Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah

Keluarga Itu Tidak Harus Sedarah
*Pidato Sambutan Ketua Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Universitas Padjadjaran Priode 2015-2016 dalam Seminar Bedah Buku Karya "Dr. Herlien Budiono,S.H." di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja pada saat itu.

SELAMAT DATANG

Selamat Datang, Blog ini merupakan sarana komunikasi yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui, mengerti, memahami dan menjadikan pedoman dalam penyusunan tugas-tugas yang berkaitan dengan seputar dunia hukum, Alangkah baiknya jika Anda dapat mengoreksi dan memberikan masukan mengenai blog ini, dan Anda juga dapat mengirimkan legal opini, artikel, jurnal tentang Hukum untuk diposting di blog ini (dengan sumber yang jelas) melalui alamat email: sendi134@yahoo.com, Terima Kasih. - SPN

1. Bijaklah dengan tindakanmu, jangan seakan-akan kau adalah manusia terpandai di dunia. #Filosofidunia
2. Berikan apa yang tidak dapat dia temukan di tempat manapun, dan dia pasti akan kembali kepadamu.- @Motivasijiwa
3. Waktu mencoba semangat kita, masalah membuat kita Kuat, Tangguh, dan Menang! - @Master_Kata
4. Pekerjaan yang mulia bukan ditentukan dari seberapa banyak pujian, tapi seberapa besar kita dapat berkorban dalam suatu keterbatasan hingga menjadikan benih-benih masa depan sebagai penerus bangsa, menjadi suatu aset yang membanggakan dan menjadikan negeri ini lebih berwibawa di mata dunia. - @Sendhynugraha

Sabtu, 20 Oktober 2012

Materi Hukum Keluarga dan Waris ( Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan )

HUKUM KELUARGA



• Anak luar kawin diatur dalam pasal 42, 43, 44 UUP.
• Kewajiban orang tua terhadap anak : pasal 45 UUP:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antar kedua orang tua putus.

• Kewajiban anak terhadap orang tua; pasal 46 UUP:
1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.



• Pasal 49 UUP :
1 Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. la berkelakuan buruk sekali.

2 Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pengangkatan Anak

• SE (Surat Edaran) MA Rl No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan SE No. 2 Tahun 1979 Mengenai Pengangkatan Anak.

• Tertib administrasi:
Bahwa anak angkat adalah sah apabila telah disahkan oleh penetapan dari pengadilan; kepastian hukum memperoleh kekuatan pembuktian. Tetapi pernyataan pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat adalah sah.

• Syarat-syarat bagi orang tua antar WNI yang harus dipenuhi:
1. Pengangkatan anak yang dilangsungkan antar orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.
2. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat oleh perkawinan sah atau belum nikah (single parent adoption) diperbolehkan.

• Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat :
1. Anak tersebut berada dalam yayasan sosial dan dilampirkan surat izin tertulis Departemen Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.
2. Izin tertulis dari Departemen Sosial, pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

• Tentang permohonan pengesahan pengangkatan anak WNA oleh orang tua WNl (inter country adoption).

Surat permohonan harus diajukan tertulis ke Pengadilan Negeri.
1. Pengangkatan anak harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Depsos. Pengangkatan anak langsung antara orang tua kandung WNA dengan calon orang tua WNI (Private adoption} tidak diperbolehkan.
2. Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum nikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.

Syarat-syarat calon anak WNA yang diangkat:
1. Usia anak angkat belum mencapai 5 tahun.
2. Penjelasan tertulis dari Depsos bahwa anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua angkat WNI yang bersangkutan.

• Tentang permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang tua WNA:
Syarat-syarat calon orang tua WNA:
1. Berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 tahun.
2. Izin tertulis dari Depsos.
3. Pengangkatan anak WNI tersebut harus dilakukan melalui panitia/ yayasan sosial; disini private adoption tidak diperbolehkan.
4. Pengangkatan anak WNI oleh WNA yang tidak terikat oleh perkawinan tidak diperbolehkan.

• Pemeriksaan di pengadilan, pengangkatan anak WNI oleh orang tua WNI :
1. Hakim mendengar langsung calon orang tua angkat, saudara-saudaranya, juga mereka yang menurut hubungan kekeluargaan dengan calon keluarga angkat juga orang yang mempunyai pengaruh, Ketua Adat, Lurah, dll.
2. Orang tua sah/walinya/keluarga yang berkewajiban merawat, mendidik.dan membesarkan anak tersebut,
3. Yayasan sosial yang telah mendapat izin dan Depsos.
4. Petugas dari instansi sosial setempat yang menjelaskan latar belakang kehidupan sosial ekonomi,
5. Calon anak angkat kalau menurut umurnya sudah dapat dianggap berbicara,
6. Pihak kepolisian setempat.

 • Pemeriksaan di persidangan pengangkatan anak WNA oleh WNI :
1. Hakim mendengar langsung calon orang tua angkat, saudara-saudaranya, juga mereka yang menurut hubungan kekeluargaan dengan calon keluarga angkat juga orang yang mempunyai pengaruh, Ketua Adat, Lurah, dll.
2. Orang tua sah/walinya/keluarga yang berkewajiban merawat, mendidik.dan membesarkan anak tersebut,
3. Yayasan sosial yang telah mendapat izin dan Depsos.
4. Petugas dari instansi sosial setempat yang menjelaskan latar belakang kehidupan sosial ekonomi,
5. Calon anak angkat kalau menurut umurnya sudah dapat dianggap berbicara,
6. Pihak kepolisian setempat.
7. Penjelasan dengan pejabat imigrasi.

• Kep. MenSos RI No. 41 /HUK/F/Vll tahun 1984:
Ini berlaku untuk panti asuhan yang ditujukan olch SK tersebut, Pemerintah telah menunjuk beberapa panti asuhan yang boleh mengadakan pengangkatan anak, tetapi prakteknya pengangkatan anak atau yayasan yang tidak secara resmi ditunjuk.

• Umum:
1 Pengangkatan anak berdasarkan UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Adalah salah satu usaha dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak yang peraturan pelaksanaannya belum terwujud.
2 SE MA No. 6 Tahun 1983

• Maksud dan Tujuan :
Merupakan satu pedoman dalam rangka pemberian izin pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak. Agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

• Lingkup Pengertian :
1. Pengangkatan anak antar WNI khusus yang berada dalam organisasi sosial,
2. Pengangkatan anak WNA oleh WNI,
3. Pengangkatan anak WNl oleh WNA,
(b) dan (c) disebut inter country adoption

 • Syarat-syarat mendapatkan izin :
Bagi pengangkatan anak antar WNI :
Calon orang tua angkat :
1. Berstatus kawin, berumur minimal 25 tahun, maksimal 40 tahun,
2. Selisih umur antara orang tua angkat dengan anak angkat minimal 25 tahun,
3. Saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya 5 tahun telah menikah dengan mengutamakan :
a. Tidak mungkin mempunyai anak,
b. Belum mempunyai anak,
c. Mempunyai anak kandung seorang.
d. Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
4. Mampu ekonomi : surat keterangan lurah/Kepala desa,
5. Berkelakuan baik : surat keterangan dari Kepolisian,
6. Sehat jasmani dan rohani : surat keterangan dokter,
7. Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan.



HUKUM PERKAWINAN


Pengertian

• Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat pentnig dalam penghidupan masyarakat kita, bukan hanya bagi mereka yang bersangkutan. Akan tetapi orang tuanya, saudara-saudara dan kerabat-kerabatnya. Juga banyaknya aturan-aturan yang harus dijalankan berhubungan dengan adat istiadat yang mengandung sifat rnagis religius. Pada umumnya perkawinan didahului dengan pelamaran, dan umumnya dilanjutkan dengan pertunangan, dahulu (panyangsang, paningset).
Asas Perkawinan

• Asas perkawinan monogami:
Pada asasnya Hukum Adat menggunakan asas monogamy, yaitu : seorang laki-laki harys mempunyai satu orang isteri, begitu juga sebaliknya. (UU No. 10 tahun 1989, pasal 3).

• Pada asasnya dalam satu perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang isteri dan seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. (Undang-undang Perkawinan)

Pasal 3 :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 :
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.


 Syarat Perkawinan
• Yaitu :
1. 21 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
2. Dengan izin orang tua.
Sistem dan Bentuk Perkawinan
(Lihat : Catatan Kuliah Hukum Adat – Hukum Perkawinan)

• Perkembangan pada masing-masing sistem kekeluargaan:
1. Pada keluarga matrilineal
Sistem : eksogami
Bentuk : semendo, antara lain :
a. Bertandang
Dianggap suami hanya bertamu saja, anak-anak dari harta pusaka isteri, tidak ada harta bersama.
b. Menetap
Suami menetap di keluarga isteri, harta bersama bisa ada ataupun bisa juga tidak ada.
c. Bebas
Yaitu bebas menetap bagi suami isteri tersebut, bebas dari ikatan kekerabatan dan ada harta bersama.
2. Pada keluarga patrilineal
Sistem : eksogami
Bentuk : jujur, antara lain :
a. Kontan : Batak (Sinamot), Maluku (Beli),
b. Hutang : Batak (Madingding), Bali (Nunggonin), seperti; perkawinan mengabdi, dibayar dengan tenaga,
c. Tanpa jujur : Gayo (anggap), Sumut (nangkah), Ambon (Anak ambil piara).
Di Lampung ada 4 macam:
1. Semendo tegak-tegik tanpa jujur baro yaitu anak suami dari dalam dan diangkat jadi anak angkat dan dikawinkan dengan anak isterinya, hal tersebut melanggar 2 larangan adat, yaitu :
a Anak diambil dari klannya sendiri, melanggar eksogami dan kawin jujur.
 b Melanggar dengan melaksanakan kawin semendo.
2. Semendo diambil anak (tanpa jujur)
Anak wanita dari luar klannya dijadikan anak angkat dan dikawinkan dengan anak perempuannya, melanggar adat perkawinan tersebut, yaitu melakukan perkawinan semendo.
3. Semendo jengirul
Yaitu pria semata-mata hanya wali dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Suami tersebut mengelola/mengurusi harta isterinya.
4. Semendo pinjem jago
Suami tersebut hanya datang sekali-sekali, tidak mempunyai hak dan kewajiban.


Harta Perkawinan
• Dalam Hukum Adat dikenal 4 macam harta :
1. Asal (bawaan, warisan, harta pusaka),
2. Bujangan (hasil sendiri jika sudah kerja),
3. Gono gini (harta yang didapat dari perkawinan),
4. Hadiah perkawinan.
UUP mengenal 2 macam harta :
1. Harta asal,
2. Harta gono gini.
Pasal 33 :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 37 :
Bila perkawinan putus karena perceraian. Harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.



 PENCEGAHAN, PEMBATALAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN

A. Pencegahan Perkawinan
1.    Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
2.    Syarat
a.    Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b.    Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama

3.    Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a.    Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b.    Saudara.
c.    Wali nikah.
d.    Wali pengampu.
e.    Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f.    Pejabat pengawas perkawinan.

4.    Prosedur pencegahan.
a.    Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b.    Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c.    PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

1.    Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan pencegahan perkawinan.
2.    Cara pencabutan dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan dengan putusan Pengadilan Agama.
3.    PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9,10 atau 12 UUP.

o    Penolakan Perkawinan
a.    Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut terdapat larangan menurut UUP.
b.    Acara :
1)    Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2)    Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama (wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut untuk memberikan.
3)    Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan perkawinan tersebut dilangsungkan.



B.    Pembatalan Perkawinan
             Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa: Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

1.    Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:
a)    Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
b)    Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c)    Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d)    Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
e)    Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak..
f)    Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

2.    Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a)    Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4 orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam iddah talak.
b)    Menikahi kembali bekas isteri.
c)    Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali (kecuali ?).
d)    Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susuan.
e)    Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isterinya.

3.    Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a)    Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b)    Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isterinya.
c)    Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.

4.    Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:
a)    Pihak keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
b)    Suami atau isteri
c)    Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan.
d)    Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat perkawinan menurut hukum.

5.    Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dimana suami atau isteri bertempat tinggal atau di tempat perkawinan dilangsungkan.

6.    Akibat hukum
a)     Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri.
b)     Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c)     Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
- Perkawinan yang batal karena suami  atau isteri murtad;
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
- Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
- Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d)     Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
(1)    Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami  atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.
(2)    Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.


Putusnya Perkawinan serta Akibatnya
• Pada masyarakat adat patrilineal: tcgas, tidak boleh cerai; pada matrilineal: jika cerai anak diasuh oleh istri; parental: bebas atas perjanjian yang disetujui. Jadi dapat diasuh oleh isteri atau suami.
• Pasal 38, Perkawinan dapat putus karena :
1. Kematian,
2. Perceraian,dan
3. Atas keputusan Pengadilan.

• Alasan perceraian (PP No. 9 Tahun 1975 pasal 14):

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan :
1. Salah salu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6. Antar suami dan isteri terus-terusan terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Akibat perceraian:
• Terhadap janda dan duda.

Pasal 37 UUP :
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
a. Waktu tunggu bagi seorang janda dimaksud ditentukan sebagai berikut :
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali bersuci dengan sckurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.
3. Apabila perkawinan putus karena janda tersebut sedang dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
b. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan, sedangkan bagi yang perkawinan putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

• Terhadap anak,
Pasal 42 :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Pasal 53:
1. Wali dapat dicabut kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
- Putusan MA No. 442 K/Pdt/ 1989 tentang anak luar kawin. Kasus Nugraha Besoes-Shcrina. Laki-laki juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan dan penghidupan anak-anak diluar kawin.

-  Kompilasi Hukum Islam, Putusan MA No.102/sipil/1973. Perwalian anak patokannya anak kandung yang didahulukan, terutama anak yang masih kecil karena kepentingan anak menjadi kriteria kecuali jika terbukti ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak.
-  Putusan MA No. 906/K/sip/1973. Siapa dari kedua orang tua yang telah bercerai berhak memelihara anak. Harus diselesaikan menurut ukuran pada siapa kiranya anak itu biasa terjamin sebaik-baiknya. Yang dipentingkan.


• Anak angkat :
1. Anak Angkat karena Perkawinan,

a. Anak angkat yang berhak terhadap harta peninggalan; di Bali (Nyentane), di Minang kabau (semendo ngangkit), di Lampung (Negiken), di sini anak angkat berhak terhadap harta, gelar, kerabat orang tuanya.
b. Anak angkat karena perkawinan tetapi tidak berhak terhadap harta peninggalan, pada dasarnya Hukum Adat, hukum agama tidak membenarkan adanya perkawinan campuran tetapi dalam perkembangannya Hukum Adat memberi jalan keluarnya. Menurut Hukum Adat Batak, apabila akan diadakan perkawinan campuran antar suku maka dilaksanakan dengan marsileban, yaitu pria dan wanita yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan termasuk sebagai keluarga namboru (marga penerima darah) dan jika istri yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak tiri dari kerabat hulahula (marga pemberi darah). Di Lampung jika suami orang luar, ia dapat diangkat oleh kerabat lelaki pihak ibu (kelama), Dan jika istri yang orang luar maka ia dapat diangkat oleh saudara wanita dari kerabat bapak (menulung) atau yang bersaudara ibu (kenubi)
Kesimpulannya: Anak angkat karena perkawinan ini dilakukan hanya memenuhi syarat perkawinan adat. Pengangkatan tersebut tidak menyebabkan si anak angkat menjadi ahli waris dari bapak angkatnya melainkan hanya mendapatkan kedudukan kewargaan dalam kesatuan kekerabatan yang bersangkutan.

2. Anak Angkat karena Kehormatan.

Yaitu pengangkatan anak atau saudara tertentu scbagai tanda penghargaan; di Lampung: adat mewari, misal mengangkat seorang pejabat pemerintah menjadi saudara angkat, pengangkatan anak karena baik budi seperti di Minangkabau (kemenakan batali mas). Pengangkatan anak karena perdamaian sebagai penyelesaian perselisihan. Pengangkatan ini tidak berakibat menjadi ahli waris dari ayah angkat si anak. Kecuali diadakan tambahan perikatan ketika upacara adat dihadapan pemuka adat.

• Bagi pegawai negeri yang melaksanakan pernikahan tanpa menghiraukan UUP diancam hukuman 5 tahun dan jika akan menceraikan isterinya harus meminta izin pada atasaan sesuai dengan pasal 179 KUHP.

• Anak tiri : Dalam perkembangan leviraat huwelijk (perkawinan ganti tikar) di Batak disebut pareakhon, di Sumsel anggau, yaitu isteri kawin dengan saudara suami, anak tiri tetap berkedudukan sebagai anak dari bapak kandung.

• Juga jika tcrjadi dalam perkawinan vervari huwelijk = sosorat = perkawinan turun ranjang. Di Lampung disebut hukel, di Jawa disebut karang wulu, yaitu suami kawin dengan saudara isteri, anak tiri berkedudukan sebagai anak dari ibu kandungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar