Oleh
SENDI NUGRAHA, S.H., M.Kn.
A. Etika Penyiaran Infotainment
Informasi
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua orang, dengan adanya
informasi orang dapat mengetahui apa yang sedang terjadi dan dapat menentukan
keputusan untuk masa yang akan datang. Mengingat informasi sangat dibutuhkan
maka perlu adanya penyiaran nasional yang dilakukan oleh lembaga penyiaran[1].
Penyiaran dapat menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil,
merata dan seimbang sehingga lembaga penyiaran mempunyai peran penting dalam
setiap dimensi kehidupan. Setelah bergulirnya masa orde baru, kebebasan pers
semakin besar, namun bukan berarti lembaga penyiran dapat bebas menyiarkan
apapun sesuai dengan kehendaknya. Ada batasan tertentu yang harus dipatuhi
sehingga informasi yang disiarkan tidak merugikan orang lain dan tentunya dapat
dipertanggung jawabkan.
Salah
satu program televisi yang mempunyai rating cukup tinggi yaitu infotainment
yang berbau gosip dan menceritakan kehidupan selebritis. Infotainment memiliki
nilai positif misalnya menjadikan seorang artis menjadi terkenal namun banyak
juga dampak negatifnya. Dalam memberikan informasi terkadang infotainment
terlalu berlebihan dan sudah begitu bebas melompati pagar etika. Tak jarang
informasi yang ditayangkan sebuah infotainment yaitu mengenai aib orang lain
seperti kasus perceraian, perselingkuhan, seks dan sebagainya. Informasi yang
disuguhkan pun terkadang tidak sesuai dengan fakta namun hanya sebagai mencari
sensasional dan keuntungan, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang
Penyiaran tentang isi siaran yang dilarang[2].
Perbuatan infotainment yang sudah di luar batas etika telah memberikan
ketidaknyaman bagi beberapa pihak, sehingga wajar ketika masalah pribadi
seorang artis terus digembor-gemborkan, mereka tidak menerima dan melakukan
kekerasan kepada para pencari gosip. Kasus yang belum begitu lama terjadi yaitu
mengenai video mesum yang diperankan oleh tiga orang artis pun tak ketinggalan
untuk dijadikan bahan pemberitaan infotainment, bahkan cuplikan-cuplikan gambar
didalamnya ikut ditanyangkan (meskipun telah disamarkan), padahal pemberitaan
tersebut sama saja dengan penyebaran video itu secara tidak langsung, dan
celakanya pemberitaan ini dapat ditonton oleh seluruh kalangan dan usia.
Pemberitaan infotainment yang semakin keluar dari batas-batas etika dapat dengan mudah dan cepat mempengaruhi kehidupan moral bangsa. Maka dari itu masalah infotainment telah menjadi masalah publik karena pengaruhnya terhadap kehidupan moral bangsa maka pemerintah harus mengatur keberadaanya, salah satunya dengan dikeluarkannya undang-undang penyiaran dan perlunya lembaga sensor untuk infotainment. Begitu pun tak heran ketika para pemerhati dan peduli moral seperti para ulama mengeluarkan fatwa haram terhadap infotainment karena infotainment lebih banyak informasi yang mudharat demi mencari keuntungan semata. Melihat pelanggaran etika seperti ini maka dapat dikatakan adanya kesalahpahahaman mengenai arti kebebasan pers yang dianggap mereka dapat sebebas-bebasnya memberitakan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Kode etik jurnalis yang digunakan sebagai pedoman para jurnalistik sudah seharusnya ditaati dalam melaksanakan tugasnya demi keharmonisan dan terjaganya moral bangsa[3]. Aturan/nilai yang ada dalam kode etik jurnalistik yaitu “jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya, jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen, jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang dan sebagainya”. Dari beberapa kode etik tersebut sudah jelas bahwa seorang jurnalis harus menyiarkan berita yang sesuai dengan fakta dan menggunakan cara-cara yang etis untuk mendapatkan data, kebebasan jangan keluar dari koridor etika. Etika pemberitaan harus bersandar pada kepantasan atau kepatuhan, serta harus menghormati nara sumber atau obyek pemberitaan.
B.
Analisis
Program Penyiaran Infotainment Ditinjau dari Undang-Undang No 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Infotainment
adalah produk yang disiarkan melalui penyiaran televisi, dan penyiaran televisi
tunduk kepada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Sementara UU Penyiaran dengan
eksplisit menyatakan, program siaran yang wajib memperoleh tanda lulus sensor
hanyalah film dan iklan[4].
Maka cukup jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap produk siaran di luar
film dan iklan. Sungguhpun, misalnya, disepakati infotainment bukan bagian
dari jurnalisme dan merupakan program hiburan murni, sensor tidak otomatis
dilakukan terhadapnya.
Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran.[5] Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pun tidak memadai untuk memperluas lingkup sensorship terhadap produk siaran. Dengan demikian, sensorship semestinya tidak menjadi isu utama dalam diskusi status infotainment, termasuk dalam kaitannya dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dibutuhkan langkah-langkah legislasi yang sangat jauh untuk sampai pada keputusan infotainment harus disensor sebelum ditayangkan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia penting sebagai titik pijak untuk mengidentifikasi sisi-sisi yang harus segera dirombak dalam sudut-pandang, referensi, dan cara kerja industri infotainment sedemikian rupa agar produk yang dihasilkan kompatibel dengan nilai-nilai keutamaan publik dan berdampak positif pada pengembangan keadaban masyarakat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah cermin kegelisahan masyarakat terhadap kecenderungan dominan infotainment untuk menayangkan hal-hal yang menarik, sensasional, dan memenuhi rasa ingin tahu pemirsa, tanpa mengindahkan kelayakannya bagi ruang publik sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam hal nilai, budaya, dan kepercayaan. Lebih spesifik lagi, Majelis Ulama Indonesia mengharamkan penayangan berita bermuatan gosip, bohong, isapan jempol, dan berita yang membuka aib orang lain.
Pelanggaran P3 SPS yang paling sering disiarkan adalah tentang konflik keluarga, hal itu dapat merusak reputasi obyek, selain itu bisa membuat masalah yang awalnya hanya masalah kecil bisa jadi masalah besar. Dalam kesalahan lain infotainment yang menayangkan adegan ciuman bibir, namun hal itu juga bisa disebabkan atas kesalahan wartawan, jika wartawan tidak merekam adegan tersebut dan tidak menyerahkan bagian penulisnya maka kehebohan infotainment ini tidak akan terjadi. Kerjasama wartawan dan penyiaran perlu diperbaiki agar infotainment tidak ada pelanggaran dari UU penyiaran dan P3 SPS lagi.
Dra. Susilastuti, M.Si., dalam Diskusi Publik bertempat di Aula Plaza Informasi Dishub Kominfo Provinsi DIY, salah satu anggota KPID DIY pada bidang pengawasan penyiaran, mengatakan:[6]
“Profesionalisme
kerja jurnalistik harus mempunyai 5 etika, yaitu : berdasarkan fakta, cover
both side, check and recheck, bermanfaat bagi masyarakat, mengindahkan etika
jurnalistik. Jika setiap jurnalistik menggunakan 5 etika tersebut maka semua
kerjanya baik dalam berita dan infotainment semuanya tidak bermasalah. Namun
dalam kenyataanya saat ini banyak jurnalisme yang bekerja tidak memikirkan
bermanfaat atau tidaknya informasi yang mereka dapatkan baik untuk masyarakat,
dan tidak mengindahkan etika jurnalisme. Sehingga banyak hasil jurnalisme yang
melanggar dari aturan penyiaran dan P3 SPS.”
Sony
Adi Setyawan, dalam Diskusi Publik bertempat di Aula Plaza Informasi Dishub
Kominfo Provinsi DIY, salah satu anggota KPID DIY pada bidang pengawasan
penyiaran, mengatakan:[7]
“75% produk infotainment
dikerjakan outsource. Divisi infotainment berada di bawah divisi produksi
(Tidak dibawah redaksi pemberitaan). PH pembuat infotainment bukan perusahaan
penerbitan pers. Hanya PWI yang mengakui infotainment TV sebagai produk
jurnalisme, Saya menganggap Infotainment bukan bagian dari produk JURNALISME.
Pada kenyataannya isi infotainment sebagian besar digunakan untuk mengangkat
nilai kontroversial artis (Perselingkuhan, masa lalu yang suram, perceraian,
kejahatan, pengadilan, pertengkaran).”
Menurut
Ketua Dewan Pers Bagir Manan (Dalam rakornas 2010 di Bandung, Jawa Barat),
mengatakan:[8]
“Salah
satu rekomendasi yang dikeluarkan KPI adalah memasukkan infotaintment ke dalam
tayangan nonfaktual., saat ini tayangan infotaintment berada di bawah payung
hukum berbeda, yaitu UU Pokok Pers dan UU Penyiaran. Undang-undang Penyiaran
memungkinkan tayangan infotainment disensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF).
Sementara UU Pokok Pers mengharamkan sensor ataupun bredel. Persoalannya adalah
apakah yang disiarkan oleh infotainment itu mengandung pekerjaan jurnalistik
atau tidak.”
Dapat
dipahami bahwa Prof.Bagir Manan menjelaskan, jika infotainment ingin dianggap
sebagai pekerjaan jurnalistik, mereka wajib menaati UU Pokok Pers dan Kode Etik
Jurnalistik. Jika tidak, mereka akan terkena UU Penyiaran dan masuk ke dalam
lembaga sensor. Ada untung ruginya bagi infotainment kalau mau masuk pekerjaan
jurnalistik. Tayangan infotainment harus mengikuti batasan-batasan
undang-undang pers dan kode etik, kalau tidak mau masuk, mereka terkena
undang-undang penyiaran. Soal rekomendasi yang memasukkan infotaintment dalam
tayangan nonfaktual, dimungkinkan karena menurut Undang-Undang Pers, terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan
penyiaran[9]. Besar
kemungkinan, keputusan ini diambil karena Infotainment dianggap bukan produk
pers/jurnalistik. Sehingga dikategorikan sebagai tayangan non-faktual dan
dimungkinkan diberlakukannya sensor untuk program Infotainment di televisi.
Akan tetapi terdapat sisi kelemahan dari pengkategorian infotainment ke dalam
non-faktual, sehingga terdapat suatu pandangan bahwa untuk
program yang banyak melakukan pelanggaran dan tak dapat dikendalikan, geser
saja ke ranah yang memungkinkan untuk disensor. Infotainment digolongkan
sebagai program non-faktual.
Dalam Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) memang belum ada Bab
yang membahas / mendefinisikan Program Non-Faktual. Kita yang mengenyam
pendidikan tentu memahami bahwa non-faktual sama dengan fiktif. Di televisi,
film dan sinetron bisa disebut karya fiski/non-faktual, yang mesti lolos sensor
sebelum ditayangkan. Penggolongan Infotainment ke dalam ranah fiksi ini kasat
mata sebagai upaya terakhir KPI untuk melakukan sensor kepada program yang
telah lama meresahkannya.
Bisa
kita ambil contoh, dari kasus Tayangan “Silet” dianggap telah menimbulkan keresahan,
kepanikan, ketakutan, trauma, dan menambah penderitaan terhadap korban,
keluarga dan masyarakat yang sedang mengalami musibah bencana alam Gunung
Merapi.[10]
Isi tayangan berupa informasi ramalan dengan narasi dan gambar yang menyesatkan
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya terkait musibah bencana alam
Gunung Merapi. Menurut ketentuan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran (UU Penyiaran) Pasal 36 ayat (5) huruf a. pelanggaran ini dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Tayangan tersebut juga telah
melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI tahun 2009 Pasal 34 serta Standar
Program Siaran (SPS) Pasal 55 dan Pasal 56 huruf d., dan huruf e. Penghentian
sementara program “Silet” RCTI dimulai tanggal 9 November 2010 sampai dengan
pemberitahuan pencabutan status siaga bencana Merapi oleh Pemerintah. Selain
itu juga, pihak RCTI juga wajib membuat permintaan maaf secara terbuka kepada
publik atas informasi yang telah tersiar pada tanggal 7 November 2010 melalui 1
(satu) surat kabar nasional sebanyak 1 (satu) kali dan 2 (dua) surat kabar
lokal sebanyak masing-masing 2 (dua) kali paling lambat 13 November 2010. RCTI
juga wajib membuat permintaan maaf selama 7 (tujuh) hari berturut-turut
sebanyak 3 kali sehari setelah tanggal surat dikeluarkan pada program program
berita pagi, siang, dan petang di RCTI dengan format yang telah ditentukan oleh
KPI Pusat. Selain itu RCTI tidak diperkenankan untuk membuat program sejenis
dengan format yang sama. KPI Pusat terus melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan sanksi ini.
Pesan moral yang
perlu digarisbawahi di sini adalah tayangan televisi, khususnya infotainment
harus ditata berdasarkan kepantasan dan kelayakan ruang publik.
Tayangan-tayangan tentang kisah selebriti memang digemari pemirsa televisi dan
rata-rata meraih kepermirsaan (rating) yang cukup tinggi. Namun, fungsi ruang
publik media jelas bukan hanya menyajikan sesuatu yang sensasional dan banyak
ditonton khalayak. Kalaupun yang demikian ini yang disajikan di ruang televisi,
tetap harus dipastikan relevansinya untuk kepentingan pemirsa, kesesuaiannya
dengan realitas norma-norma masyarakat. Sebagai seruan moral, fatwa Majelis
Ulama Indonesia di atas perlu mendapatkan apresiasi. Kegelisahan yang sama
sesungguhnya juga muncul dalam komunitas agama yang lain. Komisi Penyiaran
Indonesia-lah yang mempunyai otoritas untuk mengatur produk-produk penyiaran.
Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang harus menampung kegelisahan, aspirasi
mewakili kepentingan masyarakat[11],
dan seruan moral tentang infotainment dan mewujudkannya ke dalam produk
kebijakan yang operasional. Khusus untuk lingkup jurnalisme penyiaran televisi
dan radio, Komisi Penyiaran Indonesia harus berkoordinasi dan bekerja-sama
dengan Dewan Pers. Namun, perlu digarisbawahi, sesungguhnya ada paralelisme
dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan
Pers tentang nilai-nilai utama dunia penyiaran. Ketiga lembaga
ini concern, ruang publik media harus selalu identik dengan sesuatu yang
penting, substansial, dan relevan bagi kehidupan publik.
Kepentingan
Komisi Penyiaran Indonesia adalah memastikan bahwa ruang publik penyiaran
mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias
gender, tidak diskriminatif, menghibur, tetapi juga memberikan nilai tambah
kepada masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia bertugas untuk memastikan bahwa
hubungan antara stasiun televisi dan pemirsanya bukan sekadar hubungan
produsen-konsumen informasi, tetapi terutama hubungan antara ”pemilik” dan
”peminjam” kekayaan publik. Kekayaan publik yang dimaksud adalah gelombang
elektromagnetik atau frekuensi radio[12]. Sejauh
praktik penyiaran masih bergantung pada penggunaan gelombang elektromagnetik,
media penyiaran jelas bukan murni entitas bisnis. Selain berfungsi sebagai
institusi bisnis, media penyiaran tetaplah institusi sosial yang harus mengabdi
kepada nilai-nilai kepublikan: pencerdasan, pemberdayaan, pengawasan, dan
solidaritas sosial.
Dewan
Pers berada pada posisi untuk menegaskan bahwa fungsi jurnalisme bukan hanya
menyajikan sesuatu yang banyak ditonton khalayak. Fungsi jurnalisme terutama
adalah bagaimana mengolah dan menyajikan hal-hal yang penting dan mendesak bagi
publik sedemikian rupa sehingga menjadi tampilan yang menarik bagi khalayak. Jurnalisme
pertama-tama harus dipahami sebagai sebentuk idealisme untuk memberdayakan
suara masyarakat dengan memberikan ruang diskusi yang interaktif, dengan
menyediakan informasi dan fakta yang relevan dan bertolak dari kode etik
jurnalistik. Jurnalisme juga bukan semata-mata persoalan proses mencari,
mengolah, dan menyajikan informasi, tetapi juga persoalan penerapan standar-standar
universal dan lokal ke dalam proses tersebut dan kepada produk akhirnya. Maka,
jurnalisme selalu mengajukan pertanyaan, apakah nilai yang dibagikan kepada
publik ketika media menyajikan kisah seputar gosip dan kehidupan privat
selebriti? Apa penyajian tersebut telah kompatibel dengan nilai berita, etika
media, dan kepantasan di ruang publik? Demikianlah lebih kurang batu uji bagi
semua tayangan televisi untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari
jurnalisme.
KESIMPULAN
Pemberitaan
infotainment sebaiknya mampu memberikan manfaat bagi bangsa sesuai dengan
fungsinya yang tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang No 32 Tahun 2002, yaitu (1) Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat,
kontrol dan perekat sosial. (2), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan
kebudayaan. Dari
segi perizinan, seharusnya penerbitan lisensi penyiaran berada dalam
kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, yang saat ini penerbitan dan pencabutan
lisensi siaran dan lisensi frekuensi penyiaran ada di tangan Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Seharusnya KPI diposisikan sebagai lembaga
superbodi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan begitu, KPI dapat
memantau konten sekaligus independensi media massa. Undang-undang Penyiaran
harus direvisi total. Berikan peran kepada KPI untuk ikut mengeluarkan dan
mencabut izin penyiaran. Selain itu, agar independensi media massa terjaga,
Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 mesti direvisi. Terutama revisi pada aspek
rekruitmen anggota Dewan Pers. Sebaiknya dalam memilih anggota Dewan Pers perlu
melibatkan partisipasi publik. Sebab esensinya, media massa mengabdi pada
kepentingan masyarakat. Media massa saat ini tidak bebas nilai, ditunggangi
oleh sekelompok orang yang punya modal di media itu sekaligus punya kepentingan
politik.
Saya berharap KPI dan KPID periode
kedepan bisa menjadi KPI yang lebih tegas.
DAFTAR
PUSTAKA
Web:
Peraturan
Perundang-undangan:
-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran
-
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999,
Tentang Pers
[1] Pasal 6
Undang-undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
[2]Pasal 36 ayat
(5), Ibid
[3] Pasal 42, Ibid
[4] Pasal 47, Ibid
[5]http://oase.kompas.com/read/2010/07/31/03135734/Fatwa.MUI.dan..quot.Infotainment.quot.# , diunduh pada tanggal 21 April 2013 pukul 13.15 WIB.
[6] http://www.kpiddiy.com/home.php?cat=news&act=detail&id=48 , diunduh pada
tanggal 21 April 2013 pukul 13.30 WIB.
[7] Idem
[8] Idem,
[9] Pasal 4 Ayat (2)
Undang-Undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers
[10]
http://mediaindependen.com/kabar-media/2010/11/12/infotainment-%E2%80%9Csilet%E2%80%9D-diberhentikan-sementara.html
, diunduh pada tanggal 21 April 2013 pukul 13.500 WIB.
[11] Pasal 8 ayat (1),
Op.cit
[12] Pasal 6
ayat (2), Op.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar