomian rendah. Dengan dalih membantu perbaikan ekonomi, kucuran dana besar dialirkan dari Bank Dunia dan IMF untuk negara-negara tersebut. Sementara perusahaan-perusahaan besar pelaku korporatokrasi sudah berdiri di balik tameng lembaga-lembaga dunia ini untuk terus mengeruk keuntungan besar bagi perusahaan dan kedigdayaan negara mereka.
Para korporat memanfaatkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mulai dari pendekatan persuasif pada pemimpin negara tertentu, peminjaman modal melalui lembaga-lembaga dunia, hingga penggulingan kekuasaan di sebuah negara. Pelaku korporatokrasi ini tak segan juga melakukan pembunuhan terhadap pemimpin suatu negara yang menurut mereka menghalangi kerja jaringan ini. Negara yang masih bergantung pada pinjaman asing dan hidup dari investasi pemodal asing akan rentan diintervensi para investor. Yang berujung pada pembengkakan hutang negara dan pemisahan taraf hidup masyarakat. Pemerintah harus berpikir bagaimana menciptakan sistem ekonomi mandiri tanpa campur tangan pihak asing untuk lepas dari korporatokrasi.
Agenda mendesak bangsa ini lahir dari ketakutan terhadap nasionalisme sempit yang dialami oleh banyak masyarakat Indonesia bahkan beberapa pemimpin Indonesia. Nasionalisme sempit adalah nasionalisme simbolik yang lebih menomorsatukan prestasi-prestasi di tataran praktis seperti prestasi olahraga. Nasionalisme dapat menjadikan negara kita kokoh dan menjadi mandiri serta bisa bertahan terhadap arus negatif pergaulan dunia. Korporatokrasi sendiri berarti sistem atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-korporasi besar;kekuatan politik pemerintah tertentu, terutama Amerika dan kaki tangannya;perbankan nasional;kekuatan militer;media massa;kaum intelektual yang dikooptasi; dan terakhir, yang tidak kalah penting adalah elite nasional negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador, atau pelayan.
Semua unsur yang tersebut di atas yang meliputi korporatokrasi sejatinya adalah syarat bagi terjadinya mega korupsi yaitu korupsi yang menyandera negara (State Capture Corruption). Dan menurut buku ini,Indonesia sedang melakukannya. Beberapa indikasinya ialah ketergantungan kita terhadap IMF, WTO, dan bank dunia, serta kepatuhan berlebihan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional yang ada. Bahkan terhadap beberapa korporasi seperti Freeport kita tidak dapat berbuat apa-apa. Perlakuan IMF, WTO, Bank Dunia, serta korporasi terhadap bangsa Indonesia menyebabkan banyaknya kasus-kasus korupsi adalah sikap inlander. Sebuah sikap tercela yang mencederai kehormatan bangsa Indonesia. Sikap tersebut terjadi akibat terlalu mementingkan pribadi ataupun kelompok.
Indonesia sudah sangat lama dalam cengkraman korporatokrasi global. Sejak jaman Orde Baru, investor-investor asing masuk dengan pengesahan UU dari DPR. Harus dilihat bahwa sebenarnya masalah di Indonesia terjadi karena elite birokratnya lupa siapa sebenarnya mereka. Hal ini menjadikan keputusan yang dibuat tidak berdasar pada kepentingan rakyat Indonesia sendiri, melainkan untuk kepentingan korporasi asing. Indonesia sendiri dijarah, kekayaannya dihisap habis, potensinya dilemahkan, posisi tawarnya di hadapan lembaga international menjadi tak berharga, rakyatnya dimiskinkan, dan hanya menguntungkan segelintir orang yang menjadi perantara jaringan hitam ini.


2.      Saran
Solusi yang dapat dilakukan untuk permasalahan korporatokrasi di Indonesia yaitu para pemimpin harus melakukan kajian ulang terhadap:
1.      perlu adanya kepemimpinan alternatif yang bebas, merdeka, dan mandiri
  1. perlu adanya pemimpin muda yang memiliki wawasan nasional dan Internasional
  2. perlu adanya pemahaman bahwa kekuasaan adalah amanat rakyat yang harus dilaksanakan secara bijaksana
  3. perlu adanya kesetaraan, kesedarajatan, dan kesejajaran dalam berhubungan dengan negara lain
  4. perlu adanya sikap dari pemimpinuntuk keluar dari korupsi yang menyandera negara
Dan beberapa solusi tersebut sangat bagus dan bisa membuka mata kita terhadap keadaan Indonesia serta dapat menghilangkan sikap apatis terhadap kemajuan negara kita tercinta. Bung Karno sendiri pernah berkata, "Pekerjaanku mudah karena melawan penjajah, sedangkan pekerjaan kalian malah lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Sebuah perkataan yang membakar semangat nasionalisme kita untuk bisa bertahan dari neokolonialisme.


[6] John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Abdi Tandur, Jakarta, 2005. Hlm 1.
[7] Ibid,. Hlm 18.
[8] Tania Murray Li, 2007, The Will to Improve: Governmentality, Development and the Practice of Politics, Duke University Press

[9] http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul36_2.htm . Diunduh hari Jumat, 27 Juli 2012. Pukul 15.54
[10] Ibid
[11] Amien Rais “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia” PPSK Press, Yogyakarta. Hal. 81 yang dikuti dari bukunya John Perkins, Confesions of an Economic Hit Man, London, Penguin Books Ltd, 2006.
[12] Ibid., hal. 83.
[13] http://www.scribd.com/doc/38086643/KORPORATOKRASI . Diunduh hari Jumat, 27 Juli 2012. Pukul 16.04
[14] Amien Rais, Op.cit, hlm 82.
[15] Ibid,. hal. 84.
[16] Budiarto Shambazy, Tanya pada Rumput yang Bergoyang, Wartawan Senior Kompas SUMBER : KOMPAS, 21 April 2012

[17] Ibid
[18]Tony P, Perusahaan Tambang Asing, Wartawan Senior Kompas. SUMBER : KOMPAS, 21 Mei 2010.
[19] Ibid


DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur:

Amien Rais, “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia” PPSK Press, Yogyakarta. Hal. 81 yang dikuti dari bukunya John Perkins, Confesions of an Economic Hit Man, London, Penguin Books Ltd, 2006.
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Abdi Tandur, Jakarta, 2005
Tania Murray Li, 2007, The Will to Improve: Governmentality, Development and the Practice of Politics, Duke University Press. 2007.



Surat Kabar/Media Massa:

_______Budiarto Shambazy, Tanya pada Rumput yang Bergoyang, Wartawan Senior Kompas SUMBER : KOMPAS, 21 April 2012.
_______Tony .P, Perusahaan Tambang Asing, Wartawan Senior Kompas. SUMBER : KOMPAS, 21 Mei 2010.



Website:

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar