Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Minggu, 05 Mei 2013

KORPORATOKRASI

Oleh

 SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah Republik Indonesia mulai terkikis oleh banyaknya kepentingan yang hinggap. Mulai dari kepentingan kepemilikan, kepentingan keamanan, bahkan kepentingan keselamatan. Indonesia yang subur, kini telah terkubur hidup-hidup dalam waktu. Tentunya, membagi suatu kepentingan bukanlah hal yang mudah, banyak pihak yang akan terlibat dan berpartisipasi secara “aktif” untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ekonomi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kepentingan elit-elit kekuasaan. Bagaimanapun, harta akan selalu menjadi sebuah kue brownies yang menggiurkan para penggemarnya. Hidup tanpa uang akan menjadi sayur tanpa bumbu atau bahkan membuat hidup layaknya mati.


Dalam negara ini, hampir tidak ada wilayah di negeri ini, baik yang berupa daratan, lautan atau udara yang tidak terawasi, atau baik yang bermakna sepetak tanah, luasnya lautan, dan lapangnya udara Republik Indonesia, telah ada yang mengawasi atau bertanggung jawab untuk mengawasi. Kini, tampaknya bangsa Indonesia sendiri sudah enggan dan justru, bangsa lain yang mulai menikmati pengembaraannya di taman surga yang luas ini. Satu tahun berlalu, terlalu banyak hikmah yang Tuhan sampaikan pada kita. Rentetan kasus dan peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 1 tahun terakhir semakin menunjukkan kepada masyarakat dan dunia luar bagaimana sebenarnya pengelolaan negara ini dilakukan dan bagaimana para birokrat negeri ini bekerja.
Bisa jadi, semua kejadian yang menimpa bangsa ini merupakan skenario global dari pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan hal ini terjadi. Sebuah skenario untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara dunia ketiga dan terbelakang melalui politik “utang” kepada negara adikuasa. John Perkins mengatakan bahwa rekayasa ekonomi tengah dilakukan para negara adikuasa untuk melanggengkan tatanan global yang pro-akumulasi modal[1]. Hal ini dilakukan dengan cara mengecoh pemerintahan dengan utang yang banyak. Mereka menyalurkan dana dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan organisasi bantuan lainnya menjadi dana korporasi raksasa. Dana-dana pinjaman yang begitu besar jumlahnya itu dikucurkan oleh negara kreditor dengan tujuan untuk mencengkeram negara bersangkutan. Akhirnya, negara penerima utang itu menjadi target yang lunak ketika negara kreditor membutuhkan apa yang dikehendakinya, seperti pangkalan militer, suara di PBB, serta akses yang mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang dimiliki negara penerima utang.

Jadi, skenario ini berbicara mengenai kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi. Konsep korporatokrasi ini yang membuat pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan, tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan “lain” yang besar. Banyaknya kasus yang terjadi pada bangsa ini menyiratkan ketidakpedulian dan kegagalan pemerintah dan sistem birokrasi. Kalkulasi bisnis dan statistik menjadi berhala bagi para elit kekuasaan dan korporat. Keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah terlalu banyak mempertimbangkan kepentingan korporat sehingga banyak aspek kehidupan yang mulai terlepas dari proses penyelesaian masalah bangsa ini. Rakyat Indonesia tengah digiring pada suatu era korporatokrasi, dimana kesejahteraan karyawan dan masyarakat lebih mungkin dikerjakan korporasi dibandingkan negara. Sangat terlihat jelas, pemerintah memang bekerja di dalam tekanan pihak-pihak luar yang memainkan berbagai peran kepentingan. Anehnya, pemerintah ini sepertinya tidak terusik sama sekali dengan hal ini. Padahal, satu per satu tanpa kita sadari, aset rakyat di bumi pertiwi ini mulai lepas. Perusahaan-perusahaan yang bertaraf nasional dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia mulai lepas dari tangan kita. Bahkan beberapa perusahaan dilepaskan begitu saja, layaknya barang obralan. Seperti biasa, atas nama globalisasi, kita menerimanya sebagai hal yang wajar. Disini, kasus lumpur Lapindo memberikan kita pelajaran, bahwa langkah maju-mundur pemerintah untuk bertindak tegas seolah memberi ruang tersendiri bagi rekayasa jual-beli antar perusahaan, tidak lain untuk menunjukkan perusahaan (korporasi) memiliki kekuatan yang dahsyat.

Kecenderungan korporasi akan memperlemah kemampuan pihak luar, dalam membatasi atau mengontrol kegiatannya, seharusnya kita sadari. Agen-agen korporat melalui lobi-lobi tingkat tinggi, dengan memanfaatkan jaringan media pembentuk opini publik, akan memengaruhi berbagai peraturan, agar hasilnya tetap berpihak pada kepentingan mereka. Iklim politik dan birokrasi publik yang diwarnai mobilitas vertikal yang mahal, pasar-pasar lobi menjadi menjamur. Dalam kondisi demikian, pengusaha merupakan sumber dana politik yang andal, dan tukar menukar konsesi lumrah terjadi.
UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi salah satu contohnya. Sangat memprihatinkan bahwa pendidikan formal harus berbentuk badan hukum. Keharusan penyelenggara/satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan sebenarnya sudah dimulai sejak adanya UU Sisdiknas dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), misalnya, UGM, ITB, IPB yang berstatus badan hukum milik Negara. Sejak itu Perguruan Tinggi Negeri bersifat otonom, terutama dalam hal pembiayaan, sehingga biaya untuk menempuh pendidikan tinggi menjadi semakin mahal. Usaha-usaha untuk memperoleh tambahan dana pun sudah dilakukan, misalnya dengan menaikan biaya pendaftaran mahasiswa baru, pembukaan jalur khusus, maupun pungutan-pungutan lain yang dikenakan kepada mahasiswa, misalnya, pungutan biaya perpustakaan, gedung dan lain sebagainya. Konsep manajemen pendidikan seperti ini merugikan masyarakat. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak dapat mengakses pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan.
1.2 Permasalahan Hukum
1.      Bagaimanakah respon dan tindakan hukum masyarakat terhadap UU BHP ?




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahirnya UU BHP
Kewajiban Negara dalam dunia pendidikan sudah sangat jelas diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pasal 31 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Untuk melaksanakan amanat pasal ini maka dibentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menyebutkan “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan.” Selanjutnya Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas menyebutkan “Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.” Berpijak pada Pasal 53 UU Sisdiknas maka dibentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yang mulai berlaku pada tanggal 16 Januari 2009.

2.2 Pengertian Korporatokrasi
Korporatokrasi adalah sistem kekuasaan yang dikontrol oleh berbagai korporasi besar, bank-bank internasional dan pemerintahan .
-       Aristokrasi:  pemerintahan yang dikuasai kaum aristokrat (bangsawan)
-       Plutokrasi: pemerintahan yang dikuasai oleh plutokrat (orang kaya)
-       Kleptokrasi: pemerintahan yang dikuasai kleptokrat (maling)
-       Korporatokrasi: pemerintahan yang dikuasai korporatokrat (pemilik korporasi besar(sebuah bentuk koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi))

Istilah korporatokrasi ini dikenalkan oleh John Perkins
Dalam bukunya[2] :
-   Perkins menggunakan untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai korporasi besar, bank dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.
-   The new elite who had made up their minds to attempt to rule the planet (elit baru yang telah berketetapan untuk mencoba menguasai planet bumi)

Dibenarkan oleh Steven Hiatt membenarkan fenomena yang mencolok yaitu: korporasi-korporasi besar, dengan segala cara, ingin menguasai dunia dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar-besarnya[3].
Amin Rais : istilah korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan berapa korporasi atau perusahaan besar dalam kenyataannya dapat mendikte bahkan kadang-kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka (Amin Rais H, 82)
Korporatokrasi sebagai system atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global memiliki 7 (tujuh) unsur yaitu:
a.       korporasi besar,
b.       kekuasaan politik pemerintahan tertentu,
c.       perbankan internasional,
d.      kekuatan militer,
e.       media massa,
f.       kaum intelektual yang terkooptasi,
g.      elit nasional negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan
1.         Korporasi Besar
a.        Kata “Besar”: menunjukkan tekanan bahwa korporasi kecil pada umumnya tidak memiliki ambisi untuk menguras kekayaan bumi dan membangun sistem atau mesin kekuasaan untuk menciptakan imperium global
b.      David Korten : langkah-langkah korporasi besar untuk melakukan kolonisasi planet bumi :
-       Ketika korporasi-korporasi besar memperoleh kekuasaan kelembagaan yang bersifat otonom dan makin terasingkan dari masyarakat dan tempatnya, kepentingan korporasi dan kepentingan kemanusiaan semakin menganga berbeda
-       Kini kita merasa seolah-olah diserbu oleh makluk-makluk aneh yang bermaksud menduduki planet bumi kita, mereduksi kita menjadi sekedar budak sahaya dan mengucilkan kita sebanyak-banyaknya
c.       Tentang kekuasaan bisnis di Indonesia digambarkan oleh Hery Priyono “Sumber dan bentuk kekuasaan atas suatu masyarakat bukan tunggal (monocentrist), melainkan jamak (polycentrist)[4].
     Kekuasaan finansial pemodal untuk melakukan atau tidak melakukan investasi, memberi keputusan pengadilan atau mendesakkan penggusuran, sama konkretnya dengan kekuasaan presiden untuk mengundangkan peraturan.
Apakah kita masih percaya bahwa pemerintah merupakan penguasa riil atas masyarakat, jika 15 keluarga menguasai 61,7% kapitalisasi pasar di Indonesia dan sedikitnya 71,5% perusahaan go public dikuasai oleh keluarga (Claessens, dan kawan-kawan 1999)
2.          Kekuasaan Politik Pemerintahan tertentu
a.       Secara teoritas pemerintahan yang mendapat kekuasaan dari rakyat jauh lebih kuat daripada korporasi, terlepas betapa besarnya korporasi itu. Tetapi nyatanya pemerintah tunduk dengan kepentingan ekonomi korporasi, pihak eksekutif, legislatif, yudikatif secara sukarela merunduk hormat bahkan cenderung takut kepada kemauan korporasi.
Cara korporasi menaklukkan:
-       memberi biaya kampanye menjelang pemilu.
-       zaman Clinton, Narman Hsu seorang agen kampanye  dpt memeras investor asing smp 60 juta dolar
-       pem Mexico mengeluarkan 25 juta dolar sbg pelicin utk melobi tokoh pol Washington agar posisi Mexico aman di NAFTA
-       akhir 1980-an berbagai korporasi Jepang mengeluarkan uang semir 100 juta dolar per tahun utk melobi tokoh Washington, 300 juta dolar (sekitar 2,7 trilyun rupiah) utk tokoh-tokoh yg bisa mempengaruhi opini publik
-       Pem Jepang dan korporasi mendirikan 92 biro hkm utk melahirkan UU yg menguntungkan korporasi
-       Pd musim kampanye pilpres dan anggota Kongres th 2004, korporasi AS mengeluarkan hampir 4 milyar dolar sbg uang sogok kpd kongres. Berkat uang itu korporasi memperoleh kontrak senilai 100 kali dr uang itu
-        
Noorema Hertz menyatakan:
- Para pemimpin politik sekarang meskipun dipilih rakyat melalui pemilu, akhirnya mengabdi pada kepentingan korporasi multinasional yang sejak 4 dekade menjadi actor ekonomi politik yang penting diluar Negara-bangsa, inilah era “the death of democracy” matinya demokrasi[5].
Korporasi menaklukkan kekuatan politik dengan memberikan biaya kampanye tatkala capres atau cagub melakukan kampanye menjelang pemilu, pilkada (h 891)


3.         Perbankan dan lembaga keuangan Internasional
a.                     Bank bentukan AS dan sekutunya lewat konferensi Bretton Wood akhir PD II : World Bank dan IMF
b.                    Keduanya berperan sebagai instrumen untuk membela kapitalisme internasional mengupayakan keuntungan maksimal bagi  korporasi-korporasi besar,  melestarikan dominasi ekonomi AS
                             i.      World Bank memberikan pinjaman jangka panjang ke Negara-negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek pembangunan
                           ii.      IMF memilih Negara yang perlu dibantu untuk mencapai stabilitas ekonomi dan financial serta memberi arahan-arahan Negara yang mendapat untung yang harus dikerjakan oleh saran IMF agar Negara bisa bayar hutang (10 Konsensus Washington)
c.                 Jesse Jackson tokoh Amerika dalam sebuah konferensi Negara-negara Asia Tenggara mengatakan “mereka (kaum imperialis) dulu menggunakan peluru atau tali, sekarang mereka menggunakan bantuan Dunia & IMF
d.                Perlawanan dari Negara-negara Amerika latin terhadap IMF dan Bank Dunia ditunjukkan oleh Hugo Chaves presiden Venezuela:” World Bank dan IMF adalah alat imperialis AS. Venezuela menarik diri dari IMF dan World Bank alasannya organisasi “rentenir” internasional itu hanya melestarikan kemiskinan di Amerika Latin lewat resep-resep ekonomi yang mencelakakan rakyat.
e.              ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes atau pusat internasional buat penyelesaian perselisihan investasi bagian dari World Bank. Bolivia, Venezuela, Nikaragua mencabut diri dari Badan Arbitrase
4.         Kekuatan Militer
                 i.                  Pihak militer AS mempunyai keterkaitan sangat erat  dengan lembaga keuangan internasional dan perusahaan minyak, sehingga kepentingan militer identik dengan kepentingan mereka (Amin Rais, 105)
               ii.                  Pengertian korporatokrasi, maka kemauan korporasi yang lebih utama, ingin meraup uang sebanyak-banyaknya, sementara elit militer justru melayani kepentingan korporat sambil memenuhi kepentingan militer sendiri
             iii.                  Eisen Hower 3 hari sebelum turun dari jabatan presiden menyampaikan peringatan suatu bahaya yang dihadapi Amerika: “Military Industrial Complex”. Peringatan Eisen hower tidak diperhatikan justru peran militer dalam demokrasi AS semakin kuat dan menentukan.
             iv.                  Komplek militer industrial mengejawantahkan dalam: hubungan yang akrab antara pihak yang mengelola perang (militer, pemerintah/presiden, kongres) serta perusahaan yang memproduksi senjata dan peralatan perang, ketiga unsur ini mengejar tujuan yang sama: profit yang sebesar-besarnya (tadinya digunakan oleh Eisen Hower istilah : military – Industrial – Congresional complex)
               v.                  Contoh mutakhir bagaimana kompleks militer industrial bekerja adalah : “betapa cepatnya ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Bagdad di Irak sudah luluh lantak. Para kontraktor militer /sipil sekitar 48 ribu orang mengisap kekayaan Irak dengan dalih rekonstruksi Irak.
             vi.                  Korporasi predator yang ikut kenduri di Irak adalah Halliburton.Belum mulai kerja saja Halliburton sudah menagih pengadaan minyak untuk kebutuhan serdadu AS sebesar 60 juta dolar
           vii.                  Anak perusahaan Halliburton yang sudah bangkrut dihidupkan kembali dan memenangi kontrak ratusan juta dolar
         viii.                  Kini AS mengembangkan “new military industrial complex”. Tekad pentagon untuk membuat doktrin perang baru yaitu menciptakan modal peperangan yang lebih cepat, lebih ringan, lebih cerdas dengan memanfaatkan keunggulan tehnologi
             ix.                  Elit ekonomi, politik, militer hanya ada satu loyalitas yaitu: loyalitas hanya pada profit, loyalitas only to profits.
               x.                  Militer AS telah menjadi suatu pelayanan perlindungan minyak global (a global oil protection service)
5.          Media Massa 
a.                     Menurut demokrasi media massa adalah pilar demokrasi keempat, setelah legislatif, eksekutif, yudikatif
b.                    Trias politika oleh Montesquieu (1689-1755), ia tdk memasukkan media massa
c.                     Edmund Burke (1729-1797) memasukkan media massa sbg pilar ke-4
d.                    Pilar ke-4 menjadi andalan ketika ketiga pilar tdk saling melakukan checks and balances
e.                     Sayang, media massa telah menjadi kepentingan/ alat korporasi.Tahun 1988 Noam Chomsky dan Edward Herman mengingatkan: media massa pd dsrnya menyuarakan korporasi besar shg isi pokok media massa di AS Propaganda utk melindungi kepentingan korporasi
Empat filter yg menyebabkan  media massa seragam dlm menyuarakan korporatokrat:
·         Ukuran (besar, kecil), kepemilikan dan orientasi profit media massa. Kebijakan media massa sesuai dng korporasi yg mendanai. Wartawan, redaksi hrs bisa self cencorship
contoh: Jane Akre wartawan senior sbg responden TV Fox News dipecat krn mendesak agar laporannya ttg Monsanto yg membahayakan kesehatan masy ditayangkan. Jika berita itu disiarkan, maka akan menyinggung korporatokrat
·         Kekuatan korporasi yg menentukan memasang atau tdk iklan. Tangan pemasang iklan lebih kuat drpd tangan pemerintah. Koran besar tdk berani mengoreksi kebijakan korporat yg sesungguhnya menghancurkan masy. Takut iklan merosot
·         Berita media massa tdk meninggalkan batas kelayakan, kepantasan dan keamanan dipihak penguasa ek dan politik adalah sumber berita itu sendiri. Pemberitaan sesuai jubir birokrasi
Falk diarahkan ke media oleh kekuasaan ek dan pol (Falk: berondongan kritik dan ancaman yg menghabisi nyali media massa)
MIMC (Military industrial media complex) lewat media massa, industri perang mendpt sokongan dr rakyat AS, krn pikiran rakyat AS digarap dng baik oleng media massa
6.         Kaum Intelektual yang Terkooptasi
a.                     Hitler pelaku pemusnah jutaan orang Yahudi di Jerman dlm tragedy holocaust, dipengaruhi gagasan Joseph Arthur Comte de Gobineau dng gagasan: bhw setiap ras melahirkan budayanya masing2, namun begitu tercampur dng ras lain akan terjadi kekacauan.
b.                    Ali Shariati di Iran tokoh spiritual revolusi Iran 1979, berpikiran bgmn membebaskan dunia ketiga dr imperialisme, konsumerisme, tekanan asing
        Intelektual dibagi tiga kelompok:
·         Intelektual yang mengabdi kpd kebenaran, keadilan, kemanusiaan universal
·         Intelektual yang menentang perubahan: mendukung kemapanan, status quo . mrk adalah safety players
·         Intelektual netral:  atas nama obyektifitas ilmu tdk pernah ikut pemihakan baik pd status quo maupun perubahan. Menunggu arah angin, menunggu siapa pemenang yg muncul jika terjadi perubahan sosial
              Intervensi dan keterlibatan korporasi kedalam tubuh universitas berjalan makin jauh, terutama universitas yang terhimpit masalah financial. berbagai riset untuk tujuan korporasi diberikan, tidak ada lagi donasi yang diberikan tanpa ikatan
7.          Elit Nasional Bermental Inlander
Elit nasional bersedia menjadi subordinate 6 kekuatan diatas. Neg berkembang sebagai neg komprador, subordinate negara pelayan kapitalisme internasional.
Bermental inlander:
a.                   bermental budak, menunggu org lain membebaskan
b.                  merasa nikmat dlm ketergantungan
c.                   dalam mengelola hutan
d.                  dalam mengelola tambang


BAB III
PEBAHASAN
Pada tanggal 16 Februari 2009, 25 Februari 2009, 1 April 2009 dan 5 Oktober 2009 UU BHP mendapat respon dengan adanya permohonan pengujian materiil  terhadap UU BHP, yang diajukan oleh perorangan, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), sejumlah pesantren dan yayasan seperti Yayasan Trisakti, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, Yayasan Universitas Surabaya, Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia, Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, serta Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. Pengujian Materiil ini dilakukan karena para pemohon menganggap UU BHP dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan alasan sebagai berikut : pertama, pemerintah harus mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu kewajiban konstitusionalnya, oleh karenanya semua biaya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan harus ditanggung oleh negara (pemerintah); kedua, pendidikan adalah public goods, tidak boleh dijadikanprivate goodsketiga, UU BHP telah menjadikan Badan Hukum Pendidikan sebagai private goods; keempat, Penyeragaman Badan Hukum Pendidikan memberikan kesulitan terutama kepada perguruan-perguruan swasta; kelima, Privatisasi, bahkan komersialisasi pendidikan dengan memberikan peluang berusaha telah menyebabkan pendidikan masuk dalam mekanisme pasar; keenam,Pendidikan sudah dikomersialisasikan maka biaya pendidikan menjadi mahal dan tidak terjangkau terutama oleh masyarakat miskin yang kebetulan tidak berprestasi.
Pada tanggal 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU BHP bertentangan dengan  UUD Tahun 1945 terutama Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 UUD Tahun 1945, dan karenanya MK menyatakan UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dasar pertimbangan MK adalah sebagai berikut : pertama, bahwa UU BHP tidak ada kejelasan baik secara yuridis, maksud maupun keselarasan dengan UU yang lain; kedua, UU BHP mengasumsikan bahwa penyelenggara pendidikan mempunyai kemampuan yang sama tetapi dalam prateknya tidak demikian; ketiga, pemberian otonomi kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan berakibat beragam, banyak PTN yang tidak akan mampu mengakses dana karena keterbatasan pasar di daerah, sehingga hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan; keempat, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum; kelima, bukan hanya BHP yang dapat menyelengarakan pendidikan dengan prinsip nirlaba, akan tetapi badan-badan lain pun dapat bias menerapkan dengan prinsip yang sama; keenam, UU BHP bertendensi mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat untuk menanggung beban pendidikan;ketujuh, ada penyeragaman institusi penyelenggara pendidikan tinggi. MK juga menilai penerapan UU ini justru akan membunuh ratusan perguruan tinggi negeri yang tidak mampu membentuk badan hukum pendidikan.
Selain alasan tersebut, pada dasarnya yang menjadi persoalan pokok dalam dunia pendidikan sejak lahirnya UU Sisdiknas adalah usaha pelepasan tanggung jawab Negara secara penuh dalam dunia pendidikan. Hal ini tercermin dari Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, dan Pasal 12 Ayat (2b) UU Sisdiknas yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada, artinya semua pihak (termasuk mahasiswa atau peserta didik) harus ikut bertanggung jawab dalam soal pembiayaan dunia pendidikan. Akibatnya, pendidikan semakin mahal dan orang tua peserta didik semakin berat menangung biaya pendidikan.
Masalah lainnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, yang kemudian memasukan dunia pendidikan dalam bidang usaha yang terbuka bagi para investor. Perpres tersebut menyebutkan bahwa sektor pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun non formal dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen. Perpres No. 77 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Mahkamah Konstitusi menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. Adanya UU BHP, misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD). Ini bertentangan dengan UUD tahun 1945 yang memberikan tanggung jawab utama pendidikan ada di negara.
UU BHP menjadikan BHPP dan BHPPD sebagai penentu keberhasilan pendidikan. Hal itu mengakibatkan tidak ada jaminan tidak tercapainya tujuan pendidikan  nasional  sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika BHPP dan BHPPD tak sanggup melaksanakan tugas, maka bisa dipailitkan dan negara tak akan memikul tanggung jawab. Menurut Mahkamah Konstitusi, UU BHP menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, tanpa ada perlindungan sama sekali. Misalnya, Pasal 57 huruf b UU BHP memungkinkan sebuah BHP untuk dinyatakan pailit. Proses kepailitan BHP tunduk kepada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bagi Mahkamah Konstitusi, hal itu menunjukkan bahwa UU BHP tidak memberi perlindungan sama sekali dari ancaman kepailitan. Prinsip nirlaba dalam UU BHP juga patut dipertanyakan. Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa ada hal yang berbeda antara non profit dan biaya pendidikan yang terjangkau, dimana yang terakhir adalah masalah dalam pendidikan nasional kita. Prinsip nirlaba tidak otomatis menjadikan pendidikan murah bagi peserta  didik. Menurut Mahkamah Konstitusi, murah atau tidaknya biaya pendidikan ditentukan oleh berbagai faktor. Pasal 41 ayat (8) dan ayat (9) UU BHP membatasi porsi pendanaan dari peserta didik, maksimal 1/3 dari biaya operasional. Namun, sayangnya, pengertian biaya operasional itu sendiri dirumuskan secara terbuka dan tidak limitatif. Akibatnya, besarnya biaya operasional akan ditentukan oleh variabel biaya yang digunakan dalam proses pendidikan.
Para pemohon menilai putusan MK sebagai suatu kemenangan, namun bukan akhir dari perjuangan. Salah satu kuasa hukum pemohon, Taufik Basar, berharap ke depan upaya untuk memajukan pendidikan terus dilakukan. Kuasa pemohon tersebut berharap mudah-mudahan setelah UU BHP ini tiada, kita terus bisa mendorong agar pendidikan di Indonesia menjadi pendidikan yang murah yang bisa diakses oleh seluruh bangsa ini, yang bisa mengarah pada tujuan negara kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.













BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
   Berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan dengan pokok-pokok pikiran berikut:
1.        Bahwa UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP ini tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 45, dapat dimaknai bahwa UU tersebut bertentangan dan atau tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan UUD 45 secara keseluruhan. Secara filosofis dan konstitusional maka UU BHP cacat hukum secara fundamental dan konstitusional. karenanya batal, tidak dapat, tidak boleh  untuk diberlakukan demi dasar negara, UUD Negara, dan cita-cita bangsa dalam integritas NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Oleh karena itu lah masyarakat lalu mengajukan permohonan pengujian materiil  terhadap UU BHP, yang diwakili oleh  perorangan, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), sejumlah pesantren dan yayasan seperti Yayasan Trisakti, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, Yayasan Universitas Surabaya, Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia, Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, serta Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. Pengujian Materiil ini dilakukan karena para pemohon menganggap UU BHP dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan alasan sebagai berikut : pertama, pemerintah harus mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu kewajiban konstitusionalnya, oleh karenanya semua biaya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan harus ditanggung oleh negara (pemerintah); kedua, pendidikan adalah public goods, tidak boleh dijadikanprivate goodsketiga, UU BHP telah menjadikan Badan Hukum Pendidikan sebagai private goods; keempat, Penyeragaman Badan Hukum Pendidikan memberikan kesulitan terutama kepada perguruan-perguruan swasta; kelima, Privatisasi, bahkan komersialisasi pendidikan dengan memberikan peluang berusaha telah menyebabkan pendidikan masuk dalam mekanisme pasar; keenam,Pendidikan sudah dikomersialisasikan maka biaya pendidikan menjadi mahal dan tidak terjangkau terutama oleh masyarakat miskin yang kebetulan tidak berprestasi.
             4.2 Saran
             Sebaiknya, demi kebenaran, semua UU yang tidak dilandasi, dan atau tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 45 batal demi bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45





DAFTAR PUSTAKA
Perkins, John , Confessions of An Economic Hitman, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
Steven Hiatt, A Game As Old As empire, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2007.
Heri priyono, “Memahami Leviathan Baru”, Kompas, 5 april 2002.
Budi Winarno, “akhir Negara bangsa dan kematian demokrasi”, kompas, 19 Mei 2004.
Sumber lain :
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10


[1] John Perkins, Confessions of An Economic Hitman, 2004
[2] Ibid.
[3] Steven Hiatt, A Game As Old As empire, 2007
[4] Heri priyono, “Memahami Leviathan Baru”, Kompas, Tgl 5 april 2002.
[5] Budi Winarno, “akhir Negara bangsa dan kematian demokrasi”, kompas, 19 Mei 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar