Oleh
SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.
A. Pengertian
Pengetahuan Tradisional diartikan
sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu
komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun – temurun
dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan.
WIPO mendefinisikan traditional knowledge sebagai muatan atau substansi
pengetahuan yang berasal dari kegiatan intelektual dalam konteks tradisional,
dan termasuk kecakapan teknis, ketrampilan, inovasi, praktik – praktik dan
pembelajaran yang membentuk bagian dari sistem pengetahuan tradisional, dan
pengetahuan yang terdapat dalam gaya hidup tradisional berbagai komunitas lokal
dan asli pribumi, atau pengetahuan yang terdapat dalam sistem pengetahuan yang
terkodifikasi yang diwariskan antar generasi.
Pengetahuan tradisional itu terbagi
dua, satu yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, yaitu yang menyangkut
traditional know-how, traditional medicine, traditional agriculture practices,
dan traditional planting materials. Satunya lagi berkaitan dengan seni seperti
tarian rakyat, atau cerita rakyat. Menurut
temuan Fact Finding Mission –WIPO, maka pengertian pengetahuan tradisional
meliputi pengertian yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pengetahuan di
lapangan teknologi atau seni saja, tetapi juga mencakup sistem pengetahuan
dalam bidang obat – obatan dan penyembuhan, pelestarian, keakegaraman hayati,
lingkungan, makanan, dan pertanian, juga musik, tari – tarian dan ‘artisanat’
(yaitu desain, tekstil, seni plastik, kerajinan tangan, dan lain – lain).
B. Fakta dan Permasalahan Hukum
Indonesia sebagai negara berkembang
memang mempunyai kekayaan yang berlimpah ruah mengenai
pengetahuan tradisional dan indikasi geografis. Namun, Indonesia belum
maksimal mengkonkretkan potensi yang dimiliki karena lemahnya pengetahuan, skill, profesionalisme SDM, dan dana. Kondisi tersebut justru dimanfaatkan oleh negara maju yang mempunyai kelebihan teknologi, kemampuan finansial maupun teknis, dan melalui mekanisme beroperasinya berbagai perusahaan multinasional. Karena memiliki keragaman pengetahuan tradisional
dan budaya yang terbesar, kini indonesia menjadi sasaran utama pembajakan
pihak asing. Pencurian
pengetahuan tradisional dan budaya yang terjadi di berbagai daerah selama ini, dilakukan dengan cara “berkedok” kerja sama penelitian.
Pengetahuan tradisional itu sangat luas, dapat meliputi bidang teknologi, seni,
pangan, obat, seni tari, musik,
desain dari masyarakat.
Negara-negara
maju, seperti Amerika Serikat sering
memberi cap negara-negara berkembang sebagai pembajak.
Ini perlu dibalik karena banyak tanam-tanaman obat dari
negara berkembang yang dicurinya. Mereka justeru yang
berutang royalty pada para petani negara - negara berkembang, dan mereka
sebagai Biopiracy yang harus dipertanggungjawabkan.Paten terhadap pengetahuan
tradisional oleh negara maju membuat khawatir dan menusuk perasaan keadilan.
Orang-orang asing mempelajari, mencari ilmu medis tradisional, tanaman obatan-obatan suku asli, kemudian
dipatenkan. Justeru kemudian dijual dengan harga yang
mahal ke dunia ketiga.
Pohon Neem yang telah
berabad-abad dimanfaatkan orang India dipatenkan Perusahaan AS WR Grace (European Patent No. EP 436257). Dalam kasus
lainnya, yaitu Basmati Rice yaitu beras
dari daerah Basmat India, penggunaan
Tumeric (kunyit dari India dipatenkan Amerika. Tanaman Yaon sejenis umbi dari
peru yang dapat
dijadikan bahan membuat Pemanis buatan rendah kalori,
Plasma nutfahnya telah diteliti Ahli Jepang, dan sudah dibudidayakan secara
besar-besaran melibihi dari petani Peru itu
sendiri. Yellow Bean (phaseolus vulgaris) dari meksiko telah
dipatenkan oleh POD_Ners. Plc, Amerika ( US Patent No. 5,984,479) dan justru paten ini digunakan untuk menggugat Perusahaan
Meksiko.
Tantono Subagyo mengumpulkan Paten Jepang (40 paten) yang menggunakan bahan tanaman obatan-obatan asal Indonesia, seperti : brotowali, daun sukun gondopuro, sambiloto, cabe Jawa, dsb. Akhirnya
ada sebagian dari paten tersebut ditarik sendiri
oleh Perusahaan Shiseido. Selanjutnya, berita yang mengagetkan pada tahun
1991, masih kita ingat yaitu Perajin asal Bali pernah digugat di Pengadilan
Distrik New York atas motif ukiran produknya yakni gelang motif nagadan kalung motif Borobudur. Perlindungan pengetahuan tradisional-selain keragaman hayati,
harus juga diperhatikan. Karena pada kenyataannya, hal ini
dapat menjadi salah satu pendorong peningkatan pendapatan
daerah. Dalam kaitan itu, pemerintah harus dapat segera mengeluarkan
berbagai kebijakan tentang pengetahuan tradisional, sehingga dapat melindungi
semua pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh bangsa yang besar
ini. Di Indonesia, perlindungan pengetahuan tradisional
yang hanya diatur dalam Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Ditinjau dari Ide pematenan, dapat dilihat dari lama waktunya membutuhkan
jumlah waktu yang relatif panjang untuk dapat diterapkan di Indonesia, hal ini
didasarkan pada ;
1.
Hukum nasional kita belum
mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa
memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya pengakuan bahwa
pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa
menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten.
2.
Belum ada kesepakatan diantara
aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat
masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau
tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan
prinsip religio magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat
individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau sekelompok orang,
bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan.
Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa
masyarakat adat. Ini yang melandasi penolakan di atas.
Namun begitu, beberapa langkah penting dalam perlindungan HaKI
teknologi tradisional telah diambil oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pada tahun 2002, sebagai pilot project kegiatan tersebut dilakukan inventarisasi karya pengetahuan
tradisional yang ada di masing-masing daerah. Data yang diperoleh melalui
deskripsi-deskripsi tersebut nantinya secara bertahap akan dimasukkan ke dalam data base untuk memudahkan
kepemilikan suatu karya dan produk pengetahuan teknologi tradisional masuk
dalam perlindungan HaKI.
Perlindungan pengetahuan
tradisional juga dilakukan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak
2004, dengan menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional
diseluruh wilayah melalui Sentra HKI atau Unit Pengelola Kekayaan Intelektual.
Saat ini telah terinventarisasi 2.000 lebih pengetahuan tradisional yang
terdiri dari beberapa kelompok yaitu tanaman obat dan pengobatan, seni ukir dan
pahat tradisional, seni tenunan tradisional, seni arsitektur tradisional,
pangan dan masakan tradisional, kelompok pemuliaan tanaman, bahan pewarna
alami, jenis-jenis kayu, dan pestisida nabati.
Jadi, perlu disadari
bahwa berbagai perundangan HaKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan
dan kearifan tradisional (traditional knowledge and
genius. Beberapa kasus di atas justru menjelaskan
bahwa dengan adanya HaKI justru terjadi ”pembajakan” klaim hak paten dari
sebuah pengetahuan tradisional. Terlihat dari mulai banyak pihak di negara-negara
berkembang yang berusaha keras menuduh, upaya individu atau perusahaan negara
maju yang mematenkan ”produk barunya” itu banyak yang berbasis pada pengetahuan
tradisional dan lokal yang berupa ”milik umum” komunitas lokal negara-negara
berkembang itu. Negara-negara maju dengan keras menghendaki agar pengetahuan
tradisional, ekspresi budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam
bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya,
menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena
perlindungan hukum nasional kurang mencukupi.
C. Upaya Perlindungan
Dari berbagai pertemuan
WIPO telah dihasilkan beberapa perkembangan dalam hal upaya global, untuk
melindungi pengetahuan tradisional. Namun, untuk sampai kepada keputusan
bersama di kalangan negara anggota WIPO masih ada hambatan karena negara-negara
maju menghendaki agar pengetahuan tradisional itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus
dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara
berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional
dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi. Selain
negara-negara berkembang merasa prihatin karena pembahasan tersebut sudah
dilakukan sejak tahun 2001.
Dalam pertemuan itu
negara-negara berkembang mengusulkan agar Intergovermental Committee (IGC) melakukan pendekatan yang holistik dan inklusif agar ada
solusi yang konstruktif bagi semua. Sejalan dengan pandangan itu, Indonesia
menegaskan kembali agar semua delegasi dapat secara kreatif dan fleksibel
menjajaki semua kemungkinan yang dapat mendorong langkah maju IGC secara
bertahap menuju pembentukan instrument yang secara hukum international
mengikat. Sebaliknya, Uni-Eropa dan beberapa negara Eropa lainnya, menegaskan
bahwa sebaiknya langkah IGC menuju pada pembentukan instrumen yang tidak
mengikat (nonbinding
instrument)
melalui pendekatan bertahap dan mengusulkan agar revisi draft objective dan principle pengetahuan tradisional dalam bentuk deklarasi atau rekomendasi
alias soft law, saja.
Menurut saya, pemerintah
dapat memanfaatkan perundang-undangan HKI untuk mengatur perlindungan
pengetahuan tradisional. Hal ini karena ketentuan-ketentuan dalam konsep HKI
mengandung gagasan perlindungan pengetahuan tradisional seperti yang sering
dibicarakan WIPO atau CBD yang membahas sistem benefit sharing atas pengetahuan
tradisional. Namun, melindungi pengetahuan tradisional melalui konsep HKI juga
memiliki beberapa kelemahan-kelemahan: Pertama, HaKI menimbulakan perbenturan antara sistem kepemilikan komunal
dan individual; kedua, peraturan HKI mungkin hanya sesuai untuk melindungi aspek
ekonomis dari pengetahuan tradisional, namun kurang dapat melindungi aspek
spiritual dan cultural identity. Dengan demikian, pemanfaatan konsep HKI untuk
melindungi pengetahuan tradisional dapat dilakukan dengan beberapa cara
alternatif berikut:
·
Pertama, melakukan amandemen
peraturan-peraturan HKI yang ada saat ini.
·
Kedua, pengetahuan tradisional
dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar
HKI. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga
bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti
Thailand, Filipina dan Costa Rica memilih sistem Sui Generis untuk mengatur
pengetahuan tradisional mereka sehingga dapat memberikan perlindungan secara
lebih komprehensif.
·
Ketiga, pendokumentasian dalam
melindungi pengetahuan tradiosional. Hal ini penting untuk menyelesaikan
pertikaian seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional
tertentu. pendokumentasian ini merupakan suatu defensive protection system yang
mengandung dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi pengetahuan
tradisional merupakan dokumen pembanding dari suatu penemuan. Apakah suatu
invensi yang akan didaftarkan paten memiliki unsur kebaruan (Novelty) yang merupakan syarat patent
aplication? Untuk menjawab ini, Pemeriksa Paten (Patent Examiner)dapat membandingkannya dengan data base tersebut. Secara
praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah atau LSM
untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi misalnya diklaim oleh
pihak asing melalui paten, database akan berguna sebagai literartur untuk
melakukan penolakan terhadap paten yang akan didaftarkan atau pembatalan paten
yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran aktif dari masyarakat dan
pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses dokumen tersebut.
·
Keempat, mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara
masyarakat lokal dan pihak asing. Karena Indonesia belum memiliki pengalaman
mengembangkan mekanisme benefit sharing semodel ini, Agus Sardjono menunjuk
sistem yang dikembangkan dalam CBD. Dalam CBD telah dibentuk suatu working group yang merumuskan draft guidelines on access and benefit sharing. Langkah yang perlu
diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya
hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan sumber daya tersebut
untuk pihak asing.
·
Kelima, dengan memberdayakan LSM
sebagai representasi masyarakat lokal dengan dukungan lembaga internasional
semisal WIPO.
Selain melalui langkah-langkah legal di atas, terdapat upaya pematenan tanpa mematikan budaya yaitu melalui
kampanye kebudayaan. Langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkenalkan
kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional melalui berbagai macam
pagelaran, pameran dan promosi. Dengan dikenalnya produk budaya Indonesia di
segala penjuru dunia, berarti kita telah ”mematenkan”nya atas nama Indonesia.
D. Kesimpulan.
Ditinjau dari
sudut perangkat perundang-undangan, Indonesia sudah mempunyai perangkat yang
cukup di bidang HKI. Tapi implementasi perundangan-undangan HKI tersebut masih
dipertanyakan karena berbagai faktor. Faktor penegak hukum, masyarakat
yang terkena peraturan perundangan HKI harus betul-betul diberi pemahaman
tentang HKI itu sendiri sehingga perlindungan HKI betul-betul dapat ditegakkan.
Di samping itu perangkat hukum sebagai pelaksanaan perundang-undangan HKI juga
harus dipersiapkan dengan baik. Di samping itu, HKI masyarakat
tradisional dan lokal perlu diatur dalam rejim khusus atau merubah
undang-undang yang ada dengan memasukkan aspek kekayaan intelektual tradisional
dan lokal sejalan dengan gagasan TRIPs. Walaupun beberapa karakteristik dasar
kekayaan intelektual masyarakat tradisional dan lokal tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip TRIPs. Dalam pengetahuan masyarakat tradisional
tentang obat tradisional misalnya, kalau dilindungi oleh paten,
harus secara jelas siapa penemunya (inventornya) dan pembayaran
royalty diberikan kepada siapa.
Sebagaimana
diketahui, biasanya dalam kehidupan masyarakat tradisional dan lokal itu
berlaku tata cara yang bersifat komunal. Dengan dmikian, tidak jelas
siapa yang pertama kali menemukan obat tersebut, disosialisasikan para tokoh
adat yang bersifat lisan dan turun-temurun. Dalam semangat pasal 8 paragraf (j) Convention on Biological
Diversity, CBD, secara eksplisit juga mengamanatkan agar semua pihak
menghormati, melindungi, dan menjaga pengetahuan masyarakat tradisional dan
lokal, agar terjamin kelestarian dan keberlanjutannya. Implementasi dari pasal
tersebut sangat bergantung pada peraturan nasional di masing-masing negara.
HKI tidak hanya
menyangkut property tetapi juga pengakuan, penghormatan, dan
penghargaan atas kontribusi kepada manusia penciptanya. Oleh karena itu, HKI
mempunyai peran penting untuk melindungi martabat para peegang pengetahuan
tradisional, yaitu ketika pemberian HKI yang berkait dengan pengetahuan
tradisonal patra pemegang pengetahuan tradisional diberi tingkat pengawasan
terhadap penggunaan yang dilakukan pihak lain untuk tujuan komersial.
Masih banyak pemasalahan pengetahuan
tradisional yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, yaitu: belum adanya
perlindungan hukum yang jelas di tingkat nasional maupun internasional;
banyaknya pengambilan pengetahuan tradisional untuk tujuan komersial, belum
diterapkannya konsep benefit sharing; belum adanya perlindungan komunitas asli atas
kepemilikan intelektual sebagai bagian melindungi budaya warisan leluhur; dan
belum banyak dokumentasi tertulis terhadap pengetahuan tradisiional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar