Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang
umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum
yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan
orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan
teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki
dunia cyber atau maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal
dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa
depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh
oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat
aturan main didalamnya (virtual world).
1. Cyberlaw tidak akan
berhasil jika aspek yurisdiksi hukum diabaikan. Karena pemetaan yang
mengatur cyberspace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar
wilayah, dan antar negara, sehingga penetapan yuridiksi yang jelas
mutlak diperlukan. Ada tiga yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia
cyber. Pertama, yurisdiksi legislatif di bidang pengaturan, kedua,
yurisdiksi judicial, yakni kewenangan negara untuk mengadili atau
menerapkan kewenangan hukumnya, ketiga, yurisdiksi eksekutif untuk
melaksanakan aturan yang dibuatnya.
2. Cyberlaw bukan saja
keharusan, melainkan sudah merupakan kebutuhan untuk menghadapi
kenyataan yang ada sekarang ini, yaitu dengan banyaknya berlangsung
kegiatan cybercrime. Untuk membangun pijakan hukum yang kuat dalam
mengatur masalah-masalah hukum di ruang cyber diperlukan komitmen kuat
dari pemerintah dan DPR. Namun yang lebih penting adalah bahwa aturan
yang dibuat nantinya merupakan produk hukum yang adaptable terhadap
berbagai perubahan khususnya di bidang teknologi informasi.
Kunci
dari keberhasilan pengaturan cyberlaw adalah riset yang komprehensif
yang mampu melihat masalah cyberspace dari aspek konvergensi hukum dan
teknologi. Selain itu, hal penting lainnya adalah peningkatan kemampuan
SDM di bidang Teknologi Informasi. Karena Cyberlaw mustahil bisa
terlaksana dengan baik tanpa didukung oleh Sumber Daya Manusia yang
berkualitas dan ahli di bidangnya. Oleh sebab itu, dengan adanya
cyberlaw diharapkan dapat menaungi segala kegiatan dunia maya dan member
kepastian hukum kepada para pelakunya.
Cyberlaw di Eropa
Instrumen
Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan
sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat
kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara
sebagai subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang
tidak saja bersifat lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud
dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat
internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional baru yang
dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi
kasus-kasus Cybercrime. Instrumen Hukum Internasional publik yang
mengatur masalah Kejatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian
adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001
yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat
oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya
dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia
yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara
yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23
November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati
Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty
Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif
setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak
ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of
Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan
mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang
maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran
sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi,
konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi
informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan
tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan
antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa masyarakat internasional
menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi
kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang
sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua,
Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem,
jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain
yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan
penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu
mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
Ketiga,
saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu
kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia
sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia
dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan
sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak
berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan
menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh
Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh
negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan
instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa
mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan
kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
Cyberlaw di Singapore
The Electronic Transactions Act (ETA) 1998
ETA
sebagai pengatur otoritas sertifikasi. Singapore mempunyai misi untuk
menjadi poros / pusat kegiatan perdagangan elektronik internasional, di
mana transaksi perdagangan yang elektronik dari daerah dan di seluruh
bumi diproses. The Electronic Transactions Act telah ditetapkan
tgl.10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang
undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik di Singapore yang
memungkinkan bagi Menteri Komunikasi Informasi dan Kesenian untuk
membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan otoritas sertifikasi
di Singapura.
Tujuan dibuatnya ETA :
• Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
•
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang
perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan
tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang dan
infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin / mengamankan
perdagangan elektronik;
• Memudahkan penyimpanan secara elektronik
tentang dokumen pemerintah dan perusahaan menurut undang-undang, dan
untuk mempromosikan penyerahan yang efisien pada kantor pemerintah atas
bantuan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
• Meminimalkan
timbulnya arsip alektronik yang sama (double), perubahan yang tidak
disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan
elektronik, dll;
• Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
•
Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip
elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan
dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan
tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat
menyurat yang menggunakan media elektronik.
Pada dasarnya Muatan ETA mencakup, sbb:
• Kontrak Elektronik
Kontrak
elektronik ini didasarkan pada hukum dagang online yang dilakukan
secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa kontrak elektronik
memiliki kepastian hukum.
• Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur
mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki oleh network service
provider untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga
yang menggunakan jasa jaringan tersebut. Pemerintah Singapore merasa
perlu untuk mewaspadai hal tersebut.
• Tandatangan dan Arsip elektronik
Bagaimanapun
hukum memerlukan arsip/bukti arsip elektronik untuk menangani
kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan arsip elektronik
tersebut harus sah menurut hukum, namun tidak semua hal/bukti dapat
berupa arsip elektronik sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
Singapore.
Langkah yang diambil oleh Singapore untuk membuat ETA
inilah yang mungkin menjadi pendukung majunya bisnis e-commerce di
Singapore dan terlihat jelas alasan mengapa di Indonesia bisnis
e-commerce tidak berkembang karena belum adanya suatu kekuatan hukum
yang dapat meyakinkan masyarakat bahwa bisnis e-commerce di Indonesia
aman seperi di negara Singapore.
Cyberlaw di Indonesia
Perkembangan
cyberlaw di Indonesia belum bisa dikatakan maju. Hal ini diakibatkan
karena belum meratanya pengguna internet di seluruh Indonesia. Berbeda
dengan Amerika Serikat yang menggunakan internet untuk memfasilitasi
seluruh aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu, perkembangan hukum
dunia maya di Amerika Serikat pun sudah sangat maju dibandingkan di
Indonesia. Sebagai solusi dari masalah tersebut, pada tanggal 25 Maret
2008. DPR mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
( UU ITE). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
ini merupakan undang-undang yang mengatur berbagai perlindungan hukum
atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik
transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur
berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. Sejak
dikeluarkannya UU ITE, maka segala aktivitas didalamnya diatur dalam
undang-undang tersebut. Peraturan yang terdapat dalam pasal-pasal dalam
UU ITE yang dibuat pemerintah, secara praktis telah
memberi peraturan
bagi para pengguna internet. Hal itu tentu berdampak pada industri
internet yang selama ini belum mendapatkan pengawasan yang ketat.
Untuk
diketahui, UU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementerian
Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan nama Rancangan Undang
Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Semula
RUU ini dinamakan Rancangan Undang Undang Informasi Komunikasi dan
Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang disusun oleh Ditjen Pos dan
Telekomunikasi – Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian
dan Perdagangan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran (Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian
Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI).
Pada tanggal 5
September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat No.
R./70/Pres/9/2005 menyampaikan naskah RUU ITE secara resmi kepada DPR
RI. Merespon surat Presiden tersebut, DPR membentuk Panitia Khusus
(Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) Fraksi di
DPR RI. Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika
membentuk “Tim Antar Departemen Dalam rangka Pembahasan RUU ITE Antara
Pemerintah dan DPR RI” dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan
Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang
kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.:
10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007 dengan Pengarah:
Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan HAM, Menteri
Sekretaris Negara, dan Sekretaris Jenderal Depkominfo, dan melibatkan
Departemen Hukum dan HAM, Departemen Perdagangan, Kejaksaan Agung,
Polri, Bank Indonesia, Bank BUMN, Operator Telekomunikasi dan Akademisi
serta Praktisi TIK.
Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE
boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas
pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum
terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau
saya rangkumkan adalah sebagai berikut:
Kehadiran UU ITE ini sudah
sangat dinantikan publik. Beberapa alasan yang dikemukakan publik bahwa
UU ITE akan memberikan manfaat, sebagai berikut:
• Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik
• Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
• Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi
• Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Adapun terobosan-terobosan penting yang dimiliki RUU ITE adalah :
• Tanda Tangan Elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvesional (tinta basah dan materai)
• Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP
•
Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia,
yang memiliki akibat hukum di Indonesia
Apabila kita cermati dalam UU ITE dan RUU TIPITI diatas ada beberapa asas yurisidiksi internasional yang diterapkan.yaitu.
the jurisdiction to prescribe (yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang)
the jurisdiction to enforce (yursidiksi untuk menegakan hukum)
the jurisdiction to adjudicate (yurisdiksiuntuk menuntut)
Berkaitan dengan hukum mana yang berlaku dalam penuntutan,
ada 6 asas yaitu
1. Asas Subjective Territoriality
2. Asas Objective Territoriality
3. Asas Nationality
4. Asas Protective Principle
5. Asas Passive Nationality
6. Asas Universality
1.Subjective Territoriality,menurut Darrel Menthe merupakan asas yursidiksi yang paling penting dari asas yurisdiksi lainya.yaitu Jika aktivitas kejahatan/pelanggaran terjadi di dalam suatu negara, maka negara itu mempunyai yurisdiksi untuk menetapkan aturan.dalam kata lain keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan.sebagian besar undang-undang pidana di dunia mengunakan asas Subjective Territoriality.
2.Objective Territoraility, menyatakan hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama terjadi yang mengakibatkan kerugian bagi negara tersebut.
3.Nationality,yaitu negara mempunyai kewenagan untuk menetukan hukum berdasarkan kebangsaan/kewarganegaraan pelaku.
4. Protective Principle,yaitu hukum yang berlaku berdasarkan keinginan negara yang berdaulat untuk menghukum tindakan-tindakan yang dilakukan diluar wilaya negara tersebut,semata-mata karena merasa terancam oleh tindakan itu.
5. Passive Nationality,hukum yang berlaku adalah hukum berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan korban.
6.Universality, menurut Prof.DR.H.Ahmad M. Ramli,SH.,MH.dalam bukunya Cyberlaw dan HKI mengatakan asas ini selayaknya mendapat perhatian khusus dalam pebegakan hukum di cyberpsace.
the jurisdiction to prescribe (yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang)
the jurisdiction to enforce (yursidiksi untuk menegakan hukum)
the jurisdiction to adjudicate (yurisdiksiuntuk menuntut)
Berkaitan dengan hukum mana yang berlaku dalam penuntutan,
ada 6 asas yaitu
1. Asas Subjective Territoriality
2. Asas Objective Territoriality
3. Asas Nationality
4. Asas Protective Principle
5. Asas Passive Nationality
6. Asas Universality
1.Subjective Territoriality,menurut Darrel Menthe merupakan asas yursidiksi yang paling penting dari asas yurisdiksi lainya.yaitu Jika aktivitas kejahatan/pelanggaran terjadi di dalam suatu negara, maka negara itu mempunyai yurisdiksi untuk menetapkan aturan.dalam kata lain keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan.sebagian besar undang-undang pidana di dunia mengunakan asas Subjective Territoriality.
2.Objective Territoraility, menyatakan hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama terjadi yang mengakibatkan kerugian bagi negara tersebut.
3.Nationality,yaitu negara mempunyai kewenagan untuk menetukan hukum berdasarkan kebangsaan/kewarganegaraan pelaku.
4. Protective Principle,yaitu hukum yang berlaku berdasarkan keinginan negara yang berdaulat untuk menghukum tindakan-tindakan yang dilakukan diluar wilaya negara tersebut,semata-mata karena merasa terancam oleh tindakan itu.
5. Passive Nationality,hukum yang berlaku adalah hukum berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan korban.
6.Universality, menurut Prof.DR.H.Ahmad M. Ramli,SH.,MH.dalam bukunya Cyberlaw dan HKI mengatakan asas ini selayaknya mendapat perhatian khusus dalam pebegakan hukum di cyberpsace.
pada mulanya asas ini
menetapkan bahwa setiap negara berhak untuk menagkap dan menghukum para
pelaku pembajakan,kemudian asas ini berkembang sehingga mencakup pula
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)misalnya
genosida,pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun dimasa
mendatang asas yurisdiksi ini mungkin dikembangkan untukinternet
piracy, seperti computer,caracking,carding,hacking adng viruses.
namun perlu
dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diperlakukan untuk
kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum
internasional
Cyber Law di Jepang :
Munculnya dan berkembangnya Teknologi Informasi dan mulai adanya kejahatan yang menggunakan Teknologi Informasi terjadi pula perkembangan perangkat hukum, khususnya yang mengatur perilaku penggunaan dan pemidaan bagi pelaku kejahatan di bindang Teknologi Informasi. Pada tahap pertama masyarakat menggunakan soft law dalam bentuk kode etik atau kode perilaku (code of coduct). Misalnya di Jepang (1996) dan di Singapura dalam bentuk Internet Code of Conduct. Namun demikian upaya semacam ini masih dipandang belum mencukupi terbukti dengan makin luasnya penyalah-gunaan TI dan Internet, sehingga kemudian dibuatlah hukum administratif yang bersifat semi hard law berupa code of practice seperti yang dirumuskan oleh the Australian Internet Industry Association, 1999. Code of conduct, kode etik, dan code or practice tergolong kebijakan kriminal yang menggunakan sarana non-penal (prevention without punishment). Ketika kejahatan Teknologi Informasi sudah semakin canggih dan korbannya sudah makin banyak serta melibatkan kejahatan transnasional, sarana penegakan hukum yang dilakukan adalah dengan melakukan kriminalisasi berupa penerapan hard law berupa Undang – Undang, sebagaimana dilakukan oleh Singapura dengan membuat Computer Misuse Act (1993), dan Malaysia dalam bentuk Computer Crimes Act (1997).
Pengaturan cyberspace di jepang antaralain:
– Act for the protection of computer processed personal data held by administrative organs
– Certification authority guidelines
– Code of ethics of the information processing society
– General ethical guidelines for running online services
– Guidelines concerning the protection of computer processed personal data in the private sector
– Guidelines for protecting personal data in electronic network management
– Recommended etiquette for online service users
– Guidelines for transactions between virtual merchants and consumers
Munculnya dan berkembangnya Teknologi Informasi dan mulai adanya kejahatan yang menggunakan Teknologi Informasi terjadi pula perkembangan perangkat hukum, khususnya yang mengatur perilaku penggunaan dan pemidaan bagi pelaku kejahatan di bindang Teknologi Informasi. Pada tahap pertama masyarakat menggunakan soft law dalam bentuk kode etik atau kode perilaku (code of coduct). Misalnya di Jepang (1996) dan di Singapura dalam bentuk Internet Code of Conduct. Namun demikian upaya semacam ini masih dipandang belum mencukupi terbukti dengan makin luasnya penyalah-gunaan TI dan Internet, sehingga kemudian dibuatlah hukum administratif yang bersifat semi hard law berupa code of practice seperti yang dirumuskan oleh the Australian Internet Industry Association, 1999. Code of conduct, kode etik, dan code or practice tergolong kebijakan kriminal yang menggunakan sarana non-penal (prevention without punishment). Ketika kejahatan Teknologi Informasi sudah semakin canggih dan korbannya sudah makin banyak serta melibatkan kejahatan transnasional, sarana penegakan hukum yang dilakukan adalah dengan melakukan kriminalisasi berupa penerapan hard law berupa Undang – Undang, sebagaimana dilakukan oleh Singapura dengan membuat Computer Misuse Act (1993), dan Malaysia dalam bentuk Computer Crimes Act (1997).
Pengaturan cyberspace di jepang antaralain:
– Act for the protection of computer processed personal data held by administrative organs
– Certification authority guidelines
– Code of ethics of the information processing society
– General ethical guidelines for running online services
– Guidelines concerning the protection of computer processed personal data in the private sector
– Guidelines for protecting personal data in electronic network management
– Recommended etiquette for online service users
– Guidelines for transactions between virtual merchants and consumers
Perbandingan mengenai Undang-Undang ITE antar Negara ASEAN
a. Mengenai transaksi elektronik antar Negara
• Indonesia
UU
ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang
lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan syarat kontrak.
• Malaysia
Communications
and Multimedia Act 1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan
harus menerima dan menanggapi keluhan konsumen.
• Filipina
Electronic
Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja
yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang
berlaku.
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.
b. Perlindungan terhadap data pribadi serta privasi.
• Singapura
Sebagai
pelopor negara ASEAN yang memberlakukan cyberlaw yang mengatur
e-commerce code untuk melindungi data pribadi dan komunikasi konsumen
dalam perniagaan di internet.
• Indonesia
Sudah diatur dalam UU ITE.
• Malaysia & Thailand
Masih berupa rancangan,
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.
c.Cybercrime
Sampai
dengan saat ini ada delapan negara ASEAN yang telah memiliki cyberlaw
yang mengatur tentang cybercrime atau kejahatan di internet yaitu
Brunei, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan
termasuk Indonesia melalui UU ITE yang disahkan Maret 2008 lalu.
d.Spam
Spam
dapat diartikan sebagai pengiriman informasi atau iklan suatu produk
yang tidak pada tempatnya dan hal ini sangat mengganggu.
• Singapura
Merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang memberlakukan hukum secara tegas terhadap spammers (Spam Control Act 2007)
• Malaysia & Thailand
Masih berupa rancangan.
• Indonesia
UU ITE belum menyinggung masalah spam.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada.
e.Peraturan Materi Online / Muatan dalam suatu situs
Lima
negara ASEAN yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura serta Indonesia
telah menetapkan cyberlaw yang mengatur pemuatan materi online yang
mengontrol publikasi online berdasarkan norma sosial, politik, moral,
dan keagamaan yang berlaku di negara masing-masing.
f. Hak Cipta Intelektual atau Digital Copyright
Di
ASEAN saat ini ada enam negara yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia,
Filipina, Malaysia dan Singapura yang telah mengatur regulasi tentang
hak cipta intelektual.
Sementara negara lainnya masih berupa rancangan.
g.Penggunaan Nama Domain
Saat
ini ada lima negara yaitu Brunei, Kamboja, Malayasia, Vietnam termasuk
Indonesia yang telah memiliki hukum yang mengatur penggunaan nama
domain. Detail aturan dalam setiap negara berbeda-beda dan hanya Kamboja
yang secara khusus menetapkan aturan tentang penggunaan nama domain
dalam Regulation on Registration of Domain Names for Internet under the
Top Level ‘kh’ 1999.
h.Electronic Contracting
Saat ini hampir
semua negara ASEAN telah memiliki regulasi mengenai Electronic
contracting dan tanda tangan elektronik atau electronik signatures
termasuk Indonesia melalui UU ITE.
Sementara Laos dan Kamboja masih berupa rancangan.
ASEAN
sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas waktu bagi setiap
negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan tanda
tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce
di ASEAN.
i.Online Dispute resolution (ODR)
ODR adalah resolusi yang mengatur perselisihan di internet.
• Filipina
Merupakan satu-satunya negara ASEAN yang telah memiliki aturan tersebut dengan adanya Philippines Multi Door Courthouse.
• Singapura
Mulai mendirikan ODR facilities.
• Thailand
Masih dalam bentuk rancangan.
• Malaysia
Masih dalam tahap rancangan mendirikan International Cybercourt of Justice.
• Indonesia
Dalam UU ITE belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai perselisihan di internet.
Sementara
di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat penting menyangkut
implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan e-commerce.
• Indonesia
UU
ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang
lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan syarat kontrak.
• Malaysia
Communications
and Multimedia Act 1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan
harus menerima dan menanggapi keluhan konsumen.
• Filipina
Electronic
Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja
yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang
berlaku.
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.
Sumber :
1. http://blog.unila.ac.id/nurul170389/files/2009/06/nurul-puspita-dewi-0711011101.pdf
2. http://prastowo.staff.ugm.ac.id/files/130M-09-final2.0-laws_investigations_and_ethics.pdf
3. http://arif90.wordpress.com/2010/05/12/perbandingan-uu-ite-indonesia-dengan-negara-lain/
4. http://goligog.wordpress.com/2010/07/06/uu-ite-antara-indonesia-dan-negara-lain/
5. http://mardiseptianto.blogspot.com/2011/03/cyberlaw-di-beberapa-negara-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar