Oleh
SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah Republik Indonesia mulai terkikis oleh banyaknya
kepentingan yang hinggap. Mulai dari kepentingan kepemilikan, kepentingan
keamanan, bahkan kepentingan keselamatan. Indonesia yang subur, kini telah
terkubur hidup-hidup dalam waktu. Tentunya, membagi suatu kepentingan bukanlah
hal yang mudah, banyak pihak yang akan terlibat dan berpartisipasi secara
“aktif” untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ekonomi menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam kepentingan elit-elit kekuasaan. Bagaimanapun, harta
akan selalu menjadi sebuah kue brownies yang menggiurkan para penggemarnya.
Hidup tanpa uang akan menjadi sayur tanpa bumbu atau bahkan membuat hidup
layaknya mati.
Dalam negara ini, hampir tidak ada wilayah di negeri ini,
baik yang berupa daratan, lautan atau udara yang tidak terawasi, atau baik yang
bermakna sepetak tanah, luasnya lautan, dan lapangnya udara Republik Indonesia,
telah ada yang mengawasi atau bertanggung jawab untuk mengawasi. Kini,
tampaknya bangsa Indonesia sendiri sudah enggan dan justru, bangsa lain yang
mulai menikmati pengembaraannya di taman surga yang luas ini. Satu tahun
berlalu, terlalu banyak hikmah yang Tuhan sampaikan pada kita. Rentetan kasus
dan peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 1 tahun terakhir semakin
menunjukkan kepada masyarakat dan dunia luar bagaimana sebenarnya pengelolaan
negara ini dilakukan dan bagaimana para birokrat negeri ini bekerja.
Bisa
jadi, semua kejadian yang menimpa bangsa ini merupakan skenario global dari
pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan hal ini terjadi. Sebuah skenario
untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara dunia ketiga dan terbelakang
melalui politik “utang” kepada negara adikuasa. John Perkins mengatakan
bahwa rekayasa ekonomi tengah dilakukan para negara adikuasa untuk
melanggengkan tatanan global yang pro-akumulasi modal[1].
Hal ini dilakukan dengan cara mengecoh pemerintahan dengan utang yang banyak.
Mereka menyalurkan dana dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB),
dan organisasi bantuan lainnya menjadi dana korporasi raksasa. Dana-dana
pinjaman yang begitu besar jumlahnya itu dikucurkan oleh negara kreditor dengan
tujuan untuk mencengkeram negara bersangkutan. Akhirnya, negara penerima utang
itu menjadi target yang lunak ketika negara kreditor membutuhkan apa yang
dikehendakinya, seperti pangkalan militer, suara di PBB, serta akses yang
mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang dimiliki negara penerima
utang.
Jadi, skenario ini berbicara mengenai kebijakan yang
mempromosikan kepentingan korporatokrasi. Konsep korporatokrasi ini yang
membuat pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan, tunduk kepada,
dan sekaligus melayani kepentingan “lain” yang besar. Banyaknya kasus yang
terjadi pada bangsa ini menyiratkan ketidakpedulian dan kegagalan pemerintah
dan sistem birokrasi. Kalkulasi bisnis dan statistik menjadi berhala bagi para
elit kekuasaan dan korporat. Keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah terlalu
banyak mempertimbangkan kepentingan korporat sehingga banyak aspek kehidupan
yang mulai terlepas dari proses penyelesaian masalah bangsa ini. Rakyat
Indonesia tengah digiring pada suatu era korporatokrasi, dimana kesejahteraan
karyawan dan masyarakat lebih mungkin dikerjakan korporasi dibandingkan negara.
Sangat terlihat jelas, pemerintah memang bekerja di dalam tekanan pihak-pihak
luar yang memainkan berbagai peran kepentingan. Anehnya, pemerintah ini
sepertinya tidak terusik sama sekali dengan hal ini. Padahal, satu
per satu tanpa kita sadari, aset rakyat di bumi pertiwi ini mulai lepas. Perusahaan-perusahaan
yang bertaraf nasional dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia mulai lepas dari
tangan kita. Bahkan beberapa perusahaan dilepaskan begitu saja, layaknya barang
obralan. Seperti biasa, atas nama globalisasi, kita menerimanya sebagai hal yang
wajar. Disini, kasus lumpur Lapindo memberikan kita pelajaran, bahwa langkah
maju-mundur pemerintah untuk bertindak tegas seolah memberi ruang tersendiri
bagi rekayasa jual-beli antar perusahaan, tidak lain untuk menunjukkan
perusahaan (korporasi) memiliki kekuatan yang dahsyat.
Kecenderungan korporasi akan memperlemah kemampuan pihak
luar, dalam membatasi atau mengontrol kegiatannya, seharusnya kita sadari.
Agen-agen korporat melalui lobi-lobi tingkat tinggi, dengan memanfaatkan
jaringan media pembentuk opini publik, akan memengaruhi berbagai peraturan,
agar hasilnya tetap berpihak pada kepentingan mereka. Iklim politik dan
birokrasi publik yang diwarnai mobilitas vertikal yang mahal, pasar-pasar lobi
menjadi menjamur. Dalam kondisi demikian, pengusaha merupakan sumber dana
politik yang andal, dan tukar menukar konsesi lumrah terjadi.
UU Badan Hukum Pendidikan (BHP)
menjadi salah satu contohnya. Sangat memprihatinkan bahwa pendidikan formal
harus berbentuk badan hukum. Keharusan penyelenggara/satuan pendidikan formal berbentuk
badan hukum pendidikan sebenarnya sudah dimulai sejak adanya UU Sisdiknas dalam
bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), misalnya, UGM, ITB, IPB yang berstatus
badan hukum milik Negara. Sejak itu Perguruan Tinggi Negeri bersifat otonom,
terutama dalam hal pembiayaan, sehingga biaya untuk menempuh pendidikan tinggi
menjadi semakin mahal. Usaha-usaha untuk memperoleh tambahan dana pun sudah
dilakukan, misalnya dengan menaikan biaya pendaftaran mahasiswa baru, pembukaan
jalur khusus, maupun pungutan-pungutan lain yang dikenakan kepada mahasiswa,
misalnya, pungutan biaya perpustakaan, gedung dan lain sebagainya. Konsep
manajemen pendidikan seperti ini merugikan masyarakat. Akibatnya, banyak anak
bangsa yang tidak dapat mengakses pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan.
1.2 Permasalahan Hukum
1. Bagaimanakah
respon dan tindakan hukum masyarakat terhadap UU BHP ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lahirnya UU BHP
Kewajiban Negara dalam dunia pendidikan sudah
sangat jelas diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pasal 31 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan
“setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.” Untuk melaksanakan amanat pasal ini maka dibentuk Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 53
ayat (1) UU Sisdiknas menyebutkan “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan.” Selanjutnya
Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas menyebutkan “Ketentuan tentang badan hukum
pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.” Berpijak pada Pasal 53 UU
Sisdiknas maka dibentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP), yang mulai berlaku pada tanggal 16 Januari 2009.
2.2 Pengertian
Korporatokrasi
Korporatokrasi adalah sistem kekuasaan yang
dikontrol oleh berbagai korporasi besar, bank-bank internasional dan
pemerintahan .
- Aristokrasi: pemerintahan yang dikuasai kaum aristokrat (bangsawan)
- Plutokrasi:
pemerintahan yang dikuasai oleh plutokrat
(orang kaya)
- Kleptokrasi:
pemerintahan yang dikuasai kleptokrat
(maling)
- Korporatokrasi:
pemerintahan yang dikuasai korporatokrat (pemilik korporasi besar(sebuah bentuk koalisi bisnis dan
politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi))
Istilah korporatokrasi
ini dikenalkan oleh John Perkins
Dalam
bukunya[2] :
- Perkins
menggunakan untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global,
maka berbagai korporasi besar, bank dan pemerintahan bergabung menyatukan
kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti
kehendak mereka.
- The new elite who had
made up their minds to attempt to rule the planet
(elit baru yang telah berketetapan untuk mencoba menguasai planet bumi)
Dibenarkan
oleh Steven Hiatt membenarkan fenomena yang mencolok yaitu: korporasi-korporasi
besar, dengan segala cara, ingin menguasai dunia dalam rangka memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya[3].
Amin
Rais : istilah korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan berapa
korporasi atau perusahaan besar dalam kenyataannya dapat mendikte bahkan
kadang-kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka (Amin Rais
H, 82)
Korporatokrasi sebagai
system atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik
global memiliki 7 (tujuh) unsur yaitu:
a. korporasi besar,
b. kekuasaan politik pemerintahan tertentu,
c. perbankan
internasional,
d. kekuatan militer,
e. media massa,
f. kaum intelektual yang
terkooptasi,
g. elit nasional
negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan
1.
Korporasi
Besar
a. Kata “Besar”: menunjukkan tekanan bahwa
korporasi kecil pada umumnya tidak memiliki ambisi untuk menguras kekayaan bumi
dan membangun sistem atau mesin kekuasaan untuk menciptakan imperium global
b. David
Korten : langkah-langkah korporasi besar untuk melakukan kolonisasi planet bumi
:
- Ketika
korporasi-korporasi besar memperoleh kekuasaan kelembagaan yang bersifat otonom
dan makin terasingkan dari masyarakat dan tempatnya, kepentingan korporasi dan
kepentingan kemanusiaan semakin menganga berbeda
- Kini
kita merasa seolah-olah diserbu oleh makluk-makluk aneh yang bermaksud
menduduki planet bumi kita, mereduksi kita menjadi sekedar budak sahaya dan
mengucilkan kita sebanyak-banyaknya
c. Tentang
kekuasaan bisnis di Indonesia digambarkan oleh Hery Priyono “Sumber dan bentuk
kekuasaan atas suatu masyarakat bukan tunggal (monocentrist), melainkan jamak (polycentrist)[4].
Kekuasaan finansial pemodal untuk melakukan
atau tidak melakukan investasi, memberi keputusan pengadilan atau mendesakkan
penggusuran, sama konkretnya dengan kekuasaan presiden untuk mengundangkan
peraturan.
Apakah kita masih percaya bahwa
pemerintah merupakan penguasa riil atas masyarakat, jika 15 keluarga menguasai
61,7% kapitalisasi pasar di Indonesia dan sedikitnya 71,5% perusahaan go public dikuasai oleh keluarga
(Claessens, dan kawan-kawan 1999)
2.
Kekuasaan Politik Pemerintahan tertentu
a. Secara
teoritas pemerintahan yang mendapat kekuasaan dari rakyat jauh lebih kuat
daripada korporasi, terlepas betapa besarnya korporasi itu. Tetapi nyatanya
pemerintah tunduk dengan kepentingan ekonomi korporasi, pihak eksekutif,
legislatif, yudikatif secara sukarela merunduk hormat bahkan cenderung takut
kepada kemauan korporasi.
Cara korporasi menaklukkan:
- memberi
biaya kampanye menjelang pemilu.
- zaman
Clinton, Narman Hsu seorang agen kampanye
dpt memeras investor asing smp 60 juta dolar
- pem
Mexico mengeluarkan 25 juta dolar sbg pelicin utk melobi tokoh pol Washington
agar posisi Mexico aman di NAFTA
- akhir
1980-an berbagai korporasi Jepang mengeluarkan uang semir 100 juta dolar per
tahun utk melobi tokoh Washington, 300 juta dolar (sekitar 2,7 trilyun rupiah)
utk tokoh-tokoh yg bisa mempengaruhi opini publik
- Pem
Jepang dan korporasi mendirikan 92 biro hkm utk melahirkan UU yg menguntungkan
korporasi
- Pd
musim kampanye pilpres dan anggota Kongres th 2004, korporasi AS mengeluarkan
hampir 4 milyar dolar sbg uang sogok kpd kongres. Berkat uang itu korporasi
memperoleh kontrak senilai 100 kali dr uang itu
-
Noorema Hertz menyatakan:
- Para pemimpin politik sekarang
meskipun dipilih rakyat melalui pemilu, akhirnya mengabdi pada kepentingan
korporasi multinasional yang sejak 4 dekade menjadi actor ekonomi politik yang
penting diluar Negara-bangsa, inilah era “the
death of democracy” matinya demokrasi[5].
Korporasi menaklukkan kekuatan politik dengan
memberikan biaya kampanye tatkala capres atau cagub melakukan kampanye
menjelang pemilu, pilkada (h 891)
3.
Perbankan
dan lembaga keuangan Internasional
a.
Bank bentukan AS dan
sekutunya lewat konferensi Bretton Wood akhir PD II : World Bank dan IMF
b.
Keduanya berperan
sebagai instrumen untuk membela kapitalisme internasional mengupayakan
keuntungan maksimal bagi
korporasi-korporasi besar,
melestarikan dominasi ekonomi AS
i.
World Bank memberikan
pinjaman jangka panjang ke Negara-negara berkembang untuk mendanai
proyek-proyek pembangunan
ii.
IMF memilih Negara yang
perlu dibantu untuk mencapai stabilitas ekonomi dan financial serta memberi
arahan-arahan Negara yang mendapat untung yang harus dikerjakan oleh saran IMF
agar Negara bisa bayar hutang (10 Konsensus Washington)
c.
Jesse Jackson tokoh Amerika dalam sebuah
konferensi Negara-negara Asia Tenggara mengatakan “mereka (kaum imperialis)
dulu menggunakan peluru atau tali, sekarang mereka menggunakan bantuan Dunia
& IMF
d.
Perlawanan dari Negara-negara Amerika
latin terhadap IMF dan Bank Dunia ditunjukkan oleh Hugo Chaves presiden
Venezuela:” World Bank dan IMF adalah alat imperialis AS. Venezuela menarik
diri dari IMF dan World Bank alasannya organisasi “rentenir” internasional itu hanya melestarikan kemiskinan di
Amerika Latin lewat resep-resep ekonomi yang mencelakakan rakyat.
e.
ICSID (International
Centre for Settlement of Investment Disputes atau pusat internasional buat
penyelesaian perselisihan investasi bagian dari World Bank. Bolivia, Venezuela,
Nikaragua mencabut diri dari Badan Arbitrase
4.
Kekuatan
Militer
i.
Pihak militer AS
mempunyai keterkaitan sangat erat dengan
lembaga keuangan internasional dan perusahaan minyak, sehingga kepentingan
militer identik dengan kepentingan mereka (Amin Rais, 105)
ii.
Pengertian
korporatokrasi, maka kemauan korporasi yang lebih utama, ingin meraup uang
sebanyak-banyaknya, sementara elit militer justru melayani kepentingan korporat
sambil memenuhi kepentingan militer sendiri
iii.
Eisen Hower 3 hari
sebelum turun dari jabatan presiden menyampaikan peringatan suatu bahaya yang
dihadapi Amerika: “Military Industrial
Complex”. Peringatan Eisen hower tidak diperhatikan justru peran militer
dalam demokrasi AS semakin kuat dan menentukan.
iv.
Komplek
militer industrial mengejawantahkan
dalam: hubungan yang akrab antara pihak yang mengelola perang (militer,
pemerintah/presiden, kongres) serta perusahaan yang memproduksi senjata dan
peralatan perang, ketiga unsur ini mengejar tujuan yang sama: profit yang
sebesar-besarnya (tadinya digunakan oleh Eisen Hower istilah : military – Industrial – Congresional
complex)
v.
Contoh mutakhir
bagaimana kompleks militer industrial
bekerja adalah : “betapa cepatnya ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu
Bagdad di Irak sudah luluh lantak. Para kontraktor militer /sipil sekitar 48
ribu orang mengisap kekayaan Irak dengan dalih rekonstruksi Irak.
vi.
Korporasi predator yang
ikut kenduri di Irak adalah Halliburton.Belum mulai kerja saja Halliburton
sudah menagih pengadaan minyak untuk kebutuhan serdadu AS sebesar 60 juta dolar
vii.
Anak perusahaan
Halliburton yang sudah bangkrut dihidupkan kembali dan memenangi kontrak
ratusan juta dolar
viii.
Kini AS mengembangkan “new military industrial complex”. Tekad
pentagon untuk membuat doktrin perang baru yaitu menciptakan modal peperangan
yang lebih cepat, lebih ringan, lebih cerdas dengan memanfaatkan keunggulan
tehnologi
ix.
Elit ekonomi, politik,
militer hanya ada satu loyalitas yaitu: loyalitas hanya pada profit, loyalitas only to profits.
x.
Militer AS telah
menjadi suatu pelayanan perlindungan minyak global (a global oil protection
service)
5.
Media Massa
a.
Menurut demokrasi media
massa adalah pilar demokrasi keempat, setelah legislatif, eksekutif, yudikatif
b.
Trias politika oleh
Montesquieu (1689-1755), ia tdk memasukkan media massa
c.
Edmund Burke
(1729-1797) memasukkan media massa sbg pilar ke-4
d.
Pilar ke-4 menjadi
andalan ketika ketiga pilar tdk saling melakukan checks and balances
e.
Sayang, media massa
telah menjadi kepentingan/ alat korporasi.Tahun 1988 Noam Chomsky dan Edward
Herman mengingatkan: media massa pd dsrnya menyuarakan korporasi besar shg isi
pokok media massa di AS Propaganda utk melindungi kepentingan korporasi
Empat
filter yg menyebabkan media massa
seragam dlm menyuarakan korporatokrat:
·
Ukuran (besar, kecil),
kepemilikan dan orientasi profit media massa. Kebijakan media massa sesuai dng korporasi yg mendanai. Wartawan,
redaksi hrs bisa self cencorship
contoh:
Jane Akre wartawan senior sbg responden TV Fox
News dipecat krn mendesak agar laporannya ttg Monsanto yg membahayakan
kesehatan masy ditayangkan. Jika berita itu disiarkan, maka akan menyinggung
korporatokrat
·
Kekuatan
korporasi yg menentukan memasang atau tdk iklan.
Tangan pemasang iklan lebih kuat drpd tangan pemerintah. Koran besar tdk berani
mengoreksi kebijakan korporat yg sesungguhnya menghancurkan masy. Takut iklan
merosot
·
Berita
media massa tdk meninggalkan batas kelayakan,
kepantasan dan keamanan dipihak penguasa ek dan politik adalah sumber berita itu
sendiri. Pemberitaan sesuai jubir birokrasi
Falk diarahkan
ke media oleh kekuasaan ek dan pol (Falk: berondongan kritik dan ancaman yg
menghabisi nyali media massa)
MIMC (Military industrial media complex) lewat media massa, industri
perang mendpt sokongan dr rakyat AS, krn pikiran rakyat AS digarap dng baik
oleng media massa
6.
Kaum
Intelektual yang Terkooptasi
a.
Hitler pelaku pemusnah
jutaan orang Yahudi di Jerman dlm tragedy holocaust,
dipengaruhi gagasan Joseph Arthur Comte de Gobineau dng gagasan: bhw setiap ras
melahirkan budayanya masing2, namun begitu tercampur dng ras lain akan terjadi
kekacauan.
b.
Ali Shariati di Iran
tokoh spiritual revolusi Iran 1979, berpikiran bgmn membebaskan dunia ketiga dr
imperialisme, konsumerisme, tekanan asing
Intelektual dibagi tiga kelompok:
·
Intelektual yang
mengabdi kpd kebenaran, keadilan, kemanusiaan universal
·
Intelektual yang
menentang perubahan: mendukung kemapanan, status quo . mrk adalah safety
players
·
Intelektual
netral: atas nama obyektifitas ilmu tdk pernah
ikut pemihakan baik pd status quo maupun perubahan. Menunggu arah angin,
menunggu siapa pemenang yg muncul jika terjadi perubahan sosial
Intervensi
dan keterlibatan korporasi kedalam tubuh universitas berjalan makin jauh,
terutama universitas yang terhimpit masalah financial. berbagai riset untuk
tujuan korporasi diberikan, tidak ada lagi donasi yang diberikan tanpa ikatan
7.
Elit Nasional Bermental Inlander
Elit nasional bersedia menjadi subordinate 6
kekuatan diatas. Neg berkembang sebagai neg komprador, subordinate negara
pelayan kapitalisme internasional.
Bermental inlander:
a.
bermental budak,
menunggu org lain membebaskan
b.
merasa nikmat dlm
ketergantungan
c.
dalam mengelola hutan
d.
dalam mengelola tambang
BAB
III
PEBAHASAN
Pada tanggal 16
Februari 2009, 25 Februari 2009, 1 April 2009 dan 5 Oktober 2009 UU BHP
mendapat respon dengan adanya permohonan pengujian materiil terhadap UU
BHP, yang diajukan oleh perorangan, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan
Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), sejumlah pesantren dan yayasan seperti
Yayasan Trisakti, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, Yayasan
Universitas Surabaya, Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, Komisi Pendidikan
Konferensi Waligereja Indonesia, Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana,
serta Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. Pengujian Materiil ini dilakukan karena
para pemohon menganggap UU BHP dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945
dengan alasan sebagai berikut : pertama, pemerintah harus
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu kewajiban konstitusionalnya,
oleh karenanya semua biaya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan
harus ditanggung oleh negara (pemerintah); kedua, pendidikan
adalah public goods, tidak boleh dijadikanprivate goods; ketiga, UU
BHP telah menjadikan Badan Hukum Pendidikan sebagai private goods;
keempat, Penyeragaman Badan Hukum Pendidikan memberikan kesulitan
terutama kepada perguruan-perguruan swasta; kelima, Privatisasi,
bahkan komersialisasi pendidikan dengan memberikan peluang berusaha telah
menyebabkan pendidikan masuk dalam mekanisme pasar; keenam,Pendidikan
sudah dikomersialisasikan maka biaya pendidikan menjadi mahal dan tidak
terjangkau terutama oleh masyarakat miskin yang kebetulan tidak berprestasi.
Pada tanggal 31 Maret
2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU BHP bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 terutama Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 UUD Tahun
1945, dan karenanya MK menyatakan UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dasar pertimbangan MK adalah sebagai berikut : pertama, bahwa
UU BHP tidak ada kejelasan baik secara yuridis, maksud maupun keselarasan
dengan UU yang lain; kedua, UU BHP mengasumsikan bahwa
penyelenggara pendidikan mempunyai kemampuan yang sama tetapi dalam prateknya
tidak demikian; ketiga, pemberian otonomi kepada Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) akan berakibat beragam, banyak PTN yang tidak akan mampu mengakses
dana karena keterbatasan pasar di daerah, sehingga hal ini akan menyebabkan
terganggunya penyelenggaraan pendidikan; keempat, Mahkamah
Konstitusi menilai bahwa BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan
nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum; kelima, bukan
hanya BHP yang dapat menyelengarakan pendidikan dengan prinsip nirlaba, akan
tetapi badan-badan lain pun dapat bias menerapkan dengan prinsip yang
sama; keenam, UU BHP bertendensi mengalihkan tanggung jawab
negara kepada masyarakat untuk menanggung beban pendidikan;ketujuh, ada
penyeragaman institusi penyelenggara pendidikan tinggi. MK juga menilai
penerapan UU ini justru akan membunuh ratusan perguruan tinggi negeri yang
tidak mampu membentuk badan hukum pendidikan.
Selain alasan tersebut, pada dasarnya yang
menjadi persoalan pokok dalam dunia pendidikan sejak lahirnya UU Sisdiknas
adalah usaha pelepasan tanggung jawab Negara secara penuh dalam dunia
pendidikan. Hal ini tercermin dari Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa
masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan, dan Pasal 12 Ayat (2b) UU Sisdiknas yang memberi kewajiban terhadap
peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali
bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada, artinya
semua pihak (termasuk mahasiswa atau peserta didik) harus ikut bertanggung
jawab dalam soal pembiayaan dunia pendidikan. Akibatnya, pendidikan semakin
mahal dan orang tua peserta didik semakin berat menangung biaya pendidikan.
Masalah lainnya pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal, yang kemudian memasukan dunia pendidikan dalam bidang usaha yang terbuka
bagi para investor. Perpres tersebut menyebutkan bahwa sektor pendidikan, baik
pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun non formal dapat dimasuki investor
asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen. Perpres No. 77 Tahun 2007
merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Mahkamah Konstitusi menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung
Pemerintah dalam bidang pendidikan. Adanya UU BHP, misi pendidikan formal yang
menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum
Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah
(BHPPD). Ini bertentangan dengan UUD tahun 1945 yang memberikan tanggung jawab
utama pendidikan ada di negara.
UU BHP menjadikan BHPP dan BHPPD sebagai
penentu keberhasilan pendidikan. Hal itu mengakibatkan tidak ada
jaminan tidak tercapainya tujuan pendidikan
nasional sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika BHPP dan
BHPPD tak sanggup melaksanakan tugas, maka bisa dipailitkan dan negara tak akan
memikul tanggung jawab. Menurut Mahkamah Konstitusi, UU BHP menjadikan
pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, tanpa ada
perlindungan sama sekali. Misalnya, Pasal 57 huruf b UU BHP memungkinkan sebuah
BHP untuk dinyatakan pailit. Proses kepailitan BHP tunduk kepada Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Bagi Mahkamah Konstitusi, hal itu menunjukkan bahwa UU BHP tidak memberi
perlindungan sama sekali dari ancaman kepailitan. Prinsip nirlaba dalam UU BHP
juga patut dipertanyakan. Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa ada hal yang
berbeda antara non profit dan biaya pendidikan yang terjangkau, dimana yang terakhir
adalah masalah dalam pendidikan nasional kita. Prinsip nirlaba tidak otomatis
menjadikan pendidikan murah bagi peserta didik. Menurut Mahkamah
Konstitusi, murah atau tidaknya biaya pendidikan ditentukan oleh berbagai
faktor. Pasal 41 ayat (8) dan ayat (9) UU BHP membatasi porsi pendanaan dari
peserta didik, maksimal 1/3 dari biaya operasional. Namun, sayangnya,
pengertian biaya operasional itu sendiri dirumuskan secara terbuka dan tidak
limitatif. Akibatnya, besarnya biaya operasional akan ditentukan oleh variabel
biaya yang digunakan dalam proses pendidikan.
Para
pemohon menilai putusan MK sebagai suatu kemenangan, namun bukan akhir dari
perjuangan. Salah satu kuasa hukum pemohon, Taufik Basar, berharap ke depan
upaya untuk memajukan pendidikan terus dilakukan. Kuasa pemohon tersebut
berharap mudah-mudahan setelah UU BHP ini tiada, kita terus bisa mendorong agar
pendidikan di Indonesia menjadi pendidikan yang murah yang bisa diakses oleh
seluruh bangsa ini, yang bisa mengarah pada tujuan negara kita, mencerdaskan
kehidupan bangsa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa di atas, dapat
disimpulkan dengan pokok-pokok pikiran berikut:
1. Bahwa UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP ini
tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 45,
dapat dimaknai bahwa UU tersebut bertentangan
dan atau tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan UUD 45 secara keseluruhan.
Secara filosofis dan konstitusional maka UU BHP cacat hukum secara fundamental
dan konstitusional. karenanya batal,
tidak dapat, tidak boleh untuk
diberlakukan demi dasar negara, UUD Negara, dan cita-cita bangsa dalam
integritas NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Oleh karena itu
lah masyarakat lalu mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap UU
BHP, yang diwakili oleh perorangan,
Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI),
sejumlah pesantren dan yayasan seperti Yayasan Trisakti, Yayasan Pendidikan dan
Pembina Universitas Pancasila, Yayasan Universitas Surabaya, Yayasan Universitas
Prof. Dr. Moestopo, Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia, Yayasan
Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, serta Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
Pengujian Materiil ini dilakukan karena para pemohon menganggap UU BHP dianggap
bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan alasan sebagai berikut : pertama, pemerintah
harus mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu kewajiban
konstitusionalnya, oleh karenanya semua biaya yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pendidikan harus ditanggung oleh negara (pemerintah); kedua, pendidikan
adalah public goods, tidak boleh dijadikanprivate goods; ketiga, UU
BHP telah menjadikan Badan Hukum Pendidikan sebagai private goods;
keempat, Penyeragaman Badan Hukum Pendidikan memberikan kesulitan
terutama kepada perguruan-perguruan swasta; kelima, Privatisasi,
bahkan komersialisasi pendidikan dengan memberikan peluang berusaha telah
menyebabkan pendidikan masuk dalam mekanisme pasar; keenam,Pendidikan
sudah dikomersialisasikan maka biaya pendidikan menjadi mahal dan tidak
terjangkau terutama oleh masyarakat miskin yang kebetulan tidak berprestasi.
4.2 Saran
Sebaiknya,
demi kebenaran, semua UU yang tidak dilandasi, dan atau tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 45 batal
demi bangsa dan NKRI berdasarkan
Pancasila dan UUD 45
DAFTAR
PUSTAKA
Perkins, John ,
Confessions of An Economic Hitman,
Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
Steven Hiatt, A
Game As Old As empire, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2007.
Heri
priyono, “Memahami Leviathan Baru”, Kompas,
5 april 2002.
Budi Winarno, “akhir Negara bangsa dan kematian
demokrasi”, kompas, 19 Mei 2004.
Sumber
lain :
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10
http://www.scribd.com/doc/38086643/KORPORATOKRASI#download
diakses tanggal 30 juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar