A. Definisi Sosiologi
1. Definisi
Sosiologi
Sesuai
dengan perkembangannya, Auguste
Comte memperkenalkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Ia juga
dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Secara
etimologis, sosiologi
berasal dari kata Latin, socius yang
berarti kawan dan kata Yunani, logos
yang berarti kata atau bicara. Jadi, sosiologi adalah berbicara mengenai
masyarakat. Menurut Comte, sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan
tidak pada spekulasi keadaan masyarakat.
Kajian objek sosiologi adalah masyarakat. Sebagai ilmu, sosiologi berdiri sendiri, karena telah
memiliki unsur ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri utama yaitu :
1.
Bersifat
empiris, didasarkan pada kenyataan terhadap masyarakat dan akal sehat. Hasilnya tidak bersifat
spekulatif.
2.
Bersifat
teoritis, menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi.
3.
Bersifat
kumulatif, sosiologi dibentuk berdasar teori-teori yang sudah ada.
4.
Bersifat
non-etis, bertujuan menjelaskan fakta secara analitis.
Pitirim Sorikin
mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan
pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial dengan gejala
lainnya. Namun polak menjelaskan bahwa
sosiologi tidak mempelajari apa yang diharuskan atau apa yang diharapkan tetapi
mempelajari apa yang ada dan yang selanjutnya menjadi bahan untuk bertindak dan
berusaha.
2. Sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan
Ilmu dapat
diartikan sebagai kegiatan intelektual manusia, dalam kaitannya dengan
kehadiran alam dan kehidupan di sekelilingnya. Menurut Arief Sidharta, ilmu
dibedakan menjadi dua, yaitu ilmu formal dan ilmu empiris. Ilmu formal
mempelajari struktur murni dan tidak menunjuk pada ilmu yang tidak bertumpu
pada pengalaman empiris. Sedangkan, ilmu empiris bersumber pada pengalaman empiris.
Disebut juga ilmu positif.
Christian Wolff (1679-1754)
Klasifikasi
ilmu pengetahuan menurut Christian, yaitu
:
1.
Pengetahuan
kemanusiaan, terdiri atas ilmu murni dan filsafat praktis. Ilmu murni adalah
teologi rasional yang terkait dengan pengetahuan tentang Tuhan, psikologi
rasional yang terkait dengan masalah-masalah jiwa, dan kosmologi rasional yang
terkait dengan kodrat dunia fisik.
2.
Ilmu-ilmu
teoritis, yang dijabarkan dari hukum tak bertentangan, yang menyatakan bahwa
sesuatu itu tak dapat dan tidak ada dalam waktu yang bersamaan.
Auguste Comte (1798-1857)
Comte meyakini
bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata, dan
berguna. Comte membuat hukum tiga tahap, yaitu masyarakat berkembang melalui
tiga tahap.
Pertama, tahap teologis, manusia memahami gejala-gejala alam
sebagai hasil ciptaan Tuhan. Tahap teologi dirinci menjadi tiga subtahap, yaitu
anmisme, politeisme, dan monoteisme. Animisme, benda-benda dianggap berjiwa dan
diperlakukan sebagai keramat. Politeisme, manusia mempercayai dewa-dewa.
Monoteisme, manusia mempercayai kekuatan tunggal-absolut di balik
gejala-gejala.
Kedua, tahap metafisis. Pelaku ilahi yang personal digantikan
oleh prinsip-prinsip metafisika seperti kodrat.
Ketiga, tahap positif. Manusia berhenti mencari penyebab
absolute dan mulai berkonsentrasi pada observasi, pengukuran, dan kalkulasi
guna memahami hukum yang mengatur jagad raya.
Comte
menggolongkan ilmu pengetahuan sebagai berikut :
1.
Ilmu
pasti, adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan karena sifatnya yang abstrak,
tetap, dan pasti.
2.
Ilmu
perbintangan, didasarkan pada rumus-rumus ilmu pasti.
3.
Ilmu
alam, gejala dalam ilmu ini lebih kompleks dan rumit karena ilmu ini merupakan
ilmu yang lebih tinggi dari perbintangan.
4.
Ilmu
kimia, mempunyai hubungan dengan ilmu biologi. Pendekatannya melalui observasi
dan pendekatan.
5.
Ilmu
hayat, gejala dalam ilmu ini mengalami perubahan yang cepat dan perkembangannya
belum sampai pada tahap positif.
6.
Fisika
Sosial (Sosiologi), merupakan urutan tertinggi dalam ilmu pengetahuan.
Thomas
S Kuhn
Kuhn
membedakan ada dua tahap dalam ilmu, yakni tahap pra-pragdiamatik dan periode
ilmu normal. Periode pra-pragdiamatik, pengumpulan fakta-fakta dilakukan tanpa
kerangka teoritikal yang diterima secara umum. Pada tahap ini terdapat sejumlah
aliram pemikiran yang saling bersaing namun tidak ada satupun yang memperoleh
penerimaan secara umum.
Selain tahap
pra-pragdiamatik, ada tahap ilmu normal. Kuhn memberikan ciri-ciri ilmu normal
sebagai berikut.
1.
Pencapain
ilmiah pada ilmu normal cukup baru sehingga mampu menarik praktisi ilmu, yang
memiliki metode lain, dalam menjalankan ilmiah mereka.
2.
Pencapaian
ilmiah itu cukup terbuka sehingga masih banyak masalah yang memerlukan
penyelesaian oleh praktisi ilmu, dengan mengacu pada pada pencapaian-pencapaian
tersebut.
Ilmu normal
bekerja bedasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku. Kegiatan ilmu
normal bertujuan untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang.
Keuntungan dari penelitian ilmu normal adalah kegiatan ilmiah itu sangat mendalam
dan cermat.
Sosiologi sebagai Ilmu
Empiris
Sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan mempunyai ciri :
a.
Empiris,
artinya didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat.
b.
Teoritis,
menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi.
c.
Kumulatif,
teori sosiologi dibentuk atas dasar teori yang sudah ada.
d.
Non-etis,
menjelaskan fakta secara analitis bukan mempersoalkan baik-buruknya fakta.
Sosiologi
berkaitan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Sosiologi merupakan suatu
disiplin kategoris, yang artinya membatasi diri pada dewasa in dan bukan
merupakan apa yang seharusnya terjadi. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
murni, bukan terapan. Sosiologi merupakan ilmu abstrak dan ilmu pengetahuan
yang umum.
Sosiologi
tidak ditugaskan untuk menilai apa yang baik dan yang buruk namun berpikir
secara kritis.
Pemahaman
sosiologis memiliki beberapa ciri, yaitu :
1.
Motif
penelanjangan, artinya berusaha mengetahui apa yang berada dibalik kenyataan
sosial yang diterima banyak orang.
2.
Motif
kurang hormat, artinya selalu mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima
sesuatu kenyataan yang sudah terjadi semestinya.
3.
Motif
untuk tidak menisbikan kenyataan, artinya nilai-nilai pemikiran manusia karena
memandang permasalahan dengan dikondisikan menurut tempat dan waktu tertentu.
4.
Motif
cosmopolitan, artinya motif sosiologi yang bersifat terbuka terhadap dunia
luas.
3.
Para Ilmuwan Sosiologi
terkemuka
a. Auguste
Comte (1798-1857)
Menurut Comte,
sosiologi terdiri dari dua bagian yaitu social statistic dan social dynamics.
Pembagian ini berdasarkan isi sosiologi yang bersifat pokok. Sebagai social
statistic, sosiologi mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Sedangkan social dynamics, meneropong bagaimana lembaga-lembaga
kemasyarakatan terus berkembang. Perkembangan tersebut pada hakikatnya melewati tiga
tahap (hukum tiga tahap), tahapan tersebut yaitu tahap teologis, tahap
metafisis, dan tahap positif.
Asumsi-Asumsi
Comte
Tujuan utama
sosiologi adalah mengeliminasi konstruksi masyarakat modern secara revolusioner.setelah
mengetahui tujuan utama sosiologi, Comte mengajukan beberapa asumsi sebagai
berikut.
1.
alam
semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisible natural).
2.
proses
evolusi berlangsung dalam tiga tahap : teologis, metafisika, positivistik.
3.
Comte
memandang ilmu pengetahuan sebagai ilmu social dalam pengertian yang luas.
4.
Comte
membagi system social atas dua bagian, yaitu statika sosial dan dinamika
sosial.
b. Karl
Marx (1818-1883)
Marx
dilahirkan di Jerman pada tahun 1818 di Kota Trier. Marx melihat bahwa manusia terdiri
dari beberapa oposisi yang terus berjuang untuk mencapai suatu kedudukan
tertentu. Revolusi untuk memperoleh perjuangan tersebut dapat dicapai dengan
pertentangan.
Asumsi-Asumsi
Marx
1.
Keberadaan
menentukan kesadaran.
2.
Materi
menetukan ideologi.
3.
Masyarakat
tergantung kepada kondisi-kondisi meteri kehidupan.
4.
Interaksi
yang terjadi adalah dialektis (sintesis akhir, saling menggantikan dari unsur-unsur
yang berlawanan).
Jalan
Pikiran Marx
1.
Mengkompromikan
dua aliran filsafat yang bertentangan antara Idealisme dan Materialisme.
2.
Marx
berkata, “Ide tidak dapat bekerja dalam kekosongan dan tidak menghasilkan dalam
kekosongan. Ide harus berkaitan secukupnya dengan kenyataan social. Hanya
dengan tindakan ide dapat melakukan transformasi terhadap kegiatan social”.
c. Emile
Durkheim (1858-1917)
Durkheim
mengisukan solidaritas social sebagai isu utama. Perhatiannya terhadap
solidaritas dan integrasi, tumbuh dari kesadaran akan berkurang nya pengaruh
agama tradisional, yang dapat merusak dukungan standar moral bersama.
Tipe
Solidaritas Emile Durkheim
Menurut
Durkheim, dalam solidaritas ada konsep kolektif yang merupakan hasil
kepercayaan dari seluruh anggota masyarakat. Kesadaran kolektif menyelimuti
seluruh masyarakat. Individu tidak hadir secara nyata sebab kenyataannya kabur
oleh kesadaran kolektif. Durkheim menamakannya dengan Solidaritas Mekanis. Tipe
solidaritas yang lainnya adalah tipe Solidaritas Organis. solidaritas Organis
memiliki ciri, diantaranya indivdualitas tinggi, saling ketergantungan tinggi,
bersifat industri perkotaan. Tipe ini merupakan tipe solidaritas yang cenderung
terdapat dalam masyarakat industri dengan tingkat integrasi sosial yang rendah. Asumsi terakhir
Durkheim adalah bahwa kejahatan dan bentuk penyimpangan yang lain mempunyai
fungsi bagi masyarakat dalam hal penyimpangan, sehingga mendorong perubahan dan
perkembangan norma-norma dalam masyarakat.
d. Max
Weber (1864-1920)
Weber lahir
pada tahun 1864 dan dibesarkan di Berlin.
Weber mulai mempelajari hukum saat umur 18 tahun di Universitas Heidelberg. Pada usia 25
ia menyelesaikan tesis doktoralnya dengan judul History of Commercial Societies of Middle Ages.
Pemikiran
Weber
Weber
berpendapat bahwa sosiologi sebagai ilmu yang berusaha memberikan pengertian
tentang aksi-aksi sosial. Ia adalah seseorang yang menganut dan mengembangkan
paradigma perilaku social.
Weber terkenal
dengan pemikiran ideal typus, yaitu
suatu konstruksi dalam pikiran seorang peneliti yang dapat digunakan sebagai
alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam masyarakat. Ajaran weber
ini menyumbang banyak bagi perkembangan sosiologi, misalnya analisisnya tentang
wewenang birokrasi, sosiologi agama, organisasi dan ekonomi.
B. Paradigma
Sosiologi George Ritzer
1. Memulai
dengan Paradigma dari Thomas Kuhn
Paradigma
adalah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains.
Kuhn mengartikan paradigma sebagai contoh oleh para ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiahnya,
untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda apa
dan melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.
Paradigma yang
dituliskan oleh Kuhn :
1.
Model
yang berdasarkan munculnya sejumlah tradisi penelitian ilmiah tertentu yang
terpadu.
2.
Pencapaian
hasil-hasil ilmiah yang diakui secara universal.
3.
Hampir
merupakan pandangan dunia, cara memandang dunia melalui kacamata yang
disediakan oleh cabang ilmu tertentu.
4.
Terdiri
dari sejumlah teori dan tekhnik khusus yang sesuai, sebagai pemecahan
masalah-masalah penelitian dalam wilayah penelitian tertentu.
5.
Perpaduan
teori dan metode.
6.
Matriks
disipliner
7.
Eksemplar,
dimaksud sebagai penyelesaian (solusi) masalah ilmiah.
Secara umum
paradigma dapat diartikan sebagai cara pandang atau kerangka berpikir yang
berdasarkan fakta atau gejala yang diinterpretasi dan dipahami.
Mastermann
mengemukakan tiga model paradigma sebagai perkembangan dari Kuhn. Pertama, Paradigma Metafisik, ialah
paradigma yang menunjuk pada suatu komunitas ilmuwan tertentu, yang perhatian
utamanya adalah hal ada dan tidak ada. Kedua, Paradigma Sosiologi, paradigma ini mirip dengan konsep
eksemplar dari Kuhn, yang bertolak dari kebiasaan-kebiasaan nyata,
keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil nyata perkembangan ilmu
pengetahuan serta hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara
umum. Ketiga, Paradigma Konstruk,
merupakan paradigma yang paling sempit diantara tipe paradigma di atas.
2. Paradigma
Ilmu Pengetahuan
Sejak abad
pencerahan sampai sekarang, terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh ilmuwan.
Paradigma Positivisme
Positivisme
adalah suatu aliran yang berkembang di Eropa continental. Positivisme merupakan
suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk
menentukan kebenaran, hendaknya memerlukan realitas sebagai suatu yg eksis, sebagai
suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis
yang subjektif sifatnya.
Positivisme
merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang muncul pertama kali.
Keyakinan
paradigma ini adalah paham ontology
realisme, yang menyatakan bahwa realitas, ada dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan huikum alam, yang tujuan utamanya adalah untuk mengungkapkan
kenyataan yang sebenarnya.
Positivisme
sangat menekankan ilmu pengetahuan atau ilmu positif, sebagai puncak
perkembangan manusia. Pandangan dunia yang dianut positivisme adalah pandangan
dunia yang objektivistik, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa objek-objek
fisik hadir independent dari subjek dan secara langsung hadir melalui data
indrawi.
Positivisme
memiliki ciri sebagai berikut.
1.
Bebas
nilai (objektif), fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak
dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral.
2.
Fenomenalis,
pengetahuan yang berfokus hanya pada fenomena semesta.
3.
Nominalisme,
berfokus pada yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya.
4.
Reduksionalisme,
alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
5.
Naturalisme,
paham tentang keteraturan dari peristiwa-peristiwa alam.
6.
Mekanisme,
paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara
mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin.
Yang harus
diperhatikan dalam positivisme adalah semua pengetahuan harus didasarkan pada
alam dan harus empiris, baik itu alam, manusia maupun masyarakat. Gagasan yang
didasarkan pada suatu persepsi atau pengamatan harus diberi nilai tinggi.
(Post)
Positivisme
Aliran ini
bersifat critical realisme, yang
memandang bahwa realitas senyatanya sesuai dengan hukum alam. Metode yang
digunakan adalah triangulation, yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, dan teori.
Aliran post positivisme menyatakan
bahwa tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri
di belakang layer, tanpa ikut campur dengan subjek yang diteliti secara
langsung. Hubungan antara pengamat dan objek harus bersifat interaktif. Ritzer telah membagi
menjadi tiga macam paradigma dalam sosiologi, yaitu fakta sosial, definisi
sosial, dan perilaku sosial.
Postpositivisme
menggariskan bahwa positivisme baik yang klasik atau yang logis, ternyata tidak
mampu menangkap alam semesta. Seperti positivisme yang terus berkembang, maka
postpositivisme melahirkan teori kritis dan konstruktivisme.
Teori
Kritis
Teori kritis
merupakan suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai
orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi Marxisme,
Materialisme, Feminisme, Partisipatory Inquiry, dan paham-paham yang setara.
Teori kritis
lahir karena realitas cara pandang positivisme terlalu direduksi. Teori kritis
merupakan kritik terhadap positivisme dalam ilmu social. Teori kritis mengalami
perkembangan dalam dua generasi. Pertama, dimulai pada tahun 1923 dan berakhir
50 tahun kemudian setelah meninggalnya Horkheimer sebagai tokoh generasi
pertama teori kritis. Generasi kedua dimulai dengan adanya usaha-usaha dari
Jurgen Habermas.
Ada tiga karakteristik teori
kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer. Pertama, Teori Kritis diarahkan oleh
suatu kepentingan perubahan fundamental pada masyarakat. Kedua, Teori Kritis
dilandaskan pada pendekatan berpikir historis. Ketiga, Teori Kritis ada sebagai
upaya pengembangan berpikir komprehensif.
Teori Kritis
bersikap kritis dan curiga terhadap realitas yang ada, tidak memisahkan antara
teori dan praktek, berpikir dengan memperhatikan aspek historis yang terjadi
dalam masyarakat.
Konstruktivisme
Paradigma ini
berpendapat bahwa alam semesta, secara epistomologis, adalah sebagai hasil
konstruksi social. Paham ini menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme
merupakan paham yang keliru dalam mengungkapkan realitas dunia.
Konstruktivisme
beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan bentukan dari yang mengetahui
sesuatu. Filsafat konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan, bahwa
pengetahuan kita adalah bentukan dari kita sendiri, sedangkan filsafat
pengetahuan adalah filsafat yang mempertanyakan soal bagaimana kita dapat
mengetahui sesuatu.
Von
Glassersfeld membedakan adanya tiga macam tahap kontruktivisme :
1.
Konstruktivisme
radikal, adalah kemapuan konstruktivisme yang mengesampingkan hubungan
pengetahuan sebagai suatu criteria kebenaran.
2.
Realisme
hipotesis, pengetahuan kita pandang sebagai suatu hipotesis dari struktur
kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat
dengan realitas.
3.
Konstruktivisme
yang biasa, adalah filsafat yang menyatakan pengetahuan kita merupakan suatu
gambaran dari realitas itu.
3. Paradigma
dalam sosiologi
Ada 5 macam
paradigma dengan menggunakan pendekatan sosiologi.
a. Paradigma
Sosiologi
Jenis-jenis
teori atau penjelasan khusus mendefinisikan realitas sosial, dalam hal
tertentu, pada perkembangan sosial. Tiap-tiap paradigma menggambarkan pandangan khusus akan
realitas, sebagaimana masyarakat bergerak maju dari metafisik, melalui teologis
dan filosofis, menuju ke hal yang positif ilmiah. Kita akan menguji setiap
paradigma tersebut dengan pertimbangan sosiologi.
b. Paradigma
Metafisik
Paradigma ini
bepandangan bahwa alam ada di bawah perintah para dewa yang bersifat
supranatural tapi ada juga yang memiliki kualitas manusia.
Paradigma ini
memerankan beberapa fungsi sebagai berikut.
1.
Paradigma
menunjuk pada
suatu yang ada dan sesuatu yang tidak ada.
2.
Paradigma
ini menunjuk kepada pusat ilmuwan tertentu yang memusatkan mereka untuk
menemukan sesuatu yang ada yang menjadi pusat perhatian mereka.
3.
Paradigma
ini menunjuk kepada ilmuwan yang berharap menemukan sesuatu yang ada yang
menjadi pusat perhatian dari disiplin ilmu mereka.
c. Paradigma
Teologi
Dalam fase
ini, akal budi manusia mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan
sebab terakhir dari segala sebab-akibat. Singkatnya, pengetahuan absolute mengadaikan, bahwa
semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal yang sifatnya
supranatural.
Dalam
paradigma ini masyarakat menengah dilihat sebagai perkembangan dari masyarakat
Kristiani, yang mistikal dan irasional. Hak memasuki wilayah wujud yang maha agung dilembagakan
dalam bentuk gereja, sebuah birokrasi ekonomi dan politik yang mengatur relasi
manusia dan mengatur pula relasi terhadap pengetahuan mereka. Dengan demikian,
cara
perspektif terdahulu tentang realitas, dimodifikasi untuk mematuhi
aturan-aturan teologis mengenai alam semesta.
d. Paradigma
Filsafat
Perkembangan
pola pikir manusia sejak runtuhnya kekuatan Gereja Eropa, bergeser dari agama
ke rasionalisme. Hal ini menghadirkan keyakinan sekuler dalam memandang hakikat
manusia.
Filsafat
pencerahan meyakini eksistensi sebuah tatanan alam. Mereka memfokuskan
pemahaman ini untuk memaksimalkan kebahagiaan, kebebasan, perkembangan materi,
dan perkembangan social secara umum. Ini berarti pada masa ini, pengetahuan
menjelma menjadi salah satu disiplin terapan.
Paradigma
terakhir dalam paradigma sosiologis adalah Paradigma Postivistik. Ia merupakan
sebuah paradigma perluasan dari filsafat pencerahan, yang digunakan sebagai
alat untuk menemukan tatanan yang ada dalam masyarakat.
4. Paradigma
Fakta Sosial
Ritzer
memperkenalkan paradigma ini sebagai paradigma yang pertama dalam kajian
sosiologi. Paradigma ini diambil dari Durkheim.
Menurut
Durkheim, fakta social dinyatakan sebagai sesuatu, yang berbeda dengan ide.
Sesuatu tersebut menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan.
Fakta social tidak dapat dipelajari melalui introspeksi, tetapi diteliti di
dunia nyata.
Dua bentuk
fakta sosial :
1.
Bentuk
materil, adalah sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta
ini bagian dari dunia nyata.
2.
Bentuk
Non-materil, adalah sesuatu yang dianggap nyata. Fakta ini bersifat
intersubjektif, yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia.
Metodologi
yang digunakan untuk penelitian dalam paradigma ini adalah menggunakan
kuesioner dan wawancara dalam penelitian empiris.
Berikut
kelemahan-kelemahan metode yang dipakai dalam paradigma ini.
1.
Tidak
mampu menyajikan informasi yang sungguh-sungguh bersifat fakta sosial.
2.
Banyak
mengandung unsure subjektif dan informan.
3.
Kurang
membukakan jalan kea rah penemuan fakta sosial.
5. Paradigma
Definisi Sosial
Paradigma ini
menekankan hakikatnya pada kenyataan sosial bersifat subjektif. Weber
mengemukakan teori definisi social ini mengartikan sosiologi sebagai suatu
tindakan social antar hubungan social. Yang dimaksud dengan tindakan social
tersebut adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai makna atau
arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain.
Weber
mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami mengenai tindakan social serta
hubungan social untuk sampai pada penjelasan kausal. Menurut Weber, studi
sosiologi ini bercirikan:
1.
Tindakan
manusia yang menurut actor/pelaku mengandung makana yang subjektif yang
meliputi tindakan nyata.
2.
Tindakan
nyata bersifat membatin dan subjektif.
3.
Tindakan
meliputi pengaruh positif dari suatu situasi.
4.
Tindakan
itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5.
Tindakan
itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang juga.
Pada intinya,
Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mencoba memahami perilaku
social secara interpretative, dengan penjelasan secara kausal atas sebab
akibatnya.
Metodologi
dalam penelitian social adalah observasi. Biasanya teknik yang digunakan adalah
observasi eksplorasi. Bentuk-bentuknya :
1.
Participant Observation, peneliti tidak
memberitahukan maksudnya pada kelompok yang diselidikinya.
2.
Participant as Observer, peneliti memberi tahu
maksudnya kepada kelompok yang ditelitinya.
3.
Participant as Participant, peneliti memberi tahu
maksudnya pada kelompok tetapi hanya dalam sekali kunjungan saja.
4.
Complete Observer, peneliti tidak
berpartisipasi tetapi menempatkan dirinya sebagai orang luar sama sekali.
Subjek yang diselidiki tidak menyadari bahwa mereka sedang diteliti.
6. Paradigma
Perilaku Sosial
Paradigma ini
lebih menekankan pada pendekatan objektif empiris atas kenyataan social. Dari ketiga
paradigma diatas, paradigma
ini lebih dekat dengan gambaran kenyataan social, dengan asumsi-asumsi implisit
yang mendasari konstruksi sosial. Bagi seorang ahli prilaku sosial, paradigma
yang diberikan oleh fakta sosial terlalu abstrak sifatnya. Di sisi lain ,
paradigma yang diberikan oleh paradigma definisi sosial terlampau subjektif.
Paradigma ini memusatkan perhatiannya kepada
hubungan antara individu dengan lingkungannya, yang menghasilkan akibat-akibat
atau perubahan tingkah laku dan perubahan lingkungan actor.
Teori yang
dipakai dalam paradigma ini adalah teori Behavioral
Sociology dan Teori Exchange.
Metodologi yang diapakai untuk penelitian dalam paradigma ini adalah interview, kuesioner, serta observasi.
DAFTAR PUSTAKA:
BUKU PENGANTAR SOSIOLOGI HUKUM (Pengarang
Yesmil Anwar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar