Berita Kependudukan :
Monday, 13 February 2006, 17:59:27
Dilema
Program Keluarga Berencana di Era Otonomi Daerah
Kategori: Berita Nasional.
Perubahan paradigma pembangunan di daerah
berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah (otda) telah membuat para
pengambil keputusan di daerah melakukan efisiensi dengan menghilangkan sejumlah
lembaga pusat atau mungkin meleburnya ke dalam dinas, badan, atau pun kantor
yang baru dibentuk. Langkah ini tentunya disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing daerah.
(Suara Pembaruan) - Perubahan paradigma
pembangunan di daerah berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah
(otda) telah membuat para pengambil keputusan di daerah melakukan efisiensi
dengan menghilangkan sejumlah lembaga pusat atau mungkin meleburnya ke dalam
dinas, badan, atau pun kantor yang baru dibentuk. Langkah ini tentunya
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah.
Semangat kemandirian yang mendasari pelaksanaan
otda tersebut telah membuat daerah-daerah berlomba-lomba melakukan perampingan
struktur kelembagaan demi menekan anggaran rutin dan memperbesar dana
pembangunan.
Salah satu lembaga pusat yang menjadi
"korban" kebijakan pemerintah tersebut adalah Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lembaga yang sempat diusulkan dibubarkan
oleh mantan Wapres Hamzah Haz ini, relatif kacau balau secara anatomi
kelembagaan dan fungsinya di era otda ini.
Data BKKBN Pusat Oktober 2005 menunjukkan, dari
433 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, baru 72,29 persen yang mengakomodasi
lembaga KB dalam bentuk perda, 1,08 persen raperda, 21,71 persen SK bupati/wali
kota, dan 3,93 persen masih sebatas wacana.
Kendati lembaga KB yang dibentuk dengan perda
mencapai 310 kabupaten/kota, namun hanya sekitar 31 kabupaten/kota yang berupa
dinas utuh. Sisanya dimerger dengan instansi lain dengan bentuk kelembagaan
yang sangat bervariasi.
Pembaruan yang akhir Desember lalu mengikuti
kegiatan press tour BKKBN Pusat ke Kupang, NTT, mendapati bahwa kondisi
kelembagaan BKKBN yang kacau-balau tercermin pula di provinsi tertinggal ini.
Dari 15 kabupaten/kota di NTT, hanya satu yang mempunyai dinas BKKBN yang
utuh., yakni Kota Kupang. Di kota yang dipimpin oleh Wali Kota SK Lerik ini,
lembaga KB dinamakan Dinas Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Kota
Kupang.
Keberadaan dinas ini, menurut Lerik, sangat
berpengaruh pada pencapaian program keluarga berencana di Kota Kupang. Kemajuan
itu terlihat jelas dari data yang ada tentang jumlah peserta baru dan peserta
aktif KB, serta pasangan usia subur. Saat institusi BKKBN ini diserahkan
sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Kupang oleh Pemerintah Provinsi NTT pada 15
Desember 2003, jumlah peserta baru KB 1.047, peserta aktif 19.378, dan pasangan
usia subur 33.756 dengan persentase keaktifan 57,40 persen. Namun data per
Oktober 2005 menunjukkan bahwa jumlah peserta baru meningkat mencapai 2.515,
peserta aktif 20.801, dan pasangan usia subur 34.759 dengan persentase
keaktifan mencapai 59,84 persen. "Jelas bahwa keberadaan dinas ini sangat
signifikan pada pencapaian kemajuan ini," ujar Lerik. "Dan kemajuan
ini tentu saja sangat berpengaruh pada upaya meningkatkan kesejahteraan
keluarga di Kota Kupang," tambahnya.
Sayangnya, dari 15 kabupaten/kota di Provinsi
NTT, baru Kota Kupang yang mengelola masalah ini dengan sebuah dinas yang utuh.
Mengacu pada kondisi ini, jelas bahwa keberlangsungan program KB di waktu
mendatang cukup mengkhawatirkan. Hal ini karena keberhasilan atau kegagalan
program KB secara nasional sangat bergantung pada keberhasilan atau kegagalan
pengelolaan program dan kelembagaan KB di kabupaten/kota.
Kondisi ini diakui pula oleh Kepala BKKBN NTT,
Soter Parera MPA. "Angka kelahiran di NTT cenderung meningkat di era otda
ini," ujarnya kepada Pembaruan dan di Republika di Kupang, belum lama ini.
Padahal, menurut Soter, sejak dicanangkan di
NTT tahun 1979, program KB telah memberikan hasil dan dampak demografis yang
bermakna. Angka kelahiran (fertilitas) telah menurun secara signifikan dari 5,7
anak per wanita pada tahun 1979 menjadi 3,45 pada tahun 1997. Namun pada tahun
2002 tingkat fertilitas meningkat kembali menjadi 4,1.
"Keadaan ini sungguh mencemaskan jika
tidak disikapi secara serius karena upaya menurunkan tingkat fertilitas yang
telah meningkat kembali itu tidaklah mudah. Fenomena stalling fertility bisa
terjadi di NTT, dengan tingkat fertilitas yang sudah turun, naik kembali
menjadi tidak terkendali," ujarnya.
Beban Pemerintah
Tingginya angka kelahiran di NTT akan berdampak
terhadap meningkatnya jumlah penduduk usia muda, yang selanjutnya mempengaruhi
struktur penduduk di daerah ini. Kondisi ini akan menjadi beban bagi pemerintah
dan masyarakat NTT, karena harus menyediakan potensi daya, dana, serta sarana
dan prasarana yang tidak kecil untuk memenuhi kebutuhan pelayanan dibandingkan
untuk pembangunan dan investasi.
Karena itu, lanjut Soter, pengelolaan
kependudukan, terutama pengelolaan perencanaan kehidupan berkeluarga melalui
program KB, merupakan hal yang perlu mendapat perhatian penting dari para
kepala daerah di NTT. Apalagi program ini sudah terbukti memberi sumbangsih
besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daerah.
Ia menambahkan, investasi di bidang KB
hendaknya tidak dilihat dari perspektif sempit. Dalam jangka pendek, investasi
daerah bagi program KB memang terlihat besar seperti anggaran untuk pengadaan
alat kontrasepsi. Namun jika dibandingkan dengan besarnya dana untuk
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, yang dapat dikurangi karena keberhasilan
program ini, jelas bahwa manfaat program KB lebih besar.
"Pemerintah daerah sesungguhnya tidak rugi
memberi perhatian terhadap program KB, kendati sebagian orang menganggap
program ini tidak menghasilkan PAD, sehingga tidak mendapat perhatian di
sebagian kabupaten di NTT. Padahal sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi
dan penyiapan kualitas penduduk sangat besar," tandas Soter Parera.
Selaras dengan Soter, Gubernur NTT Piet Tallo
dan Ketua DPRD NTT Mell Adoe sepakat bahwa program KB penting dalam upaya
peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah ini. Namun, Piet Tallo tidak
terlalu mementingkan bentuk kelembagaannya. Menurutnya, aspek lokal harus
diperhatikan dalam penerapan program KB di daerahnya. "Selama fungsinya
jalan, masalah anatomi (kelembagaan) tidak terlalu menjadi masalah,"
katanya.
Pembaruan/ Petrus Christian Mboeik
Berita Kependudukan :
Monday, 06 September 2010.
Pemerintah
akan merevitalisasi program Keluarga Berencana (KB)
Kategori: Berita Nasional.
Jakarta,
Pemerintah akan merevitalisasi program Keluarga Berencana (KB) pada tahun 2010
dengan target melayani sedikitnya 7,1 juta peserta atau akseptor KB baru.
Kebijakan ini akan masuk ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) yang akan segera
dikeluarkan.
Pembahasan:
Dapat
kita lihat dalam uraian berita diatas bahwa terdapat dilema terhadap kebijakan
pemerintah mengenai program keluarga berencana di era otonomi daerah. Program
Keluarga Berencana yang dicanangkan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk di Indonesia dapat dikatakan efektif. Terbukti dengan diraihnya
penghargaan dari lembaga PBB karena Indonesia dapat menekan laju pertumbuhan
penduduk pada masa rezim Soeharto dengan system sentralistik. Lambat laun arah
kebijakan pemerintah tidak selalu memfokuskan program Keluarga Berencana, yang
mulanya dipaksakan sekarang mulain beralih menjadi secara sukarela.
Seharusnya
pengelolaan kependudukan, terutama pengelolaan perencanaan kehidupan
berkeluarga melalui program Keluarga Berencana (KB), merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian penting dari para kepala daerah di NTT. Apalagi program ini
sudah terbukti memberi sumbangsih besar bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan daerah. Jika dilihat dari investasi di bidang Keluarga Berencana
(KB) hendaknya kita tidak dilihat dari perspektif sempit. Dalam jangka pendek,
investasi daerah bagi program KB memang terlihat besar seperti anggaran untuk
pengadaan alat kontrasepsi. Namun jika dibandingkan dengan besarnya dana untuk
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, yang dapat dikurangi karena keberhasilan
program ini, jelas bahwa manfaat program KB lebih besar.
Meskipun
demikian, pemerintah selalu berupaya untuk mendinamisasikan program tersebut
dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang dianggap sebagai solusi mengatasi hal yang muncul dan menghambat
program keluarga berencana tersebut.
Pada
tahun 2006 bisa kita melihat bahwa tidak semua kebijakan pemerintah dalam hal
program keluarga berencana dapat dikatakan efektif,itu bisa kita baca dalam
uraian berita diatas, dimana NTT sebagai propinsi yang dapat dikatakan
tertinggal, belum siap untuk menerima pendelegasian fungsi dan peran BKKBN di
daerah, yang telah digalangkan oleh pemerintah secara maksimal. Untuk urusan
sepenting ini, saya pikir lebih baik kalau pemerintah pusat yang langsung
mengelolanya, karena Program keluarga berencana atas kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah pusat tidak akan dapat berjalan maksimal tanpa ikut campur
pemerintah pusat maupun daerahnya.
Pada
berita yang ke-2,tidak dapat dipisahkan dengan berita yg ke-1 sejalan dengan
perkembangan kebijakan program KB tersebut.
Saya
sangat setuju pendapat Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) dr Sugiri Syarief yang mengatakan, bahwa "Memang perlu
sentralisasi kebijakan KB. Mungkin ini melawan arus tetapi BKKBN akan
mengupayakannya," saat memberi saran terkait penelitiannya dihadapan
Sidang Senat Guru Besar Universitas Padjadjaran. Bandung, Kamis (3/ 12).
Kebijakan
nasional Program Keluarga Berencana (KB) sebaiknya sentralistik agar
pelaksanaan program KB berjalan baik di seluruh Indonesia. Tetapi jika tetap
dilakukan secara desentralisasi, maka Pemerintah Kabupaten/Kota harus mendukung
dalam pengawasan program dan menyediakan anggaran KB yang memadai.
Dari
tahun ketahun pemerintah pusat berupaya untuk dapat mensukseskan kembali
program Keluarga Berencana ini seperti pada masa Orde Baru. Perubahan-perubahan
selalu dilakukan hingga tahun ini pada pemerintahan SBY, Pemerintah akan
merevitalisasi program Keluarga Berencana (KB) pada tahun 2010 dengan target
melayani sedikitnya 7,1 juta peserta atau akseptor KB baru. Kebijakan ini akan
masuk ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) yang akan segera dikeluarkan.
Saya
kira, melalui Instruksi presiden (Inpres)
laju pertumbuhan penduduk ini diharapkan dapat dikendalikan, mengingat
pertumbuhan penduduk yang pesat akan menjadi ancaman mengerikan jika tidak
dikendalikan. Tetapi menurut saya pencapaian target jumlah dan laju pertumbuhan
penduduk mengalami hambatan, karena tidak semua pemerintah daerah di Indonesia
memprioritaskan program Keluarga Berencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar