Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Minggu, 05 Mei 2013

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DI INDONESIA

Oleh

 SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.


A.   Pengertian
Pengetahuan Tradisional diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun – temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. WIPO mendefinisikan traditional knowledge sebagai muatan atau substansi pengetahuan yang berasal dari kegiatan intelektual dalam konteks tradisional, dan termasuk kecakapan teknis, ketrampilan, inovasi, praktik – praktik dan pembelajaran yang membentuk bagian dari sistem pengetahuan tradisional, dan pengetahuan yang terdapat dalam gaya hidup tradisional berbagai komunitas lokal dan asli pribumi, atau pengetahuan yang terdapat dalam sistem pengetahuan yang terkodifikasi yang diwariskan antar generasi.

Pengetahuan tradisional itu terbagi dua, satu yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, yaitu yang menyangkut traditional know-how, traditional medicine, traditional agriculture practices, dan traditional planting materials. Satunya lagi berkaitan dengan seni seperti tarian rakyat, atau cerita rakyat.  Menurut temuan Fact Finding Mission –WIPO, maka pengertian pengetahuan tradisional meliputi pengertian yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pengetahuan di lapangan teknologi atau seni saja, tetapi juga mencakup sistem pengetahuan dalam bidang obat – obatan dan penyembuhan, pelestarian, keakegaraman hayati, lingkungan, makanan, dan pertanian, juga musik, tari – tarian dan ‘artisanat’ (yaitu desain, tekstil, seni plastik, kerajinan tangan, dan lain – lain).

B.   Fakta dan Permasalahan Hukum
Indonesia sebagai negara berkembang memang  mempunyai kekayaan yang berlimpah ruah  mengenai pengetahuan tradisional dan indikasi geografis. Namun, Indonesia  belum maksimal mengkonkretkan potensi yang dimiliki karena  lemahnya pengetahuan, skill, profesionalisme SDM, dan dana. Kondisi tersebut justru dimanfaatkan oleh negara maju yang mempunyai kelebihan teknologi, kemampuan finansial maupun teknis, dan melalui mekanisme beroperasinya berbagai perusahaan multinasional. Karena memiliki keragaman pengetahuan tradisional dan budaya yang terbesar, kini indonesia menjadi sasaran utama pembajakan pihak asing. Pencurian pengetahuan tradisional dan budaya yang terjadi di berbagai daerah selama ini, dilakukan dengan cara “berkedok” kerja sama penelitian. Pengetahuan tradisional itu sangat luas, dapat meliputi bidang teknologi, seni, pangan, obat,  seni tari, musik, desain  dari masyarakat.
Negara-negara maju, seperti  Amerika Serikat   sering memberi cap negara-negara berkembang sebagai pembajak. Ini  perlu dibalik karena banyak tanam-tanaman obat  dari negara berkembang yang dicurinya. Mereka justeru yang berutang royalty pada para petani negara - negara berkembang, dan mereka sebagai Biopiracy yang harus dipertanggungjawabkan.Paten  terhadap pengetahuan tradisional oleh negara maju membuat khawatir dan menusuk perasaan keadilan. Orang-orang asing mempelajari, mencari  ilmu medis tradisional,  tanaman obatan-obatan suku asli, kemudian dipatenkan. Justeru kemudian  dijual dengan harga yang mahal  ke dunia  ketiga.
            Pohon Neem yang  telah berabad-abad dimanfaatkan  orang India dipatenkan Perusahaan AS WR Grace (European Patent No. EP 436257). Dalam kasus lainnya, yaitu Basmati Rice yaitu beras dari daerah Basmat India, penggunaan Tumeric (kunyit dari India dipatenkan Amerika. Tanaman Yaon sejenis umbi dari peru yang dapat dijadikan bahan membuat Pemanis buatan  rendah kalori, Plasma nutfahnya telah diteliti Ahli Jepang, dan sudah dibudidayakan secara besar-besaran melibihi dari  petani Peru itu sendiri. Yellow Bean (phaseolus vulgaris) dari meksiko telah dipatenkan  oleh POD_Ners. Plc, Amerika ( US Patent No. 5,984,479) dan justru paten ini digunakan untuk  menggugat Perusahaan Meksiko.
Tantono Subagyo mengumpulkan Paten Jepang (40 paten) yang menggunakan bahan tanaman obatan-obatan asal Indonesia, seperti : brotowali, daun sukun  gondopuro, sambiloto, cabe Jawa, dsb. Akhirnya ada sebagian dari paten tersebut ditarik sendiri oleh Perusahaan Shiseido. Selanjutnya, berita yang mengagetkan pada tahun 1991, masih kita ingat yaitu Perajin asal Bali pernah digugat di Pengadilan Distrik New York atas motif ukiran produknya yakni gelang  motif nagadan kalung motif Borobudur. Perlindungan pengetahuan tradisional-selain keragaman hayati, harus   juga diperhatikan. Karena pada kenyataannya, hal ini dapat menjadi salah satu pendorong peningkatan pendapatan daerah.  Dalam kaitan itu, pemerintah harus dapat segera mengeluarkan berbagai kebijakan tentang pengetahuan tradisional, sehingga dapat melindungi semua pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh bangsa yang besar ini.  Di Indonesia,  perlindungan pengetahuan tradisional yang hanya diatur dalam Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Ditinjau dari Ide pematenan, dapat dilihat dari lama waktunya membutuhkan jumlah waktu yang relatif panjang untuk dapat diterapkan di Indonesia, hal ini didasarkan pada ;
1.    Hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten.
2.    Belum ada kesepakatan diantara aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa masyarakat adat. Ini yang melandasi penolakan di atas.

Namun begitu, beberapa langkah penting dalam perlindungan HaKI teknologi tradisional telah diambil oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada tahun 2002, sebagai pilot project kegiatan tersebut dilakukan inventarisasi karya pengetahuan tradisional yang ada di masing-masing daerah. Data yang diperoleh melalui deskripsi-deskripsi tersebut nantinya secara bertahap akan dimasukkan ke dalam data base untuk memudahkan kepemilikan suatu karya dan produk pengetahuan teknologi tradisional masuk dalam perlindungan HaKI.
Perlindungan pengetahuan tradisional juga dilakukan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak 2004, dengan menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional diseluruh wilayah melalui Sentra HKI atau Unit Pengelola Kekayaan Intelektual. Saat ini telah terinventarisasi 2.000 lebih pengetahuan tradisional yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu tanaman obat dan pengobatan, seni ukir dan pahat tradisional, seni tenunan tradisional, seni arsitektur tradisional, pangan dan masakan tradisional, kelompok pemuliaan tanaman, bahan pewarna alami, jenis-jenis kayu, dan pestisida nabati.
Jadi, perlu disadari bahwa berbagai perundangan HaKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius. Beberapa kasus di atas justru menjelaskan bahwa dengan adanya HaKI justru terjadi ”pembajakan” klaim hak paten dari sebuah pengetahuan tradisional. Terlihat dari mulai banyak pihak di negara-negara berkembang yang berusaha keras menuduh, upaya individu atau perusahaan negara maju yang mematenkan ”produk barunya” itu banyak yang berbasis pada pengetahuan tradisional dan lokal yang berupa ”milik umum” komunitas lokal negara-negara berkembang itu. Negara-negara maju dengan keras menghendaki agar pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi.

C.   Upaya Perlindungan
Dari berbagai pertemuan WIPO telah dihasilkan beberapa perkembangan dalam hal upaya global, untuk melindungi pengetahuan tradisional. Namun, untuk sampai kepada keputusan bersama di kalangan negara anggota WIPO masih ada hambatan karena negara-negara maju menghendaki agar pengetahuan tradisional itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi. Selain negara-negara berkembang merasa prihatin karena pembahasan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2001.
Dalam pertemuan itu negara-negara berkembang mengusulkan agar Intergovermental Committee (IGC) melakukan pendekatan yang holistik dan inklusif agar ada solusi yang konstruktif bagi semua. Sejalan dengan pandangan itu, Indonesia menegaskan kembali agar semua delegasi dapat secara kreatif dan fleksibel menjajaki semua kemungkinan yang dapat mendorong langkah maju IGC secara bertahap menuju pembentukan instrument yang secara hukum international mengikat. Sebaliknya, Uni-Eropa dan beberapa negara Eropa lainnya, menegaskan bahwa sebaiknya langkah IGC menuju pada pembentukan instrumen yang tidak mengikat (nonbinding instrument) melalui pendekatan bertahap dan mengusulkan agar revisi draft objective dan principle pengetahuan tradisional dalam bentuk deklarasi atau rekomendasi alias soft law, saja.
Menurut saya, pemerintah dapat memanfaatkan perundang-undangan HKI untuk mengatur perlindungan pengetahuan tradisional. Hal ini karena ketentuan-ketentuan dalam konsep HKI mengandung gagasan perlindungan pengetahuan tradisional seperti yang sering dibicarakan WIPO atau CBD yang membahas sistem benefit sharing atas pengetahuan tradisional. Namun, melindungi pengetahuan tradisional melalui konsep HKI juga memiliki beberapa kelemahan-kelemahan: Pertama, HaKI menimbulakan perbenturan antara sistem kepemilikan komunal dan individual; kedua, peraturan HKI mungkin hanya sesuai untuk melindungi aspek ekonomis dari pengetahuan tradisional, namun kurang dapat melindungi aspek spiritual dan cultural identity. Dengan demikian, pemanfaatan konsep HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional dapat dilakukan dengan beberapa cara alternatif berikut:
·         Pertama, melakukan amandemen peraturan-peraturan HKI yang ada saat ini.
·         Kedua, pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan Costa Rica memilih sistem Sui Generis untuk mengatur pengetahuan tradisional mereka sehingga dapat memberikan perlindungan secara lebih komprehensif.
·         Ketiga, pendokumentasian dalam melindungi pengetahuan tradiosional. Hal ini penting untuk menyelesaikan pertikaian seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional tertentu. pendokumentasian ini merupakan suatu defensive protection system yang mengandung dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi pengetahuan tradisional merupakan dokumen pembanding dari suatu penemuan. Apakah suatu invensi yang akan didaftarkan paten memiliki unsur kebaruan (Novelty) yang merupakan syarat patent aplication? Untuk menjawab ini, Pemeriksa Paten (Patent Examiner)dapat membandingkannya dengan data base tersebut. Secara praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah atau LSM untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi misalnya diklaim oleh pihak asing melalui paten, database akan berguna sebagai literartur untuk melakukan penolakan terhadap paten yang akan didaftarkan atau pembatalan paten yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran aktif dari masyarakat dan pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses dokumen tersebut.
·         Keempat, mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara masyarakat lokal dan pihak asing. Karena Indonesia belum memiliki pengalaman mengembangkan mekanisme benefit sharing semodel ini, Agus Sardjono menunjuk sistem yang dikembangkan dalam CBD. Dalam CBD telah dibentuk suatu working group yang merumuskan draft guidelines on access and benefit sharing. Langkah yang perlu diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk pihak asing.
·         Kelima, dengan memberdayakan LSM sebagai representasi masyarakat lokal dengan dukungan lembaga internasional semisal WIPO.
Selain melalui langkah-langkah legal di atas, terdapat upaya pematenan tanpa mematikan budaya yaitu melalui kampanye kebudayaan. Langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional melalui berbagai macam pagelaran, pameran dan promosi. Dengan dikenalnya produk budaya Indonesia di segala penjuru dunia, berarti kita telah ”mematenkan”nya atas nama Indonesia.
D.   Kesimpulan.

Ditinjau dari sudut perangkat perundang-undangan, Indonesia sudah mempunyai perangkat yang cukup di bidang HKI. Tapi implementasi perundangan-undangan HKI tersebut masih dipertanyakan karena berbagai faktor. Faktor penegak hukum, masyarakat yang terkena peraturan perundangan HKI harus betul-betul diberi pemahaman tentang HKI itu sendiri sehingga perlindungan HKI betul-betul dapat ditegakkan. Di samping itu perangkat hukum sebagai pelaksanaan perundang-undangan HKI juga harus dipersiapkan dengan baik. Di samping itu, HKI masyarakat tradisional dan lokal perlu diatur dalam rejim khusus atau merubah undang-undang yang ada dengan memasukkan aspek kekayaan intelektual tradisional dan lokal sejalan dengan gagasan TRIPs. Walaupun beberapa karakteristik dasar kekayaan intelektual masyarakat tradisional dan lokal tidak sesuai dengan prinsip-prinsip TRIPs. Dalam pengetahuan masyarakat tradisional tentang  obat tradisional misalnya, kalau dilindungi oleh paten, harus secara jelas siapa penemunya (inventornya)  dan pembayaran royalty  diberikan kepada siapa.
Sebagaimana diketahui, biasanya dalam kehidupan masyarakat tradisional dan lokal itu berlaku tata cara yang bersifat komunal. Dengan dmikian,  tidak jelas siapa yang pertama kali menemukan obat tersebut, disosialisasikan para tokoh adat yang bersifat lisan dan turun-temurun. Dalam semangat pasal 8 paragraf (j) Convention on Biological Diversity, CBD, secara eksplisit juga mengamanatkan agar semua pihak menghormati, melindungi, dan menjaga pengetahuan masyarakat tradisional dan lokal, agar terjamin kelestarian dan keberlanjutannya. Implementasi dari pasal tersebut sangat bergantung pada peraturan nasional di masing-masing negara.
HKI tidak hanya menyangkut property tetapi juga pengakuan, penghormatan, dan penghargaan atas kontribusi kepada manusia penciptanya. Oleh karena itu, HKI mempunyai peran penting untuk melindungi martabat para peegang pengetahuan tradisional, yaitu ketika pemberian HKI yang berkait dengan pengetahuan tradisonal patra pemegang pengetahuan tradisional diberi tingkat pengawasan terhadap penggunaan yang dilakukan pihak lain untuk tujuan komersial.


Masih banyak pemasalahan pengetahuan tradisional yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, yaitu: belum adanya perlindungan hukum yang jelas di tingkat nasional maupun internasional; banyaknya pengambilan pengetahuan tradisional  untuk tujuan komersial, belum diterapkannya konsep benefit sharing; belum adanya perlindungan komunitas asli atas kepemilikan intelektual sebagai bagian melindungi budaya warisan leluhur; dan belum banyak dokumentasi tertulis terhadap pengetahuan tradisiional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar