Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Minggu, 05 Mei 2013

PROGRAM PENYIARAN INFOTAINMENT DIHUBUNGKAN DENGAN FUNGSI PENYIARAN UNIVERSAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN

Oleh
 SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.


A.    Etika Penyiaran Infotainment

Informasi merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua orang, dengan adanya informasi orang dapat mengetahui apa yang sedang terjadi dan dapat menentukan keputusan untuk masa yang akan datang. Mengingat informasi sangat dibutuhkan maka perlu adanya penyiaran nasional yang dilakukan oleh lembaga penyiaran[1]. Penyiaran dapat menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang sehingga lembaga penyiaran mempunyai peran penting dalam setiap dimensi kehidupan. Setelah bergulirnya masa orde baru, kebebasan pers semakin besar, namun bukan berarti lembaga penyiran dapat bebas menyiarkan apapun sesuai dengan kehendaknya. Ada batasan tertentu yang harus dipatuhi sehingga informasi yang disiarkan tidak merugikan orang lain dan tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

Salah satu program televisi yang mempunyai rating cukup tinggi yaitu infotainment yang berbau gosip dan menceritakan kehidupan selebritis. Infotainment memiliki nilai positif misalnya menjadikan seorang artis menjadi terkenal namun banyak juga dampak negatifnya. Dalam memberikan informasi terkadang infotainment terlalu berlebihan dan sudah begitu bebas melompati pagar etika. Tak jarang informasi yang ditayangkan sebuah infotainment yaitu mengenai aib orang lain seperti kasus perceraian, perselingkuhan, seks dan sebagainya. Informasi yang disuguhkan pun terkadang tidak sesuai dengan fakta namun hanya sebagai mencari sensasional dan keuntungan, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran tentang isi siaran yang dilarang[2]. Perbuatan infotainment yang sudah di luar batas etika telah memberikan ketidaknyaman bagi beberapa pihak, sehingga wajar ketika masalah pribadi seorang artis terus digembor-gemborkan, mereka tidak menerima dan melakukan kekerasan kepada para pencari gosip. Kasus yang belum begitu lama terjadi yaitu mengenai video mesum yang diperankan oleh tiga orang artis pun tak ketinggalan untuk dijadikan bahan pemberitaan infotainment, bahkan cuplikan-cuplikan gambar didalamnya ikut ditanyangkan (meskipun telah disamarkan), padahal pemberitaan tersebut sama saja dengan penyebaran video itu secara tidak langsung, dan celakanya pemberitaan ini dapat ditonton oleh seluruh kalangan dan usia.

Pemberitaan infotainment yang semakin keluar dari batas-batas etika dapat dengan mudah dan cepat mempengaruhi kehidupan moral bangsa. Maka dari itu masalah infotainment telah menjadi masalah publik karena pengaruhnya terhadap kehidupan moral bangsa maka pemerintah harus mengatur keberadaanya, salah satunya dengan dikeluarkannya undang-undang penyiaran dan perlunya lembaga sensor untuk infotainment. Begitu pun tak heran ketika para pemerhati dan peduli moral seperti para ulama mengeluarkan fatwa haram terhadap infotainment karena infotainment lebih banyak informasi yang mudharat demi mencari keuntungan semata. Melihat pelanggaran etika seperti ini maka dapat dikatakan adanya kesalahpahahaman mengenai arti kebebasan pers yang dianggap mereka dapat sebebas-bebasnya memberitakan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Kode etik jurnalis yang digunakan sebagai pedoman para jurnalistik sudah seharusnya ditaati dalam melaksanakan tugasnya demi keharmonisan dan terjaganya moral bangsa[3]. Aturan/nilai yang ada dalam kode etik jurnalistik yaitu “jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya, jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen, jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang dan sebagainya”. Dari beberapa kode etik tersebut sudah jelas bahwa seorang jurnalis harus menyiarkan berita yang sesuai dengan fakta dan menggunakan cara-cara yang etis untuk mendapatkan data, kebebasan jangan keluar dari koridor etika. Etika pemberitaan harus bersandar pada kepantasan atau kepatuhan, serta harus menghormati nara sumber atau obyek pemberitaan.



B.     Analisis Program Penyiaran Infotainment Ditinjau dari Undang-Undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Infotainment adalah produk yang disiarkan melalui penyiaran televisi, dan penyiaran televisi tunduk kepada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Sementara UU Penyiaran dengan eksplisit menyatakan, program siaran yang wajib memperoleh tanda lulus sensor hanyalah film dan iklan[4]. Maka cukup jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap produk siaran di luar film dan iklan. Sungguhpun, misalnya, disepakati infotainment bukan bagian dari jurnalisme dan merupakan program hiburan murni, sensor tidak otomatis dilakukan terhadapnya.

Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran.[5] Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pun tidak memadai untuk memperluas lingkup sensorship terhadap produk siaran. Dengan demikian, sensorship semestinya tidak menjadi isu utama dalam diskusi status infotainment, termasuk dalam kaitannya dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dibutuhkan langkah-langkah legislasi yang sangat jauh untuk sampai pada keputusan infotainment harus disensor sebelum ditayangkan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia penting sebagai titik pijak untuk mengidentifikasi sisi-sisi yang harus segera dirombak dalam sudut-pandang, referensi, dan cara kerja industri infotainment sedemikian rupa agar produk yang dihasilkan kompatibel dengan nilai-nilai keutamaan publik dan berdampak positif pada pengembangan keadaban masyarakat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah cermin kegelisahan masyarakat terhadap kecenderungan dominan infotainment untuk menayangkan hal-hal yang menarik, sensasional, dan memenuhi rasa ingin tahu pemirsa, tanpa mengindahkan kelayakannya bagi ruang publik sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam hal nilai, budaya, dan kepercayaan. Lebih spesifik lagi, Majelis Ulama Indonesia mengharamkan penayangan berita bermuatan gosip, bohong, isapan jempol, dan berita yang membuka aib orang lain.

Pelanggaran P3 SPS yang paling sering disiarkan adalah tentang konflik keluarga, hal itu dapat merusak reputasi obyek, selain itu bisa membuat masalah yang awalnya hanya masalah kecil bisa jadi masalah besar. Dalam kesalahan lain infotainment yang menayangkan adegan ciuman bibir, namun hal itu juga bisa disebabkan atas kesalahan wartawan, jika wartawan tidak merekam adegan tersebut dan tidak menyerahkan bagian penulisnya maka kehebohan infotainment ini tidak akan terjadi.  Kerjasama wartawan dan penyiaran perlu diperbaiki agar infotainment tidak ada pelanggaran dari UU penyiaran dan P3 SPS lagi.

Dra. Susilastuti, M.Si., dalam Diskusi Publik bertempat di Aula Plaza Informasi Dishub Kominfo Provinsi DIY, salah satu anggota KPID DIY pada bidang pengawasan penyiaran, mengatakan:[6]
“Profesionalisme kerja jurnalistik harus mempunyai 5 etika, yaitu : berdasarkan fakta, cover both side, check and recheck, bermanfaat bagi masyarakat, mengindahkan etika jurnalistik. Jika setiap jurnalistik menggunakan 5 etika tersebut maka semua kerjanya baik dalam berita dan infotainment semuanya tidak bermasalah. Namun dalam kenyataanya saat ini banyak jurnalisme yang bekerja tidak memikirkan bermanfaat atau tidaknya informasi yang mereka dapatkan baik untuk masyarakat, dan tidak mengindahkan etika jurnalisme. Sehingga banyak hasil jurnalisme yang melanggar dari aturan penyiaran dan P3 SPS.” 
Sony Adi Setyawan, dalam Diskusi Publik bertempat di Aula Plaza Informasi Dishub Kominfo Provinsi DIY, salah satu anggota KPID DIY pada bidang pengawasan penyiaran, mengatakan:[7]
“75% produk infotainment dikerjakan outsource. Divisi infotainment berada di bawah divisi produksi (Tidak dibawah redaksi pemberitaan). PH pembuat infotainment bukan perusahaan penerbitan pers. Hanya PWI yang mengakui infotainment TV sebagai produk jurnalisme, Saya menganggap Infotainment bukan bagian dari produk JURNALISME. Pada kenyataannya isi infotainment sebagian besar digunakan untuk mengangkat nilai kontroversial artis (Perselingkuhan, masa lalu yang suram, perceraian, kejahatan, pengadilan, pertengkaran).”
Menurut Ketua Dewan Pers Bagir Manan (Dalam rakornas 2010 di Bandung, Jawa Barat), mengatakan:[8]
“Salah satu rekomendasi yang dikeluarkan KPI adalah memasukkan infotaintment ke dalam tayangan nonfaktual., saat ini tayangan infotaintment berada di bawah payung hukum berbeda, yaitu UU Pokok Pers dan UU Penyiaran. Undang-undang Penyiaran memungkinkan tayangan infotainment disensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Sementara UU Pokok Pers mengharamkan sensor ataupun bredel. Persoalannya adalah apakah yang disiarkan oleh infotainment itu mengandung pekerjaan jurnalistik atau tidak.”
Dapat dipahami bahwa Prof.Bagir Manan menjelaskan, jika infotainment ingin dianggap sebagai pekerjaan jurnalistik, mereka wajib menaati UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jika tidak, mereka akan terkena UU Penyiaran dan masuk ke dalam lembaga sensor. Ada untung ruginya bagi infotainment kalau mau masuk pekerjaan jurnalistik. Tayangan infotainment harus mengikuti batasan-batasan undang-undang pers dan kode etik, kalau tidak mau masuk, mereka terkena undang-undang penyiaran. Soal rekomendasi yang memasukkan infotaintment dalam tayangan nonfaktual, dimungkinkan karena menurut Undang-Undang Pers, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran[9]. Besar kemungkinan, keputusan ini diambil karena Infotainment dianggap bukan produk pers/jurnalistik. Sehingga dikategorikan sebagai tayangan non-faktual dan dimungkinkan diberlakukannya sensor untuk program Infotainment di televisi. Akan tetapi terdapat sisi kelemahan dari pengkategorian infotainment ke dalam non-faktual, sehingga terdapat suatu pandangan bahwa untuk program yang banyak melakukan pelanggaran dan tak dapat dikendalikan, geser saja ke ranah yang memungkinkan untuk disensor. Infotainment digolongkan sebagai program non-faktual.
Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) memang belum ada Bab yang membahas / mendefinisikan Program Non-Faktual. Kita yang mengenyam pendidikan tentu memahami bahwa non-faktual sama dengan fiktif. Di televisi, film dan sinetron bisa disebut karya fiski/non-faktual, yang mesti lolos sensor sebelum ditayangkan. Penggolongan Infotainment ke dalam ranah fiksi ini kasat mata sebagai upaya terakhir KPI untuk melakukan sensor kepada program yang telah lama meresahkannya.
Bisa kita ambil contoh, dari kasus Tayangan “Silet” dianggap telah menimbulkan keresahan, kepanikan, ketakutan, trauma, dan menambah penderitaan terhadap korban, keluarga dan masyarakat yang sedang mengalami musibah bencana alam Gunung Merapi.[10] Isi tayangan berupa informasi ramalan dengan narasi dan gambar yang menyesatkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya terkait musibah bencana alam Gunung Merapi. Menurut ketentuan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) Pasal 36 ayat  (5) huruf a. pelanggaran ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Tayangan tersebut juga telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI tahun 2009 Pasal 34 serta Standar Program Siaran (SPS) Pasal 55 dan Pasal 56 huruf d., dan huruf e. Penghentian sementara program “Silet” RCTI dimulai tanggal 9 November 2010 sampai dengan pemberitahuan pencabutan status siaga bencana Merapi oleh Pemerintah. Selain itu juga, pihak RCTI juga wajib membuat permintaan maaf secara terbuka kepada publik atas informasi yang telah tersiar pada tanggal 7 November 2010 melalui 1 (satu) surat kabar nasional sebanyak 1 (satu) kali dan 2 (dua) surat kabar lokal sebanyak masing-masing 2 (dua) kali paling lambat 13 November 2010. RCTI juga wajib membuat permintaan maaf selama 7 (tujuh) hari berturut-turut sebanyak 3 kali sehari setelah tanggal surat dikeluarkan pada program program berita pagi, siang, dan petang di RCTI dengan format yang telah ditentukan oleh KPI Pusat. Selain itu RCTI tidak diperkenankan untuk membuat program sejenis dengan format yang sama. KPI Pusat terus melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sanksi ini.
            Pesan moral yang perlu digarisbawahi di sini adalah tayangan televisi, khususnya infotainment harus ditata berdasarkan kepantasan dan kelayakan ruang publik. Tayangan-tayangan tentang kisah selebriti memang digemari pemirsa televisi dan rata-rata meraih kepermirsaan (rating) yang cukup tinggi. Namun, fungsi ruang publik media jelas bukan hanya menyajikan sesuatu yang sensasional dan banyak ditonton khalayak. Kalaupun yang demikian ini yang disajikan di ruang televisi, tetap harus dipastikan relevansinya untuk kepentingan pemirsa, kesesuaiannya dengan realitas norma-norma masyarakat. Sebagai seruan moral, fatwa Majelis Ulama Indonesia di atas perlu mendapatkan apresiasi. Kegelisahan yang sama sesungguhnya juga muncul dalam komunitas agama yang lain. Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang mempunyai otoritas untuk mengatur produk-produk penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang harus menampung kegelisahan, aspirasi mewakili kepentingan masyarakat[11], dan seruan moral tentang infotainment dan mewujudkannya ke dalam produk kebijakan yang operasional. Khusus untuk lingkup jurnalisme penyiaran televisi dan radio, Komisi Penyiaran Indonesia harus berkoordinasi dan bekerja-sama dengan Dewan Pers. Namun, perlu digarisbawahi, sesungguhnya ada paralelisme dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers tentang nilai-nilai utama dunia penyiaran. Ketiga lembaga ini concern, ruang publik media harus selalu identik dengan sesuatu yang penting, substansial, dan relevan bagi kehidupan publik.
Kepentingan Komisi Penyiaran Indonesia adalah memastikan bahwa ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur, tetapi juga memberikan nilai tambah kepada masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia bertugas untuk memastikan bahwa hubungan antara stasiun televisi dan pemirsanya bukan sekadar hubungan produsen-konsumen informasi, tetapi terutama hubungan antara ”pemilik” dan ”peminjam” kekayaan publik. Kekayaan publik yang dimaksud adalah gelombang elektromagnetik atau frekuensi radio[12]. Sejauh praktik penyiaran masih bergantung pada penggunaan gelombang elektromagnetik, media penyiaran jelas bukan murni entitas bisnis. Selain berfungsi sebagai institusi bisnis, media penyiaran tetaplah institusi sosial yang harus mengabdi kepada nilai-nilai kepublikan: pencerdasan, pemberdayaan, pengawasan, dan solidaritas sosial.
Dewan Pers berada pada posisi untuk menegaskan bahwa fungsi jurnalisme bukan hanya menyajikan sesuatu yang banyak ditonton khalayak. Fungsi jurnalisme terutama adalah bagaimana mengolah dan menyajikan hal-hal yang penting dan mendesak bagi publik sedemikian rupa sehingga menjadi tampilan yang menarik bagi khalayak. Jurnalisme pertama-tama harus dipahami sebagai sebentuk idealisme untuk memberdayakan suara masyarakat dengan memberikan ruang diskusi yang interaktif, dengan menyediakan informasi dan fakta yang relevan dan bertolak dari kode etik jurnalistik. Jurnalisme juga bukan semata-mata persoalan proses mencari, mengolah, dan menyajikan informasi, tetapi juga persoalan penerapan standar-standar universal dan lokal ke dalam proses tersebut dan kepada produk akhirnya. Maka, jurnalisme selalu mengajukan pertanyaan, apakah nilai yang dibagikan kepada publik ketika media menyajikan kisah seputar gosip dan kehidupan privat selebriti? Apa penyajian tersebut telah kompatibel dengan nilai berita, etika media, dan kepantasan di ruang publik? Demikianlah lebih kurang batu uji bagi semua tayangan televisi untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari jurnalisme.


KESIMPULAN
Pemberitaan infotainment sebaiknya mampu memberikan manfaat bagi bangsa sesuai dengan fungsinya yang tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang No 32 Tahun 2002, yaitu (1) Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. (2), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. Dari segi perizinan, seharusnya penerbitan lisensi penyiaran berada dalam kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, yang saat ini penerbitan dan pencabutan lisensi siaran dan lisensi frekuensi penyiaran ada di tangan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Seharusnya KPI diposisikan sebagai lembaga superbodi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan begitu, KPI dapat memantau konten sekaligus independensi media massa. Undang-undang Penyiaran harus direvisi total. Berikan peran kepada KPI untuk ikut mengeluarkan dan mencabut izin penyiaran. Selain itu, agar independensi media massa terjaga, Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 mesti direvisi. Terutama revisi pada aspek rekruitmen anggota Dewan Pers. Sebaiknya dalam memilih anggota Dewan Pers perlu melibatkan partisipasi publik. Sebab esensinya, media massa mengabdi pada kepentingan masyarakat. Media massa saat ini tidak bebas nilai, ditunggangi oleh sekelompok orang yang punya modal di media itu sekaligus punya kepentingan politik.
Saya berharap KPI dan KPID periode kedepan bisa menjadi KPI yang lebih tegas.

DAFTAR PUSTAKA
Web:
-          http://oase.kompas.com/
-          http://www.kpiddiy.com/ 
-          http://mediaindependen.com/
Peraturan Perundang-undangan:
-          Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
-          Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Tentang Pers


[1] Pasal 6 Undang-undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
[2]Pasal 36 ayat (5), Ibid
[3] Pasal 42, Ibid
[4] Pasal 47, Ibid
[6] http://www.kpiddiy.com/home.php?cat=news&act=detail&id=48 , diunduh pada tanggal 21 April 2013 pukul 13.30 WIB.
[7] Idem
[8] Idem,
[9] Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers
[11] Pasal 8 ayat (1), Op.cit
[12] Pasal 6 ayat (2), Op.cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar